Perjalanan NU
31 Januari 1926
NU Berdiri sebagai organisasi Sosial Keagamaan pada 16 Rajab 1344 H.
22 Oktober 1945
NU mengeluarkan resolusi jihad melawan penjajah dalam rapat ulama.
6 April 1952
NU menyatakan keluar dari Masyumi dan membentuk partai politik.
30 Agustus 1952
NU membentuk federasi Liga Muslimin.
29 September 1955
Partai NU memperoleh suara ketiga di Pemilu.
5 Januari 1973
NU dilebur ke dalam PPP.
8-12 Desember 1984
Muktamar NU ke-27 menyatakan NU kembali ke khittah 1926.
23 Juli 1998
PKB berdiri
20 Oktober 1999
Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4.
7 Februari 2023
NU genap usia 100 tahun pada 16 Rajab 1444 H yang bertepatan dengan 7 Februari 2023.
NU berdiri pada 31 Januari 1926 di Surabaya sebagai organisasi sosial keagamaan. Awal kelahiran NU tak bisa lepas dari dua faktor utama, realitas ke-Islaman dan realitas ke-Indonesia-an. Tokoh penting yang membidani lahirnya NU adalah KH Wahab Chasbullah dan KH Hasyim Asy’ari.
Kelahiran NU secara tidak langsung dipicu perkembangan gerakan kaum Wahabi di Arab Saudi awal abad kedua puluh. Wahabi berbentuk ”pemurnian Islam” yang mengajak kembali ke Al Quran dan Hadis. Gerakan Wahabi mendunia hingga ke Indonesia. Sejumlah tokoh perintis pemurnian Islam pun turut muncul seperti Syekh Ahkmad Soorkati, dan KH Ahmad Dahlan.
Gerakan pemurnian Islam menjadi penantang keislaman pesantren yang bercorak tasawuf, bertarekat, dan bermazhab. Menghadapi derasnya arus gerakan Wahabi, NU lahir sebagai penjaga keislaman pesantren yang berbasis Ahlusunah Waljamaah (Aswaja).
Kelahiran NU juga didorong oleh imperialisme di Indonesia yang memiskinkan dan menyengsarakan rakyat. Pendiri NU KH Hasyim Asy’ari mencetuskan Hubbul wathan minal iman yang berarti cinta tanah air bagian dari iman. Untuk menghadapi penjajah di bumi Nusantara dibutuhkan wadah organisasi yang solid.
Sebagai wujud nyata melawan imperialisme, NU mengeluarkan resolusi jihad melawan penjajah dalam rapat ulama pada 22 Oktober 1945 di Surabaya. NU juga melakukan penolakan terhadap pajak rodi bagi bangsa Indonesia.
Meski bukan organisasi politik, NU tidak diam saja menghadapi persoalan bangsa. Para kiai NU terjun ke dunia politik agar dapat turut campur membangun negara. Sebelum berpisah dan membentuk partai, NU bergabung dengan Masyumi hingga tahun 1952. Sebagai organisasi politik, NU memperoleh posisi ketiga pada Pemilu 1955.
Memasuki era Orde Baru, langkah NU terhambat karena kebijakan fusi partai yang menyatukan seluruh partai Islam ke dalam satu wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Perbedaan pandangan membuat NU dan PPP tidak harmonis. Pada Muktamar ke-27 tahun 1984, NU memutuskan kembali ke Khittah sebagai organisasi masyarakat.
KOMPAS/JB SURATNO
Presiden Soeharto Sabtu pagi (8/12/1984) membuka Muktamar Nahdlatul Ulama XXVII di Mesjid Ibrahimi, mesjid utama Pondok Pesantren Salafiyah Safi’iyah, Asembagus, Situbondo. Didampingi pimpinan pondok pesantren Salafiyah Safi’iyah, KH As’ad Syamsul Arifin, Kepala Negara meninggalkan tempat upacara pembukaan.
Artikel terkait
Partai Politik
Menjelang usia dua dekade, NU tergoda memasuki dunia politik. Perjalanan NU berkiprah di dunia politik dimulai dari Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Pada Oktober 1943 MIAI membubarkan diri dan digantikan oleh Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang awalnya bukan organisasi politik. Setelah Indonesia merdeka, Masyumi menjadi organisasi politik dengan NU sebagai penyangganya.
Perkembangan Masyumi begitu pesat hingga menjadi partai politik terbesar di Indonesia pada periode 1940–1950. Situasi ini menjadikan Masyumi sebagai partai yang anggotanya heterogen sehingga benturan-benturan kepentingan politik mulai muncul.
Pada 6 April 1952, NU menyatakan keluar dari Masyumi karena konflik internal Masyumi antara kelompok tradisional yang diwakili NU dan kelompok reformis. Bersama Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII), Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan sekelompok orang Islam dari Parepare, Sulawesi Selatan, NU membentuk federasi Liga Muslimin pada 30 Agustus 1952.
Lepas dari Masyumi, NU membentuk partai politik sendiri dan mengikuti Pemilihan Umum 1955. Secara mengejutkan, NU muncul sebagai partai politik terbesar ketiga dengan perolehan suara 18,4 persen setelah PNI (22,3 persen) dan Masyumi (20,9 persen). Kesuksesan perolehan suara NU tak hanya pada pemilu 1955. Pada pemilu pemilu 1971, NU juga berhasil memperoleh suara yang cukup besar.
Setelah Pemilu 1971, Orde Baru menilai NU adalah lawan. Fusi atau penggabungan partai politik yang dilakukan rezim Orde Baru memaksa NU bergabung dengan PPP pada 5 Januari 1973. Peran NU di PPP mengalami krisis menjelang Pemilu 1982. Hal ini mendorong NU untuk kembali ke Khittah 1926 dan keluar dari PPP.
Artikel Terkait
Kembali ke Khittah
Pada Muktamar ke-27 NU yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur tahun 1984, NU memutuskan untuk kembali ke khittah. Keputusan berani diambil dalam Muktamar NU untuk mengeluarkan dirinya dari Partai Persatuan Pembangunan dan kembali menjadi NU tanpa embel-embel anggota partai politik. NU kembali menjadi suatu lembaga pendidikan, sosial dan agama.
Pernyataan Muktamar NU 1984 menyatakan dua hal penting, yakni menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dan mengembalikan NU menjadi organisasi sosial keagamaan sesuai dengan Khittah NU 1926. Muktamar ini juga memutuskan KH R As’ad Syamsul sebagai Musytasar Aam, KH Ahmad Siddiq menjadi Rois Aam PBNU Syuriyah, dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Ketua Umum PBNU Tanfidziyah.
Kembalinya NU ke khittah memunculkan optimisme baru untuk memberdayakan umatnya yang miskin dan bangsa Indonesia yang masih terbelakang dalam banyak hal. Selain menyejahterakan umat, sebagai organisasi sosial keagamaan NU dipandang akan lebih fleksibel karena masyarakat NU bisa tersebar di berbagai partai politik. Posisi sosial keagamaan dianggap bisa membuat NU memayungi masyarakatnya yang beragam.
Terdapat tiga pengelompokan di tubuh NU semenjak kembali ke khittah. Pertama, kelompok politisi yang yang secara langsung atau tidak langsung terjun ke dunia politik. Kedua, kelompok organisator yang tegas menyatakan tidak terafiliasi dengan parpol maupun organisasi politik. Ketiga, kelompok independen atau kelompok bebas yang tidak mengafiliasikan diri dengan partai politik maupun tidak mengabdikan diri sebagai pengurus NU.
Pelaksanaan kembali ke khittah 1926 tak mudah dijalankan. Gus Dur, Ketua Pengurus Besar NU (PBNU) saat itu juga tidak bisa melepaskan diri dari tarikan politik. Saat reformasi tahun 1998, tarikan politik memunculkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai representasi NU saat itu.
Menurut KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU 2000–2010, “Kembali ke khittah bukan berarti NU tidak berpolitik. NU akan tetap berpolitik untuk menjaga dua hal. Pertama, politik kebangsaan dilakukan bersama dalam lintas golongan. Kedua, politik praktis untuk ikut mengisi kekuasaan. Tentu tidak adil kalau NU yang punya massa justru tidak terwakili dalam kekuasaan” (13/4/2002).
Realitanya PKB tak mampu mewadahi seluruh aspirasi warga NU. Dalam dua kali pemilu (1999 dan 2004), suara yang diperoleh PKB tidak sebesar jumlah warga NU yang diklaim mencapai 40 juta orang. Artinya, masih banyak masyarakat NU yang menyalurkan aspirasi politiknya ke partai lain.
Gus Dur memang sempat terpilih sebagai presiden dan memimpin sekitar dua tahun, tetapi terpilihnya Gus Dur bukan karena disokong oleh PKB. Manuver politik di MPR saat transisi kekuasaan berhasil menjegal Megawati Soekarnoputri menjadi presiden. Megawati sebagai pimpinan partai pemenang pemilu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), harus puas menjadi wakil Gus Dur.
Megawati sebagai wakil presiden akhirnya berhasil naik menjadi presiden setelah Gus Dur dilengserkan pada tahun 2001. Pada pemilu 2004, Megawati seolah belajar dari kegagalannya pada tahun 1999. Suara NU sangat berpengaruh terhadap elektabilitas presiden sehingga dipinanglah Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi untuk menjadi wakilnya pada Pilpres 2004.
Pencalonan Hasyim menimbulkan perpecahan di tubuh NU karena Gus Dur gagal menjadi calon presiden. Sekali lagi, sejarah membuktikan bila suara NU tidaklah satu. Hasyim pun gagal membawa gerbong warga NU untuk mendukung pencalonannya. Hasilnya, Megawati kalah pada Pilpres 2004.
Dengan basis massa sekitar 150 juta orang, suara NU masih menjadi rebutan pada Pilpres 2024. Tokoh-tokoh NU dipinang oleh ketiga calon presiden untuk berada dalam barisannya. Bahkan, dua tokoh dengan latar belakang NU yang kuat menjadi calon wakil presiden, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar berpasangan dengan Anies Baswedan, sementara Menkopolhukam Mahfud MD mendampingi Ganjar Pranowo.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Abdurrahman Wahid disertai putri keduanya, Zannuba Arifah, memberikan salam saat akan memasuki mobil kepresidenan, RI-1, seusai pelantikan di Sidang Paripurna MPR (20/10/1999).
Gus Dur
Sosok Gus Dur begitu lekat dengan lingkungan NU. Guru besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Kacung Marijan, menyebutkan setidaknya ada tiga hal yang membuat Gus Dur sangat lekat dengan NU.
Pertama, Gus Dur merupakan orang NU yang membawa NU melampau batas-batas NU. Kedua, Gus Dur memiliki basis pesantren dan basis modern sangat kuat. Ketiga, Gus Dur merupakan darah biru keturunan langsung pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari, dan ayahnya Menteri Agama.
Pada tahun 1984 Gus Dur menjadi segelintir dari warga NU yang punya gagasan untuk kembali ke Khittah 1926. Sejak dipimpin Gus Dur, NU menemukan titik pencerahan dan memunculkan generasi-generasi muda hasil didikan NU yang berpandangan ke depan.
Selama memimpin, Gus Dur terkenal dengan pemikiran-pemikiran yang tidak biasa. Menjelang reformasi dalam agenda menurunkan Presiden Soeharto, Gus Dur menjadi motor penggembosan PPP dan membebaskan massa NU untuk memilih satu dari tiga partai sesuai dengan pilihannya sendiri. Sikap ini diambil Gus Dur untuk menunjukkan bahwa NU tidak bisa disetir siapa pun, termasuk dalam sikap politik.
Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden pada tahun 1999 juga merupakan langkah cerdik. Sebagai Ketua Umum PBNU. Gus Dur setuju dengan pencalonan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri sebagai presiden meski sebagian ulama belum sependapat tentang kepemimpinan presiden perempuan. Meski setuju menjadikan Megawati sebagai presiden, Gus Dur berkonsolidasi dengan poros tengah. Pada saat pemilihan presiden di MPR, Gus Dur terpilih sebagai presiden ke-4 Republik Indonesia.
Banyak usaha-usaha pembaruan dan pencerahan dalam dua periode kepemimpinan Gus Dur di NU. Tak saja menjadi pendobrak stagnasi di NU, Gus Dur sekaligus simbol perlawanan NU terhadap penguasa Orde Baru. Dengan pemahaman politik dan pengetahuan agama yang memadai, Gus Dur bisa bebas leluasa bergerak di oposisi dan koalisi. Pendek kata, Gus Dur memang lihai membuat bingung dan langkahnya jauh melampaui zaman.
Selepas Gus Dur tak lagi memimpin NU, kritik-kritik bermunculan karena kelambanan NU merespons masalah-masalah sosial di masyarakat. Kondisi ini ditambah praktek politik praktis di tubuh NU seiring euforia reformasi yang membuka ruang masyarakat untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Ridwan, Nur Khalik. 2008. Masa Depan NU. Yogyakarta: IRCiSoD.
- Sobary, Mohamad. 2010. NU dan Keindonesiaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
- “‘Dari politik praktis, kembali ke Khittah 1926: NU akan makin kokoh dengan program pengembangan sosial”. Kompas, 14 Desember 1984. Hlm. 1.
- “Langkah Nonpolitik dari Politik Nahdlatul Ulama”. Kompas, 20 Maret 1992. Hlm. 1.
- “NU Tidak Bisa Menghindari Politik”. Kompas, 15 April 2002. Hlm. 6.
- “‘Khittah’, Sekularisasi Politik, Kemandirian NU”. Kompas, 26 Mei 2004. Hlm. 4.
- “Khittah 1926, Masihkah Menjadi Soal?” Kompas, 27 November 2004. Hlm. 8.
- “‘Khittah’, Sekularisasi Politik, Kemandirian NU”. Kompas, 7 Agustus 2009. Hlm. 7.
- “Sejarah: Kembali ke Khittah 1926”. Kompas, 19 Maret 2010. Hlm. 45.
- “Nahdlatul Ulama (1) : Menata Ulang Rumah ‘Kaum Sarungan'”. Kompas, 22 Maret 2010. Hlm. 4.
- “Nahdlatul Ulama (2) : Gus Dur dan Progresivitas NU”. Kompas, 23 Maret 2010. Hlm. 5.
- “Nahdlatul Ulama (3-Habis): Pasang Surut Hubungan NU dengan Parpol”. Kompas, 24 Maret 2010. Hlm. 5.
Artikel terkait