KOMPAS/FX PUNIMAN
Gedung Sate, dengan ciri khasnya berupa ornamen tusuk sate pada menara sentralnya, telah lama menjadi penanda atau markah tanah Kota Bandung yang tidak saja dikenal masyarakat di Jawa Barat, namun juga seluruh Indonesia (22/7/1984) . Model bangunan itu dijadikan penanda bagi beberapa bangunan dan tanda-tanda kota di Jawa Barat.
Fakta Singkat
- Kota Bandung berdiri pada 25 September 1810.
- Tumenggung Wiraangunangun atau Ki Astamanggala merupakan Bupati Bandung pertama (1632–1681).
- Pada tahun 1844, penduduk di Kota Bandung mencapai 11.054 jiwa.
- Wilayah Kota Bandung dan sekitarnya pada awalnya merupakan sebuah danau purba yang kemudian dikenal sebagai Danau Bandung Purba.
- Sektor pendidikan kembali berkembang di daerah Bandung dengan dibukanya Sekolah Pendidikan Pegawai Bumiputera atau OSVIA pada tahun 1879.
- Pada sektor transportasi, pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan Batavia-Bandung melalui Bogor dan Cianjur berhasil dirampungkan dan diresmikan tanggal 17 Mei 1884.
Kota Bandung sebagai ibu kota Provinsi Jawa Barat resmi berdiri pada tanggal 25 September 1810. Sebagai kota metropolitan, Bandung memiliki sejarah panjang sejak masa Kerajaan Mataram hingga zaman kolonial. Sosok Tumenggung Wiraangunangun yang juga dikenal dengan nama Ki Astamanggala menjadi Bupati Bandung pertama (1632–1681) di bawah pemerintahan Kerajaan Mataram yang dipimpin Sultan Agung.
Ia dilantik bersama dua bupati lainnya berdasarkan “Piagem Sultan Agung”, yang dikeluarkan pada hari Sabtu tanggal 9 Muharam Tahun Alip (penanggalan Jawa). Saat itu ibu kota Kabupaten Bandung berada di Krapyak di pingiran hulu Sungai Citarum yang sekarang dikenal dengan Dayeuhkolot.
Selain Wiraangunangun ada sosok bupati yang menjadi pendiri Kota Bandung. Ia adalah bupati ke-6, yaitu R.A Wiranatakusumah II, yang memimpin Bandung pada 1794–1829 atau pada masa kolonial. Saat pembuatan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) dari Anyer hingga ke Panarukan yang melintasi Bandung, Wiranatakusumah II memindahkan ibu kota Bandung dari Krapyak, ke tepi barat Sungai Cikapundung, tepi selatan Jalan Raya Pos yang kini menjadi pusat Kota Bandung.
Kota Bandung diresmikan sebagai ibu kota Kabupaten Bandung dengan surat keputusan bertanggal 25 September 1810. Pada tanggal tersebut Wiranatakusumah II, memindahkan pusat pemerintahan dari Krapyak ke sekitar wilayah alun-alun Kota Bandung saat ini. Wilayah yang dipilih berada di sekitar Jalan Raya Pos yang kini dikenal sebagai Jalan Asia Afrika.
Asal Nama Kota Bandung tak lepas dari sejarah Kota Bandung tempo dulu. Hal ini karena nama Bandung sendiri disebut berasal dari kata “bendung” atau “bendungan”. Menurut wilayahnya pada zaman dulu Kota Bandung disebut berada di aliran Sungai Citarum yang terbendung oleh lava yang berasal dari Gunung Tangkuban Perahu. Hal ini menyebabkan daerah antara Padalarang hingga Cicalengka serta daerah antara Gunung Tangkuban Parahu hingga Soreang sempat terendam air.
Tempat itu kemudian berubah menjadi sebuah telaga besar yang dikenal dengan sebutan “Danau Bandung” atau “Danau Bandung Purba”. Setelah surut, bekas danau tersebut menjadi tempat berdirinya pemerintahan Kabupaten Bandung dan Kota Bandung.
Sementara jika dilihat dari legendanya, nama Bandung itu berasal dari kendaraan air yang dipakai oleh pendiri kota itu, yakni RA. Wiranatakusumah II. Menurut legenda, bupati ke-6 Bandung itu sering memakai kendaraan air untuk menyusuri Sungai Citarum dalam mencari tempat kedudukan kabupaten baru, agar bisa menggantikan ibukota lama, Dayeuhkolot. Bentuk kendaraan airnya berupa dua perahu yang diikat secara bersamaan, namanya adalah perahu Bandung.
KOMPAS/MOHAMMAD NASIR
Gedung Merdeka hasil sentuhan arsitek Prof Ir CP Wolff Schoemaker, guru Bung Karno, terkenal di seluruh penjuru dunia, setelah dijadikan tempat Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Gedung ini setiap hari masih dikunjungi wisatawan lokal dan mancanegara untuk melihat dari dekat karya arsitek besar Schoemaker (26/8/2002) .
Danau Bandung Purba
Berdasarkan fakta geologi, wilayah Kota Bandung dan sekitarnya dahulu merupakan sebuah danau purba yang disebut sebagai Danau Bandung Purba. Keberadaan danau purba memang cukup wajar mengingat posisi geografis Bandung yang terletak di antara deretan dataran tinggi lainnya seperti Gunung Tangkuban Perahu di sisi utara serta Gunung Malabar di sisi selatan.
Proses terbentuknya danau purba di wilayah ini telah diteliti oleh para ahli geologi dari Belanda sejak dekade 1930-an. Ada beberapa kemungkinan terbentuknya danau purba, salah satunya adalah terbendungnya aliran Sungai Citarum oleh lahar dari gunung api.
Jejak danau purba ini juga mirip dengan legenda asal usul nama Bandung. Konon, Bandung berasal dari kata bandeng atau ngabandeng yang merupakan sebutan untuk genangan air yang luas. Sementara pendapat lain mengisahkan bahwa Bandung berasal dari dari kata “bending” yang berkaitan dengan terbendungnya aliran Sungai Citarum hingga menjadi danau besar.
Danau purba ini diperkirakan telah terbentuk pada 100.000 tahun yang lalu dan berangsur mengering sejak 20.000 tahun silam. Danau itu terbilang luas, dengan paras tertinggi mencapai 725 mdpl yang membentang barat-timur, dari Cicalengka hingga Rajamandala. Sementara dari utara-selatan, dari perempatan Jalan RE Martadinata dengan Jalan Dago dan Jalan Merdeka, mengikuti ketinggian 725 mdpl, hingga selatan di Soreang, Ciparay, Baleendah, dan Majalaya.
Setelah terjadinya letusan-letusan gunung berapi di sekitarnya salah satunya Gunung Tangkubanparahu, Danau Bandung Purba akhirnya jebol di antara kawasan Cikahuripan – Cukangrahong – Curug Halimun. Jebolnya danau ini disebabkan oleh gempa bumi dan tanah longsor. Karena peristiwa ini, air danau perlahan menyusut hingga menyisakan rawa-rawa. Selain menyebabkan keringnya danau, jebolnya danau juga membuat aliran Citarum berubah.
Area Danau Bandung Purba yang mengering itu berbentuk cekungan dan tak lagi dikenal dengan danau Bandung, melainkan Cekungan Bandung. Kini wilayah Cekungan Bandung dikenal juga sebagai Bandung Raya (Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat)
Diperkirakan, sekitar 4.000 tahun sebelum masehi telah terdapat kehidupan manusia secara nomaden pada cekungan ini. Jejak kehidupan ini salah satunya dapat diketahui dari temuan sejumlah artefak seperti mata panah hingga alat cukur dari batuan gunung.
Kehidupan secara nomaden mulai berakhir dan berganti dengan bercocok tanam sekitar 2.500 hingga 1.500 tahun sebelum masehi. Peninggalan megalitikum di kawasan Pasir Panyandaan, Bandung, turut membuktikan adanya kehidupan manusia pada masa itu.
KOMPAS/JULIAN SIHOMBING
Peringatan 40 tahun Konferensi Asia Afrika pada 24 April 1995 serta Pertemuan Tingkat Menteri Biro Koordinasi Gerakan Nonblok di Gedung Merdeka, Bandung.
Era prasejarah di Jawa Barat berakhir pada pertengahan abad ke-5 Masehi seiring ditemukannya beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Selain prasasti, keberadaan Kerajaan Tarumanegara juga ditulis oleh Fa Xian, seorang pendeta asal China yang datang ke Pulau Jawa pada tahun 414 Masehi.
Selain Tarumanegara, juga terdapat beberapa kerajaan lainnya di Jawa Barat seperti Kerajaan Galuh (abad ke-7 M) dan Kerajaan Sunda (abad ke-10 M). Namun, belum terdapat catatan yang menyebutkan adanya aktivitas di wilayah yang saat ini dikenal sebagai Kota Bandung.
Belum adanya bukti sejarah tentang aktivitas kerajaan terbilang wajar mengingat Kota Bandung adalah wilayah yang baru terbentuk seiring perkembangan wilayah Kabupaten Bandung akibat meluasnya penguasaan wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram.
Saat kerajaan Mataram bertambah besar pada 1628, Dipati Ukur yang menjabat sebagai wedana atau bupati Sumedang, ditugaskan untuk mempersiapkan pasukan guna membantu pasukan Kerajaan Mataram menyerang VOC di Batavia.
Namun, Mataram mengalami kekalahan saat menghadapi VOC. Khawatir diberi hukuman karena pasukannya gagal merebut Batavia, Dipati Ukur mencoba untuk melepaskan diri dari Mataram. Namun, keputusan itu harus dibayar dengan serangan dari Kerajaan Mataram yang tidak menerima keputusan Dipati Ukur untuk melepaskan diri dari kerajaan.
Pada tahun 1632, Dipati Ukur akhirnya ditangkap dan dihukum mati. Setelah kejadian ini, daerah Priangan mulai ditinggalkan oleh penduduknya. Menyadari hal ini, Sultan Agung dari Kerajaan Mataram mulai mengirimkan penduduk pada tahun 1641, termasuk ke wilayah Kabupaten Bandung. Ini dilakukan agar VOC dan Kerajaan Banten tidak memperluas cakupan wilayah kekuasaan hingga ke daerah Priangan.
Adalah sosok Tumenggung Wiraangunangun yang juga dikenal dengan nama Ki Astamanggala menjadi Bupati Bandung pertama (1632–1681) yang berdiri di bawah pemerintahan Kerajaan Mataram.
Ia dilantik bersama dua bupati lainnya berdasarkan “Piagem Sultan Agung”, yang dikeluarkan pada hari Sabtu tanggal 9 Muharam Tahun Alip (penanggalan Jawa). Saat itu, ibu kota Kabupaten Bandung berada di Krapyak yang sekarang disebut Dayeuhkolot.
Daerah Kabupaten Bandung berpusat di Krapyak, atau yang kini dikenal sebagai Dayeuhkolot. Hingga tahun 1706, terdapat sekitar 1.000 keluarga yang mendiami wilayah ini. Inilah awal mula kisah terbentuknya Bandung sebagai sebuah kota.
Daerah Kabupaten Bandung semakin berkembang seiring keberadan kakak beradik Ronde Geysbergen dan Jan Geysbergen, serta seorang kopral VOC dari Batavia yang dibuang ke Bandung pada tahun 1742 untuk menjalani hukuman.
Berkat suksesnya bisnis penggergajian kayu yang dilakukan oleh orang “buangan” pemerintah kolonial, Bandung mulai dikenal sebagai paradise in exile atau surga di dalam pengasingan. Wilayah yang juga disebut sebagai Tatar Bandung ini semakin ramai didatangi oleh orang-orang bangsa Eropa lainnya.
Hingga pertengahan abad ke-18, perjalanan dari Batavia (kini bagian utara Jakarta), hingga ke wilayah pedalaman Priangan ditempuh dengan perahu dengan menyusuri sejumlah sungai.
Menurut catatan perjalanan yang ditemukan oleh E.C.G. Molsbergen tahun 1935, sudah terdapat jalan setapak yang menghubungkan wilayah Batavia, Bogor, dan Bandung pada tahun 1786. Jalur ini memiliki arti penting pada perkembangan wilayah Bandung selanjutnya. Salah satunya adalah mulai dibukanya kebun kopi di bagian selatan Gunung Tangkuban Perahu atau bagian utara Bandung pada tahun 1789.
Cerita Bandung sebagai sebuah kota dimulai ketika Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1808 hingga 1811. Awalnya, Kota Bandung adalah kawasan hutan yang masih asri.
Pada masa pemerintahannya, Daendels membangun Grote Postweg atau Jalan Raya Pos dari Anyer hingga Panarukan. Disebut Jalan Raya Pos karena jalan ini digunakan sebagai jalur kereta pos dan mempermudah mobilisasi pasukan dalam pertahanan menghadapi Inggris.
Jalan Pos ini dibangun melawati Batavia, Bogor, Cianjur, Bandung, hingga mengarah ke utara menuju Cirebon. Saat melewati wilayah Bandung, Jalan Raya Pos cukup jauh dari pusat daerah Kabupaten Bandung. Daendels pun mengeluarkan perintah untuk memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Bandung hingga mendekati jalan raya yang dibangun.
Meski ada perintah dari Deandels, kota itu dibangun bukan atas prakarsa Daendels, melainkan atas prakarsa Bupati Bandung, bahkan pembangunan kota itu dipimpin langsung oleh Bupati. Dengan kata lain Bupati R.A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (The Founding Father) Kota Bandung.
Kota Bandung diresmikan sebagai ibukota baru Kabupaten Bandung dengan besluit (surat kelulusan) Tanggal 25 September 1810. Pada tanggal tersebut Bupati Kabupaten Bandung Wiranatakusumah II, memindahkan pusat pemerintahan dari Krapyak ke sekitar wilayah alun-alun Kota Bandung saat ini. Wilayah yang dipilih berada di sekitar Jalan Raya Pos yang kini dikenal sebagai Jalan Asia Afrika.
Inilah periode awal perkembangan Kota Bandung. Keputusan Wiranatakusumah II memindahkan pusat pemerintahan menjadi momen bersejarah bagi Kota Bandung. Hingga kini, tanggal 25 September diperingati sebagai hari jadi Kota Bandung. Sementara wilayah yang ditunjuk oleh Daendels sebagai lokasi pemindahan pusat Kabupaten Bandung kini dikenal sebagai titik nol kilometer yang berada di sisi utara Jalan Asia Afrika.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Para kepala negara Asia dan Afrika berjalan bersama dalam “Historical Walk” untuk memeringati 60 tahun Konferensi Asia Afrika di Jalan Asia Afrika, Bandung, Jumat (24/4/2015).
Perkembangan kota
Bandung sebagai sebuah wilayah baru mengalami perkembangan yang cukup lambat. Kondisi ini tidak terlepas dari kebijakan Gubernur Jenderal G.A. Baron Van der Capellen yang menutup Karesidenan Priangan bagi orang Eropa dan China. Kebijakan ini dikeluarkan pada 9 Januari 1821 yang tertuang dalam Staatsblad atau Lembar Negara Nomor 6 Tahun 1821. Ini dilakukan agar Pemerintah Hindia Belanda dapat mengontrol perkebunan kopi sepenuhnya di Karesidenan Priangan.
Kebijakan ini turut berdampak pada minimnya jumlah penduduk di wilayah Bandung. Pada tahun 1844, penduduk di Kota Bandung masih mencapai 11.054 jiwa yang terdiri dari 11.000 penduduk asli dan 54 orang penduduk dari bangsa lainnya seperti China, Arab, dan bangsa Eropa.
Namun, kebijakan ini berakhir pada tahun 1852 karena adanya penentangan dari sejumlah pihak. Kota Bandung perlahan kembali bergeliat, terutama setelah ditunjuk sebagai ibu kota Karesidenan Priangan menggantikan Cianjur tahun 1864. Pemindahan ibu kota ini dilakukan setelah Cianjur terkena dampak dari letusan Gunung Gede.
Bandung secara bertahap mulai berkembang. Pembangunan pada berbagai sektor dilakukan seiring status baru sebagai ibu kota karesidenan yang disandang. Pada tahun 1866, pembangunan sekolah guru atau Kweekschool Voor Inlandsche Onderwijzers dimulai di sekitar wilayah yang kini dikenal sebagai Jalan Merdeka. Gedung tersebut kini digunakan sebagai kantor Polrestabes Bandung.
Pemindahan pusat pemerintahan juga diikuti oleh pembangunan gedung karesidenan tahun 1867. Gedung tersebut hingga kini masih bertahan sebagai rumah dinas gubernur Jawa Barat yang dikenal dengan Gedung Pakuan.
Sektor pendidikan kembali berkembang di daerah Bandung dengan dibukanya Sekolah Pendidikan Pegawai Bumiputera atau OSVIA pada tahun 1879. Bandung menjadi satu dari enam kota di Pulau Jawa selain Magelang, Madiun, Blitar, Probolinggo, dan Serang, yang memiliki sekolah pendidikan untuk calon pegawai.
Hingga akhir abad ke-19, sekolah pada tingkat pendidikan dasar dan kejuruan terus dikembangkan di sejumlah kawasan. Identitas Bandung sebagai kota pendidikan mulai terbentuk pada era ini.
Selain pemerintahan dan pendidikan, perkembangan Kota Bandung juga terlihat dari sektor transportasi. Pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan Batavia-Bandung melalui Bogor dan Cianjur berhasil dirampungkan dan diresmikan tanggal 17 Mei 1884. Sayangnya, jalur tersebut sempat mati dan kini kembali coba direaktivasi oleh Kementerian Perhubungan.
Sejumlah perkembangan ini turut berdampak pada pertumbuhan jumlah penduduk. Hingga tahun 1896, sudah terdapat 29.382 penduduk yang menghuni kawasan Bandung, meningkat dua kali lipat dalam kurun waktu setengah abad.
Pada era ini, Bandung belum semaju Batavia. Belum semua wilayah tersentuh pembangunan. Sebagai gambaran, lokasi yang kini dikenal sebagai Jalan Braga kala itu masih dalam keadaan berlumpur. Sementara jembatan Cikapundung masih berupa balok kayu berlapis jerami.
Kota Bandung semakin berkembang jelang pergantian abad ke-20. Bahkan, Bandung dipilih sebagai wilayah tujuan pemindahan pabrik mesiu dan pabrik senjata atau Artillere Constructie Winkel dari Surabaya. Pabrik senjata ini menjadi cikal bakal PT Pindad yang masih eksis hingga saat ini. Ini menunjukkan bahwa Bandung mulai memiliki posisi strategis dalam bidang pertahanan militer.
Pemindahan pabrik senjata juga berdampak pada pemindahan para pegawai beserta keluarganya. Menyiasati itu, dibangunlah sebuah perkampungan di wilayah Kiaracondong untuk pegawai pabrik dari Surabaya. Kini, perkampungan tersebut dikenal sebagai wilayah Babakan Surabaya yang terletak di sisi utara Stasiun Kiaracondong.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Pertunjukan Angklung Mang Udjo. Pementasan beragam hiburan kesenian di Saung Angklung Udjo di kawasan Pasirlayung, Cibeunying Kidul, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (7/9/2018). Saung Angklung Udjo adalah suatu tempat yang merupakan tempat pertunjukan, pusat kerajinan tangan dari bambu, dan workshop instrumen musik dari bambu. Selain itu, SAU mempunyai tujuan sebagai laboratorium kependidikan dan pusat belajar untuk memelihara kebudayaan Sunda dan khususnya angklung.
Pertambahan penduduk
Memasuki abad ke-20, Bandung mulai berkembang pesat seiring semakin banyaknya jumlah penduduk lokal dan bertambahnya kedatangan orang-orang Eropa. Ruas jalan mulai diaspal, salah satunya adalah Jalan Gereja pada tahun 1900 yang kini dikenal sebagai Jalan Perintis Kemerdekaan di Kecamatan Sumur Bandung.
Penduduk dari luar Bandung juga mulai berdatangan. Penduduk dari Bogor, misalnya, yang datang ke Bandung untuk bekerja pada proyek pembangunan rel kereta api Bogor-Bandung pada akhir abad ke-19. Daerah pemukiman pendatang dari Bogor dikenal sebagai Babakan Bogor atau yang kini berada di sekitar wilayah Kebon Kawung yang terletak di sisi utara Stasiun Bandung.
Orang-orang dari luar Bandung terus berdatangan untuk bekerja pada berbagai bidang seperti guru, pedagang, pelajar, hingga anggota militer. Bahkan, pada tahun 1905, juga telah terdapat Kampung Arab yang dihuni oleh sekitar 125 orang di lokasi yang kini dikenal sebagai Gang Aljabri dan Jalan Alkateri.
Bandung juga memiliki jalur rel kereta baru yang resmi dibuka pada 29 Desember 1906. Jalur kereta ini menghubungkan Bandung dengan Purwakarta, Cikampek, hingga Batavia. Jalur inilah yang hingga saat ini masih digunakan.
Hingga tahun 1906, jumlah penduduk di Kota Bandung telah mencapai 38.400 jiwa dengan luas wilayah sekitar 900 hektar. Sementara area yang ditempati oleh warga pendatang maupun warga asli adalah seluas 240 hektare.
Seiring perkembangan wilayah, pada tahun 1906 Kota Bandung memperoleh status gemeente atau kotapraja yang dipimpin burgemeester. Status ini diberikan pada 21 Februari 1906 saat Residen Priangan dijabat oleh G.A.F.J. Oosthout dan berlaku efektif pada 1 April 1906. Sejak itulah Kota Bandung resmi lepas dari Kabupaten Bandung, walaupun ibu kota Kabupaten Bandung masih terletak di Kota Bandung.
Status ini diberikan karena Bandung telah memiliki wilayah yang tetap, penduduk yang cukup banyak, ketersediaan fasilitas bagi warga, dan adanya penguasa yang menyelenggarakan pemerintah. Sejak saat itu, Bandung secara resmi menjadi daerah otonom dalam pemerintahan Hindia Belanda. Luas wilayah Bandung semakin berkembang pada tahun 1911 menjadi 2.150 hektare dengan luas area yang ditempati seluas 300 hektare.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Kawasan Jalan Braga, Bandung, Jawa Barat, yang ramai saat senja, Jumat (28/4/2017). Kawasan Jalan Braga menjadi salah satu kawasan yang sedikit demi sedikit dikembalikan kehidupan ekonominya melalui revitalisasi. Namun revitalisasi juga memperhatikan pentingnya bangunan kondisi bangunan cagar budaya yang mampu menjadi daya tarik pengunjung.
Penataan Kota
Jelang memasuki dekade 1920-an, Bandung mulai dirancang secara serius oleh pemerintah kolonial dan dicanangkan sebagai pusat angkatan perang Hindia Belanda. Wacana ini terlihat dengan sejumlah kebijakan pada bidang militer yang diarahkan ke Kota Bandung dan sekitarnya. Selain memindahkan pabrik senjata, Departemen Peperangan atau Departement van Oorlog juga pindah dari wilayah Jatinegara ke Bandung pada tahun 1916.
Selain pada bidang militer, Bandung juga dipersiapkan sebagai kota taman dengan pembangunan taman-taman di sejumlah titik. Dengan konsep ini, Bandung dirancang menyerupai Kota Paris yang pada saat itu juga memiliki banyak taman.
Pemerintah kolonial juga berencana untuk memindahkan pusat pemerintahan karena Batavia dinilai memiliki persoalan pada kesehatan. Posisi Batavia yang berada di lingkungan pesisir dan pelabuhan dikhawatirkan dapat memberikan dampak bagi kesehatan penghuninya jika terus berkembang setelah menjadi pusat pemerintahan.
Pendidikan di Bandung juga semakin berkembang dengan dibangunnya De Technische Hoogeschool te Bandung pada 3 Juli 1920 yang menjadi cikal bakal dari Institut Teknologi Bandung. Kampus teknik ini dibangun untuk mencukupi kebutuhan sumber daya manusia di bidang teknik. Ini dilakukan karena kendala hubungan Belanda dengan negara jajahan, termasuk Indonesia, sebagai dampak dari Perang Dunia I.
Rangkaian perkembangan Bandung pada dekade awal abad ke-20 turut berdampak pada semakin ramainya penduduk di kota ini. Tahun 1921, jumlah penduduk Bandung terus bertambah hingga mencapai 102.227 jiwa dengan komposisi 80 persen penduduk lokal dan 20 persen pendatang dari Eropa dan China. Jumlah ini belum termasuk pasukan militer yang diperkirakan sekitar 10.000 jiwa.
Bandung yang berstatus sebagai daerah otonomi terbatas resmi berubah sebagai kotamadya dengan otonomi penuh atau stadsgemeente. Status ini ditetapkan melalui Surat Keputusan Gubernur Jendral Nomor 3 tanggal 27 Agustus 1926.
Seiring berkembangnya Kota Bandung, para arsitek Belanda, salah satunya Thomas Karsten, merancang Kota Bandung pada tahun 1930 dengan konsep jangka panjang. Rancangan yang ditawarkan adalah perluasan Kota Bandung dalam jangka waktu 25 tahun dari sekitar 2.000 hektar menjadi 12.758 hektar. Kota ini dirancang sebagai tempat tinggal bagi 750.000 ribu jiwa penduduk. Rancangan kota ini dibentuk pada era jabatan wali kota Bertus Coops (1928-1934).
Pada bidang olahraga, sepak bola juga turut berkembang seiring pertumbuhan Kota Bandung. Pada 14 Maret 1933, perkumpulan sepak bola bernama Persib resmi terbentuk. Persib adalah hasil gabungan dari klub lokal yang telah terbentuk sebelumnya. Tanggal 14 Maret kemudian menjadi momen perayaan ulang tahun Persib Bandung hingga saat ini.
Hingga tahun 1940, Bandung telah tumbuh sebagai kota layaknya Paris pada masanya. Taman-taman, fasilitas pendidikan, hingga lingkungan tempat tinggal yang mewah telah menghiasi Bandung.
Namun, terdapat pemisahan golongan pemukiman antara orang Eropa dan Indonesia. Orang Eropa menempati pemukiman modern yang terletak di sisi utara rel kereta api. Sementara penduduk lokal tersebar pada sisi selatan Jalan Raya Pos atau yang kini disebut Jalan Asia Afrika serta pada daerah pinggiran di sekitar pemukiman Eropa. Penduduk asli bekerja pada berbagai bidang seperti pegawai, pengusaha kecil, pedagang eceran, hingga usaha pertukangan.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA
Pengunjung berfoto pada gelaran Bandung Tourism Week, di Jalan Soekarno, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (13/12/2016). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, wisatawan mancanegara yang masuk melalui Bandara Husein Sastranegara, Kota Bandung, meningkat dalam lima tahun berakhir. Pada 2015, jumlah wisman 159.647 orang atau meningkat 76,76 persen dari 2010 sebanyak 90.314 orang.
Masa Perang Dunia
Memasuki periode perang dunia, Bandung mulai merasakan dampak pada tahun 1941 dan 1942 atau jelang kedatangan Jepang di Indonesia. Pada periode ini, Bandung dijadikan sebagai markas angkatan perang Hindia Belanda dan pusat komando bagi angkatan perang sekutu di Asia Tenggara. Ini tidak terlepas dari sejumlah persiapan militer yang telah dilakukan sejak akhir abad ke-20 di wilayah Bandung dan Cimahi.
Tak hanya itu, Bandung bahkan diusulkan sebagai wilayah perwakilan pemerintahan Belanda selama negara itu diduduki saat perang Perang Dunia II. Namun, ide ini tidak terlaksana karena Ratu Wilhelmina selaku pimpinan Belanda, memutuskan untuk tetap berada di wilayah yang dekat dengan Inggris agar dapat lebih mudah berkonsolidasi.
Saat Jepang berhasil masuk ke Indonesia tahun 1942, Bandung sebagai pusat kekuatan militer Belanda tak luput dari tujuan serangan. Secara perlahan, Jepang mulai bergerak ke arah Bandung melalui jalan lintas Ciater. Jepang berhasil menembus pertahanan di Ciater pada tanggal 6 Maret 1942.
Pada 7 Maret 1942 pukul 20.00, Jepang berhasil menduduki Lembang. Menyadari kian terdesak, Belanda akhirnya menyerah. Pada 8 Maret 1942, Jepang secara resmi menguasai Indonesia. Berakhirlah periode kolonialisasi Belanda di Indonesia. Hingga akhir pemerintahan kolonial Belanda, Bandung tak kunjung menjadi pusat pemerintahan seperti yang pernah diwacanakan.
Jepang mulai masuk ke Bandung pada 9 Maret 1942. Pada era pemerintahan Jepang, Bandung dipilih sebagai lokasi pemusatan sekitar 25.000 tawanan perang, termasuk tentara KNIL yang merupakan tentara bayaran pemerintah Belanda khusus di wilayah jajahan. Status Bandung sebagai pusat wilayah militer pada era Hindia Belanda dengan dukungan sejumlah fasilitas turut mendukung keputusan ini.
Salah satu tindakan yang dilakukan oleh Jepang adalah menghapuskan unsur Belanda di Indonesia, termasuk Bandung. Pada 29 April 1942, dilakukan pembakaran terhadap atribut Belanda di alun-alun Bandung. Jepang berusaha agar pengaruh Belanda hilang sehingga dengan mudah menarik simpati masyarakat lokal.
Terdapat sekitar 15.000 orang Indonesia di Bandung yang dapat hidup bebas kala itu. Mereka yang hidup bebas di antaranya adalah pihak yang beranggapan bahwa Jepang perlu didukung untuk mewujudkan kemakmuran Asia Timur Raya.
Pada 1 Januari 1944, dibentuk sebuah komite urusan warga Indo-Eropa di Bandung yang bernama Barisan Oeroesan Golongan Indo (BOGI). Pengurus BOGI memiliki tujuan untuk menempatkan warga Indo Eropa di Bandung di bawah pengaturan Jepang. Namun, wacana ini tidak terlaksana seiring adanya perlawanan anti-Jepang pada September 1944. Perlawanan dilakukan oleh kelompok yang beranggotakan anak muda Indo-Eropa di Batavia.
Upaya pembersihan pengaruh Belanda salah satunya juga dilakukan oleh Jepang pada tahun 1944 dengan melakukan razia di beberapa wilayah Pulau Jawa, termasuk Bandung. Mereka yang terjaring saat razia ditangkap dan dipenjara.
Di tengah pendudukan Jepang, jumlah penduduk Kota Bandung juga semakin berkembang hingga mencapai 380.000 orang jelang proklamasi kemerdekaan. Namun, perkembangan Kota Bandung sempat stagnan pada era pemerintahan Jepang hingga awal kemerdekaan.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Ratusan kendaraan terjebak antrean panjang saat hendak masuk Kota Bandung melalui pintu tol Pasteur, Bandung, Jawa Barat, saat hari pertama libur akhir pekan panjang, Jumat (29/3/2013) petang. Wisata kuliner dan fashion masih menjadi daya tarik utama masyarakat menghabiskan libur di Bandung dan sekItarnya.
Masa Kemerdekaan
Setelah Indonesia memproklamasikan Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Kota Bandung masih dikuasai Tentara Sekutu dan NICA Belanda. Tentara itu menguasai wilayah Bandung Utara (wilayah di utara jalan kereta api yang membelah kota Bandung dari timur ke baratt). Sementara wilayah selatan jalan kereta api yang membelah Bandung sudah dikuasai Tentara Rakyat Indonesia (TRI).
Salah satu peristiwa heroik di awal kemerdekaan, yakni Bandung Lautan Api yang dipicu oleh ultimatum dari Tentara Sekutu dan Nica agar orang Indonesia menyingkir dari Kota Bandung sebelah utara jalan kereta api yang melintang dari timur ke barat sejauh radius 11 km paling lambat pada tanggal 24 Maret 1946. Ultimatum itu disampaikan tanggal 23 Maret 1946 kepada Perdana Menteri Syahrir. Jika tidak dipenuhi, Kota Bandung akan digempur habis-habisan.
Panglima Divisi III Kolonel AH Nasution maupun aparat pemerintah daerah menolak ultimatum itu karena sangat mustahil memindahkan ribuan pasukan Indonesia dalam waktu singkat. Sebagai panglima divisi, Nasution memutuskan mengeluarkan perintah agar semua pegawai dan rakyat keluar Kota Bandung tanggal 24 Maret 1946 sebelum pukul 24.00, dan tentara melakukan bumi hangus terhadap bangunan-bangunan penting yang ada di wilayah mereka.
Pada Minggu malam 24 Maret 1946, tentara Indonesia membakar sendiri markasnya, asrama dan bangunan-bangunan penting, rakyat juga banyak yang membakar rumahnya. Pada tanggal 24 Maret juga, rombongan besar rakyat Bandung mengalir panjang meninggalkan kota Bandung seiring pembakaran kota berlangsung.
Pembakaran diawali pada pukul 21.00 di Indisch Restaurant di utara Alun-alun (BRI Tower sekarang). Para pejuan dan masyarakat membakari bangunan penting di sekitar jalan kerata api dari Ujung Berung hingga Cimahi. Bersamaan dengan itu, TRI melakukan serangan ke wilayah utara sebagai “upacara” pengunduran diri dari Bandung, yang diiringi kobaran api sepanjang 12 km dari timur ke barat Bandung membara bak lautan api dan langit memerah mengobarkan semangat juang.
Kota Bandung sudah dipimpin setidaknya 17 nama yang menjabat wali kota sejak Indonesia merdeka. Wali kota pertama dipegang oleh R.A. Atmadinata yang menjabat pada 1945, kemudian digantikan oleh politikus Sjamsuridjal yang menjabat hingga tahun 1947.
Kemudian Raden Oekar Bratakoesoemah menjabat Wali Kota Bandung tahun 1947–1949 dan juga Gubernur Jawa Barat sejak 22 Desember 1948 hingga 1 September 1950 pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Dalam kariernya Oekar juga pernah menjabat sebagai rektor ITB 1964–1965 dan Menteri PU 1951–1952. Dua nama wali kota lainnya yang menjabat di masa Orde Lama, yakni R. Enoch (1949-1957) dan Priatna Kusumah (1957–1966).
Pada masa kemerdekaan, pembangunan dan penata kota secara signifikan terjadi kala kota itu ditunjuk sebagai tuan rumah Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Gedung-gedung yang menjadi tempat perhelatan diperbaiki, jalan-jalan dipercantik dan dihias, serta hotel-hotel dibangun dan dipercantik untuk menginap delegasi.
Dalam perkembangannya, Bandung menjadi kota pusat Pendidikan dengan dibangunnya fasilitas-fasilitas Pendidikan berupa kampus Universitas Padjadjaran dan Universitas Parahyangan menyusul Institut Teknologi Bandung yang sudah sebelumnya. Kemudian dibangun pula fasilitas olahraga, yakni Lapamgan Saparua dan Lapangan Siliwangi di pusat kota.
Sejak kemerdekaan hingga sekarang, luas wilayah kota sudah mengalami pertambahan. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945, luas Kota Bandung hanya ribuan hektare. Kemudian pada 1963, luasnya mencapai 9.000 hektare. Bergabungnya kecamatan Gedebage dari Kabupaten Bandung ke Kota Bandung pada 1987, membuat luas wilayah Kota Bandung bertambah dua kali lipat menjadi 16.729 hektare. Sejak tahun 2020, merujuk data terkini Profil Kota Bandung dalam Angka 2021, luas wilayah Kota Bandung secara resmi tercatat di angka 16.731 hektare atau 167,3 kilometer persegi.
Penduduk juga terus bertambah, Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, data jumlah penduduk Kota Bandung tercatat tahun 1952, sebanyak 659.977 jiwa. Tujuh tahun kemudian, pada 1959, jumlahnya menjadi 986.880 jiwa dan menembus 1 juta pada tahun 1960, yakni 1.081.000 jiwa. Setelah reformasi. Penduduk Kota Bandung tercatat 2.501.506 jiwa pada tahun 1998 dan menurun menjadi 2.444.160 jiwa berdasarkan hasil sensus penduduk 2020 lalu. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Katam, Sudarsono., dan Lulus Abadi. 2010. Album Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung: Khazanah Bahari
- Katam, Sudarsono. 2015. Album Bandoeng En Omstreken 1845-1910an. Bandung: Khazanah Bahari
- Katam, Sudarsono. 2014. Kereta Api di Priangan Tempo Doeloe. Bandung: Dunia Pustaka Jaya
- Kunto, Haryoto. 2008. Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung: Granesia
- Lubis, Nina H. 2000. Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat. Bandung: Alqaprint
- Lubis, Nina Herlina., Awaludin Nugraha, dkk. 2003. Sejarah Tatar Sunda Jilid 1. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran
- Lubis, Nina Herlina., Awaludin Nugraha, dkk. 2003. Sejarah Tatar Sunda Jilid 2. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran
- https://www.bandung.go.id/
- http://disdik.jabarprov.go.id/news/461/asal-muasal-dan-sejarah-bandung
- https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpcbm/aktivitas-kemaritiman-masa-kerajaan-sunda/
- https://ppid.bandung.go.id/knowledgebase/legenda-sangkuriang-asal-gunung-tangkuban-perahu/
- http://www.bandungkab.go.id/arsip/sejarah-berdirinya-kabupaten-bandung
- https://www.itb.ac.id/sejarah-dan-masa-depan
- http://ppid.bandung.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Rencana-Pembangunan-Jangka-Panjang-Daerah-RPJPD-Tahun-2005-2025.pdf
- https://bandung.kompas.com/read/2021/12/22/134221978/sejarah-dan-asal-nama-kota-bandung?page=all
- https://regional.kompas.com/read/2022/06/04/205844478/asal-usul-kota-bandung-wilayah-luapan-sungai-citarum-yang-terbendung?page=all
- https://bandung.kompas.com/read/2022/01/08/081000678/sejarah-kota-bandung-hingga-mendapat-julukan-paris-van-java?page=all
- https://travel.kompas.com/read/2022/06/05/193100027/asal-usul-nama-bandung-berdasarkan-sejarah-dan-cerita-rakyat?page=all