KOMPAS/WINDORO ADI
Museum Kebangkitan Nasional. Di tempat inilah lahir organisasi Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908. Pergerakan Boedi Oetomo menandai awal perjuangan kebangsaan Indonesia. Tanggal kelahiran organisasi ini kemudian dijadikan sebagai hari Kebangkitan Nasional. Gedung ini berlokasi di Jalan Abdurahman Saleh nomor 26, Jakarta Pusat. Foto diambil pada 18 Januari 2013
Fakta Singkat
Organisasi Budi Utomo
- Hari lahir: 20 Mei 1908
- Tokoh pendiri BU : Soetomo, Soeradji Tirtonegoro, Goenawan Mangoenkoesoemo, Mohammad Soelaiman, Gondo Soewarno,
Raden Ongko Prodjosoedirdjo, Mochammad Saleh,
Raden Mas Goembrek
Kongres Pertama Budi Utomo
- Tanggal : 3-5 Oktober 1908
- Lokasi : Solo
- Peserta : 300 orang
- Pembicara:
– Dokter Wahidin Sudirohusodo selaku ketua kongres
– Gunawan Mangkukusumo selaku ketua cabang Jakarta
– Sutomo
– Damargo dari cabang Magelang
– Sarosa ketua cabang Yogyakarta dari Sekolah Guru
– Dokter Mangunhusodo dari Solo - Hasil kongres :
– Pembentukan pengurus organisasi
– Pengesahan AD/ART
– Penetapan tujuan organisasi
Tujuan : Mengusahakan kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian dan peternakan, perdagangan, teknik, industri, dan kebudayaan.
Organisasi Budi Utomo didirikan pada 20 Mei 1908 di gedung STOVIA Jakarta oleh para pemuda pelajar Sekolah Dokter Jawa atau STOVIA yang diketuai oleh Soetomo. Organisasi ini menjadi organisasi nasional pertama yang lahir di Indonesia.
Kehadirannya sebagai organisasi pertama membuat Organisasi Budi Utomo menjadi pelopor bagi gerakan kebangsaan di Indonesia. Kehadiran Budi Utomo itu kemudian disusul dengan berdirinya organisasi-organisasi yang lain, seperti Sarekat Islam, Indische Partij, Muhammadiyah dan beberapa organisasi pemuda dan pergerakan lainnya.
Sejumlah sekolah menjadi saksi kelahiran organisasi Budi Utomo diantaranya sekolah pertanian dan kehewanan di Bogor, sekolah pamong praja pribumi di Magelang dan Probolinggo, sekolah menengah petang di Surabaya, dan sekolah-sekolah pendidikan guru pribumi di Bandung, Yogyakarta dan Probolinggo.
Pada era Presiden Soekarno, tanggal 20 Mei ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional pada tahun 1948. Ketika itu, Soekarno menyebutnya Kebangunan Nasional. Selanjutnya, Hari Kebangkitan Nasional ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden (KEPPRES) tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 Tentang Hari-Hari Nasional Yang Bukan Hari Libur.
Selain Hari Kebangkitan Nasional, pada Keppres tersebut pemerintah menetapkan sejumlah hari nasional yang bukan kategori hari libur, yakni: Hari Pendidikan Nasional pada tanggal 8 Mei, Hari Kebangkitan Nasional pada tanggal 20 Mei, Hari Angkatan Perang pada tanggal 5 Oktober, Hari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober, Hari Pahlawan pada tanggal 10 November dan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.
DOKUMEN MUSEUM KEBANGKITAN NASIONAL
Foto bersama Golongan Tua dan Golongan Muda Pengurus Besar Kongres I Boedi Oetomo dan Pelajar Stovia pendiri Boedi Oetomo. Duduk dari kiri ke kanan 1. Tirtokoesoemo (Bupati Karanganyar), 2. Dwidjosewojo (Guru Kweekschool Yogyakarta), 3. Wahidin Soedirohoesodo (Dokter Pensiunan dari Yogyakarta), 5 Pangeran Notodirojo. Berdiri di depan R. Soetomo (STOVIA Weltevreden) ( Enam dari kiri). Berdiri di belakang Mohammad Soelaiman (tiga dari kiri), Gunawan Mangunkusumo (empat dari kiri), Moehammad Saleh (lima dari kiri), Rm Goembrek (enam dari kiri), dan Gondo Soewarno (tujuh dari kiri)
Latar Belakang Sejarah
Pendirian Budi Utomo tidak bisa dilepaskan dari diterapkannya Politik Etis di masa pemerintahan kolonial Belanda menjelang akhir abad ke-19. Politik Etis adalah kebijakan politik balas budi yang mencakup tiga bidang, yaitu irigasi, edukasi, dan emigrasi.
Ketika itu, kalangan etis mendesak pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk menerapkan kebijakan yang berpihak kepada kaum pribumi. Salah satu orang Belanda yang mendukung Politik Etis itu adalah Conrad Theodor Van Deventer. Anggota Parlemen Belanda (1905-1909) itu berpandangan, sudah sepantasnya Belanda berterima kasih kepada rakyat Hindia (Indonesia) karena telah memperoleh keuntungan besar selama berpuluh-puluh tahun menguasai Nusantara.
Pemerintah kolonial Belanda kemudian mulai mendirikan beberapa sekolah yang diperuntukkan bagi penduduk pribumi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan penduduk melalui bidang pendidikan. Langkah pertama yang dilakukan pemerintah kolonial untuk memberikan pendidikan bagi penduduk pribumi bersifat praktis. Pemerintah mendirikan sekolah seperti sekolah untuk pendidikan guru sekolah dasar dan pembantu di bidang kesehatan rakyat.
Pembaharuan pemerintah dalam bidang pendidikan tersebut menjadikan siapa saja yang ingin menduduki jabatan pemerintahan pribumi harus mengenyam pendidikan Barat. Beberapa bupati di Jawa mengadakan pengajaran pribadi untuk anggota-anggota keluarganya. Ada juga yang menyewa guru swasta untuk mengajarkan anak-anaknya berbicara dan mengerti bahasa Belanda. Selain itu, didirikan juga lembaga-lembaga pengajaran secara Barat untuk anak-anak pribumi seperti sekolah untuk anak-anak priyayi atas (Hoofdenschool), Sekolah Guru (Kweekschool) dan Sekolah Dokter Jawa.
Namun demikian, kebijakan pemerintah Kolonial Belanda itu belum sesuai dengan yang diharapkan kendati kaum bumiputera/pribumi mulai mengenyam pendidikan. Hal itu kemudian berdampak terhadap munculnya kaum terpelajar di Indonesia.
Masa-masa itulah yang kemudian disebut dengan era pergerakan nasional dengan Budi Utomo sebagai salah satu perhimpunan kebangsaan yang mengawalinya.
Lahirnya Budi Utomo
Berdirinya organisasi Budi Utomo tidak bisa dilepaskan dari sosok Dokter Wahidin Sudirohusodo (1857-1917). Sebagai lulusan sekolah dokter Jawa di Weltvreden (sesudah tahun 1900 dinamakan STOVIA), Dokter Wahidin Sudirohusodo merupakan salah satu tokoh pelajar yang berusaha memperjuangkan nasib bangsanya.
Pada tahun 1901, Wahidin menjadi direktur majalah Retnodhoemilah (Ratna yang berkilauan) yang diterbitkan dalam bahasa Jawa dan Melayu dan dikhususkan untuk kalangan priyayi. Hal ini mencerminkan besarnya perhatian seorang priyayi terhadap masalah-masalah dan status golongan priyayi itu sendiri. Ia juga berusaha memperbaiki masyarakat Jawa melalui pendidikan Barat.
Wahidin kemudian menghimpun beasiswa agar dapat memberikan pendidikan modern cara Barat kepada golongan priyayi Jawa dengan mendirikan Studie Fonds atau Yayasan Beasiswa. Gerakan pendirian studiefonds disusul dengan berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta.
R Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Soeradji Tirtonegoro, Gondo Soewarno, Soelaiman, Angka Prodjosudirdjo, M. Soewarno, Moehammad Saleh, dan RM Goembrek adalah sembilan orang yang mendirikan Budi Utomo.
Sejak bulan Juli 1908, suratkabar Bataviaasch Niiuwsblad menyiarkan segala sesuatu yang berhubungan dengan didirikannya Budi Utomo serta tujuannya. Adapun pandangan cabang Jakarta mengenai apa yang dicita-citakan dan ingin dicapai melalui kongres yang akan datang itu selain dimuat dalam surat kabar juga di dalam De Loco motief.
Pada tanggal 8 Agustus 1908, pengurus Budi Utomo mengadakan rapat untuk membahas rencana kongres Budi Utomo yang akan dilaksanakan pada Oktober 1908. Dalam rapat itu, dihasilkan empat keputusan. Pertama, Yogyakarta disahkan sebagai tempat pelaksanaan kongres. Kedua, kongres terbuka untuk umum. Ketiga, pengurus Budi Utomo akan mengirimkan wakilnya untuk menemui gubernur jenderal, memberitahu rencana pelaksanaan kongres Budi Utomo. Sedangkan keempat, menunjuk Dokter Wahidin Sudirohusodo sebagai ketua kongres.
Dinamika Kongres Pertama Budi Utomo
Kongres pertama Budi Utomo berlangsung selama tiga hari, 3-5 Oktober 1908, di gedung Kweek School (Sekolah Pendidikan Guru), Jetis, Yogyakarta (sekarang SMU 11 Yogyakarta). Alasan Yogyakarta dipilih sebagai tempat kongres antara lain, Yogyakarta adalah tempat tinggal Dokter Wahidin Sudirohusodo, Yogyakarta merupakan lambang kesatuan Jawa, dan sebagai pernyataan hormat dan terima kasih atas bantuan yang diberikan Pangeran Notodirdjo (Pakualam).
Kongres perdana Budi Utomo ini dihadiri oleh 300 peserta yang terdiri dari priyayi, dokter, jaksa, guru, pelajar, pejabat Belanda, wartawan, wakil-wakil golongan Belanda dan China, wanita dan golongan rakyat “tidak bergelar”.
Selama tiga hari kongres, sejumlah tokoh memberikan pidato seperti Dokter Wahidin Sudirohusodo selaku ketua kongres, Gunawan Mangkukusumo selaku ketua cabang Jakarta, Sutomo, Damargo dari cabang Magelang, Sarosa ketua cabang Yogyakarta dari Sekolah Guru, dan dokter Mangunhusodo (kemudian terkenal sebagai RT Wedyadiningrat) dari Solo.
Sartono Kartodirdjo dalam tulisan di Kompas (3/10/1988) dengan judul “Kongres Boedi Oetomo Pertama”, mengungkapkan isi pidato keenam pembicara tersebut. Dokter Wahidin Sudirohusodo selaku ketua kongres mengemukakan masalah pengajaran yang memerlukan biaya besar, sehingga tidak terjangkau oleh kebanyakan orangtua; pengajaran kejuruan yang mendidik dan memperluas kesempatan kerja, di samping bidang kepegawaian atau kepriyayian; pengajaran pertanian perlu ditingkatkan agar kehidupan petani dapat diperbaiki. Akhirnya, dokter Wahidin mengecam adat untuk menyelenggarakan perhelatan secara berlebih-lebihan, sehingga seringkali mengakibatkan kebangkrutan.
Gunawan Mangkukusomo selaku ketua cabang Jakarta menegaskan bahwa pada setiap masyarakat ada hasrat untuk mengembangkan diri. Meskipun Gupermen Hindia Belanda pada tahun-tahun terakhir banyak memperluas pengajaran, namun dianggapnya belum memadai kebutuhan. Sebagai contoh disebut, untuk 30 juta penduduk hanya ada tamatan dokter hewan 12 orang. Dalam masalah kemajuan pengajaran, kelompok Budi Utomo hendak menunjukkan kepada pemerintah bahwa usaha mereka sungguh-sungguh. Maka Budi Utomo bertujuan untuk secara kolektif dan koperatif mengusahakan kemajuan itu.
Budi Utomo cabang Jakarta kemudian mengajukan sembilan usulan untuk mengajukan pengajaran, antara lain: perluasan pendidikan rakyat pada umumnya dan secara khusus sekolah desa, membantu pengajaran agama di pedesaan, meningkatkan pengajaran rendah dan pertanian, memperbaiki pendidikan teknis para dokter pribumi, memasukkan pelajaran bahasa Belanda dalam kurikulum sekolah dasar pribumi.
Usulan berikutnya, memperluas kesempatan bagi kaum wanita untuk memperoleh pendidikan, mendirikan pondokan bagi siswa-siswa yang belajar di Batavia, Semarang, dan Surabaya, memajukan pertumbuhan kerajinan dan perdagangan sehingga tercipta golongan menengah yang kuat, dan mengembangkan perpustakaan dan forum ceramah-ceramah. Akhirnya diadakan imbauan kepada pemerintah untuk menyelidiki keadaan ekonomi rakyat.
Sutomo menyampaikan rencana menerbitkan majalah perkumpulan. Apakah diterbitkan sebagai mingguan ataukah harian, sangat tergantung dari keuangan organisasi. Adapun bahasa yang dipakai adalah bahasa Melayu umum karena dimengerti umum. Selain itu, dapat diadakan lampiran bahasa Belanda.
Damargo dari cabang Magelang mengemukakan keadaan rakyat kebanyakan yang hidup dalam kemiskinan serta serba keterbelakangan. Di samping perluasan pengajaran, diperlukan peningkatan pengetahuan umum rakyat tentang pertanian, kesehatan, pendidikan, sejarah serta pengetahuan mengenai keadaan di Barat, kesemuanya untuk menyadarkan rakyat, betapa mereka serba terbelakang keadaannya. Tujuannya, agar rakyat tidak lagi menjadi korban pemerasan dan penipuan.
Ketua cabang Yogyakarta II dari Sekolah Guru, Sarosa, membentangkan perkembangan sejarah masyarakat Jawa yang berturut-turut menerima pengaruh Hindu, Islam, dan Barat. Pengaruh Barat lewat sekolah-sekolah hingga saat itu, hanya bermanfaat bagi golongan priyayi saja. Maka itu, Budi Utomo bertujuan antara lain: memajukan bangsa Jawa dan memajukan kaum wanita. Untuk kaum wanita dimaksudkan agar dapat membantu suami serta memberi pendidikan yang baik bagi anak-anaknya. Harapannya ialah agar pengajaran dimanfaatkan sebanyak-banyaknya demi perkembangan masyarakat.
Dokter Mangunhusodo (RT Wedyadiningrat) dari Solo tampil sebagai penutup dalam Kongres. Dengan menggunakan bahasa Jawa, RT Wedyadiningrat menyampaikan permasalahan, apakah bangsa Jawa mampu menyerap kebudayaan Eropa. Pangkal pembicaraannya ialah pertanyaan, apakah kaum pribumi akan maju dengan menerima peradaban Eropa.
RT Wedyadiningrat menerangkan, berdasarkan teori Darwin, evolusi dan hereditas dasar orang Jawa berbeda seperti bumi dan langit dengan bangsa Eropa. Orang Jawa tidak perlu membuang adat istiadatnya, namun berusaha mencoba menerima adat kebiasaan Eropa.
Berbagai faktor membuat perbedaan serta memisahkan Barat dan Timur, antara lain faktor iklim. Perlu diakui bahwa ilmu pengetahuan eksakta dipelajari dari buku-buku ciptaan Barat, namun hal itu dapat berubah. Dia tidak yakin, bahwa pelajaran bahasa-bahasa Barat akan memberi manfaat seperti yang umum harapkan. Pada hematnya, bahasa,adat, dan kesenian Jawa perlu dijunjung tinggi sedangkan peradaban Barat tidak sesuai bagi orang Jawa.
Uraian itu segera ditanggapi oleh dokter Cipto Mangunkusumo dari Demak yang mempertanyakan apakah kebudayaan Jawa yang dibiarkan saja akan mengalami perkembangan? Selama berabad-abad bahasa, adat istiadat dan kesenian Jawa menunjukkan kemandekan.
Dokter Mangunhusodo tidak sependapat dengan pembahas dan menegaskan bahwa kebudayaan Jawa juga mengalami perubahan dan perkembangan. Dia tidak bermaksud menolak segala sesuatu yang bukan Jawa itu buruk. Yang dia maksud ialah, agar dalam mengambil alih unsur-unsur Barat perlu dipertimbangkan mana yang sesuai dengan kebudayaan sendiri.
Terkait suasana kongres waktu itu, ada beberapa catatan dari pelapor yang dapat mencerminkan suasana rapat ketika itu seperti ditulis oleh Abdurrachman Surjomihardjo dalam tulisannya di Kompas (11/10/1972) dengan judul “Dari Laporan Kongres Bangsa Indonesia Yang Pertama – Awal Oktober 1908”.
Salah satu yang dicatat bahwa setelah pidato “President Congres” “tiada seorangpoen jang menjahoet atau membantah, maka hal begitoe itu boleh dianggap, bahwa jang mendengarkannja telah moefakat dalam hatinja jaitu selainnja orang jang memang tidak mengerti”.
Setelah pidato Soetomo “orang dalam Congres bertepoek tangan sekaliannja, akan menjatakan, bahwa mereka itu bersetoedjoe hatinja; perbantahan djoega tiada ada”. Tetapi sehabis pidato Mas Bei Mangunhusada (bukan Wahidin Sudirohusodo), seorang dokter kraton Surakarta, setelah tepuk tangan tanda setuju maka “tidak semoeanja demikian, sebab baharoe sadja berhenti tepoek tangan itoe, lantas ada yang membatah, tiada antara lama tambah menambah banjaknya orang jang tiada setoedjoe akan lezing itoe”.
KOMPAS/MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
Sejumlah siswa SMA 11 Yogyakarta tengah melakukan kegiatan di Aula Budi Utomo, awal Oktober 2018. Pada 3-5 Oktober 1908, ruang aula itu menjadi lokasi kongres pertama Budi Utomo. Ruangan itu dulunya merupakan ruang makan Kweekschool (Sekolah Guru) Yogyakarta.
Hasil Kongres
Kongres Budi Utomo berhasil menetapkan dan mengesahkan pengurus organisasi, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Budi Utomo, dan tujuan organisasi.
Kongres Budi Utomo menghasilkan kepengurusan perkumpulan baru, yang terdiri dari Ketua RAA Tirtokoesoemo, wakil Ketua Dokter Wahidin Sudirohusodo, Sekretaris I M Ng Dwidjoseojo, Sekretaris II R Sosrosoegondo, Bendahara RMP Gondo Atmodjo dan Komisaris yang terdiri dari tiga orang, yaitu Dokter Cipto Mangunkusumo, R Djajasoebrata, dan RMP Sorjodipoetro.
Kongres pertama juga merombak susunan pengurus Budi Utomo yang semula merupakan siswa-siswa STOVIA, digantikan dengan tokoh-tokoh yang dianggap lebih berpengalaman dan pantas memangku jabatan pengurus. Pedoman yang dianut pada saat itu adalah “pemuda-pemuda jadi motor dan orang-orang tua jadi sopir, supaya kapal tak hancur terkena karang dan selamat sampai ke pelabuhan”.
Tirtokoesoemo dianggap sebagai sosok yang tepat untuk memimpin perkumpulan Budi Utomo karena bisa diterima oleh semua kelompok. Bagi golongan tua beliau adalah golongan Bupati, sedangkan kaum muda menilainya sebagai seorang yang berpikiran maju dan memperhatikan kesejahteraan rakyat.
Selain kepengurusan organisasi Budi Utomo, kongres juga mengesahkan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Budi Utomo. Rencana Anggaran Dasar itu dibuat oleh cabang Jakarta dengan persetujuan cabang Bogor.
Kongres pertama juga menetapkan tujuan Budi Utomo, yaitu mengusahakan kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian dan peternakan, perdagangan, teknik, industri, dan kebudayaan.
Program Budi Utomo yang dirumuskan antara lain yaitu: perbaikan kondisi materiil, himbauan untuk hidup lebih sederhana bagi masyarakat lapisan atas, pengembangan golongan menengah melalui kapitalisme, pengembangan industri pribumi dan pertanian untuk pasar nasional dan internasional, pembelajaran mengenai tanah-tanah jajahan lain selain Hindia Belanda.
Tujuan pendidikan digalakkan untuk anak-anak pribumi menguasai Bahasa Belanda dan tuntutan agar animo masuk anak-anak pribumi ke sekolah-sekolah dasar Eropa diperbanyak. Hingga tahun 1909 orang-orang yang berbicara Bahasa Belanda hanyalah keluarga bupati, priyayi, dan guru.
Program Budi Utomo juga mengemukakan berbagai macam pendidikan menengah yaitu: pembukaan sekolah dagang, penyempurnaan sekolah pendidikan guru, sekolah pertanian, OSVIA, mempertahankan kualitas STOVIA, dan perubahan kurikulum pada sekolah-sekolah tertentu. Program Budi Utomo tersebut memberikan prioritas pada pendidikan Barat.
Pemberitaan pers dan tanggapan penguasa di Belanda
Kongres pertama Budi Utomo itu menarik perhatian kalangan pers maupun penguasa di Belanda kala itu. Menurut Abdurrachman Surjomihardjo dalam tulisannya di Kompas 11/10/1972 dengan judul “Dari Laporan Kongres Bangsa Indonesia Yang Pertama – Awal Oktober 1908” menyebut kalangan pers di Indonesia kala itu baik harian, mingguan maupun bulanan telah mengawetkan peristiwa kongres tersebut dengan lebih seksama dan jangkauan yang lebih luas.
Berdasarkan bibliografi yang disusun oleh Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara), antara 1908-1918 tercatat 41 karangan dalam majalah mingguan atau bulanan. Suratkabar De Locomotief, Bataviaasch Nieuwsblad, Nieuws van den Dag, Java Bode, Pemberita Betawi dapat dimasukkan sebagai dokumen berita yang teliti dan berarti.
Majalah-majalah terpenting yang memuat karangan-karangan tentang Budi Utomo adalah De Indische Gids, Revue du monde Musulman, Zendingstijdschrift Weekblad voor Nederlandsch Indie, Koloniale Studien, Hindia Poetra, Nederlandsch Indie Oud en Nieuw dan sebagainya.
Sementara itu, berkaitan dengan laporan resmi pemerintah Hindia Belanda, dari penerbitan tahun 1967 dapat diketahui bahwa baru pada tanggal 15 Oktober 1908, ada dokumen yang menunjukkan Gubernur Jenderal JB Van Heutsz dengan penuh perhatian mengikuti berita suratkabar pada era itu.
Untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari kalangan DPR Nederland, maka sebuah bagian dari Kementerian Jajahan Belanda menyusun sebuah nota tentang Budi Utomo, yang bahan-bahannya terutama berasal dari Bataviaasch Nieuwsblad.
Dr GAJ Hazeu, penasehat pemerintah untuk urusan pribumi, membuat analisisnya kepada Gubernur Jenderal van Heutsz pada Desember 1908. Kesimpulan umum dari laporan-laporan jabatan itu ialah, bahwa pemerintah Hindia Belanda dengan hati-hati dan waspada akan mengikuti perkembangan Budi Utomo dengan memperhatikan alasan-alasan yang lebih mendalam mengenai cita-cita pemimpin-pemimpinnya serta latarbelakang kondisi sosial yang tidak memuaskan bagi mereka.
Akhirnya pada tanggal 28 Desember 1909, pemerintah kolonial Belanda menyatakan Budi Utomo sebagai perkumpulan yang sah.
Arsip yang memuat informasi terkait sejarah Boedi Oetomo dipamerkan dalam pameran “Arsip Boedi Oetomo” di Gedung Arsip Nasional, Jakarta, Kamis (21/8/2014). Pameran akan berlangsung hingga 30 Agustus 2014.
Referensi
- “Budi Utomo Dan Kebangunan Nasional (sebuah pendekatan ilmiah sedjarah) (1), Kompas, 20 Mei 1970, hal. 03
- “Budi Utomo dan Kebangunan Nasional (sebuah pendekatan ilmiah sedjarah) (2), Kompas, 21 Mei 1970, hal. 03
- “Dari Laporan Kongres Bangsa Indonesia Yang Pertama – Awal Oktober 1908”, Kompas, 11 Oktober 1972, hal. 2
- “Boedi Oetomo” Didirikan Soetomo Bukan Wahidin”, Kompas, 1 Februari 1973, hal. 01
- “Bagaimana Lahirnya Perkumpulan “Budi Utomo”, Kompas, 19 Mei 1973, hal. 5
- “Memahami arti Hari Kebangkitan nasional 20 Mei 1908”, Kompas, 22 Mei 1978, hal. 06
- “Empat puluh dua tahun yang lalu petisi Sutardjo diajukan”, Kompas, 15 Juli 1978, hal. 10
- “Menunggu Kebangkitan Nasional Kelima”, Kompas, 18 Mei 1984, hal. 4
- “Hari Kebangkitan Nasional dalam Proses Sejarah, Kompas, 19 Mei 1985, hal. 2
- “Budi Utomo adalah Organisasi Kemasyarakatan yang Pertama”, Kompas, 21 Mei 1986, hal. 4
- “Budi Utomo: Awal Kebangkitan”. Kompas, 20 Mei 1987, hal. 4
- “Budi Utomo, Benarkah Pergerakan Kebangsaan”, Kompas, 20 Mei 1988, hal.4
- “Kongres Boedi Oetomo Pertama”, Kompas, 3 Oktober 1988, hal. 4
- “Hari Kebangkitan Nasional: Sejarah dan Mitos”, Kompas, 20 Mei 1994, hal. 04
- “Budi Utomo, Ekspresi Suatu Identitas * 50 Tahun Indonesia Emas”, Kompas, 20 Mei 1995, hal. 01
- “Kebangkitan Nasional: Pelurusan Sejarah Budi Utomo”, Kompas, 25 April 2008, hal. 67
- “100 Tahun Kebangkitan Nasional: Kipling, Ratu Wilhelmina, dan Budi Utomo”, Kompas, 5 Mei 2008, hal. 01
- “100 Tahun Kebangkitan Nasional: Renaisans Asia Lahirkan Patriotisme Bangsa-bangsa”, Kompas, 12 Mei 2008, hal. 01
- “Makna Satu Abad Budi Utomo”, Kompas, 16 Mei 2008, hal. 06
- “100 Tahun Kebangkitan Nasional: Semangat Kebangsaan yang Harus Terus Dipelihara”, Kompas, 19 Mei 2008, hal. 01
- “Sejarah: Budi Utomo dan Nagazumi”, Kompas, 19 Mei 2008, hal. 36
- Ricklefs,M.C., 1991. Sejarah Modern Indonesia (terj. Dharmono Hardjowidjono). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
- Sudiyo, dkk. 1997. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia Dari Budi Utomo Sampai Dengan Pengakuan Kedaulatan. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Museum Kebangkitan Nasional
- Muttaqin, Fajriudin, Iryana, Wahyu, 2015. Sejarah Pergerakan Nasional, Bandung: Humaniora
- 2017. Buku Panduan Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional
- Nagazumi, Akira, 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. Jakarta: Graffiti Press
- Dari “Nasion” menuju Masyarakat Pancasila, kilas balik 110 tahun Kebangkitan Nasional, laman kemdikbud
- Kaum Nasionalis Dalam Dunia Pergerakan, laman Kemdikbud
- Seminar 110 Tahun Kebangkitan Nasional, laman Kemdikbud
- STOVIA dan Kebangkitan Nasional, laman Kemdikbud
- Pameran 9 Tokoh Pendiri Budi Utomo, laman Kemdikbud
- Dialektika Sejarah Budi Utomo, laman Indonesia.go.id
- Pergerakan Nasional di Indonesia, Diawali Organisasi Budi Utomo, laman Kompas.com
- Hari Kebangkitan Nasional, Bangkitnya Nasionalisme, laman Kompas.com