Paparan Topik

Sejarah Perkeretaapian Indonesia: Melesat di Zaman Hindia Belanda

Kereta api sebagai moda transportasi orang dan barang, pertama kali dirintis pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Sulitnya sarana angkut hasil komoditas pada Sistem Tanam Paksa mendorong pemerintahan kolonial Belanda melakukan perluasan jalur rel kereta api, baik di Pulau Jawa maupun di luar Jawa.

Foto arsip tertanggal 6 Juni 1982 ini memperlihatkan penumpang yang memenuhi lokomotif dan atap kereta api rute Jakarta-Rangkasbitung-Merak.

Foto: Kompas/Rudy Badil.

Fakta Singkat

  • Kebutuhan akan kereta api muncul karena adanya Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) yang dilakukan kolonial Belanda kepada masyarakat pribumi. Produksi komoditas tanaman ekspor yang tinggi membutuhkan angkutan yang efektif.

  • Jalur kereta api pertama kali dibangun melintas dari Desa Kemijen (Semarang) ke Tanggung dengan panjang lintasan 25 km dan secara resmi beroperasi pada tanggal 10 Agustus 1867.
  • Nederlanssch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) menjadi perusahaan swasta pertama yang mendapatkan konsesi (izin) dari pemerintah Hindia Belanda untuk membangun serta mengelola jalan rel kereta api di Pulau Jawa.

Artikel terkait

Perkembangan transportasi di Indonesia tak dapat dilepaskan dari kuasa kolonial Belanda. Ketika mempertahankan tanah jajahannya di Asia Tenggara dari ancaman Inggris, kerajaan Belanda yang kala itu ditaklukan oleh imperium Perancis, mau tak mau harus memperkuat pertahanannya, termasuk di Indonesia.

Pimpinan tertinggi kerajaan Belanda, Louis Bonaparte, kala itu menunjuk Daendels untuk menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Daendels menjejakkan kaki pertama kali di Indonesia pada tahun 1808 dan melihat bahwa Indonesia, khususnya Pulau Jawa, merupakan sasaran yang sangat menggoda bagi Inggris.

Guna mempertahankan Pulau Jawa dari serbuan Inggris, Daendels membangun jaringan jalan raya atau jalan pos serta pelabuhan-pelabuhan untuk pangkalan angkatan laut. Karya Daendels yang sangat terkenal adalah jalan raya pos dari Anyer ke Panarukan.

Pembangunan jalan raya ini memicu kerja paksa secara besar-besaran penduduk pribumi. Namun di sisi lain, jalan raya pos itu memainkan peranan penting dalam memperlancar gerakan militer. Yang tak kalah penting lagi, jalan raya pos ini menjadi sarana transportasi penting untuk pengangkutan barang dari daerah pedalaman ke kota-kota pelabuhan terdekat maupun sebaliknya.

Hingga pada tahun 1830, Hindia Belanda dilanda krisis keuangan akibat perlawanan penduduk pribumi di mana-mana. Untuk mengatasi kesulitan keuangan ini, Raja Wilhelm I mengangkat J.C. van den Bosch sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pengangkatan ini berkaitan dengan rancangan usulan yang diajukan J.C. van den Bosch, yakni Cultuur Stelsel atau Sistem Tanam Paksa yang akan dijalankan di Indonesia.

Sesampainya J.C. van den Bosch di Indonesia pada tahun 1830, Cultuur Stelsel langsung dilaksanakan. Ia memusatkan perhatian kepada masalah peningkatan produksi tanaman ekspor yang laku di pasaran dunia. Hal itu dicapai dengan mengerahkan tenaga rakyat jajahan secara wajib (paksa). Itulah sebabnya sistem ini terkenal dengan sebutan Sistem Tanam Paksa.

Menurut sistem ini, setiap pemilik tanah diharuskan menanami 1/5 tanahnya dengan tanaman wajib yang laku di pasaran dunia. Di samping itu, rakyat dikenai pula keharusan membayar pajak tanah dalam bentuk barang (in natura) berupa hasil pertanian. Jika kewajiban membayar pajak tanah tidak dapat terpenuhi, diganti dengan bekerja selama 66 hari dalam satu tahun.

Sistem Tanam Paksa ini sangat memberatkan rakyat, karena dalam pelaksanaannya terdapat banyak penyimpangan-penyimpangan. Namun, melalui sistem ini, Belanda untung besar. Produksi tanaman ekspor meningkat tajam. Tercatat produksi kopi pada tahun 1830 hanya sebanyak 288.000 pikul (1 pikul=62,5kg). Sedangkan pada tahun 1840, produksi kopi melambung hingga 1.132.000 pikul.

Apalagi, makin banyak juga bermunculan kelompok pengusaha swasta Belanda. Kelompok ini dapat menanamkan modal dengan membuka perusahaan-perusahaan besar seperti perkebunan, pabrik pengelolaan hasil perkebunan, perdagangan, juga pertambangan secara leluasa. Mereka juga mendatangkan teknologi-teknologi industri terbaru.

Peningkatan produksi ini tak serta merta menciptakan untung yang langsung dapat dirasakan oleh pihak Belanda. Peningkatan produksi yang berlipatganda ini mendatangkan kesulitan, yakni terkait transportasi.

Produksi komoditas-komoditas tersebut, kebanyakan berada di pedalaman, sehingga perlu diangkut ke pelabuhan-pelabuhan di daerah kota. Pada mulanya, komoditas tersebut diangkut menggunakan transportasi tradisional berupa dipikul orang, diangkut menggunakan kereta yang ditarik hewan, juga diangkut menggunakan perahu melalui sungai. Proses ini memakan waktu tempuh yang lama, menimbang medan berat yang harus dilalui serta jumlah yang belum memadai karena produksi kian meningkat.

Awal mula kereta api di Pulau Jawa

Pada tanggal 15 Agustus 1840, seorang militer Belanda bernama colonel Van Der Wijk mengusulkan agar di Pulau Jawa dibangun alat transportasi baru, yaitu kereta api. Pada masa ini, kereta api sedang dikembangkan pula di Eropa, dan mampu mengatasi kesulitan serupa dengan yang terjadi di Pulau Jawa. Bahkan, di Belanda telah dibangun jaringan rel yang membuktikan hasil cukup baik sebagai sarana pengangkutan.

Van Der Wijk mengusulkan dibangun rel yang terbentang dari Surabaya ke Jakarta melalui Surakarta, Yogyakarta, dan Bandung beserta simpangan-simpangannya (Reitsma, 1928:7). Atas usulan ini, akhirnya pemerintah kerajaan Belanda mengeluarkan surat keputusan (Koninklijk Besluit) Nomor 270 tertanggal 28 Mei 1842 yang menetapkan bahwa pemerintah akan membangun jalan rel dari Semarang ke Kedu dan Yogyakarta/Surakarta. Namun sayangnya, keputusan ini tidak terlaksana.

Empat tahun setelahnya, di negeri Belanda terjadi pro kontra atas permohonan konsesi dari pihak swasta yang tertarik untuk menanamkan modalnya di bidang transportasi. Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang memangku jabatan kala itu, J. J. Rochussen (1845–1851), meminta pemerintah agar menolak permohonan konsesi dari swasta tersebut. Ia berpendapat bahwa pengadaan alat transportasi kereta api sebaiknya berasal dari pemerintah. Ia juga mengusulkan agar pemerintah menyediakan dana sebesar £ 2.500.000 untuk biaya pemasangan jalan rel antara Jakarta ke Bogor.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda setelah Rochussen berpendapat sebaliknya. Gubernur Jenderal A. J. Duymayer Van Twist (1851–1856) justru mengajukan usul agar Pemerintah Hindia Belanda mempertimbangkan permohonan konsesi swasta. Kala itu, parlemen Belanda sedang memperjuangkan suara kaum liberal yang mendukung kehadiran kaum swasta.

Oleh karena itu, pada tanggal 31 Oktober 1852, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan surat keputusan No. H22.Ind.Stbl.1853 No. 4 yang menetapkan tentang pemberian kemudahan bagi kalangan pengusaha swasta yang bermaksud untuk mendapat konsesi (izin) pembukaan jalan rel atau usaha alat transportasi kereta api di Pulau Jawa.

Meskipun harapan pembangunan jalan rel di Pulau Jawa dengan memberikan konsesi bagi kalangan pengusaha swasta sejalan dengan keputusan pemerintah, jalan yang harus ditempuh masih banyak lika-likunya. Hingga tahun 1861, permohonan konsesi kalangan swasta itu tidak satu pun diterima dengan berbagai alasan.

Pertama, belum ada kesepakatan di kalangan pemerintah, apakah pengusahaan kereta api itu akan diserahkan kepada pihak pengusaha swasta atau akan dikerjakan oleh pemerintah sendiri. Kedua, kesulitan lapangan, karena belum ada peta yang dapat dipercaya sehingga harus melakukan penelitian dan pemetaan terlebih dahulu. Ketiga, anggaran biaya yang diajukan oleh para pemohon konsesi masih merupakan perkiraan-perkiraan yang belum nyata. Keempat, tidak ada data mengenai sarana transportasi, sehingga sulit memperkirakan keuntungan yang bisa diperoleh. Kelima, sulit menentukan tenaga kerja dan upah kerja mereka.

Dikarenakan masih banyaknya pertimbangan dan pro-kontra pendapat mengenai pembangunan perkeretaapian tersebut, Raja Belanda Willem III menugaskan T.J. Stieltjes, orang kepercayaannya dan penasihat menteri urusan jajahan, untuk mengadakan penelitian pada tahun 1860. Penelitian tersebut meliputi penilaian terhadap sarana angkutan yang ada serta saran tentang pemikiran baru untuk pemecahan masalah perhubungan yang semakin mendesak di Pulau Jawa.

Stieltjes memberi saran kepada pemerintah Hindia Belanda agar jalan rel yang diusulkan itu dibangun melalui Ungaran dan Salatiga, agar dapat menghubungkan pusat-pusat kedudukan tentara kolonial yang berada di Ungaran, Ambarawa, dan Salatiga. Namun, saran ini tidak disetujui oleh pemilik perkebunan dan anggota konsorsium (W Poolman, A. Fraser, dan E. H. Kol) karena pembangunan jalan rel melalui rute tersebut akan sangat mahal dan memakan waktu lama karena terletak di daerah pegunungan.

NISM Sebagai Pelopor Perusahaan Kereta Api

Setelah melewati lika-liku pembangunan jalan rel di Pulau Jawa, akhirnya Gubernur Jenderal Mr. L.A.J. Baron Sloet van den Beele (1861–1866) bersedia mengabulkan permintaan konsesi itu dengan beberapa syarat tertentu. Syarat pertama, yaitu jalur jalan rel Semarang-Solo-Yogyakarta diperluas dengan lintas cabang dari Kedungjati menuju Ambarawa, karena di Ambarawa terdapat benteng Willem I yang penting dari segi kemiliteran. Syarat kedua, lebar sepur supaya disesuaikan dengan norma standar Eropa, yakni 1.435mm.

Stasiun Kereta Api Ambarawa yang dahulu bernama Stasiun Willem I, kini hanya dijadikan sebagai museum kereta api (26/92002). KOMPAS/Vincentia Hanni.

Karenanya, pada tahun 1862, untuk pertama kalinya, Pemerintah Hindia Belanda memberikan konsesi kepada beberapa orang pengusaha swasta, yaitu W Poolman, A. Fraser, dan E. H. Kol, untuk kemudian mendirikan perusahaan kereta api swasta Nederlanssch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) yang dipimpin oleh Ir. J. P. de Bordes.

Permohonan konsesi Pullman dan kawan-kawan itu dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui surat keputusan Gubernur Jenderal No. 1 tanggal 28 Agustus 1862. Dua tahun kemudian pada tanggal 27 Maret 1864, Pullman dan kawan-kawan memperoleh konsesi untuk memasang dan mengeksplorasi jalan rel di Jawa Barat, yaitu jalur Jakarta ke Bogor. Pada waktu itu Pullman dan kawan-kawan mendirikan perusahaan kereta api yang diberi nama Naamlooze Venootschap Nederlandsch-Indische Spoorweg-Maatschappij disingkat N.V NISM.

Dalam rangka melaksanakan konsesi tersebut, pada hari Jumat tanggal 7 Juni 1864 di Desa Kemijen (Semarang) diselenggarakan upacara sebagai tanda pekerjaan pemasangan jalan rel dimulai. Sebagai puncak upacara ditandai dengan pencangkulan tanah pertama yang dilakukan oleh Mr. L.A.J. Baron Sloet van den Beele.

Pada tanggal 10 Agustus 1867 lintas Semarang (Kemijen) ke Tanggung sepanjang 25 kilometer dibuka dan kereta api mulai dioperasikan untuk umum. Dalam perjalanannya, biaya pembangunan jalan rel yang pertama ini jauh melebihi rencana anggaran yang diperkirakan sebelumnya. Bahkan, pada tahun 1868 pekerjaan pembuatan jalan rel di Jawa Tengah terancam berhenti, sehingga NISM meminta bantuan Pemerintah Hindia Belanda. Bantuan diberikan berupa pinjaman modal tanpa bunga kepada NISM, sehingga pembangunan jalan rel bisa dilanjutkan sampai ke Surakarta. Bantuan ini dikabulkan karena jalan rel tersebut dianggap sangat penting bagi kelancaran pengangkutan produksi gula untuk ekspor.

KOMPAS, 28 September 2021.

Kesulitan keuangan timbul lagi dan mengancam terhentinya pembangunan jalan rel itu. Kali ini para pengusaha langsung ikut turun tangan dengan bersedia membayar uang muka untuk muatan yang diangkutnya.

Dari uang tersebut pekerjaan pembangunan jalan rel Semarang-Yogyakarta dapat diselesaikan pada tanggal 21 Mei 1873. Di samping itu, NISM membangun juga lintas jalan rel cabang ke Ambarawa yang disyaratkan dalam perjanjian konsesi. Lintas cabang ini dibangun dari Kedungjati dan dibuka untuk umum pada hari yang sama ketika pembangunan jalan rel Semarang-Yogyakarta selesai. Pada tahun yang sama, kereta api Semarang-Yogyakarta dioperasikan dan dibuka untuk umum.

Pembangunan jalan rel Jakarta-Bogor

Konsesi bagi pemasangan jalan rel dan pengoperasian alat angkut kereta api jalur Jakarta-Bogor diperoleh NISM sejak tahun 1864. Konsesi ini diberikan karena jalur Jakarta-Bogor dipandang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Jalur ini dipergunakan untuk mengangkut hasil produksi tanaman ekspor dari wilayah Priangan seperti kopi, teh, dan kina.

KOMPAS, 17 Maret 2012.

Jalur ini juga dianggap penting dari sudut politik dan komunikasi pemerintahan, karena Bogor menjadi tempat kedudukan Gubernur Jenderal dan pusat administrasi pemerintahan. Begitu pentingnya kedudukan jalan rel ini, sehingga pinjaman modal diberikan untuk jangka waktu 99 tahun, terhitung sejak kereta api dioperasikan untuk umum.

Meskipun konsesi pemasangan jalan rel jalur Jakarta-Bogor telah diperoleh NISM sejak tahun 1864, pelaksanaannya baru dimulai tahun 1869. Salah satu yang menghambat pelaksanaan ini adalah terjadinya perubahan persyaratan konsesi.

Pada mulanya lebar rel sama dengan lebar rel jalur Semarang-Yogyakarta, yaitu 1.435mm. Namun, kemudian diubah menjadi 1.067mm sesuai dengan keputusan Menteri Urusan Jajahan Belanda de Wall tanggal 27 September 1869. Keputusan tersebut didasarkan atas penelitian J.A. Kool, seorang insinyur kepala perusahaan kereta api Belanda dan N.H. Henket seorang guru besar pada sekolah politeknik di Delft (Belanda). Lebar rel disarankan dibuat lebih kecil ukurannya dengan pertimbangan daya angkut terjamin dan juga penghematan.

Pada tanggal 15 Oktober 1869 pembangunan jalan rel jalur Jakarta-Bogor secara resmi dimulai yang ditandai dengan upacara yang dihadiri oleh Gubernur Jenderal P. Myer. Total panjang rel Jakarta-Bogor seluruhnya 58.506m, terdiri atas 55.580m jalur Jakarta-Bogor langsung, 1.058m jalur simpangan ke Jatinegara (Meester Cornelis), dan 1.868m jalur simpangan ke Pasar Ikan (Kleine Boom). Pembangunan jalan rel ini dilakukan dalam tiga tahap pengerjaan.

  1. Tahap pertama berlangsung dari tanggal 15 Oktober 1869 sampai Februari 1870. Gelombang ini mengerjakan jalan rel sepanjang 7.590m untuk bagian Jakarta, sepanjang 13.087m untuk bagian Jatinegara, dan 18.730m untuk bagian Bogor.
  2. Tahap kedua berlangsung dari bulan Juni 1870 sampai bulan Juni 1871. Pada gelombang ini diselesaikan jalan rel sepanjang 9.270m di bagian Bogor.
  3. Tahap ketiga berlangsung dari bulan Juni 1871 sampai Januari 1873 untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan pembangunan jalan rel itu sehingga dapat dilalui oleh kereta api.

Pembuatan jalan rel Jakarta-Bogor berlangsung secara bertahap, maka pengoperasiannya pun diberlakukan secara bertahap. Jalur kereta api pada bagian Jakarta, yaitu mulai dari Stasiun Pasar Ikan sampai Stasiun Gambir (Koningsplein) mulai dioperasikan bulan September 1871. Jalur Gambir-Jatinegara mulai dioperasikan tanggal 16 Juni 1872. Baru pada tanggal 31 Januari 1873, jalur Jatinegara-Bogor resmi dioperasikan, dan seluruh jalur Jakarta-Bogor dioperasikan dan berlaku untuk umum.

Pembangunan jalan rel Jakarta-Bogor menghabiskan biaya senilai £ 3.193.700. Anggaran yang direncanakan semula adalah £ 4.000.000. Namun, ukuran jalan relnya menjadi lebih kecil, yaitu 1.067mm, sehingga dapat dilakukan sebesar £ 806.300.

Sepanjang 58.6 km jalan rel jalur Jakarta-Bogor terdapat 15 stasiun, dimulai dari Stasiun Pasar Ikan, melalui stasiun-stasiun Jakarta Kota, Sawah Besar, Pintu Air (Noordwijk), Gambir, Pegangsaan, Jatinegara, Pasar Minggu, Lenteng Agung, Pondok Cina, Depok, Citayam, Bojong Gedeh, Cilebut, dan berakhir di Bogor.

Dinamika Pembangunan Jaringan Kereta Api oleh NISM dan SS

Tersendatnya pembangunan jalan rel kereta api oleh NISM, membuat beberapa pengusaha swasta menjadi enggan untuk mengajukan konsesi pembangunan jalan rel di Pulau Jawa. Oleh sebab itu, pada tanggal 6 April 1875, Pemerintah Hindia Belanda mengambil keputusan untuk membangun sendiri jalan rel, dan mengeksplorasi kereta api. Melalui keputusan ini, terbentuklah perusahaan kereta api milik pemerintah bernama Staatsspoorwegen, disingkat SS.

Kondisi bangunan lama Stasiun Surabaya Kota kini terkesan dilupakan dan tak terawat, padahal stasiun tersebut berkaitan erat dengan sejarah dioperasikannya moda angkutan massal kereta api di Indonesia. Bangunan cagar budaya tersebut kini lebih sering menjadi pangkalan becak atau para gelandangan. Stasiun tersebut dibangun sekitar tahun 1870 bersamaan dengan pembukaan jalur kereta api Surabaya-Malang yang dimaksudkan untuk memudahkan pengangkutan hasil bumi dari pedalaman Jawa Timur menuju Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya.
(KOMPAS/Iwan Setiyawan).

Jalur pertama yang digarap SS adalah jalur Surabaya-Pasuruan-Malang sepanjang 112 kilometer. Pengerjaan jalur ini dibagi ke dalam 2 tahap pengerjaan, di mana tahap kedua dibagi lagi menjadi 3 bagian.

  1. Tahap pertama, dibangun jalur rel Surabaya-Pasuruan yang selesai dikerjakan pada tanggal 16 Mei 1878. Dua hari setelahnya, jalur ini resmi beroperasi.
  2. Tahap kedua, dibangun jalu rel Pasuruan-Malang yang selesai dikerjakan pada tanggal 20 Juli 1879. Pembangunan jalur ini dibagi menjadi 3 bagian:
  • Jalur Bangil-Sengon selesai dikerjakan tanggal 1 November 1878.
  • Jalur Sengon-Lawang selesai dikerjakan tanggal 1 Mei 1879.
  • Jalur Lawang-Malang selesai dikerjakan tanggal 20 Juli 1879.

Keuntungan yang diperoleh NISM dari pengoperasian kereta api jalur Semarang-Yogyakarta dan jalur Jakarta-Bogor, serta keuntungan yang dikantongi SS atas pengoperasian jalur Surabaya-Pasuruan-Malang memberi harapan baru bagi para pengusaha swasta. Akibatnya, mereka tertarik kembali untuk mengajukan konsesi pembangunan jalan rel kereta api beserta pengoperasiannya.

Ekspansi Jalur Kereta Api dan Trem di Pulau Jawa

Hingga tahun 1901, selain NISM, tercatat ada 17 perusahaan kereta api dan trem swasta yang diberikan konsesi untuk membuka jalan rel dan perusahaan kereta api dan trem di Indonesia. Tujuh belas perusahaan tersebut, antara lain:

  1. Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS)
    Mendapatkan konsesi pada tahun 1881 untuk membangun dan mengelola jalan rel pada jalur:
  • Semarang-Lasem
  • Lasem-Jatirogo
  • Demak-Blora
  • Rembang-Cepu
  • Purwodadi-Gundih
  • Wirosari-Kradenan
  • Kudus-Pacangakan
  1. Javaasche Spoorweg Maatschappij (JSM)
    Mendapatkan konsesi pada tahun 1882 untuk membangun dan mengelola jalan rel pada jalur Tegal-Balapulang.
  1. Deli Spoorweg Maatschappij (DSM)
    Mendapatkan konsesi pada tahun 1883 untuk membangun dan mengelola jalan rel di Sumatera Utara.
  1. Poerwodadi-Goendih Stoomtram Maatschappij (PGSM)
    Mendapatkan konsesi pada tahun 1883 untuk membangun dan mengelola jalan rel pada jalur Solo-Purwodadi.
  1. Bataviaasche Ooster Spoorweg Maatschappij (BOS)
    Mendapatkan konsesi pada tahun 1884 untuk membangun dan mengelola jalan rel pada jalur Jakarta-Bekasi.
  1. Ooster Java Stoomtram Maatschappij (OJS)
    Mendapatkan konsesi pada tahun 1886 untuk membangun dan mengelola jalan rel pada jalur:
  • Ujung-Krian
  • Sekitar Mojokerto
  • Jalan-jalan trem listrik di kota Surabaya
  1. Solosche Tramweg Maatschappij (SoTM)
    Mendapatkan konsesi pada tahun 1890 untuk membangun dan mengelola jalan rel pada jalur Surakarta-Boyolali.
  1. Serajoedal Stoomtram Maatschappij (SDS)
    Mendapatkan konsesi pada tahun 1893 untuk membangun dan mengelola jalan rel pada jalur:
  • Maos-Purbalingga
  • Banjarnegara-Wonosobo
  1. Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS)
    Mendapatkan konsesi pada tahun 1893 untuk membangun dan mengelola jalan rel pada jalur Semarang-Cirebon.
  1. Pasoeroean Stoomtram Maatschappij (PsSM)
    Mendapatkan konsesi pada tahun 1893 untuk membangun dan mengelola jalan rel di sekitar Pasuruan dan Wojorejo.
  1. Bataviaasche Stoomtram Maatschappij (BSTM)
    Mendapatkan konsesi pada tahun 1893 untuk membangun dan mengelola jalan rel trem di Jakarta.
  1. Probolinggo Stoomtram Maatschappij (PbSM)
    Mendapatkan konsesi pada tahun 1894 untuk membangun dan mengelola jalan rel pada jalur Probolinggo-Kraksaan-Paiton.
  1. Kediri Stoomtram Maatschappij (KSM)
    Mendapatkan konsesi pada tahun 1894 untuk membangun dan mengelola jalan rel di sekitar Kediri, Jombang, dan Pare.
  1. Modjokerto Stoomtram Maatschappij (MSM)
    Mendapatkan konsesi pada tahun 1895 untuk membangun dan mengelola jalan rel pada jalur Mojokerto-Porong-Bangil.
  1. Babat-Djombang Stoomtram Maatschappij (BDSM)
    Mendapatkan konsesi pada tahun 1896 untuk membangun dan mengelola jalan rel pada jalur Babat-Jombang.
  1. Madoera Stoomtram Maatschappij (MT)
    Mendapatkan konsesi pada tahun 1896 untuk membangun dan mengelola jalan rel pada jalur Kamal-Pamekasan.
  1. Malang Stoomtram Maatschappij (MS)
    Mendapatkan konsesi pada tahun 1901 untuk membangun dan mengelola jalan rel di sekitar Malang dan Singosari.

Melalui perusahaan-perusahaan swasta ini, jaringan rel kereta api di Indonesia makin berkembang, terutama di Pulau Jawa. Keuntungan besar mulai diraup melalui pengoperasian kereta-kereta api pada jalur-jalur baru yang membuat SS sebagai perusahaan milik pemerintah ingin mengepakkan sayap, membangun lebih banyak jalur kereta api.

Antara tahun 1884–1898, SS membuka jalan rel baru, antara lain:

  1. Pasuruan-Probolinggo (3 Mei 1884)
  2. Surabaya-Surakarta melalui Wonokromo dan Sidoarjo (tahun 1884)
  3. Sidoarjo-Madiun-Blitar (16 Mei 1884)
  4. Bogor-Bandung-Cicalengka (10 September 1884)
  5. Yogyakarta-Cilacap (Tahun 1887)
  6. Cicalengka-Cilacap (Tahun 1894)
  7. Wonokromo-Tarik, sehingga kereta api lintas Surabaya-Surakarta tidak perlu lewat Sidoarjo
  8. Cicalengka-Garut (Tahun 1886)

Ekspansi Jalur Kereta Api dan Trem di Luar Pulau Jawa

Masih pada masa pemerintahan kolonial Belanda, pembangunan jalan rel juga dilakukan di luar Pulau Jawa. Namun, berbeda dengan yang dijalankan di Pulau Jawa di mana jaringan relnya diintegrasikan dan saling berhubungan, jaringan rel di Pulau Sumatera berpencar di 4 daerah yang tidak saling berhubungan. Terkecuali jaringan rel di Aceh yang tersambung dengan jaringen rel di Sumatera Timur kala itu.

Pembangunan jalan rel di Sumatera Barat dimulai dengan membangun jalan rel dari pelabuhan Telukbayur sampaik ke Sawahlunto yang selesai pada tanggal 1 Januari 1894. Pengelolaan kereta api di daerah ini dipegang oleh perusahaan kereta api pemerintah Hindia Belanda Soematra Staatsspoorwegen (SSS). Lalu dilanjutkan dengan membangun jalan rel simpang dari Bukittinggi ke Payakumbuh yang selesai pada tahun 1906. Pada jalur rel ini, pada bagian rel yang melintasi sisi Pegunungan Bukit Barisan, dilengkapi dengan rel bergigi pada tanjakan yang terjal. Ini menjadi satu-satunya jalan rel bergigi di Indonesia kala itu.

Jika pembangunan rel di Sumatera Barat mempunyai tujuan untuk pengangkutan hasil tambang batubara di Ombilin, lain halnya di Aceh (sekarang Nangroe Aceh Darussalam). Di Aceh, pembangunan jalan rel kereta api dimaksudkan untuk memenangkan Perang Aceh. Namun, pejuang Aceh sulit untuk dikalahkan serdadu Belanda.

Stasiun kereta api Sigli yang kini tidak berfungsi lagi. Hubungan kereta-api di Aceh kini lumpuh. Kereta-api dari Medan hanya sampai ke Lhokseumawe. (KOMPAS/M Syamin Pardede).

Hambatan terbesar pembangunan di daerah ini adalah para pejuang Aceh yang merasa terancam akan adanya jalan rel ini. Tak jarang, pada siang hari rel dipasang, malam harinya dibongkar oleh para pejuang Aceh.

Dengan kisah berbeda dari pembangunan jalan rel di Pulau Jawa, kisah dari Kalimantan dan Sulawesi juga menarik untuk disimak. Pembangunan jalan rel di Sulawesi dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk angkutan orang dan barang, sedangkan di Kalimantan, pembangunan dilakukan oleh perusahaan swasta dan khusus untuk angkutan barang.

Kondisi perkeretaapian jelang berakhirnya kuasa Kolonial Belanda

Kondisi Perang Dunia II makin tak menentu bagi Belanda. Staatspoorwegen (SS) sebagai perusahaan kereta api pemerintah melalui laporan tahunannya (jaaverslag) tahun 1941 bahkan mencantumkan berbagai kemunduran yang dialami perkeretaapian, terutama yang menyangkut peralatan dan suku cadang.

Pada masa sulit dan kondisi kemunduran perkeretaapian ini, pimpinan SS membuat keputusan penting dengan mulai menempatkan golongan pribumi pada beberapa pos penting sekalipun masih dalam jumlah terbatas dan dipandang sebagai percobaan.

Di tengah upaya pimpinan SS untuk memperbaiki perkeretaapian, Pemerintah Hindia Belanda dikejutkan dengan serangan militer Jepang di berbagai wilayah yang dikuasai mereka. Setelah berturut-turut berhasil menguasai Tarakan (11 Januari 1942), Kendari dan Balikpapan (24 Januari 1942), serta Ambon (4 Februari 1942), militer Jepang dengan kekuatan cukup besar segera mengarahkan serangan ke Pulau Jawa.

Akibatnya, tidak berapa lama setelah pendaratan pertama di Merak, kekuatan militer Jepang berhasil membuat Belanda menyerah tanpa syarat pada tanggal 8 Maret 1942 di Kalijati, Subana

Belanda akhirnya menyerah. Akibatnya, jatuh pula kuasa perkeretaapian yang dibangun Belanda ke tangan Militer Jepang. Babak baru dunia perkeretaapian dimulai.

Referensi

Arsip Harian Kompas
  • Napak Tilas Jalur Kereta Api Pertama di Indonesia. KOMPAS, 13 Agustus 2007.
  • Indikator: Jawa Tengah, Awalnya Kereta Uap. KOMPAS, 10 Juni 2010.
  • Transportasi: Dulu Jakarta Punya KA Sekelas Eropa. KOMPAS, 27 Maret 2014.
  • Jejak Mula ”Ular Besi” di Batavia. KOMPAS, 23 September 2019.
  • Membangun Kereta, Membangun Peradaban. KOMPAS, 1 Oktober 2021.
  • Stasiun dan Jalur Rel Pertama. KOMPAS, 28 September 2021.
Buku

–. (1995). Sejarah Perkeretaapian Indonesia: Jilid 1. Angkasa: Bandung.

Penulis
Agustina Rizky Lupitasari

Editor
Santi Simanjuntak