KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Kampanye kesadaran terhadap penanganan anak balita yang mengalami tubuh pendek (stunting) terlihat di kawasan Pondok Pinang, Jakarta, Rabu (17/4/2019). Secara nasional, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), ada 30,8 persen anak usia di bawah lima tahun (balita) mengalami tubuh pendek pada tahun 2018. Meskipun angka tersebut termasuk tinggi, jumlah kejadian anak balita bertubuh pendek sudah menurun dibandingkan dengan jumlah kejadian tahun 2007 hingga 2013 yang relatif stagnan, yaitu antara 36,8 persen dan 37,2 persen.
Fakta Singkat
- Oleh UNICEF, stunting didefinisikan sebagai persentase anak-anak usia 0 sampai 59 bulan, dengan tinggi badan di bawah minus (stunting sedang dan berat) dan minus tiga (stunting kronis).
- Stunting memiliki sejarah yang panjang dan dimulai sejak penjajahan Belanda pada awal abad ke-18
- Indonesia menargetkan angka stunting turun hingga 14 persen pada tahun 2024.
- Menurut Studi Status Gizi Indonesia 2021 oleh Kementrian Kesehatan, setidaknya satu dari empat anak Indonesia mengalami stunting.
Stunting atau pendek merupakan suatu kondisi di mana anak mengalami kegagalan tumbuh kembang sehingga anak memiliki tinggi badan lebih pendek dari standar usianya. Kondisi ini disebabkan oleh malnutrisi atau kekurangan gizi kronis yang telah terjadi dalam waktu lama.
Stunting merupakan fenomena dan kondisi memprihatinkan yang menghantui Indonesia. UNICEF memberi definisi stunting sebagai persentase anak-anak usia 0 sampai 59 bulan, dengan tinggi badan di bawah minus (stunting sedang dan berat) dan minus tiga (stunting kronis). Ukuran ini menggunakan standar pertumbuhan anak yang dikeluarkan oleh WHO.
Selain mengalami pertumbuhan terhambat, stunting juga kerap kali dikaitkan dengan penyebab perkembangan otak yang tidak maksimal. Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan mental dan belajar tidak maksimal, serta prestasi belajar yang buruk.
Selain itu, efek jangka panjang yang disebabkan oleh stunting dan kondisi lain terkait kurang gizi, acap kali dianggap sebagai salah satu faktor risiko diabetes, hipertensi, obesitas, dan kematian akibat infeksi.
Stunting memiliki sejarah yang panjang dan dimulai sejak penjajahan Belanda pada awal abad ke-18. Pada saat itu, terdapat kebijakan tanam paksa yang berakibat kelaparan besar-besaran di berbagai daerah di Indonesia.
Kaum pribumi kala itu tidak dapat memikirkan mengenai gizi karena untuk pangan saja tidak mampu untuk mencukupi. Lebih lanjut, perburukan gizi terus menerus terjadi dari generasi ke generasi terlebih disaat pendudukan Jepang. Saat itu, segala akses makanan terbatas, dan hasil tanam harus disetor sehingga rakyat hanya makan seadanya.
Pada tahun 1999, pemerintah memberikan kewenangan kepada daerah untuk dapat mengentaskan kasus kesehatan yang berada di wilayahnya, termasuk kejadian gizi buruk dan juga stunting.
Baca juga: Stunting di Indonesia: Data, Penyebab, dan Langkah Intervensinya
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Anggota Ikatan Istri Dokter Indonesia memperagakan cara memasak dengan bahan baku telur di posyandu Kampung Cinderejo Lor, Kelurahan Gilingan, Banjarsari, Solo, Jawa Tengah, Rabu (5/8/2020). Kegiatan pembagian telur untuk ibu rumah tangga itu digelar oleh Ikatan Istri Dokter Indonesia cabang Solo untuk mengurangi risiko pertumbuhan anak stunting dan mengalami gizi buruk akibat perekonomian keluarga mereka terdampak pandemi. Para ibu rumah tangga juga mendapat penyuluhan tentang pengurangan risiko penularan virus korona jenis baru.
Stunting di Indonesia
Stunting atau pendek merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi dalam jangka waktu yang lama. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Standar Antropometri Anak, pengertian pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada Indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek).
Balita pendek adalah balita dengan status gizi berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umur bila dibandingkan dengan standar baku WHO, nilai Z-scorenya kurang dari -2SD dan dikategorikan sangat pendek jika nilai Z-scorenya kurang dari -3SD (Kemenkes,RI 2016). Stunting pada anak merupakan indikator utama dalam menilai kualitas modal sumber daya manusia pada masa mendatang. Gangguan pertumbuhan yang diderita anak pada awal kehidupan, dapat menyebabkan kerusakan yang permanen
Meskipun pemerintah telah memberikan kewenangan kepada daerah mengentaskan kasus kesehatan, kejadian stunting tidak lantas menghilang. Prevalensi stunting di Indonesia sendiri cukup tinggi, menempati nomor 2 di Asia Tenggara.
Tahun 2013, angka stunting mencapai 37,2 persen. Tahun 2018 turun menjadi 30,8 persen dengan 19,3 persen balita pendek dan 11,5 persen balita sangat pendek. Namun, penurunan tersebut dinilai masih belum cukup signifikan karena angka masih berada di bawah yang ditetapkan WHO.
Berdasarkan data hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2019 menunjukkan penurunan stunting jika dibandingkan dengan Riskesdas 2018, yaitu 27,67 persen. Sedangkan, Profil Kesehatan Indonesia menyatakan tren persentase pada balita usia 0–59 bulan sangat pendek dan pendek di Indonesia sejak tahun 2014 sampai tahun 2018 cenderung tidak mengalami perubahan yang berarti. Bahkan, menurut Studi Status Gizi Indonesia 2021 oleh Kementrian Kesehatan, setidaknya satu dari empat anak Indonesia mengalami stunting, kurang lebih ada 5 juta anak Indonesia mengalami stunting.
Padahal, Indonesia menargetkan angka stunting turun hingga 14 persen pada tahun 2024, sementara angka stunting pada tahun 2021 mencapai 24 persen. Hal ini tentu tidak sesuai dengan target RPJMN 2019 di mana prevalensinya 28 persen.
Baca juga: Keajaiban Air Susu Ibu
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Ratusan peserta mengikuti gerak jalan massal dalam rangka Pekan ASI (Air Susu Ibu) se-Dunia 2005 di Lapangan Monas Jakarta Pusat, Sabtu (6/8/2005).
Penyebab Stunting
Secara spesifik, stunting dapat disebabkan faktor internal maupun eksternal. WHO (2013) membagi penyebab terjadinya stunting pada anak menjadi 4 kategori besar, yaitu faktor keluarga dan rumah tangga, makanan tambahan dan komplementer yang tidak memenuhi syarat, menyusui, dan infeksi.
Masalah balita pendek menggambarkan masalah gizi kronis, dipengaruhi dari kondisi ibu atau calon ibu, masa janin dan masa bayi atau balita, termasuk penyakit yang diderita selama masa balita. Dalam kandungan, janin akan tumbuh dan berkembang melalui pertambahan berat dan panjang badan, perkembangan otak serta organ-organ lainnya. Kekurangan gizi yang terjadi dalam kandungan dan awal kehidupan menyebabkan janin melakukan reaksi penyesuaian. Secara paralel penyesuaian tersebut meliputi perlambatan pertumbuhan dengan pengurangan jumlah dan pengembangan sel-sel tubuh termasuk sel otak dan organ tubuh lainnya. Hasil reaksi penyesuaian akibat kekurangan gizi di ekspresikan pada usia dewasa dalam bentuk tubuh yang pendek (Menko Kesra, 2013).
Pada masa lanjutan pasca-kelahiran, kurangnya pemberian Air Susu Ibu (ASI) sampai bayi berusia 6 bulan, pengenalan makanan pendamping ASI yang terlambat, makanan pendamping ASI yang tidak memadai baik dari segi kuantitas dan kualitas, gangguan penyerapan nutrisi karena penyakit infeksi, dan kurangnya pemahaman dalam penerapan pola asuh menjadi beberapa penyebab dari sisi internal terjadinya stunting.
Sedangkan, penyebab eksternal dapat berupa masalah ekonomi, kebersihan dan lingkungan, keamanan suatu negara, serta kebijakan dari pemerintah terkait komitmen penanggulangan stunting. Berbagai penyebab ini kemungkinan dapat berkaitan antara satu dengan lainnya.
- Faktor keluarga dan rumah tangga
Faktor keluarga dan rumah tangga dibagi lagi menjadi faktor maternal dan faktor lingkungan rumah.
Faktor maternal berupa nutrisi yang kurang pada saat prekonsepsi, kehamilan dan laktasi, tinggi badan ibu yang rendah, infeksi, kehamilan pada usia remaja, kesehatan mental, Intrauterine Growth Retardation (IUGR) dan kelahiran preterm, jarak kelahiran yang pendek dan hipertensi.
Faktor lingkungan rumah berupa stimulasi dan aktivitas anak yang tidak memenuhi syarat, perawatan yang kurang, sanitasi dan pasokan air yang tidak adekuat, akses dan ketersediaan pangan yang kurang, alokasi dalam rumah tangga yang tidak sesuai dan edukasi pengasuh yang rendah. Faktor-faktor tersebut, antara lain:
- Wanita Usia Subur dengan LILA < 23,5 cm
Asupan energi dan protein yang tidak mencukupi pada ibu hamil dapat menyebabkan Kurang Energi Kronis (KEK). Wanita hamil berisiko mengalami KEK jika memiliki Lingkar Lengan Atas (LILA) < 23,5cm. Ibu hamil KEK berisiko melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR) yang jika tidak tertangani dengan baik akan berisiko mengalami stunting.
2. Kecukupan Energi Ibu Hamil
Kecukupan energi ibu hamil di Indonesia berdasarkan Angka Kecukupan Energi (AKE) hasil Studi Diet Total (SDT) tahun 2014 adalah lebih dari 50 persen ibu hamil, baik di perkotaan maupun di pedesaan, asupan energinya ≤ 70 persen AKE (sangat kurang).
3. Anemia pada Ibu Hamil
Kondisi yang banyak terjadi pada ibu hamil adalah anemia, terutama anemia defisiensi besi. Hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin/bayi saat kehamilan maupun setelah dilahirkan.
4. Tinggi Badan Ibu
Status gizi orang tua, khususnya status gizi ibu sangat berkaitan dengan kejadian stunting pada balita. Terlihat dari ibu yang pendek sekalipun ayah normal, prevalensi balita stunting pasti tinggi, tetapi sekalipun ayah pendek ibu normal, prevalensi balita stunting masih lebih rendah dibanding ibunya yang pendek. Sehingga, status gizi ibu hamil menentukan status gizi bayi yang akan lahir.
Tinggi badan ibu merupakan indikator yang berfungsi untuk memprediksi anak terkena gizi buruk. Postur tubuh ibu juga mencerminkan tinggi badan ibu dan lingkungan awal yang akan memberikan kontribusi terhadap tinggi badan anaknya. Namun demikian, masih banyak faktor lingkungan yang mempengaruhi tinggi badan anak. Hasil penelitian menunjukkan ibu yang memiliki postur tubuh pendek memiliki hubungan terhadap kejadian stunting pada anaknya. Inilah yang disebut siklus gagal tumbuh antargenerasi, di mana IUGR, BBLR dan stunting terjadi turun temurun dari generasi satu ke generasi selanjutnya yang dikenal sebagai Siklus Gagal Tumbuh Antargenerasi.
5. Berat Badan Lahir
Berat badan lahir rendah (BBLR), yaitu berat badan bayi lahir kurang dari 2500 gram. Selama masa kehamilan, pertumbuhan embrio dan janin berlangsung sangat cepat, mulai kurang dari satu miligram menjadi sekitar 3000 gram. Pertumbuhan yang cepat ini sangat penting untuk janin agar dapat bertahan hidup ketika berada di luar rahim. Jadi, kecacatan atau kekurangan yang terjadi pada masa janin merupakan penyebab utama rendahnya kesehatan dan kematian pada bayi.
Berat lahir merupakan prediktor yang kuat terhadap ukuran tubuh manusia pada masa yang akan datang. Hal ini disebabkan sebagian besar bayi IUGR tidak dapat mengejar masa pertumbuhannya untuk tumbuh secara normal, seperti anak-anak normal lainnya.
Menurut WHO, faktor etiologi yang berkontribusi menyebabkan kejadian berat badan lahir rendah, terutama di negara- negara berkembang, meliputi penggunaan tembakau (merokok, konsumsi tembakau kunyah dan tembakau untuk kegunaan terapi), kurang intake kalori, berat badan rendah sebelum masa kehamilan, primipara, jenis kelamin janin, tubuh pendek, ras, riwayat BBLR sebelumnya, angka mordibitas umum, dan faktor risiko lingkungan seperti paparan Timbal.
- Faktor makanan komplementer yang tidak memenuhi syarat
Risiko kejadian stunting pada anak usia 6–24 bulan akan meningkat sebesar 74 persen pada anak yang tidak mendapat ASI eksklusif, risiko ini menjadi tidak bermakna setelah dilakukan kontrol terhadap variabel usia anak, berat bayi lahir dan tinggi badan ibu.
Tahapan selanjutanya, faktor penyebab stunting adalah makanan komplementer yang tidak memenuhi syarat. Faktor yang terkait makanan komplementer tersebut terkait kualitas makanan yang rendah, cara pemberian yang tidak memenuhi syarat dan keamanan makanan dan minuman.
Kualitas makanan yang rendah dapat berupa kualitas mikronutrien yang rendah, keragaman jenis makanan yang dikonsumsi dan sumber makanan hewani yang rendah, makanan yang tidak mengandung nutrisi dan makanan komplementer yang mengandung energi rendah. Cara pemberian yang tidak adekuat berupa frekuensi pemberian makanan yang rendah, pemberian makanan yang tidak adekuat ketika sakit dan setelah sakit, konsistensi makanan yang terlalu halus dan pemberian makanan yang rendah dalam kuantitas.
Pada tahap selanjutanya, keamanan makanan dan minuman dapat berupa makanan dan minuman yang terkontaminasi, kebersihan yang rendah, penyimpanan dan persiapan makanan yang tidak aman. Pemberian MP-ASI terlalu dini meningkatkan resiko penyakit infeksi seperti diare, karena MP-ASI yang diberikan tidak sebersih dan mudah dicerna seperti ASI. Pemberian MP-ASI yang terlalu dini, maupun terlambatnya memberikan MP-ASI juga bisa menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan balita menjadi terhambat karena kebutuhan gizi balita tidak tercukupi. Sehingga, praktek pemberian MP-ASI pada anak balita merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting.
- Faktor Infeksi
Faktor keempat adalah infeksi klinis dan sub-klinis, seperti infeksi pada usus, antara lain, diare, enviromental enteropathy, infeksi cacing, infeksi pernafasan (ISPA), dan malaria menjadikan nafsu makan yang kurang akibat infeksi dan inflamasi. Infeksi bisa berhubungan dengan gangguan gizi melalui beberapa cara, yaitu mempengaruhi nafsu makan, menyebabkan kehilangan bahan makanan akibat diare, dan memengaruhi metabolisme makanan. Gizi buruk atau infeksi menghambat reaksi imunologis yang normal dengan menghabiskan sumber energi di tubuh. Adapun penyebab utama gizi buruk, yakni penyakit infeksi pada anak seperti ISPA, diare, campak, dan rendahnya asupan gizi akibat kurangnya ketersedian pangan di tingkat rumah tangga atau karena pola asuh yang salah.
Baca juga: Pedas Lada Dalam Air Susu Ibu
KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN (ADH)
Kepala Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Universitas Indonesia Ahmad Syafiq (kanan) menyampaikan pentingnya negara melibatkan semua sektor dalam mengatasi stunting pada diskusi di The Habibie Center, Jakarta, Kamis (2/5/2019).
Dampak Stunting
Stunting berdampak besar terhadap kehidupan anak sejak masih dalam kandungan, maupun setelah dilahirkan.
- Pertumbuhan tinggi dan berat anak terganggu.
Stunting adalah salah satu dari berbagai penyebab anak lebih pendek dibandingkan dengan rata-rata anak seusianya. Berat badannya pun cenderung jauh di bawah rata-rata anak sebayanya.
- Tumbuh kembang anak tidak optimal.
Stunting pada masa tumbuh kembang menyebabkan anak terlambat jalan atau kemampuan motoriknya kurang optimal.
- Memengaruhi kecerdasan dan kemampuan anak ketika menangkap pelajaran.
Stunting telah menjadi salah satu faktor yang ikut berpengaruh terhadap pekembangan kecerdasan kognitif anak lebih rendah dibanding anak seusianya. Anak akan sulit belajar dan berkonsentrasi akibat kekurangan gizi.
- Mudah terserang penyakit.
Anak dengan gejala stunting akan mudah terserang penyakit. Bahkan, anak tersebut ketika dewasa juga berisiko terkena berbagai penyakit seperti diabetes, jantung, kanker, dan stroke. Bahkan stunting pada anak juga bisa berujung pada kematian usia dini.
5. Stunting juga bisa meningkatkan risiko kematian janin saat dilahirkan.
Kondisi ini bisa terjadi jika ibu hamil ternyata mempunyai riwayat stunting. Ibu yang memiliki riwayat stunting umumnya berciri tinggi badan di bawah normal. Sehingga cenderung memiliki ukuran panggul yang kecil, dan akhirnya kondisi ini mempersempit jalan lahir bagi si bayi.
Proporsi ukuran yang tidak sesuai ini mengakibatkan ibu dengan postur tubuh yang pendek sulit untuk melakukan persalinan normal. Jika pun dipaksakan, kondisi ini bisa meningkatkan risiko kematian dan gangguan kesehatan pada bayi dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Baca juga: Susu Formula Diberi Tanpa Indikasi Medis
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Ibu rumah tangga mengajak anak balita mereka mengikuti kegiatan pembagian telur di posyandu Kampung Cinderejo Lor, Kelurahan Gilingan, Banjarsari, Solo, Jawa Tengah, Rabu (5/8/2020). Kegiatan pembagian telur untuk ibu rumah tangga itu digelar oleh Ikatan Istri Dokter Indonesia cabang Solo untuk mengurangi risiko pertumbuhan anak stunting dan mengalami gizi buruk akibat perekonomian keluarga mereka terdampak pandemi.
Stunting Menjadi Siklus
Stunting dimulai sejak berada di dalam kandungan sampai dengan dua tahun pasca kelahiran. Masa-masa ini disebut masa periode kritis karena segala hal yang terjadi akan menentukan fase-fase kehidupan setelahnya.
Dalam jangka pendek stunting dapat mengakibatkan seorang anak mengalami perkembangan dan kemampuan belajar (kognitif) yang buruk, peningkatan risiko infeksi yang berulang, dan potensi penyakit tidak menular.
Sedangkan dalam jangka panjang, stunting dapat menyebabkan peningkatan kerentanan gangguan metabolisme tubuh, resistensi insulin dan risiko yang lebih tinggi untuk berkembang menjadi diabetes, hipertensi, dislipidemia, serta penurunan kapasitas kerja dan reproduksi yang kurang baik pada masa dewasa. Bahkan, anak stunting yang mengalami kenaikan berat badan yang cepat setelah berusia 2 tahun memiliki peningkatan risiko menjadi kelebihan berat badan atau obesitas di kemudian hari.
Akibatnya, stunting menjadi sebuah siklus. Setidaknya terdapat 4 fase kehidupan yang dapat menjadi “window of opportunity” dalam kejadian stunting. Fase-fase tersebut, antara lain, fase kehamilan (janin), fase bayi sampai berusia usia 2 tahun, fase kanak-kanak, dan fase pubertas (remaja).
KOMPAS/MAWAR KUSUMA WULAN
Pemberian piagam apresiasi dari BKKBN atas dukungan dan partisipasi layanan Gizi Spesifik dan Sensitif sebagai upaya percepatan penurunan stunting di Forum Nasional Stunting Tahun 2022 yang dihadiri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, di Hotel Shangri-La, Jakarta, pada Selasa (06/12/2022).
Jika melihat fase dari siklus kehidupan, maka risiko yang paling berpotensi meneruskan “tradisi” stunting adalah para perempuan yang kelak menjadi ibu. Hal ini dikarenakan perempuan yang pada masa kanak-kanaknya juga mengalami stunting akan cenderung memiliki keturunan yang stunting, menciptakan siklus kemiskinan antargenerasi dan berkurangnya sumber daya manusia yang sulit diputus, meskipun jendela peluang potensial telah diidentifikasi. Inilah yang kelak disebut sindrom stunting (stunting syndrome).
Prioritas pencegahan dimulai saat ibu hamil, dengan menjaga kecukupan gizi pada asupan. Selanjutnya, stunting (kekerdilan) pada anak dapat dicegah jika orang tua mengambil langkah-langkah penting dalam dua tahun pertama kehidupan seorang anak. Jika anak tidak mendapatkan makanan dan perawatan yang tepat selama waktu khusus tersebut, hal tersebut akan memberikan efek berbahaya kepada anak.
Artikel terkait
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Presiden Joko Widodo dan Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim (kedua kanan) saat meninjau Posyandu Kenanga 2 yang dilaksanakan di Halaman SDN Tangkil 1, desa Tangkil, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Rabu (4/7/2018). dalam kesempatan itu, Presiden Joko Widodo memperlihatkan berbagai cara yang ditempuh pemerintah untuk mengatasi stunting di seluruh Indonesia.
(LITBANG KOMPAS)
Referensi
- “100 Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting)”, ringkasan, Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia, 2017.
- Determinants of Stunted Children in Indonesia: A Multilevel Analysis at the Individual, Household, and Community Levels
- Profil Kesehatan Ibu dan Anak 2022, BPS.
Penulis:
Susanti Agustina Simanjuntak
Editor:
Topan Yuniarto