Ngatinem menyiapkan jamu bagi pelanggan di Restoran Satoo Hotel Shangri-la, Jakarta (18/4/2012). (KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)
Fakta Singkat
Diwariskan secara turun temurun
Penggunaan bahan alami diwariskan secara lisan (dari mulut ke mulut) oleh orang tua kepada anak-anak mereka.
Serat Centhini merupakan naskah kuno yang menceritakan tentang tanaman obat Jawa
Resep jamu obat tradisional dari tanaman didokumentasikan secara apik dalam serat yang ditulis oleh Kanjeng Gusti pangeran Adipati Anom Amengkunegara III, Pangeran Sunan Pakubuwono IV (1788–1820 M)
Ramuan jamu menggunakan konsep Keseimbangan dan Teori Panas-Dingin
Konsep keseimbangan adalah konsep dasar dalam sistem pengobatan menggunakan bahan alam atau herbal.
Jamu menjadi bagian khas kebudayaan Indonesia yang didayagunakan sebagai pengobatan sebelum ada pelayanan kesehatan formal dan obat-obatan modern. Jamu merupakan salah satu wujud kearifan lokal yang berkembang di masyarakat Indonesia, khususnya Jawa karena kebermanfaatan minuman tradisional ini. Hingga kini, jamu masih dipercaya oleh masyarakat dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit tanpa menimbulkan efek samping. Resep jamu diwariskan dari generasi ke generasi, baik melalui lisan maupun tertulis.
Jamu diambil dari bahan-bahan yang bersumber dari alam, misalnya tanaman seperti daun, bunga, biji, batang, ranting, akar umbi, rimpang, kayu dan lain-lain. Khasiat jamu diproleh dari rekayasa bahan-bahan tersebut yang bersifat saling mendukung dan melengkapi. Adanya konsep keseimbangan dalam penyusunan ramuan jamu membuat tiap bahan-bahan yang digunakan tidak asal pilih, melainkan diperhintungkan benar manfaat dan kegunaannya.
Pengetahuan Asli bangsa Indonesia
Jika menelusuri catatan sejarah baik berupa dokumen atau relief pada candi, dapat dilihat bahwa masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, sudah lama mengenal penggunaan jamu sebagai pengobatan berbagai penyakit.
1. Relief Candi (Abad ke-8)
Pada relief-relief candi Borobudur yang konon dibangun pada abad IX, kita dapat menemukan pohon Kalpataru sebagai lambang kehidupan. Di dekat sosok Kalpataru, tampil relief adegan orang-orang sedang meramu, menumbuk, memilis sebagai proses mempersiapkan ramuan jamu. Dalam kelompok relief yang sama, ditemukan juga petunjuk penggunaan jamu untuk kaum dewasa dan anak-anak di samping anjuran penggunaan jamu secara teratur dan berkesinambungan, baik internal maupun eksternal.
Hal ini menandakan bahwa pada saat candi Hindu tersebut dibangun, masyarakat Indonesia sudah sadar potensi tanaman berkhasiat. Dalam kisah pertempuran Rama melawan Rahwana, demi merebut kembali Shinta, tak kurang dari tiga kali muncul episode utilisasi tanaman berkhasiat alias jamu.
Relief lainnya di Candi Borobudur, yaitu relief Kamawibhangga. Salah satu adegan pada relief tersebut mengambarkan beberapa orang yang memberikan pertolongan kepada laki-laki yang sedang sakit dengan cara memijat kepalanya, menggosok perut dan dadanya, serta ada juga yang membawa semangkuk obat. Di sampingnya, terdapat adegan yang memperlihatkan suasana bersyukur atas kesembuhan seseorang. Relief lain juga ada yang mengambarkan tanaman yang masih digunakan sebagai pembuat jamu di Indonesia, seperti nagasari, semanggen, cendana merah, jamblang, pinang, pandan, maja, cendana wangi, kecubung, dan lain-lain.
Gambaran yang sama juga ditemukan pada relief-relief di Candi Prambanan, Candi Penataran, Candi Sukuh, dan Candi Tegawangi.
Artefak penemuan petani Adul di Dusun Joho, Kelurahan Condong Catur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, pada 8 Juli 2001 menyerupai pipisan dan gandik. Alat itu berfungsi untuk menggiling rempah-rempah jamu. Pada situs-situs arkeologi di Jawa, pipisan dan gandik sering kali ditemukan dalam konteks hunian masa Hindu-Buddha sampai masa pengaruh Islam di Jawa abad 15-17 Masehi. Kedua artefak tersebut juga biasa ditemukan di lingkungan percandian, sebagai bagian dari aktivitas pengelola upacara-upacara di candi. (KOMPAS/NURHADI RANGKUTI)
Artikel Terkait
2. Serat Centhini (1814–1823)
Salah satu bukti tertulis berupa manuskrip kuno yang pertama kali memuat tulisan mengenai jamu adalah Serat Centhini yang ditulis pada tahun 1814–1823. Serat Centhini merupakan gubahan bersama di bawah pimpinan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III, Putra Mahkota Kanjeng Susuhunan Pakubuwono IV, yang kemudian menjadi Pakubuwono V. Serat ini ditulis dengan bantuan beberapa orang di antaranya para pujangga Keraton Surakarta, yaitu Raden Ngabehi Yasadipura II, Raden Ngabehi Ranggasutrasna, Raden Ngabehi Sastradipura, serta para anggota, yakni Kanjeng Pangulu Tapsiranom, Pangeran Jungut Mandureja, Kiai Kasan Besari, dan Kiai Muhammad Minhad. Serat Centhini menjadi semacam ensiklopedia Jawa yang memuat berbagai cerita tentang adat istiadat, tata cara, dan ilmu-ilmu yang digunakan masyarakat Jawa kala itu. Dalam Serat Centhini khususnya jilid II, III, IV, V, VI, VIII, dan X yang disadur ke dalam Bahasa Indonesia dimuat cerita yang mengilustrasikan penggunaan jamu beserta resepnya. Ragam jenis jamu yang dituliskan, yakni jamu yang diminum, dikunyah, ditempelkan pada dahi, dioleskan pada perut,dioleskan pada badan, untuk meredam bagian badan, ditempelkan atau diteteskan pada bagian yang sakit, dan disemburkan kebagian tubuh yang diobati.
Pada periode tahun ini, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jawa sudah mengenal dan memanfaatkan berbagai tanaman bahan jamu baik untuk obat maupun ritual atau kebiasaan. Hal ini dapat dilihat dari Centhini jilid III yang sudah membahas tentang pengobatan untuk panas dingin, membunuh cacing, pencegah cacar, obat sarap, obat telinga, obat batuk, obat mata, obat bisul, dan lain sebagainya.
Masing-masing pengobatan dilengkapi dengan satu atau lebih uraian jenis bahan tanaman yang digunakan dan cara memakainya. Contohnya adalah obat untuk muntah darah dengan campuran bahan lempuyang, jeruk linglang, dan garam; atau campuran jahe, bawang putih, satu bungkul, dan air jeruk linglang; atau campuran 3 potong batang pisang saba, daun beringin, temu, bawang merah, asam lama, dan garam; lalu diminum.
3. Serat Kawruh Baba Jampi-Jampi Jawi (1831)
Pada tahun 1831, ditulis Serat Kawruh Baba Jampi-Jampi Jawi yang merupakan kumpulan ramuan obat asli Indonesia (Jawa). Menurut catatan, serat ini ditulis atas perintah Sri Susuhunan Pakubuwono V. Buku tersebut memuat 1.166 resep yang terdiri atas 922 resep ramuan bahan alam dan 244 resep berupa catatan rajah dan jimat atau gambar-gambar doa, rapal, dan mantra yang mempunyai daya penyembuh.
4. Buku Ny. Kloppenburg-Versteegh (1907-1911)
Pada zaman pra-kemerdekaan, jamu juga telah dipelajari oleh orang-orang Eropa, khususnya Belanda. Salah satu penulis Belanda yang menulis tentang jamu adalah Jans Kloppenburg-Versteegh. Ketika pertama kali dicetak, buku jamu Kloppenburg-Versteegh terdiri dari dua bagian. Bagian pertama memuat uraian singkat mengenai nama daerah asal tumbuhan, nama latin, morfologi, dan bagian-bagian tanaman yang dapat digunakan. Sedangkan, bagian kedua memuat resep pengobatan dan petunjuk pemeliharaan kesehatan agar terhindar dari gangguan kesehatan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa.
Jans Kloppenburg-Versteegh adalah seorang wanita berkebangsaan Belanda yang tinggal di Semarang pada era pergantian abad ke-19 hingga abad ke-20. Ibu dari Kloppenburg-Versteegh, yaitu Albertina van Spreeuwenburg. Albertina dikenal sering membantu masyarakat di sekitarnya yang sakit dengan pengobatan tradisional khususnya pengobatan herbal atau jamu.
Pekerja memilah kunyit sebelum dikemas dan dijual ke pengepul di Desa Klero, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah (21/1/2019). Semua hasil produksi mereka untuk memenuhi kebutuhan industri jamu dan kecantikan di sejumlah wilayah, seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya.(KOMPAS/ /P RADITYA MAHENDRA YASA)
Artikel Terkait
5. Serat Primbon Jampi Jawi (1933)
Serat Primbon Jampi Jawi yang disadur dan diterbitkan oleh Tan Khoen Swie pada tahun 1933 konon ditulis oleh Brotosuparto. Catatan ini memuat nama-nama penyakit dan jamu yang diurutkan dari 1 sampai dengan 290 dan dituliskan dalam Bab 1 sampai dengan 42. Buku ini juga merupakan inventarisasi penyakit dan pengobatan menggunakan bahan-bahan alami.
Serat Primbon Jawi ini berisi pengobatan beberapa macam penyakit dengan jamu, baik jamu yang ditelan (seperti untuk sakit asma, batuk, sakit perut, sariawan, dan lain-lain) maupun yang tidak ditelan (seperti tapel, sembur, boreh, pilis, untuk mengobati sakit kepala, sakit mata, sakit telinga, sakit gigi, batuk, dan lain-lain). Dalam buku ini, juga diuraikan khasiat dan manfaat beberapa bahan jamu seperti ketumbar, jintan hitam, mungsi arab, jahe, asam, dan lain sebagainya.
6. Kitab Primbon Betaljemur Adammakna (1939)
Tulisan lain yang memuat tentang pengobatan dengan herbal adalah Kitab Primbon Betaljemur Adammakna, yakni semacam ensiklopedia Jawa yang dibuat pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII tahun 1939. Kitab ini diterbitkan oleh Raden Somodidjojo dari naskah asli milik Kanjeng Raden Hadipati Danurejo, Papatih Dalem pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI. Primbon tersebut di samping berisi berbagai penjelasan tentang semua hal yang dialami dalam hidup manusia, juga memuat resep jamu untuk penyakit kelamin laki-laki, sehat lelaki, dan jamu kuat lelaki. Adapun resep jamu untuk perempuan, yaitu untuk wanita hamil, melahirkan, melancarkan asi, serta untuk bayi.
7. Buku Masakan dan Jamu Tradisional (1954)
Pada tahun 1954 R.Ay. Bintang Abdulkadir mewakili masyarakat Jawa yang tergolong maju karena merupakan istri seorang dokter dan tokoh wanita Jawa yang berpendidikan cukup di zamannya. Dirinya telah menulis buku berjudul Masakan dan Jamu Tradisional. Sampai tahun 1977, buku tersebut telah dicetak sebanyal lima kali. Dalam buku tersebut, Ibu Kadir mengelompokkan jamu yang dapat diminum dan tidak diminum. Pada kelompok jamu yang diminum, terdapat 32 resep yang dielngkapi dengan bahan, cara membuat, dan petunjuk pemakaiannya. Namun, hanya beberapa resep saja yang menampilkan takaran bahan dengan jelas. Jamu ini masing-masing diminum menurut periode daur hidup tertentu, misalnya setelah haid pertama, masa kehamilan, setelah melahirkan, dan lain-lain. Sedangkan, kelompok jamu yang tidak diminum dikelompokkan menjadi resep pilis, resep tapel, dan parem.
8. Tjabe Pujang Warisan Nenek Mojang (1965)
Karya lain mengenai jamu juga telah diterbitkan oleh Prapantja pada tahun 1965 yang berjudul Tjabe Pujang Warisan Nenek Moyang yang ditulis oleh Sudarman Mardisiswoyo dan Harsono Rajamangunsudarso. “Cabe Puyang” merupakan salah satu jamu yang cukup popular di masyarakat. Buku ini terdiri dari tiga bagian pokok. Pertama berisi daftar 364 ragam tanaman yang biasa digunakan dalam ramuan (obat-obat) di Indonesia, meliputi nama tanaman, tempat tumbuhan, jenis, sifat, keadaan, dan berbagai macam penyakit yang biasa diobati dengan bagian tanaman tersebut. Pada bagian kedua disajikan 243 gambar berbagai jenis tumbuhan dalam ramuan asli di Indonesia yang telah dijelaskan sebelumnya. Gambar atau lukisan ini semakin memperjelas wujud dari tanaman obat yang dimaksud. Selanjutnya, pada bagian ketiga buku ini, dijelaskan penyebab, gejala, perawatan, dan cara pengobatan dari 69 jenis penyakit dengan mengunakan campuran berbagai tanaman obat.
9. Catatan Jamu Tradisional (1982)
Rangkuman catatan mengenai jamu juga ditemui dalam buku yang berjudul Catatan Jamu Tradisional yang ternyata pernah ditulis oleh bangsawan pada era global, yaitu KRAy Hastungkoro pada tahun 1982, salah seorang istri Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Catatan ini dibagi menjadi dua bagian, pertama berisi pengobatan dan jamu untuk orang tua. Pada bagian untuk orang tua ini, terdiri dari jamu yang diminum seperti jamu sawanan, batuk, panas, dan lain-lain, serta rendhem, tapel, bobok, pilis untuk sakit kepala, kembung, capek, dan lain-lain. Pengobatan juga bisa diterapkan pada bayi seperti pengobatan untuk bayi yang kurus kering, panas atau kejang, sesak napas, dan muntah-muntah.
Sementara pada bagian kedua catatan ini, dibahas tentang penggunaan jamu sebagai kelengkapan dalam beberapa upacara adat yang langsung dipakai atau dikonsumsi dengan cara diminum. Misalnya, penggunaan jamu pada upacara adat Jawa Siraman Tarapan, yaitu upacara yang diadakan ketika seorang anak perempuan mendapat menstruasi untuk pertama kalinya. Anak perempuan tersebut akan dikurung dalam rumah sambil memakan empon-empon setiap waktu yang terdiri dari irisan kunyit, kencur, temulawak, bengle, beras, dan juruh.
10. Jamu, The Ancient Indonesian Art of Herbal Healing (2001)
Salah satu orang asing yang ditinggal di Indonesia pada tahun 1990-an adalah Susan-Jane Beers, yang kemudian tertarik dengan pengobatan asli Indonesia yakni jamu. Buku Jamu, The Ancient Indonesian Art of Herbal Healing terbit setelah risetnya selama 10 tahun berkeliling Indonesia untuk mendapatkan informasi mengenai penggunaan dan perkembangan jamu. Diceritakan dalam bukunya berbagai kisah tentang pengobatan tradisional Indonesia dari masa ke masa, pemakaian, dan konsumsi jamu di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, penyembuh, penjual kolektor, serta pelaku industri jamu di Indonesia.
Artikel Terkait
Barista kafe Jamu Acaraki di kawasan Kota Tua, Jakarta, sedang meracik jamu (19/5/2022). (KOMPAS/RIZA FATHONI)
Jamu pada Era Modern
Dalam perkembangannya, jamu tidak hanya dibuat dalam skala rumah tangga, melainkan sudah dalam skala industri karena meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya jamu. Untuk itu, pemerintah menerbitkan beberapa peraturan yang berfungsi melindungi warisan leluhur tersebut sekaligus mengatur mutu dan keamanan jamu.
Peraturan Pemerintah Terkait Jamu
Pengertian mengenai obat tradisonal di Indonesia telah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 179/Menkes/Per/VII/76. Peraturan tersebut menjelaskan bahwa obat tradisional adalah obat jadi atau obat bungkus yang berasal dari bahan tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral, dan sediaan galeniknya atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang belum mempunyai data klinis, dan dipergunakan dalam usaha pengobatan berdasarkan pengalaman.
Dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1992, tentang Kesehatan, dijabarkan mengenai pengobatan tradisional sebagai pengobatan dan atau perawatan dengan cara, obat, dan pengobatnya yang mengacu kepada pengalaman dan keterampilan turun-temurun, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Beberapa kebijakan pemerintah sudah dikeluarkan untuk mendukung, melindungi, dan mengawasi pengembangan obat tradisional Indonesia, di antaranya adalah Sistem Kesehatan Nasional (1982), Kebijakan Obat Nasional (1983), Undang-Undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1988 dan 1993.
Dalam GBHN 1988 ditegaskan bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan secara lebih luas dan merata sekaligus memelihara dan mengembangkan warisan budaya bangsa, perlu terus dilakukan penggalian, penelitian, pengujian, dan pengembangan obat-obatan serta cara pengobatan tradisional. Selain itu, GBHN juga mengatur pelestarian sumber bahan obat alam dengan amanat sebagai berikut: di samping itu perlu terus didorong langkah-langkah pengembangan budidaya tanaman obat-obatan tradisional yang dapat dipertangungjawabkan secara medis.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI juga mengeluarkan beberapa peraturan di bidang Obat Bahan Alam. Peraturan tentang Ketentuan Pokok Pengelompokkan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia menetapkan bahwa obat tradisional Indonesia dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan cara pembuatan, jenis klaim penggunaan, dan tingkat pembuktian khasiat. Tiga kategori tersebut adalah:
- Jamu (Empirical Based Herbal Medicine) adalah oabat tradisional yang mengandung seluruh bahan tanaman yang ada dalam resep dan disajikan secara tradisional dalam bentuk seduhan, serbuk, cair, pil, atau kapsul. Kriteria yang harus dipenuhi untuk ketegori ini adalah aman sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan, memenuhi persyaratan mutu yang berlaku, dan khasiat harus dapat dibuktikan berdasarkan data empiris.
- Obat Herbal Terstandar/ OHT (Standarized Based Herbal Medicine) adalah obat tradisional yang disajikan dari ekstrak atau penyarian alam, baik yang berasal dari tanaman obat, binatang, maupun mineral. Persyaratan untuk kategori ini lebih ketat dibandingkan dengan jamu. Selain harus aman dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku, klaim khasiat harus dibuktikan secara ilmiah berupa penelitian pra-klinis dan telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.
- Fitofarmaka (Clinical based Herbal Medicine) merupakan kategori obat tradisional yang memenuhi persyaratan yang berlaku untuk obat modern, di mana klaim khasiatnya harus dapat dibuktikan berdasarkan uji klinis pada manusia.
Selanjutnya adalah peraturan tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang baik (CPOTB) yang menegaskan bahwa setiap produsen obat tradisional wajib menerapkan CPOTB dalam memproduksi obat tradisional untuk meningkatkan mutu, keamanan, serta manfaatnya.
Pemanfaatan jamu untuk kesehatan bukan hanya sebagai bentuk kearifan budaya bangsa yang memanfaatkan alam sebagai sumber pengobatan alami, namun juga merupakan sarana konservasi keanekaragaman hayati. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Beers, Susan-Jane. 2001. Jamu: The Ancient Indonesian Art of Herbal Healing. Singapura: Tuttle Publishing.
- Tilaar, Martha & Widjaja, Bernnard T. 2014. The Power of Jamu: Kekayaan dan Kearifan Lokal Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Murdijati-Gardjito, dkk. 2018. Jamu: Pusaka Penjaga Kesehatan Bangsa, Asli Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- “Jamu: Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan”. Kompas, 01 Januari 2000, hal.75.