Paparan Topik | Musik Rock

Sejarah Musik Rock di Indonesia

Musik rock sempat dilarang di Indonesia. Namun, kemudian berkembang hingga mampu hadir dalam aksi panggung bahkan menjadi festival rock se-Indonesia. Musik rock terus berevolusi dan berkembang dalam ragam jenis di Indonesia.

Kompas/Don Sabdono

Djarum Super Rock Festival’84. Di tengah banyak grup yang tampil kalau tidak ngotot tergagap-gagap penampilan Harley Angels dari Bali memang terasa paling meyakinkan. Trampil, kompak, dan terlebih lagi santai mereka langsung kelihatan diatas angin. (Kompas, 17 April 1984, hal. 1)

Fakta Singkat

Istilah Rock & Roll
Istilah Rock & Roll muncul pada tengah tahun 1950-an

Penetapan Presiden PP No. 11/1963 
PP Nomor 11 Tahun 1963 dikeluarkan Presiden Soekarno karena musik rock dinilai merusak budaya bangsa.

Pemusnahan piringan hitam musik rock
Piringan-piringan hitam  milik  grup  musik  The  Beatles,  The  Rolling  Stone,  The  Shadows,  dan  lain-lainnya serentak dimusnahkan secara massal dan diberlakukan pelarangan impor bagi rekaman-rekaman musik dari Barat. Siaran radio yang menyiarkan musik-musik Barat juga dilarang,

1970
Musik rock mulai ditampilkan lewat aksi panggung

Djarum Super Rock Festival
Festival musik rock se-Indonesia pertamakali diselenggarakan tahun 1984 di Tambaksari, Surabaya, Jawa Timur

Musik Rock

Musik rock bertujuan mengajak pendengarnya bergoyang mengikuti irama musik yang menghentak-hentak. Musik ini mempunyai nada sederhana dan beat yang cepat dengan irama yang keras.menggunakan alat musik gitar, drum, bass, dan vokal.

Namun, gaya musik rock mengalami evolusi sehingga muncul berbagai sub genre musik rock yang berkembang di seluruh dunia. Akibatnya, muncul beragam gaya musik rock yang menggunakan alat musik seperti organ, piano, atau synthetisizers sejak tahun 1970-an.

Beberapa Sub Genre Musik Rock

Rock Alternatif  Grunge Post punk
Art rock Hard rock Rock Progresif
Blues rock Heavy metal Psychedelic rock
Britpop Indie rock Punk rock
Country rock Jazz rock Rock and roll
Emo New wave Rockabily
Folk rock Pop rock Soft rock
Garaga rock Posy Britpop Southern rock
Glam rock Post grunge Surf rock

Ciri Khas Musik Rock

Wilayah nadanya luas dari nada rendah sampai nada tinggi. Instrumen yang paling sering digunakan adalah gitar, bass dan drum.
Memiliki beat yang keras Permainan gitar didominasi efek feedback.
Menekankan pada dinamika aransemen Terdapat sesi permainan solo melodi, dengan durasi pendek atau panjang.
Harmoni musik rock relatif rumit Struktur lagu yang kompleks
Di banyak lagu, suara gitar lebih ditonjolkan Didominasi oleh alat musik keyboard dalam lagunya, seperti organ, harpsichords atau mellotron
Penggunaan tempo bisa lambat atau cepat. Lirik lagu lebih ekspresif dan bebas (dark).

Formasi Grup Band Rock

Penyanyi dalam band rock biasanya juga memainkan alat musik dengan dibantu oleh beberapa pemain yang memainkan alat musik lainnya. Contohnya seperti group Metallica, Megadeth, Motley Crue, Van Halen dan lain-lain.

Namun, ada pula penyanyi yang tidak memainkan alat musik apapun dengan dua orang gitaris, yakni lead guitar dan rhythm guitar atau dengan dua orang pemain gitar dengan formasi sama-sama pemain lead dan rhythm secara bergantian. Contohnya seperti pada grup Guns N Roses, Warrant, R.E.O Speedwagon dan lain-lain. Beberapa grup musik rock mengganti pemain rhythm guitar dengan pemain keyboard, contohnya seperti grup Europe atau Bon Jovi.

Rhytm merupakan khas kerangka musik yang berkaitan dengan alunan, birama, atau hitungan yang tepat sesuai dengan metrum lalu berlangsung secara teratur sejak hitungan pertama. Metrum di sini adalah mekanis min atau plus. Sedangkan lead gitar merupakan istilah musik rock untuk mengartikan peranan gitar melodi yang bermain pada bagian depan, tengah atau akhir.

Seorang drummer juga sangat vital dalam musik rock. Drummer merupakan musisi yang memainkan drum, mencakup drum kiti. Tokoh-tokoh drummer yang eksis pada tahun 1960–1990, antara lain, Teddy Sujaya (God Bless), Rere (Grass Rock).

Ada pula keyboardist yang memainkan instrumen keyboard. Sampai awal 1960-an musisi yang memainkan keyboard umumnya adalah pianis atau organis. Sejak pertengahan 1960-an, sejumlah alat musik baru dengan keyboard telah hadir. Salah satu keyboardist band rock terkenal ialah Jocky Suryoprayogo (God Bless).

Selain itu, ada bassis merupakan pemain bass, atau bassis, yang memainkan instrumen bass seperti double bass, gitar bass, keyboard yang bass atau instrumen kuningan rendah seperti tuba atau sousaphone. Salah satu bassis rock di Indonesia yang tenar pada masanya ialah Donny Gagola dari band God Bless.

Baca juga: Menghadirkan Queen Rasa Simfoni

Kompas/Hasanuddin Assegaff

Grup musik legendaris Koes plus tampil kembali di pelataran musik Indonesia. Koes Plus yang menerima BASF Legend Award 1992 melengkapi personilnya dengan Abadi Soesman untuk menggantikan Toni Koeswoyo yang telah meninggal dunia. Dengan demikian personil Koes Plus yang tampil, Yon dan Yok Koeswoyo, Murry dan Abadi Soesman.

Masuknya Rock ke Indonesia

Sejak paruh dasawarsa 1950-an, rakyat Indonesia tidak diperbolehkan mendengar atau membawakan lagu-lagu asing. Padahal, sejak memasuki era 1950-an, rakyat Indonesia mulai menggandrungi budaya barat yang berasal dari musik dan film. Pengaruh musik rock lewat genre rockability hingga rock and roll hadir di Indonesia lewat siaran radio luar negeri  seperti ABC Australia, Hilversum Belanda, dan Voice of America (VOA), serta piringan hitam yang saat itu bisa dinikmati kelompok menengah atas. Termasuk, lagu yang menjadi soundtrack film-film barat yang diimpor ke Indonesia.

Musik rock and roll yang berasal dari Amerika Serikat kemudian mewabah di Indonesia. Sosok Bill Haley, pemusik rock and roll yang tampil di film Rock Around The Clock (1956) memukau anak muda Indonesia. Saat bersamaan, Elvis Presley juga merebut simpati banyak anak muda Indonesia dengan musik rock and roll-nya. Budaya pop yang cenderung kebarat-baratan ini menjadi inspirasi bagi anak muda untuk membentuk band yang saat itu terkenal dengan istilah orkes. Beberapa kompetisi orkes diadakan seperti Festival Irama Populer.

Namun, Presiden Soekarno melihat fenomena ini sebagai sesuatu yang meracuni jiwa dan budaya bangsa. Soekarno khawatir budaya bangsa Indonesia menjadi terlupakan akibat budaya kebarat-baratan. Sehingga, pada peringatan Hari Proklamasi Agustus 1959, Presiden Soekarno mengelurkan manifesto yang diberi nama Manipol Usdek/Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia.

Tahun 1963 pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden PP No. 11/1963 tentang larangan musik ngak ngik ngok. Musik  rock menghadapi persoalan nyata akibat dikeluarkannya Penetapan Presiden tersebut. Musik rock diberangus dan dianggap musik yang merusak budaya bangsa. Konsekuensi logis dari Penetapan Presiden tersebut adalah piringan-piringan hitam milik grup musik The Beatles, The Rolling  Stone, The  Shadows, dan lain-lainnya serentak dimusnahkan secara massal dan diberlakukan pelarangan impor bagi rekaman-rekaman musik dari Barat. Siaran radio juga dilarang menyiarkan musik-musik Barat, termasuk RRI.

Baca juga: Rock n Roll

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Vokalis Klaus Meine dan gitaris Matthias Jabs (kanan) tampil bersama grup Scorpions dalam perhelatan Jogjarockarta Festival #4 di Stadion Kridosono, Yogyakarta, Minggu (1/3/2020). Grup musik asal Jerman itu membawakan sejumlah lagu andalan mereka seperti Send me an angel, Wind of Change, dan Still Loving You.

Pemuda  berambut  gondrong  yang  berpakaian dengan memakai model Barat tidak luput menjadi korban razia para aparat berwenang. Koes Bersaudara yang mengambil beat keras dalam landasan musik yang mereka ciptakan ikut terkena paranoia Orde Lama, mereka  sempat mendekam di balik terali besi penjara Glodok. Koes Bersaudara dianggap sebagai pelopor subversi di bidang kebudayaan.

Istilah “ngak ngik ngok”  sebenarnya bersifat politis. Istilah ini dimasudkan untuk membangkitkan semangat nasionalisme bangsa, maka harus ada korban ejekan-ejekan, yakni Barat. Sehingga, lewat istilah ngak ngik ngok terangkat perasaan  seakan-akan lagu Barat itu bodoh, konyol, dan jelek. Derasnya musik Barat yang saat itu diikuti oleh musisi Indonesia untuk memainkan rock & roll dan menjadi tren di panggung pertunjukan dianggap bisa “menodai” semangat revolusi bangsa.

Sejak Oktober 1959, siaran Radio Republik Indonesia tidak diperkenankan memutar lagu-lagu rock and roll, cha cha, tango, hingga mambo yang dinamakan ngak ngik ngok oleh Presiden Soekarno. Presiden Soekarno bahkan mengganti budaya dansa yang kerap berlangsung di ballroom atau kelab, dengan menggagas irama lenso yang digali dari khazanah seni budaya Maluku. Irama lenso merupakan semacam tarian pergaulan tradisional yang berasal dari Ambon, Maluku. Dalam bahasa Maluku, lenso berarti sapu tangan. Ketika melakukan tari dengan iringan ritme musik bertempo medium, setiap orang memegang saputangan dalam genggaman.

Grup musik juga mendapat peringatan untuk tidak membawakan lagu-lagu yang berirama rock & roll. Grup musik itu di antaranya adalah Los Suita. Pihak Kejaksaan Tinggi Jakarta mengeluarkan peringatan bahwa grup musik ini akan dibubarkan jika masih menyanyikan lagu-lagu dari penyanyi Elvis Presley. Irama Abadi, grup musik yang pernah diperkuat oleh Abadi Soesman juga sempat ditegur oleh aparat Kodim ketika mereka pentas membawakan lagu-lagu dari The Beatles.

Baca juga: Lagu Perlawanan terhadap Korupsi

Awal Orde Baru

Setelah peristiwa G30S, keadaan berubah. Perubahan politik yang terjadi pada tahun 1965 memberi pengaruh yang besar terhadap perkembangan musik populer, khususnya musik rock. Musik populer dengan unsur musik rock di dalamnya mendapatkan nafas bebas dan tidak lagi begitu tercekik oleh situasi zaman. Kebijakan menentang impor rekaman musik Barat pun ditingggalkan. Piringan-piringan hitam pemusik Barat dari segala jenis aliran musik dapat diperoleh kembali di pasaran. Di pasaran, piringan hitam yang tersedia kebanyakan berasal dari Barat, karena industri rekaman di Indonesia, ketika itu, belum dapat dikatakan maju dan berkembang luas.

Pada awal kekuasaannya, Soeharto mengerahkan tentara untuk membuat panggung-panggung hiburan populer. Korps Cadangan Strategis Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (Kostrad), pasukan tempur yang baru saja mengambil alih kekuasaan, membuat “kompi” baru, yaitu Badan Koordinasi Seni (BKS) Kostrad yang dikeluarkan oleh Kejaksanaan Negeri Jakarta.

BKS Kostrad mengadakan serangkaian pertunjukan musik yang, antara lain, menampilkan jenis musik yang dilarang pada masa Demokrasi Terpimpin. BKS Kostrad ini menyelenggarakan tur-tur ke seluruh wilayah Indonesia. Bagi Angkatan Darat, berbagai pertunjukan itu mempunyai dua fungsi, yakni untuk show of force terhadap kekuatan politik lawan dan menarik hati rakyat bahwa Indonesia tidak antikebudayaan Barat. Jenis musik yang dilarang dimainkan pada zaman Demokrasi Terpimpin, seperti lagu-lagu cengeng atau pun irama rock & roll justru diperdengarkan dalam tur-tur BKS Kostrad.

Baca juga: Rock, Kebingungan Budaya, dan Kompor Meleduk

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Grup musik Godbless tampil dalam perhelatan Jogjarockarta Festival #4 di Stadion Kridosono, Yogyakarta, Minggu (1/3/2020). Godbless menampilkan sejumlah lagu andalannya seperti Kehidupan dan Semut Hitam.

Pada awal pemerintahan Orde Baru, bermunculan radio-radio amatir di kota-kota besar yang  kemudian menjadi pemancar radio swasta. Radio-radio amatir memperdengarkan lagu-lagu Barat yang digemari oleh kaum muda pada saat itu. Selain irama musik pop, irama musik rock juga banyak disiarkan.

Musik rock yang kembali ke pasar produk rekaman maupun dalam siaran radio menjadi medium yang paling luas khalayaknya. Kondisi ini mempengaruhi grup-grup musik yang kemudian berdiri. Pada tahun 1967 bermunculan grup musik, di antaranya grup rock AKA dari Surabaya yang mengawali kariernya dengan memainkan musik dari grup Agus Sopian.

Begitu juga dengan The Rollies yang didirikan di Bandung pada tahun yang sama. Ada juga Dara Puspita yang awalnya bernama Irama Puspita, sejak dari Surabaya sudah “meniru” The Beatles dari irama maupun gaya permainannya. Grup-grup musik ini mulai dengan memainkan lagu-lagu yang tengah populer di kalangan anak muda.

Media massa seperti majalah dalam dan luar negeri yang mengulas musik populer ikut menyebarluaskan animo musik rock kepada khayalak generasi muda.

Baca juga: Powerslaves dan Kereta Rock N’ Roll

Evolusi Rock

Semangat untuk memajukan musik rock tidak pernah padam. Berbagai upaya dilakukan musisi-musisi rock di Indonesia agar musik rock dapat diterima di Indonesia. Salah satu usaha para musisi yaitu dengan memasukan unsur-unsur kebudayaan Indonesia seperti gamelan, rebana, dan lain-lain.

Pada tahun 1966, band Sabda Nada yang terdiri dari Pontjo Soetowo, Zulham Nasution, Gauri Nasution, Keenan Nasution, Ronald, Eddy, dan Edit bereksperimen memadu musik Barat dengan gamelan Bali yang dipimpin oleh I Wayan Suparta Widjaja. Sepuluh tahun berselang, Sabda Nada berganti nama menjadi Gipsy. Guruh Soekarno Putra mengajak grup Gipsy membuat musik eksperimen dengan memadukan gamelan bali yang pentatonik dengan musik rock yang diatonik.

Tahun 1970, seolah-olah ada keharusan bahwa musik rock progresif adalah campur sari antara musik rock dengan musik tradisional. Lirik-lirik lagunya cenderung ke arah kritik sosial. Guruh Gipsy yang terdiri dari Guruh (piano, composer), Keenan (drum, vokal), Roni Harahap (piano, keyboard, komposer), Oding Nasution (gitar), Abadi Soesman (synthesizer), dan Chrisye (bas, vokal), bisa disebut sebagai grup yang memelopori gerakan rock progresif Indonesia. Jejak Gipsy diikuti grup Discus, grup rock progresif uang merilis album di Italia, serta tampil di berbagai acara internasional. Discus membaurkan unsuk musik etnik Bali dalam komposisinya, serta mengajak pemusik bali, I Gusti Kompyang Raka sebagai mitra bermusik.

Baca juga: Kemegahan Rock Mongolia

Sementara, di Bandung, Harry Roesli menggabungkan beberapa instrument tradisional Jawa Barat seperti gamelan, calung, angklung dengan music rock lewat album Titik Api (1975). Pada saat bersamaan, pemusik Surabaya. Gombloh dan Lemon Trees Anno tahun 1969, juga mencoba menyusupkan unsur musik etnik Jawa Timur dalam musik Barat, yang merupakan persilangan antara rock dan folk. Beberapa karya Gombloh yang memiliki napas rock progresif kuat, di antaranya Merah Putih Bersilang di Mukaku, Nadia & Atmosphere, Tetralogi Fallot, dan Sillhoutte Kuda Jantan dalam album Nadia dan Atmosphere (1976), juga lagu Hong Wilaheng Sekaweng Bawono Langgeng dari album Berita Cuaca (1977) yang sering disebut sebagai “rock jawa” karena liriknya menggunakan bahasa Jawa.

Selain memanfaatkan gamelan dan instrumen tradisional Indonesia lainnya, dalam bingkai musik barah, Guruh Gipsy, Gang of Harry Roesli, Gombloh dan Lemon Trees Anno ’69 memanfaatkan musik untuk melontarkan kritik sosial. Seperti lagu Chopin Larung dari Guruh yang menggambarkan keprihatinan Guruh terhadap dekadensi budaya luar yang diibaratkan pada sosok komposer klasik asal Polandia Fyderyk Franciszek Chopin. Demikian dengan lagu dari Harry Roesly yang berjudul Peacock Dog. Menurut Roesly negara Indonesia memiliki dua sisi yang kontradiktif, antara merak yang memesona dengan anjing yang menyebalkan.

The Rollies memasukan unsur gamelan pada pergelarannya yang dilakukan di Gedung Merdeka, Bandung. Sedangkan, Kantata Takwa-nya Setiawan Djodi dan Iwan Fals memakai alat musik rebana betawi di dalam lagunya hingga pembuatan lirik juga disesuaikan dengan kebudayaan Indonesia.

Namun, tidak semua grup yang berkiblat rock progresif mencampur musik barat dan timur dalam komposisinya. Sebut saja Giant Step, grup bandung yang dimotori Benny Soebardja dan Albert Warnerin, yang lebih mengacu pada grup rock progresif luar negeri yang tengah naik daun saat itu seperti Gentle Giant, Yes, Genesis, dan ELP (Emerson, Lake, Palmer).

Galeri Foto: Selamat Jalan Eddie van Halen

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Gitaris Joel Hoekstra beraksi saat tampil bersama grup Whitesnake dalam perhelatan Jogjarockarta Festival #4 di Stadion Kridosono, Yogyakarta, Minggu (1/3/2020). Grup musik asal Inggris itu membawakan sejumlah lagu andalan mereka seperti Here I go again, Is This Love, dan Still of the night.

God Bless hadir tahun 1973, bahkan menjadi perbincangan setelah tampil  dalam acara yang meniru Woodstock’ 69, yaitu Summer’ 28 yang digelar di Ragunan Pasar Minggu pada tanggal 16 Agustus 1973.God Bless kala itu mengusung reportoar milik grup rock dunia. God Bless yang pernah menyajikan repertoar dari grup Yes, Focus, Kansas, dan ELP di panggung.Demikian dengan Grup rock SAS dari Surabaya intensif membawakan repertoar dari ELP.

Ada pula grup asal Jakarta yang muncul bersamaan tahun 1978, yakni Abbhama dan Rara Ragadi. Abbhama grup yang didukung mahasiswa IKJ mengeluarkan album Alam Raya (1978), menawarkan music rock progresif dengan pengaruh kuat musik klasik. Sementara, Rara Ragadi menyebut musiknya dengan art rock fusion.

Sedangkan Barongs Band mencantumkan nama komposer klasik Johann Sebastian Bach pada sampul album Barongs Band (1976) karena beberapa aransemen musik dalam album tersebut mencuplik beberapa bagian komposisi karya Bach.

Seiring dengan surutnya popularitas musik rock progresif di Inggris, berguguran juga grup musik yang mengusung genre musik ini. Namun, masih ada yang menekuni genre ini seperti grup Wow dan Makara pada pertengahan 1980-an. Awal 1990, masih muncul grup dengan genre ini, yakni Cynomadeus, serta Discus kembali muncul tahun 2000.

Menjelang akhir tahun 1980-an, musik rock yang mengarah ke trash metal mulai digandrungi di Indonesia. Band-band pengusung gaya musik yang lebih ekstrem daripada heavy metal, antara lain, Slayer, Metallica, Exodus, Megadeth, Kreator, Sodom, Antthrax, dan Sepultura. Kegemaran akan musik rock jenis heavy metal didorong beberapa stasiun radio yang kerap memperdengarkan musik-musik rock termasuk trash metal. Selain itu, sejumlah media cetak, seperti majalah HAI, Vista dan tabloid Citra rock sering mengulas aneka berita tentang musik rock. Musik rock tidak hanya beredar di Jakarta, namun juga merebak ke kota-kota besar di seluruh Indonesia.

Grup Slank hadir di tengah gempuran musik trash metal ke Indonesia. Grup yang awalnya berasal dari grup Red Evil ini kemudian berganti nama menjadi Slank karena musik yang dimainkan tidak pernah bisa mirip dengan grup penyanyi asli dan aksi panggung mereka sering dibilang slengean. Namun, dalam perkembangannya, Slank banyak menyuguhkan lagu bernada kritik sosial.

Baca juga: Siasat Terbaik Slank

Kompas/Rakaryan Sukarjaputra

Penyanyi rock Ahmad Albar masih menampilkan stamina tinggi dalam pergelaran musik grup Gong 2000 di Ancol, Jakarta, Sabtu (12/10/1996). Pertunjukan musik ini dilakukan dalam rangka Hari ABRI ke-51 tahun 1996, dan dihadiri sekitar 50.000 penonton.

Aksi panggung

Tahun 1970 musik rock di Indonesia juga mulai disajikan dalam bentuk aksi panggung. Pertunjukkan panggung menjadi bagian dari tuntutan penonton. aslinya. Mereka memainkan lagu dan meniru gaya kelompok band. Penonton pada masa itu akan terpukau saat personel meniru aksi band-band luar negeri.

Beberapa contoh aksi meniru yang dilakukan musisi rock pada saat itu seperti permainan Arthur Kaunang yang disebut mirip dengan aksi Keith Emerson, pentolan band ELP dan Deddy Dores yang disebut “Wonder Guy” karena selalu memakai kacamata hitam yang dinilai sebagai reinkarnasi pemain gitar Deep Purple, Richie Blackmore. Tak heran jika sejumlah media cenderung mengekspos gaya panggung mereka.

Konser-konser besar kian sering diselenggarakan. Peristiwa musik panggung yang fenomenal  salah satunya seperti Konser Summer 28 (singkatan suasana menjelang kemerdekaan RI ke-28). Summer 28 adalah pergelaran musik hampir 12 jam di Indonesia, yang diselenggarakan Nyoo Han Siang dari perusahaan film Intercine Studio di Ragunan, Pasar Minggu, 16 dan 17 Agustus 1973.

Kompas/Anwar Hudijono

Gempuran drum Syech Abidin seolah mengguncang kelu, dalam Rock Power ’84 di Sport Hall Pulosari Malang, 12-13 Agustus. Festival kali ini, catatan pertama sukses gebrakan rock di Malang. (Kompas, 19 Agustuis 1984 hal 7)

Festival Rock

Memasuki dasawarsa 1980-an musik Indonesia semakin diiringi pertumbuhan jumlah perusahaan rekaman. Kualitas band dan pemusik Indonesia kian meningkat. Selain itu, kompetisi band pun semakin semarak. Musik rock juga semakin berkembang karena adanya perluasan sub genre seperti heavy metal. Penggemar musik semakin familiar dengan nyanyian bersuara melengking. Musik Indonesia juga mulai mengenal alat musik elektronik synthesizer yang mampu memberikan efek musik elektro dan pop disko. Alhasil, ide untuk menggelar festival musik rock pun tercetus.

Festival Rock se-Indonesia digelar Log Zhelebour sebagai promotor yang menjadi bagian dari sejarah musik rock di Indonesia. Sebagai promotor yang bergerak di bisnis pertunjukkan musik, Log melihat banyaknya grup band musik rock pemula bermunculan, bahkan di antara mereka dinilai memiliki potensi dari segi tampilan bermusik. Namun, grup band pemula dinilai masih kurang terfasilitasi untuk muncul ke permukaan unjuk kebolehan.

Baca juga: Log Zhelebour: Saya Ingin Bertarung Lagi

Akhirnya, dengan merangkul sponsor dari perusahaan rokok PT Djarum, Log berhasil mewujudkan obsesinya menyelenggarakan Festival Rock se-Indonesia I dengan back drop panggung Djarum Super Rock Festival 1984, yang digelar di Stadion 10 November di Tambaksari, Surabaya, pada 14 April 1984. Sekitar 30 grup band menjadi peserta sebagai perwakilan dari Jawa, Bali, Irian Jaya, seperti Elpamas, LCC Band, Grass Rock, Q Red, Flash Rock, Amara, Blues Brothers, Full of Shit, Heaven, Literature Rock, Vocation, Leizig, Warrock Rock Band, Squencer, Heart Breaker, Bom Chankar, Sensitive Band, Mat Bitel, Nicky Astria, Bom Chankar, Sensitive Band, Mat Bitel, Nicky Astria & D’Ronners, Smallers Band, Harley Angels, 2nd Smile, Jam Rock, Bissing, dan Drop Out.

Pada awal penyelenggaraan festival, setiap peserta diberi kebebasan membawakan lagu pilihan sendiri, termasuk menyanyikan lagu pilihan dari grup band mancanegara. Peserta juga diwajibkan menyanyikan lagu bernada pesan sponsor. Ajang festival rock ini mendapat sambutan luar biasa, terbukti jumlah peserta band dari pelosok nusantara yang ikut dalam festival bertambah setiap tahunnya.

Baca juga: Penguasa Industri Musik dari Masa ke Masa

ARSIP KOMPAS

Festival Rock ke X versi Log Zhelebour yang berlangsung di stadion sepak bola Tambaksari, Surabaya, 10 dan 11 Desember 2004 diikuti 25 grup semifinalis dari 18 propinsi yang kemudian disaring menjadi 10 finalis.

Label Indie

Pada era 90-an, musik rock bertransformasi. Musik grunge muncul dengan icon-nya Nirvana. Musik rock juga berubah menjadi lebih ‘lembut’. Bintang rock tidak selalu menampilkan simbol-simbol maskulintias yang esktrem, tetapi lebih kasual. Di Indonesia muncul band besar di antaranya, Dewa 19, Sheila on 7, Padi, dan Potret.

Para musisi dan grup musik rock di Indonesia juga banyak yang kemudian lebih memilih jalur independen atau yang lebih dikenal dengan musik indie. Jalur musik indie berarti jalur independen dalam bermusik. Produk indie label kemudian menjadi pilihan oleh para musisi karena bisa lebih bebas dalam eksplorasi dan berekspresi. Uniknya, kiprah para pemusik indie justru kemudian dilirik oleh para major label.

Lewat jalur musik indie, musisi rock menggarap secara mandiri, mulai dari proses produksi hingga pola distribusi lagu-lagunya. Jalur indie, memberi mereka peluang mempertahankan eksistensi dan karya-karyanya tanpa dikutak-katik demi strategi bisnis semata.

Penggagas musik indie mencuat dari Bandung dengan konsep D.I.Y. atau Do It Yourself lewat band-band seperti PAS Band. Pas Band berdiri secara resmi pada tahun 1990. Pada tahun 1993 grup yang terdiri dari Bengbeng (gitar), Trisno (Bass), Yukie (vokal) dan Richard Mutter (drum) ini merilis album EP berbendera indie label dengan debut, Four Through The Sap. Selain itu hadir pula band Pure Saturday, Koil, dan Rumah Sakit.

Era sekitar tahun 2005 di mana musik mulai dapat dinikmati dalam format digital, jalur ini melahirkan banyak musisi rock di Indonesia seperti White Shoes and the Couples Company, The Upstair, The Brandals. The Sigit.

Kompas/Soelastri Soekirno

Aksi band The Brandals di acara Rooftop Gigs yang diadakan di Menara Kompas Jakarta pada Kamis (16/1/2020).

Konser daring

Pandemi Covid-19 membuat pertunjukkan musik melandai. Musisi termasuk musisi rock tidak bisa menggelar konser berskala besar dan mendatangkan ribuan massa. Di satu sisi, mereka tetap harus produksi dan kreatif. Maka, konser musik pun dialihkan ke konser musik secara daring.

Gelaran konser daring ini merupakan salah satu alternatif mengingat konser berskala besar dan live musik reguler di cafe dan pub juga tutup. Pada helatan konser daring, para musisi tampil tetap menerapkan protokol kesehatan dengan memakai masker dan tidak mendatangkan penonton atau publik secara langsung. Seperti yang dilakukan musisi rock di Surabaya yang menggelar konser musik daring di Komplek Balai Pemuda Surabaya, Jawa Timur, pada Juni 2020. Perhelatan konser musik rock secara daring juga akan digelar God Bless pada 31 Agustus 2021 di website KompasTV. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • Mencari Landasan Musik Rock di Indonesia, Kompas, 26 Maret 1995
  • Band-band yang Tetap Bertahan, Kompas, 1 April 2001
  • Masa Rock Psikedelik *Jendela, Kompas, 29 April 2002
  • Suara Rakyat Bernama Rock N’ Roll, Kompas, 17 November 2002
  • Meniti Jejak Tony Koeswoyo, Kompas, 10  Oktober  2003
  • Musik: Biar Rock, Harus Tetap Indonesia.., Kompas, 4 September 2015
Buku
  • Sakrie, Denny. 2015. 100 Tahun Musik Indonesia. Gagas Media.
  • Rahman, Taufiq. 2016. Lokasi Tidak Ditemukan: Mencari Rock and Roll Sampai 15.000 Kilometer. Elevation Books.
  • Sumrahadi, Abdullah. 2017. Ekonomi Politik Musik Rock: Refleksi Kritis Gaya Hidup. LP3ES.
  • Palit, Alex. 2020. Festival Rock se-Indonesia Log Zhelebour: Sebuah Tonggak Sejarah Musik Rock Indonesia. Forum Bedah Kaset Indonesia (Forum Apresiasi Musik Indonesia)
  • 1992. Ensikolopedia Musik Jilid II. Cipta Adi.
Internet