Paparan Topik | Sepakbola Nasional

Jejak Langkah Prestasi Tim Nasional Sepak Bola Indonesia

Tim nasional sepak bola Indonesia pernah berjaya dan menjadi “Macan Asia” pada masa awal kemerdekaan. Seiring berjalannya waktu, prestasi timnas “Garuda” itu justru meredup di tingkat Asia dan Asia Tenggara, padahal sudah banyak pelatih lokal maupun pelatih asing berkualitas yang membesut skuad itu.

kompas/priyombodo

Suporter Indonesia yang hadir di Stadion Shah Alam, Selangor, Malaysia untuk mendukung Timnas sepak bola Indonesia U-22 saat menghadapi tuan rumah Malaysia di semi final SEA Games Kuala Lumpur, Malaysia, Sabtu (27/8/2017).

Fakta Singkat

Peringkat Timnas
Posisi ke-173 dari 210 (Ranking FIFA, Juni 2021)

Pelatih Masa Awal Timnas
Choo Seng Quee dari Singapura (1951-1953)
Antun Pogacnik dari Yugoslavia (1954-1964)

Pelatih Timnas saat ini
Shin Tae-Yong (28 Desember 2019 – sekarang)

Induk Organisasi
Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia

Prestasi Tinggi Internasional dan Regional

  • Bermain di Piala Dunia FIFA 1938 di Perancis
  • Berhasil lolos ke Olimpiade Melbourne 1956 dan melaju ke perempat final
  • Lolos hingga semifinal Asian Games 1954 di Manila, Filipina
  • Medali perunggu sepak bola di Asian Games 1958 di Tokyo, Jepang
  • Medali Perak SEA Games 1981
  • Medali Emas SEA Games 1987
  • Medali Perunggu SEA Games 1989
  • Medali Emas SEA Games 1991
  • Runners up Piala AFF/Tiger 2000 & 2002
  • Runners up Piala AFF 2010
  • Medali Perak SEA Games 2011
  • Medali Perak SEA Games 2013
  • Runners up Piala AFF 2016
  • Medali Perak SEA Games 2019

Penampilan tim nasional sepak bola Indonesia di ajang Kualifikasi Piala Dunia Zona Asia Juni 2021 menunjukkan prestasi timnas yang kian meredup. Delapan kali bertanding dengan tim-tim Asia, tak sekalipun pun meraih kemenangan, bahkan tujuh pertandingan berujung pada kekalahan skuad Garuda.

Pencapaian itu menempatkan Indonesia di posisi ke-173 dalam ranking FIFA pada Juni 2021. Posisi itu sudah ditempati timnas Indonesia lebih dari dua tahun atau terendah di antara negara-negara ASEAN kecuali Kamboja yang satu tingkat di bawah Indonesia.

Padahal, sebelum masa reformasi timnas Indonesia masih disegani di tingkat ASEAN, bahkan di masa Orde Lama timnas Garuda masih diperhitungkan di tingkat Asia dan menjadi salah satu Macan Asia. Prestasi tertinggi masa lalu yang diraih skuad merah putih, yakni medali perunggu di ajang Asian Games 1958.

Secara umum prestasi timnas sepak bola negeri ini bagai roller coster yang naik turun silih berganti. Di tingkat Asia dan ASEAN, timnas pernah disegani di era 1950 hingga 1990-an, namun setelah reformasi, prestasi timnas terus meredup dan bak macan ompong. Alhasil, tahun 2016, prestasi timnas terpuruk di posisi 180 atau terbawah dibandingkan negara ASEAN lainnya. Tahun 2021 pun prestasinya tak beranjak naik, dalam rangking FIFA, Indonesia di posisi ke-173 dari 210 negara anggota FIFA.

Tak bisa dipungkiri, pasang surut prestasi timnas itu tak bisa lepas dari kinerja organisasi yang mengelola sepak bola nasional. Era sebelum Indonesia merdeka, pada ajang internasional seperti Piala Dunia, misalnya, tim sepak bola Hindia Belanda tercatat sebagai tim Asia pertama yang berpartisipasi di Piala Dunia 1938 di Perancis. Saat itu, timnas masih membawa nama Hindia Belanda mewakili zona Asia.

Pada Piala Dunia di Perancis itu memang bukan tim PSSI yang berangkat, namun pemain NIVU (organisasi sepak bola di Hindia Belanda) dengan nama Hindia Belanda. Meskipun demikian, hal itu tetap membanggakan karena para pemain NIVU tersebut sebagian adalah orang pribumi.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Selebrasi kemenangan pemain Tim nasional sepak bola indonesia U-22 setelah menaklukan Myanmar 3-1 pada laga final sepak bola perebutan perunggu SEA Games Kuala Lumpur 2017 di Stadion Majlis Perbandaran Selayang, Selangor, Malaysia, Selasa (29/8/2017).

Awal kemerdekaan

Pada awal kemerdekaan, timnas sepak bola masih menjadi salah satu Macan Asia. Itu tak bisa lepas dari kebijakan pemerintah pada masa Presiden Soekarno yang menjadikan olah raga sebagai alat menyatakan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa.

Selain itu, Presiden pertama itu pun menggunakan olahraga termasuk cabang sepak bola sebagai alat membangun karakter manusia Indonesia yang bercirikan kuat, sehat, berani kerja keras, dan sportif. Pengurus PSSI, kala itu, juga mengelola sepak bola nasional selaras dengan kebijakan Pemerintah.

Presiden Soekarno juga menempatkan timnas sepak bola sebagai ajang diplomasi dan menunjukan eksistensi Indonesia dengan negara-negara di dunia. Timnas sepak bola Indonesia pun diberangkatkan mengikuti serangkaian kejuaraan olahraga bergengsi seperti Olimpiade, Asian Games, dan pertandingan persahabatan internasional hingga ke Eropa.

Pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno, sepak bola Indonesia pernah berjaya di kancah Asia dan internasional pada 1950-an. Timnas pada masa Orde Lama tidak dipegang oleh pelatih lokal tapi ditangani dua pelatih asing, yakni Choo Seng Quee dari Singapura ( 1951-1953) dan Antun Pogacnik dari Yugoslavia (1954-1964). Choo Seng Quee berhasil membawa timnas hingga babak perempat final Asian Games I yang digelar di New Delhi 1951.

Adapun timnas Indonesia yang diasuh Antun Toni Pogacnik berhasil menorehkan pencapaian yang membanggakan. Tim sepak bola Indonesia berasil menembus semifinal Asian Games 1954 di Manila meski tak dapat medali. Empat tahun kemudian, kembali menembus semifinal dan meraih medali perunggu di Asian Games 1958 di Tokyo. Medali perunggu di cabang sepak bola itu merupakan medali pertama Indonesia pada turnamen resmi internasional.

Selain sukses di ajang Asia, timnas Indonesia asuhan Pogacnik juga tampil cemerlang di Olimpiade 1956 di Melbourne. Timnas Indonesia mengejutkan dunia dengan menahan imbang raksasa Uni Soviet dengan skor 0-0. Timnas Indonesia yang berlaga di Olimpiade 1956, antara lain, Maulwi Saelan, Endang Witarsa, Thio Him Tjiang, Ramlan, dan Rusli Ramang.

Pogacnik berhasil membentuk skuad yang dihuni pemain-pemain yang mampu bersaing di pentas internasional. Pogaknik tercatat sebagai orang pertama yang meletakkan dasar permainan sepak bola modern di Indonesia. Kala itu, Pogacnik membawa skuad Indonesia melakukan pemusatan latihan di sejumlah negara Eropa Timur, seperti Uni Soviet, Jerman Timur, Yugoslavia, dan Ceko.

Timnas besutan Toni Pogacnik itu juga sempat mengejutkan di ajang Olimpiade 1956 di Melbourne Australia. Meski gagal meraih medali, tim sepak bola Indonesia berhasil mencapai babak perempat final dan membuat sensasi dengan menahan imbang tanpa gol raksasa sepak bola dunia saat itu, Uni Soviet.

Dalam pertandingan ulangan, Indonesia gagal membendung aliran serangan Uni Soviet dan takluk empat gol tanpa balas. Di babak perempat final itu, Uni Soviet menghentikan laju Indonesia dan melaju hingga babak final dan akhirnya meraih medali emas di ajang tersebut.

Timnas asuhan Pogacnik juga sukses di Merdeka Games 1961 yang digelar di Malaysia. Indonesia berhasil menggondol gelar juara menyisihkan para pesaing seperti Singapura, Thailand, Hongkong, Malaysia dan bahkan Korea Selatan. Gelar juara Merdeka Games 1961 itu pun diraih tanpa terkalahkan sepanjang turnamen.

Pagacnik menangani timnas hingga tahun 1964. Ia mundur setelah gagal mencapai target medali di ajang Asian Games 1962 yang digelar di Jakarta.  Meski demikian, Pogacnik disebut-sebut sebagai bapak sepak bola modern Indonesia karena sebagai orang pertama yang meletakkan dasar permainan sepak bola modern di Indonesia.

Prestasi Timnas Sepak Bola Indonesia pada Masa Orde Lama

  • Bermain di Piala Dunia FIFA 1938 di Perancis
  • Berhasil lolos ke Olimpiade Melbourne 1956 dan melaju ke perempat final
  • Lolos hingga semifinal Asian Games 1954 di Manila, Filipina
  • Medali perunggu sepak bola di Asian Games 1958 di Tokyo, Jepang
  • Timnas Indonesia Junior, Piala Asia Junior 1961
  • Timnas Indonesia, Merdeka Games Cup 1961

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Pelatih sepak bola tim nasional Indonesia yang baru, Shin Tae Yong (kanan), menerima jersey timnas Indonesia dengan nama dirinya. Jersey itu diserahkan Ketua Umum PSSI Mocammad Iriawan (kiri) setelah penandatanganan kontrak dan menggelar konferensi pers di Stadion Pakansari, Cibinong, Bogor, Sabtu (28/12/2019). Mantan pelatih yang membawa tim nasional Korea Selatan ke Piala Dunia 2018 ini menggantikan pelatih tim nasional Indonesia Simon McMenemy. Shin menandatangani kontrak dengan Ketua Umum PSSI Mochammad Iriawan dengan masa kontrak 4 tahun. Selain melatih tim senior, Shin juga akan melatih tim nas U-22 dan U-19.

Masa Orde Baru

Pada masa Orde Baru, timnas sepak bola Indonesia masih disegani di ASEAN bahkan di Asia. Di tingkat Asia misalnya, prestasi timnas yakni lolos ke babak semifinal sepak bola Asian Games Tahun 1986. Di ajang itu timnas gagal meraih medali perunggu setelah kalah dari Kuwait 0–5 di Stadion Olimpiade, Seoul, Korea Selatan. Sebelumnya timnas Indonesia juga berlaga hingga babak perempat final di Asian Games 1966 dan Asian Games 1970.

Adapun di ajang SEA Games, timnas meraih medali emas sepak bola yakni di tahun 1987 di Jakarta dan tahun 1991 di Manila, Filipina. Adapun medali perak diraih pada SEA Games 1979 dan 1997. Di ajang Piala Dunia 1986 di Meksiko, timnas lolos ke putaran II Kualifikasi Piala Dunia Zona Asia. Prestasi timnas mencapai peringkat tinggi FIFA pada kurun waktu tersebut yakni di posisi ke-76 dari 208 anggota.

Pada masa Orde Baru tercatat 12 pelatih lokal yang membesut tim Garuda. Mulai dari Endang Witarsa (1966–1970) sampai Danurwindo (1995–1996). Sementara pelatih asing, tercatat  sembilan nama yang pernah menangani tim Garuda yang semuanya berasal dari Eropa.

Pada awal Orde Baru, satu nama pelatih lokal yang melegenda adalah Endang Witarsa (1966-1970). Bersama timnas Indonesia ia sudah melalui beberapa laga internasional. Pelatih yang akrab disapa Opa Endang itu sudah menggondol gelar Piala Raja (Bangkok/1968), Merdeka Games (Malaysia/1969), dan Aga Khan Cup (Banglades/1969). Selain itu, Endang Witarsa juga mendampingi timnas Garuda hingga babak perempat final di Asian Games 1966 dan 1970.

Pelatih lokal lainnya yang terbilang sukses menangani timnas Indonesia pada masa Orde Baru adalah Sinyo Aliandoe dan Bertje Matulapelwa. Sinyo merupakan mantan pemain timnas pada era 1960-an yang menangani timnas tahun 1982-1984, sementara Bertje Matulapelwa menangani timnas tahun 1985-1987.

Sinyo mendamping timnas berjuang lolos ke Piala Dunia 1986 Meksiko. Timnas Indonesia di tangan Sinyo melangkah ke babak kedua Zona B AFC Kualifikasi Piala Dunia 1986, setelah lolos dari penyisihan grup yang dihuni India, Thailand, dan Bangladesh. Namun, di putaran kedua zona Asia, timnas menuai kekalahan 0-2 dan 1-4 dari Korea Selatan sehingga mengubur mimpi Indonesia mewakili Asia lolos dalam putaran final di Meksiko.

Adapun Bertje, mampu mempersembahkan medali emas sepak bola di ajang SEA Games 1987 di Jakarta. Prestasi itu menempatkan Indonesia sebagai terbaik di Asia Tenggara di cabang sepak bola, setelah mengandaskan Malaysia di partai final dengan skor 1–0.  Prestasi itu merupakan emas pertama di cabang sepak bola pada ajang SEA Games. Pencapaian itu diulang timnas Indonesia di SEA Games 1991 di Filipina.

Bartje juga terbilang sukses membawa timnas sepak bola hingga semifinal di ajang Asian Games 1986 di Seoul, Korea Selatan. Di babak semi final yang digelar di Stadion Olimpiade Seoul, timnas dikalahkan tuan rumah Korsel dengan skor 0-4.

Tak hanya pelatih lokal yang sukses membesut timnas Garuda, setidaknya ada satu pelatih asing yang sukses mengantarkan timnas meraih prestasi yakni Anatoli Polosin yang membesut skud Garuda 1987-1991. Di bawah asuhannya, timnas Indonesia berhasil mempertahankan prestasinya meraih medali emas di ajang SEA Games 1991 di Filipina dan sebelumnya medali perunggu di SEA Games 1989 di Malaysia. Pencapaian emas itu menjadi puncak prestasi sepak bola Indonesia sampai sekarang karena sudah 30 tahun terakhir timnas senior puasa gelar, baik di SEA Games, maupun di Piala AFF.

Pelatih asing lainnya yang mampu berprestasi pada masa tersebut adalah Frans van Balkom (1978-1979) yang mempersembahkan medali Perak SEA Games 1979, Bernd Fischer (1980-1981) medali Perunggu SEA Games 1981, dan Henk Wullems (1996-1997) medali perak atau Runner-up SEA Games 1997.

Pada akhir Orde Baru, peringkat Indonesia di FIFA meningkat di posisi ke-76 dari total negara anggota FIFA. Selain faktor pelatih, faktor lainnya yang turut mempengaruhi peningkatan pada masa Orde Baru itu adalah kompetisi dan pembinaan usia muda, penyatuan kompetisi Perserikatan dan Galatama melahirkan Liga Indonesia, serta masuknya pemain-pemain asing di Liga Indonesia sehingga membuat pemain lokal lebih berkembang.

Prestasi Timnas Sepak Bola Indonesia pada Masa Orde baru

  • Penyisihan Asian Games 1962
  • Babak kedua Asian Games 1966
  • Babak ketiga Asian Games 1970
  • Semifinal SEA Games 1977
  • Medali Perak SEA Games 1981
  • Penyisihan SEA Games 1983
  • Putaran ke-2 Kualifikasi Piala Dunia 1986 Zona Asia
  • Medali Emas SEA Games 1987
  • Medali Perunggu SEA Games 1989
  • Medali Emas SEA Games 1991
  • Semifinal Asian Games 1986
  • Lolos Piala Asia 1996

KOMPAS/PRIYOMBODO

Sundulan pemain tim nasional sepak bola Indonesia Lerby Eliandry (merah) berhasil menjebol gawang pemain Timnas Kamboja pada laga uji coba di Stadion Patriot Candrabhaga, Bekasi (4/10/2017).

Awal Masa Reformasi

Tercatat tujuh nama pelatih lokal yang menangani timnas pada masa reformasi, yakni Rusdy Bahalwan, Nandar Iskandar, Benny Dollo, Aji Santoso, Nil Maizar, Rahmad Darmawan, dan Bima Sakti Tukiman. Dari tujuh nama itu, Benny Dollo tercatat tiga kali membesut timnas, yakni 2000-2001, 2008-2010, dan 2015. Adapun pelatih asing yang menangani timnas, tercatat sebanyak 11 nama, antara lain, Bernard Schumm, Peter With, dan Afred Riedl. Riedl tercatat tiga kali menukangi timnas, yakni tahun 2010-2011, 2013-2014, dan 2016.

Pada masa awal reformasi, ketika PSSI dipimpin Agum Gumelar (1999-2003), prestasi yang ditorehkan timnas meningkat di ajang Piala AFF. Dari sebelumnya meraih juara ketiga pada 1998, kemudian lolos ke babak final tahun 2000 dan 2002. Peringkat Indonesia di FIFA pun berfluktuasi, namun cenderung stagnan di peringkat 100 dari total anggota FIFA.

Salah satu pelatih lokal yang terbilang sukses menukangi timnas, yakni Nandar Iskandar. Bersama timnas Indonesia, Nandar Iskandar mengantarkan skuad Garuda lolos ke putaran final Piala Asia 2000 di Lebanon setelah tak terkalahkan di babak kualifikasi. Namun, di putaran final Piala Asia 2000, Indonesia gagal lolos dari fase grup karena kalah dari Cina dan Korea Selatan. Selain itu, Nandar juga mempersembahkan gelar Piala Kemerdekaan 2000 dan membawa timnas Indonesia lolos hingga babak final Piala Tiger 2000, meski Indonesia akhirnya kalah 1-4 dari Thailand.

Pelatih asing yang menangani timnas pada awal reformasi, yakni Bernard Schumm dari Jerman (1999) dan Ivan Venkov Kolev dari Bulgaria (2002-2004). Bernad Schumm mendampingi timnas di ajang SEA Games 1999 dan mempersembahkan medali perunggu.

Sementara, Ivan Kolev yang melatih selama dua tahun berhasil membawa timnas lolos ke babak final Piala AFF 2002 dan keluar sebagai runner up di kejuaraan tingkat ASEAN tersebut setelah di partai final kalah dari Thailand melalui adu pinalti.

Prestasi Timnas Sepak Bola Indonesia pada Masa Reformasi

  • Lolos Piala Asia 2000
  • Runners up Piala AFF/Tiger 2000 & 2002
  • Lolos Piala Asia 2004
  • Lolos Piala Asia 2007
  • Runners up Piala AFF 2010
  • Medali Perak SEA Games 2011
  • Medali Perak SEA Games 2013
  • Babak 16 Besar Asian Games 2014
  • Runners up Piala AFF 2016
  • Babak 16 Besar Asian Games 2018
  • Medali Perak SEA Games 2019

KOMPAS/PRIYOMBODO

Pelatih tim nasional sepak bola Indonesia, Alfred, berbicara di hadapan pemain pada sesi latihan sore di lapangan Sekolah Pelita Harapan, Lippo Village, Karawaci, Kabupaten Tangerang, Banten, Jumat (9/12/2016). Pada kesempatan tersebut, Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi hadir untuk menyaksikan Skuad Garuda latihan. Timnas Indonesia akan menghadapi Thailand di laga pertama final Piala AFF Suzuki 2016 di Stadion Pakansari, Cibinong.

Era Nurdin Halid

Pada era PSSI yang dipimpin Nurdin Halid (2003-2011), prestasi timnas terbilang meredup. Dua kali timnas lolos di Piala Asia 2004 dan 2007, namun selalu gagal di babak awal. Bahkan, tahun 2011, timnas gagal lolos di babak kualifikasi. Kondisi serupa terjadi di ajang Piala AFF, timnas Indonesia gagal menjadi terbaik di Asia Tenggara meski dua kali ke partai puncak, yakni pada tahun 2004 dan 2010.

Tak hanya itu, di level pesta olahraga bangsa-bangsa Asia Tenggara SEA Games pun, timnas tak berdaya. Tiga kali timnas gagal ke semifinal SEA Games, yaitu tahun 2003, 2007, dan 2009. Peringkat Indonesia pun terus menurun, berkutat di posisi 120–140 dari total anggota FIFA.

Pada era Nurdin Halid, timnas setidaknya ditangani tiga pelatih asing. Mereka adalah Peter Withe dari Inggris (2004-2007), Ivan Venkov Kolev (2007) yang kembali menangani timnas, dan Alfred Riedl dari Austria (2010-2011). Sementara, satu-satunya pelatih lokal yang menangani timnas pada era Nurdin Halid adalah Benny Dollo (2008-2010).

Peter Withe mendampingi timnas di ajang Piala Asia U-20 2004 dan hanya sampai di babak penyisihan grup. Pada Piala Tiger 2004 (kini Piala AFF), Withe mengantarkan timnas Indonesia ke partai puncak. Meski kalah melawan Singapura di partai final, Withe memberikan warna baru bagi timnas, sepak bola sederhana namun efektif dan efisien. Sementara Ivan Kolev yang memegang timnas selama setahun hanya mampu mengantarkan timnas Garuda ke babak penyisihan grup Piala Asia 2007.

Adapun Afred Riedl yang dikontrak selama dua tahun mampu membawa timnas hingga babak final Piala AFF 2010. Ia diberhentikan dari jabatannya pada Juli 2011 oleh kepengurusan baru PSSI yang dipimpin Djohar Arifin Husin.

Pelatih lokal yang menangani timnas era Nurdin Halid, Benny Dollo, mampu membawa skuad Garuda meraih Piala Kemerdekaan 2008. Di laga final yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno, timnas Indonesia yang kalah 0-1 di babak pertama, dinyatakan juara setelah tim Libya menolak melanjutkan pertandingan dengan alasan keamanan. Benny Dollo juga berhasil mengantarkan skuad Garuda lolos hingga semifinal Piala AFF 2008.

Masa kelam sepak bola nasional

Pada masa kepemimpinan Djohar Arifin Husin (2011-2015) dan La Nyalla Mataliti (2015-2016), sepak bola nasional mengalami masa-masa suram dan prestasi yang kembali terpuruk. Hal itu ditandai dengan kisruh sepak bola Indonesia yang tak kunjung padam karena adanya dualisme liga, yakni Liga Primer Indonesia (LPI) dan Indonesia Super League (ISL). Dualisme liga itu berdampak pada terbatasnya pilihan pemain timnas sehingga Indonesia tidak berhasil lolos ke babak grup Piala AFF 2012.

Puncak keterpurukan prestasi Timnas terjadi di kepengurusan PSSI di bawah La Nyalla (2015-2016). Melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga, Menpora Imam Nahrawi memperingatkan agar PSSI tidak mengikutsertakan klub sepak bola yang masih bermasalah. Namun, peringatan pemerintah itu tidak diindahkan PSSI. Akibatnya, Menpora membekukan PSSI dan seluruh kegiatannya.

Dampak dari pembekuan itu adalah sanksi FIFA yang melarang timnas sepak bola Indonesia berlaga di pertandingan internasional. Berdasarkan ranking yang disusun FIFA per September 2016, Indonesia hanya berada di posisi 181 dunia dari 211 negara anggota FIFA.

Pada masa suram persepakbolaan nasional itu, pelatih lokallah yang menangani timnas, Aji Santoso (2012), Nil Maizar (2012-2013), Rahmad Darmawan (2013), dan Benny Dollo (2015). Sementara, ada lima nama pelatih asing yang menangani timnas, yaitu Wim Rijsbergen dari Belanda (2011-2012), Luis Manuel Blanco dari Argentina (2013), Jacksen F. Tiago dari Brasil (2013), Peter Huesla (2015), dan Alfred Riedl (2013-2014, 2016).

Rahmad Darmawan yang menangani timnas U-23 di SEA Games 2013 di Myanmar mengantarkan Indonesia lolos hingga di babak final sepak bola SEA Games 2013. Di partai final melawan tim Thailand, Indonesia untuk kesekian kalinya harus kembali mengakui ketangguhan lawan dengan skor 0-1. Indonesia pun hanya berhak medali perak.  Adapun pelatih lokal lainnya Nil Maizar hanya mampu mendampingi timnas di babak grup Piala AFF 2012 dan gagal lolos ke semifinal.

Pada masa ini, Alfred Riedl menjadi pelatih asing yang paling populer dan mumpuni dibanding empat pelatih asing lainnya. Pada periode keduanya menangani timnas Indonesia, ia berhasil kembali membawa timnas ke partai puncak piala AFF tahun 2016.

Meski demikian, ia kembali gagal mempersembahkan piala setelah di final yang berlangsung dua kali melawan Thailand dengan kalah selisih gol. Partai pertama di Indonesia, timnas unggul 2-1, sementara di pertandingan kedua yang digelar di Thailand, timnas kalah 0-2.

Empat pelatih asing lainnya, tak satu pun yang menorehkan prestasi yang bisa dibanggakan. Bahkan, Pieter Huistra tak sempat menjalankan tugas karena jatuhnya sanksi FIFA imbas perseruan antara PSSI dengan Kemenpora.

Masa kelam itu juga ditandai dengan minimnya prestasi timnas di ajang Piala AFF dan Piala AFC. Di ajang Piala AFF, timnas Indonesia hanya mampu berlaga di babak grup pada AFF 2012 dan AFF 2014, sementara di ajang Piala AFC, timnas bahkan tidak lolos kualifikasi 2011 dan 2015.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Pelatih Shin Tae Yong saat memimpin para pemain timnas sepakbola Indonesia berlatih di Stadion Madya Gelora Bung Karno, Jakarta, Jumat (14/2/2020). Latihan ini menjadi latihan pertama skuad “Garuda” dalam menjalani pemusatan latihan dengan asuhan pelatih asal Korea Shin Tae Yong. Pemusatan latihan ini untuk menyiapkan skuad timnas untuk Kualifikasi Piala Dunia 2022.

Era baru PSSI

Di bawah Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi yang terpilih pada November 2016, sepak bola nasional menunjukkan tanda-tanda perubahan. PSSI yang dikomandani Eddy memperbanyak kompetisi di usia dini dan mengadakan kursus kepelatihan dari lisensi D hingga Pro AFC.

PSSI juga mengontrak pelatih asing untuk menukangi timnas Indonesia. Luis Milla dikontrak pada Januari 2017 menggantikan Alfred Riedl di pucuk pimpinan timnas Indonesia selama dua tahun. Kemudian PSSI mengontrak pelatih lokal, Bima Sakti. Bima Sakti mengantikan Luis Milla pada Oktober 2018 dan menukangi timnas di ajang piala AFF 2018. Kemudian pada Desember 2018, PSSI menunjuk mantan Pelatih Bhayangkara, FC Simon McMenemy, dari Skotlandia mengantikan Bima Sakti.

Selama menukangi timnas senior dan U-23, Luis Milla sudah mendampingi sebanyak 29 pertandingan. Rincinya, Indonesia meraih 13 kemenangan, tujuh hasil imbang, dan sembilan kali tumbang. Selama hampir dua tahun menukangi timnas, ia berhasil membawa timnas sepak bola U-23 Indonesia hingga babak 16 besar Asian Games 2018 dan menyiapkan timnas senior berlaga dalam Piala AFF 2018.

Adapun Bima Sakti yang menukangi timnas hanya sekitar dua bulan, memdamping timnas berlaga di AFF 2018. Indonesia yang bergabung di Grup B bersama Thailand, Filipina, Singapura dan Timor Leste hanya mampu meraih satu kemenangan dan satu kali seri. Alhasil, timnas Indonesia gagal maju ke babak semifinal.

Sementara McMenemy yang mendampingi timnas di Kualifikasi Piala Dunia 2022 Zona Asia tak sekalipun mempersembahkan kemenangan. Dalam lima kali pertandingan di Grup G Zona Asia, timnas Indonesia selalu kalah dan menempati dasar klasemen. Kepengurusan PSSI baru yang dikomandani Mochamad Iriawan memecatnya pada November 2019.

Sebulan kemudian, PSSI menunjuk Shin Tae-yong asal Korea Selatan mengantikan posisi McMenemy. Jika pelatih-pelatih asing sebelumnya dikontrak selama satu atau dua tahun, kali ini PSSI mengontrak pelatih yang membawa timnas Korsel di putaran final Piala Dunia di Rusia 2018 itu selama empat tahun.

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia memaksa FIFA menghentikan semua pertandingan Kualifikasi Piala Dunia 2022 sepanjang tahun 2020 lalu. Akibatnya, Shin pun tak bisa menangani langsung pasukan Garuda selama 17 bulan sejak ia resmi ditunjuk sebagai pelatih timnas Indonesia.

Shin Tae-yong resmi menangani timnas sejak Mei 2021 lalu. Lima pertandingan resmi, dua di antaranya pertandingan uji coba tak satupun menghasilkan kemenangan bagi tim Garuda. Pencapaian Indonesia di bawah nahkoda Shin Tae-Yong itu memang belum memuaskan. Apalagi, jika melihat pengalamanan Shin dalam menangani timnas Korsel.

Selama karier kepelatihannya, Shin Tae-yong berhasil menorehkan prestasi yang luar biasa baik di klub maupun timnas Korea Selatan. Ketika melatih timnas Korea Selatan U-23, ia berhasil meloloskan korsel hingga babak perempat final Olimpiade 2016 di Brasil. Ia juga berhasil meloloskan Korea Selatan ke Piala Dunia 2018 di Rusia.

Timnas Garuda bakal ditangani Shin hingga dua tahun mendatang. Dengan susunan materi pemain muda, Pasukan Garuda masih bisa berkembang di tangan Shin Tae-yong. SEA Games 2021 di Vietnam yang rencanaya digelar bulan November 2021 bakal menjadi ujian bagi skuad Garuda. Akankah prestasinya bakal terbang tinggi di angkasa atau justru makin terpuruk di jajaran negara-negara Asia Tenggara? Inilah tantangan pelatih dan pemain timnas saat ini. (LITBANG KOMPAS)

Baca juga: Merunut Prestasi Timnas Sepak Bola Besutan Pelatih Asing

Infografik Pelatih Timnas Sepak Bola dan Prestasi Timnas Sepak Bola

Ketua Umum PSSI

Sejak 1930, tercatat 19 orang menjadi Ketua Umum PSSI. Latar belakang Ketua Umum PSSI yang menjabat beragam pada setiap era pemerintahan di negeri ini.

Ketua Umum PSSI dari Masa ke Masa

Daftar Ketua PSSI

  • Soeratin Sosrosoegondo 1930 – 1940
  • Artono Martosoewignyo 1941 – 1949
  • Maladi 1950 – 1959
  • Abdul Wahab Djojohadikoesoemo 1960 – 1964
  • Maulwi Saelan 1964 – 1967
  • Kosasih Poerwanegara 1967 – 1974
  • Bardosono 1975 – 1977
  • Ali Sadikin 1977 – 1981
  • Sjarnoebi Said 1982 – 1983
  • Kardono 1983 – 1991
  • Azwar Anas 1991 – 1999
  • Agum Gumelar 1999 – 2003
  • Nurdin Halid 2003 – 2011
  • Djohar Arifin Husin 2011 – 2015
  • La Nyalla Mattalitti 2015 – 2016
  • Edy Rahmayadi 2016 – Januari 2019
  • Joko Driyono Januari – Maret 2019
  • Iwan Budianto Maret – November 2019
  • Mochamad Iriawan November 2019 – Sekarang

Sumber: PSSI

Referensi

Buku

Saputra, Asep. 2010. Sepak Bola Indonesia: Alat Perjuangan Bangsa, dari Soeratin hingga Nurdin Halid (1930-2010).  Jakarta: Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia

PSSI & YAPSATU. 1990. Enam Puluh Tahun PSSI. Jakarta: PSSI & YAPSATU

Arsip Kompas

Kembalinya Toni Pogaknik sebagai pelatih PSSI, KOMPAS, 18 Oktober 1973,  Halaman: 10

Catatan Dari Kejurnas Utama PSSI: Sepakbola Indonesia Dari Masa Ke Masa, KOMPAS, 26 November 1978, Halaman: 12

Kemerosotan Kinerja Timnas Sudah Mencapai Titik Nadir, KOMPAS, 28 April 1997, Halaman: 16

PSSI Butuh Pembenahan Total, KOMPAS, 27 November 1997, Halaman: 16

Krisis Sepak Bola Indonesia, KOMPAS, 10 Maret 1998, Halaman: 8

Pelatih, Arsitek di “Kursi Panas”, KOMPAS, 1 Apr 1999, Halaman: 14

Timnas Diminta Kembalikan Kehormatan Bangsa, KOMPAS, 22 Mei 1999, Halaman: 9

Nandar agar Diberi Kepercayaan, KOMPAS, 28 Desember 1999, Halaman: 13

Titik Nadir Sepak Bola Nasional, KOMPAS, 23 September 2001, Halaman: 27

Nilai Merah untuk Sepak Bola Nasional, KOMPAS, 10 Desember 2001, Halaman: 46

Miskinnya Prestasi Tim Nasional Indonesia Sepanjang Tahun 2002, KOMPAS, 26 Desember 2002, Halaman: 4

Menunggu Prestasi Timnas “Feeling”, KOMPAS, 11 Februari 2004, Halaman: 35

Sepak Bola: Anomali Timnas dan Proyek Mercusuar, KOMPAS, 02 Juni 2006   Halaman: 37

Timnas Sepak Bola: Withe Hanya Sekadar Kambing Hitam, KOMPAS, 23 Januari 2007, Halaman: 30

Sepak Bola: Ivan Kolev Ditunjuk Gantikan Peter Withe, KOMPAS, 23 Januari 2007, Halaman: 30

Timnas Sepak Bola: Kolev Targetkan Delapan Besar Asia, KOMPAS, 24 Januari 2007, Halaman: 30

Sportivitas: Kalau Gagal, Mundur Saja, KOMPAS, 11 Maret 2011, Halaman: 46

Napas Pendek Tim ”Garuda”, KOMPAS, 07 Seprember 2019, Halaman: 19

Tantangan Besar Shin, KOMPAS, 20 November 2019   Halaman: 19