KOMPAS/DJOKO POERNOMO
Sri Sultan Hamengku Buwono IX di Bangsal Kencono Keraton Yogyakarta, menganugerahkan gelar pangeran kepada empat putra lelaki yang telah akil balik. Upacara sederhana namun sangat mengandung makna ini, berlangsung selama 45 menit (25/7/1988).
Fakta Singkat
- Istilah “Raja Jawa” mencuri perhatian publik setelah pernyataan Ketua Umum Partai Golkar yang baru, Bahlil Lahadalia, dalam Musyawarah Nasional XI di Jakarta Convention Center pada 21 Agustus 2024.
- Menurut Soemarsaid Moertono, Kekuasaan dalam pandangan Jawa kekuasaan memiliki dimensi yang kompleks, tidak hanya bersifat sosial-politik, tetapi juga magis dan religius.
- Alam pikir orang Jawa menggambarkan hubungan sistem kehidupan dengan dua macam jagad, yaitu jagad besar (makrokosmos) dan jagad kecil (mikrokosmos). Dalam konsep ini, raja dianggap sebagai pemimpin mikrokosmos, representasi kekuasaan Tuhan di dunia, perantara kedua dunia ini.
- Menurut Onghokham, legitimasi kekuasaan seorang raja Jawa bersumber dari dua hal utama: wahyu dan kesaktian.
- Wahyu bukanlah tiket bebas untuk berkuasa sewenang-wenang, seorang raja yang telah menerima wahyu harus mampu membuktikan bahwa dirinya layak menyandang gelar tersebut.
- Wahyu sebagai sumber legitimasi bisa berpindah tangan, dianggap hilang, jika seorang raja gagal memenuhi harapan rakyatnya.
- Relasi antara raja dan rakyat terstruktur dalam sebuah konsep yang disebut kawulo-gusti.
Istilah “Raja Jawa” mendadak mencuri perhatian publik setelah pernyataan Ketua Umum Partai Golkar yang baru, Bahlil Lahadalia, dalam Musyawarah Nasional XI di Jakarta Convention Center pada 21 Agustus 2024. Dalam pidatonya, Bahlil menyinggung tentang “Raja Jawa” dengan nada peringatan yang tegas, menekankan agar kader Golkar tidak sembarangan dalam menghadapi situasi politik yang melibatkan entitas ini.
Dalam pidatonya, Bahlil menegaskan, “Soalnya Raja Jawa ini kalau kita main-main, celaka kita. Saya mau kasih tahu saja. Jangan coba-coba main-main di barang ini. Ini, waduh, ngeri-ngeri sedap barang ini.” Pernyataan ini menandakan adanya potensi ketegangan atau risiko dalam interaksi politik yang melibatkan sosok atau kekuatan yang diasosiasikan dengan “Raja Jawa.” Namun, Bahlil tidak menjelaskan secara spesifik siapa yang dimaksud.
Alhasil, reaksi publik terhadap pernyataan Bahlil tidak terhindarkan, mengingat kedalaman konteks budaya dan sejarah yang terlibat. Dalam masyarakat Jawa kuno, raja sering kali dilihat sebagai pemilik otoritas mutlak dan dianggap sebagai representasi dari kosmos. Fungsi mereka tidak hanya terbatas pada pemerintahan tetapi juga mencakup pelestarian adat istiadat dan nilai-nilai luhur. Bahkan dalam konteks modern, “Raja Jawa” masih memiliki kekuatan simbolis yang kuat, mewakili tradisi, nilai-nilai, dan identitas Jawa.
Namun, dalam kerangka negara demokrasi seperti Indonesia saat ini, yang menekankan pada prinsip kesetaraan dan kedaulatan rakyat, pernyataan Bahlil dapat dinilai problematis. Demokrasi menuntut pengakuan dan penghormatan terhadap sistem pemerintahan yang berbasis pada pemilihan umum dan prinsip-prinsip egalitarian. Mengedepankan kekuatan “Raja Jawa” dengan nada peringatan bisa dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang mengedepankan keterlibatan rakyat dan penghargaan terhadap struktur politik yang sah.
Pengakuan terhadap kekuatan budaya dan sejarah lokal memang penting, namun memasukkan elemen-elemen ini ke dalam diskursus politik modern harus dilakukan dengan sensitif dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Menggunakan istilah “Raja Jawa” dalam konteks ancaman politik dapat memicu ketegangan yang tidak perlu dan mengabaikan kemajuan politik yang telah dicapai Indonesia sebagai negara demokratis.
KOMPAS/DJOKO POERNOMO
Sultan Hamengku Buwono IX, di Bangsal Kencono Keraton Yogyakarta, menganugerahkan gelar pangeran kepada empat putra lelaki (25/7/1988).
Artikel terkait
Konsep Kekuasaan Jawa
Membahas “Raja Jawa” tidak akan lengkap tanpa melihat konsep tradisional kekuasaan dalam masyarakat Jawa. Dalam kebudayaan Jawa tradisional, menurut Soemarsaid Moertono dalam karyanya yang berjudul Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI–XIX, kekuasaan memiliki dimensi yang kompleks. Kekuasaan dalam pandangan Jawa tidak hanya bersifat sosial-politik, tetapi juga magis dan religius.
Alam pikir orang Jawa menggambarkan hubungan sistem kehidupan dengan dua macam jagad, yaitu jagad besar (makrokosmos) dan jagad kecil (mikrokosmos). Konsep kekuasaan dalam masyarakat tradisional Jawa ini mendapat pengaruh dari konsep dalam tradisi Hindu-Buddha.
Makrokosmos adalah jagad besar yang mencakup semua lingkungan tempat seseorang hidup yang mencakup juga kekuatan-kekuatan supranatural (adikodrati), sedangkan mikrokosmos (jagad cilik) adalah diri dan batin manusia itu sendiri. Dalam konsep ini, raja dianggap sebagai pemimpin mikrokosmos, representasi kekuasaan Tuhan di dunia, perantara kedua dunia ini.
Dalam pandangan ini, raja sebagai pemegang kekuasaan tidak hanya berperan sebagai penguasa duniawi tetapi juga sebagai perwujudan kekuasaan ilahi yang memelihara keseimbangan kosmos.
Oleh karena itu, kekuasaan dalam konteks Jawa tidak sama dengan kekuasaan dalam arti umum dalam dunia modern saat ini. Kekuasaan menurut tradisi Jawa lebih bersifat matempiris (alam gaib), kekuasaan dalam hal ini bukan didasarkan atas kekayaan, pengaruh, relasi atau keturunan semata, tetapi kekuasaan merupakan mandat dari Yang Kuasa kepada seseorang yang memang dipilih.
Kekuasaan adalah hasil dari kemampuan seorang pemimpin untuk menyelaraskan dirinya dengan kekuatan kosmis. Ketika seorang raja berhasil melakukan hal ini, rakyat akan mengikutinya dengan tulus karena melihatnya sebagai pemimpin yang sah dan dikaruniai kekuatan Ilahi.
KOMPAS/KARTONO RYADI
Penobatan KGPH H Mangkubumi (43) menjadi Sultan Hamengku Buwono X ditandai pemasangan bintang pusaka oleh Kanjeng Panembahan Poeroeboyo (82), kakak lelaki mendiang Sultan Hamengku Buwono IX, dalam upacara khidmat di Sitihinggil Keraton Yogyakarta Selasa kemarin (7/3/1989).
Legitimasi Kekuasan
Menurut Onghokham dalam bukunya berjudul Wahyu Yang Hilang Negeri Yang Guncang, legitimasi kekuasaan seorang raja Jawa bersumber dari dua hal utama: wahyu dan kesaktian. Wahyu adalah anugerah Ilahi yang menunjuk seseorang sebagai pemimpin yang sah, pantas menjadi raja. Kesaktian, di sisi lain, adalah kemampuan supernatural yang dimiliki oleh raja untuk melindungi rakyatnya dan menjaga keseimbangan kosmos. Legitimasi berdasarkan wahyu dan kesaktian ini lebih dominan daripada konsep legitimasi berdasarkan keturunan.
Kekuasaan yang mendapatkan legitimasi melalui wahyu juga diiringi oleh kepercayaan bahwa seorang raja adalah titisan Tuhan secara spiritual. Dengan demikian, kekuasaan seorang raja yang memiliki wahyu-kedaton adalah kekuasaan yang mutlak. Dalam pandangan ini, melawan raja berarti melawan Tuhan sendiri.
Namun, wahyu ini tidak cukup sebagai legitimasi, seorang raja juga harus menunjukkan bahwa ia layak menerima wahyu tersebut. Wahyu bukanlah tiket bebas untuk berkuasa sewenang-wenang. Seorang raja yang telah menerima wahyu harus mampu membuktikan bahwa dirinya layak menyandang gelar tersebut. Ia dituntut untuk memiliki kepribadian yang luhur, kemampuan kepemimpinan yang mumpuni, serta pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai spiritual. Upaya ini tidak pernah boleh mengendur, apa pun alasannya. Justru ia harus semakin memacu kualitasnya.
Sebab, biarpun konsep kedudukan raja sangat mutlak, sejarah Jawa menunjukan bahwa kedudukan raja sangat rapuh. Kerapuhan ini terletak pada ketergantungan legitimasi kekuasaan pada keberadaan wahyu tersebut. Wahyu sebagai sumber legitimasi bisa berpindah tangan, dianggap hilang, jika seorang raja gagal memenuhi harapan rakyatnya.
Dalam banyak kasus, kehilangan ketidakmampuan raja mengemban tugas yang diberikan dapat menyebabkan legitimasi kekuasaan raja dipertanyakan, yang mengarah pada ketidakstabilan dan konflik internal.
Contohnya terlihat dalam perebutan takhta yang terjadi sepanjang sejarah kerajaan Jawa. Ketika seorang raja dianggap tidak lagi memiliki wahyu, terjadi pergolakan yang melibatkan perebutan kekuasaan antara berbagai kalangan. Salah satu contoh yang terkenal adalah pemberontakan Trunojoyo pada abad ke-17, yang menunjukkan bagaimana ketidakmampuan seorang raja dalam mempertahankan wahyu atau legitimasi dapat memicu konflik dan pemberontakan.
KOMPAS/ARDUS M SAWEGA
Kirab agung untuk memperingati 50 tahun tahta Sri Susuhunan Paku Buwono XII di Keraton Kusunanan Surakarta, hari Sabtu (15/1/1994) petang di Surakarta, berlangsung semarak, dan sekejap mengingatkan orang pada kejayaan seorang Raja Jawa masa lampau yang punya wibawa beraura magis.
Hubungan Raja dan Rakyat
Menurut Moertono, dalam budaya Jawa, relasi antara raja dan rakyat terstruktur dalam sebuah konsep yang disebut kawulo-gusti. Konsep ini membagi masyarakat menjadi dua kelompok utama: kawulo, yang mencakup hamba, wong cilik, dan rakyat kebanyakan; dan gusti, adalah raja, serta para penggedhe.
Konsep ini menekankan bahwa hubungan antara raja dan rakyat adalah suatu kesatuan yang saling melengkapi dan bergantung satu sama lain (manunggaling kawula gusti). Setiap individu memiliki peran, hak, dan kewajiban yang telah ditetapkan, dan interaksi mereka terikat pada aturan yang telah diatur “dari sananya.”
Konsep tersebut menunjukan relasi antara orang yang memerintah dan yang diperintah, dalam hal ini hubungan antara raja dan rakyatnya. Raja diharapkan dapat menciptakan kondisi kehidupan yang tentram dan harmonis, sementara rakyat berharap akan perlindungan dan kesejahteraan di bawah kepemimpinan raja.
Rakyat yang setia dan patuh kepada raja diharapkan akan menikmati hidup yang tenteram. Sebaliknya, raja juga harus memperhatikan kebutuhan rakyat dan tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Dalam pandangan ini, kekuasaan raja melibatkan tanggung jawab besar untuk menjaga ketentraman dan kesejahteraan masyarakat.
Jika raja gagal memenuhi tanggung jawabnya, kekuasaan raja bisa dipertanyakan dan bahkan dapat menimbulkan pemberontakan. Dari sinilah timbul berbagai gerakan “Ratu Adil” dalam sejarah Jawa, yang menjadi saluran baru bagi masyarakat melepaskan diri dari derita dan ketidakadilan.
KOMPAS/HARIADI SAPTONO
Sultan Hamengku Buwono X, di depan hampir sejuta warga Yogyakarta dan sekitarnya pada 20 Mei 1998, membacakan maklumat yang isinya mengajak masyarakat Yogyakarta dan seluruh rakyat Indonesia mendukung Gerakan Reformasi. Pembacaan maklumat Sultan HB X itu dilakukan di depan Pagelaran Keraton, Yogyakarta. Hadir pula Paku Alam VIII.
Kerajaan dan Raja Besar yang Pernah Menguasai Jawa
Jejak sejarah mencatat bahwa kehidupan bernegara di Jawa, yang dimaksud Jawa bagian tengah dan timur, telah berlangsung sejak ratusan abad silam. Dalam kurun waktu tersebut, berbagai kerajaan besar dan raja silih berganti menguasai wilayah ini, meninggalkan warisan budaya dan sejarah yang kaya bagi bangsa Indonesia.
-
Kerajaan Medang/Mataram Kuno
Kerajaan Mataram Kuno adalah salah satu kerajaan tertua dengan corak Hindu dan corak Buddha yang berkembang mulai dari abad ke-8 sampai dengan abad ke-11. Berdiri di wilayah Jawa Tengah pada abad ke-8 Masehi, Kerajaan Mataram Kuno atau juga dikenal dengan Kerajaan Medang kemudian pindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Pada masa awal berdirinya, pusat kerajaan diperkirakan berada di Bhumi Mataram atau saat ini masuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sepanjang sejarahnya, ada tiga dinasti atau wangsa yang pernah menjadi penguasa Kerajaan Mataram Kuno, yakni Wangsa Sanjaya, Wangsa Syailendra, dan Wangsa Isyana. Wangsa Sanjaya dan Wangsa Syailendra berkuasa saat pusat Kerajaan Mataram Kuno berlokasi di Jawa Tengah. Sementara Wangsa Isyana memerintah Kerajaan Mataram Kuno setelah pusat kerajaan tersebut dipindahkan ke Jawa Timur.
Raja pertama Kerajaan Mataram Kuno adalah Sanjaya yang bergelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Sanjaya diperkirakan memerintah sebagai raja pada tahun 732 Masehi. Berdasarkan petunjuk dari prasasti Mantyasih tahun 907 M. keraton Medang pada masa pemerintahan Raja Sanjaya terletak di Desa Poh Pitu, yang diperkirakan terletak di sekitar wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini.
Tetapi Raja Sanjaya dan raja-raja yang memerintah sesudahnya selalu memperluas kekuasaannya dengan menaklukkan rakai-rakai di sekitarnya. Pada puncak kejayaan kerajaan Mataram, yaitu pada masa pemerintahan raja Rakai Watukura Dyah Balitung (898-912 M), luas Kerajaan (Bumi) Mataram meliputi seluruh Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur, sekurang-kurangnya sampai dengan wilayah Malang sekarang.
Salah satu aspek yang terkenal dari Kerajaan Mataram Kuno adalah peninggalan-peninggalan bangunanya, terutama dalam bentuk candi, antara lain, Candi Borobudur dan Candi Prambanan.
-
Kerajaan Kadiri
Kerajaan Kediri, yang juga dikenal dengan nama Kerajaan Panjalu atau Kerajaan Daha, merupakan salah satu kerajaan dari era Hindu-Buddha di Indonesia. Berdiri sejak tahun 1045 hingga 1222, pusat pemerintahan kerajaan ini terletak di Kediri, Jawa Timur.
Sejarah berdirinya Kerajaan Kadiri bermula dari keputusan Raja Airlangga dari Kerajaan Medang Kahuripan untuk membagi wilayahnya menjadi dua. Langkah ini diambil untuk menghindari konflik antara putranya, Mapanji Garasakan, dan sepupunya, Sri Samarawijaya.
Airlangga memberikan wilayah Jenggala, yang ibu kotanya berada di Kahuripan, kepada Mapanji Garasakan. Sementara itu, wilayah Panjalu atau Kediri, yang berpusat di Daha, diberikan kepada Sri Samarawijaya.
Masa kejayaan Kerajaan Kediri terjadi pada pemerintahan Raja Jayabaya, yang memerintah dari tahun 1135 hingga 1159. Raja Jayabaya dikenal luas karena ramalannya mengenai Indonesia yang termuat dalam karya Jangka Jayabaya. Pada masa kekuasaannya, wilayah kekuasaan Kadiri meliputi hampir seluruh Jawa, bahkan juga mampu diperluas mencapai pantai selatan Kalimantan dan Ternate. Kerajaan ini juga terkenal hingga ke Tiongkok, dibuktikan dengan tulisan saudagar bernama Khou Ku Fei yang memaparkan tentang karakteristik masyarakat pada zaman Kerajaan Kediri.
Kerajaan Kadiri terkenal maju dalam bidang pemerintahan, ekonomi, dan kesusasteraan. Di antara karya sastra yang terkenal dari masa itu adalah “Arjunawiwaha” yang ditulis oleh Empu Kanwa serta “Bharatayuda” yang merupakan hasil karya Empu Sedah dan Empu Panulih.
-
Kerajaan Singhasari
Kerajaan Singasari sebenernya bernama Tumapel yang punya ibu kota di Kota Singosari. Namun nama ibu kota tersebut lebih terkenal sehingga lebih banyak orang mengenalnya dengan nama Kerajaan Singasari.
Kerajaan beecorak Hindu ini berdiri pada tahun 1222 Masehi yang pada awalnya adalah sebuah wilayah setingkat kabupaten di bawah kerajaan Kadiri di bawah kepemimpinan Tunggal Ametung.
Pendirian Kerajaan Singasari dimulai dengan pemisahaan Tumapel dari Keajaan Kadiri, yang diawali oleh peristiwa yang melibatkan Ken Arok dan Ken Dedes. Ken Arok, yang pada saat itu adalah bupati Tumapel, menyerang Kerajaan Kadiri dan membuh Tunggul Ametung, suami Ken Dedes, untuk mendapatkan Ken Dedes. Keberhasian Ken Arok mengalahkan Kerajaan Kadiri memungkinkan Tumapel untuk berdiri sebagai kerajaan sendiri.
Seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Kadiri kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Singasari. Wialayah kekusaannya mencakup Sunda, Bali, sebagian Kalimantan, sebagian Sumatera, hingga kawasan Selat Malaka. Ken Arok, sebagai pendiri dan raja pertama Kerajaan Singasari, memerintah dengan gelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi.
Singasari kemudian berkembang menjadi wilayah subur yang disokong pertanian yang dikembangkan di sepanjang Kali Brantas. Kertanegara, penerus Kerajaan Singasari, pun berhasil mengukuhkan diri di lautan dengan armadanya yang kuat. Di bawah Kertanegara, Singasari menguasai jalur perdagangan di lautan Jawa dan Sumatera.
Kekuatan dan kekuasaan Singasari ini santer terkenal sampai membuat Kubilai Khan, penguasa dari Mongolia, mengirim utusan untuk menyampaikan permintaan agar Kertanegara mau tunduk terhadapnya. Namun, Kertanegara menolak, ia memotong salah satu telinga utusan itu yang mengartikan ia tak akan mau tunduk dengan permintaan itu.
Selain dikenal sebagai kerajaan yang kuat secara politik, Singasari juga mencatatkan kemajuan yang signifikan dalam bidang seni, khususnya dalam seni pahat. Masa Singasari dianggap sebagai puncak kejayaan seni Indonesia kuno, ditandai dengan produksi arca-arca besar dan pahatan yang halus serta proporsional.
Beberapa contoh karya seni yang mencerminkan kemajuan tersebut termasuk arca-arca seperti Durga, Mahakala, Nandishvara, dan Ganesha, yang pada tahun lalu telah dipulangkan atau direpatriasi dari Belanda ke Indonesia.
-
Kerajaan Majapahit
Majapahit merupakan salah satu kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia, berdiri dari tahun 1293 hingga 1527 Masehi, dengan pusat pemerintahan di Jawa Timur.
Pembangunan Kerajaan Majapahit diawali dengan dibukanya Hutan Tarik (sekarang menjadi Desa Trowulan, Jawa Timur) oleh Raden Wijaya bersama para pengikutnya setelah kehancuran Kerajaan Singhasari oleh Jayakatwang. Setelah Jayakatwang dikalahkan oleh Raden Wijaya bersama pasukan Mongol, maka selanjutnya pasukan Mongol dikalahkan oleh tipu muslihat Raden Wijaya yang kemudian menobatkan diri menjadi Raja Majapahit. Menurut Kidung Harsa Wijaya, penobatan dilakukan pada tahun 1215 Saka atau 1293 Masehi.
Masa keemasan Majapahit terjadi pada pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389), yang didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada. Kerajaan Majapahit memasuki masa kejayaan ketika Hayam Wuruk bersama dengan Gajah Mada memerintah. Keduanya memiliki peran yang sama dalam membangun dan membawa Majapahit dalam masa kejayaan. Gajah Mada sebagai mahapatih berhasil menumpas segala pemberontakan serta bersumpah untuk menyatukan daerah-daerah di Nusantara.
Wilayah kekuasaan Majapahit terbentang dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, hingga mancanegara seperti Filipina. Perluasan wilayah ini berkat kebijakan ekspansi yang dilakukan oleh Patih Gajah Mada.
Di bawah kepemimpinan mereka, Majapahit juga mencapai puncak kejayaan dengan kemajuan di berbagai bidang. Menurut Kakawin Negarakertagama, pada masa ini, masyarakat Majapahit hidup sejahtera dengan sistem pemerintahan yang kuat, memiliki pengaruh politik dan perdagangan yang luas, serta perkembangan pesat dalam seni budaya dan karya sastra.
-
Kerajaan Demak
Kerajaan Demak atau Kesultanan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang didirikan pada akir abad ke-15 oleh Raden Patah. Berdirinya Kerajaan Demak tidak bisa lepas dari kemunduran Kerajaan Majapahit pada akhir abad ke-15. Pada saat itu, wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri dan saling serang karena merasa sebagai pewaris takhta Majapahit yang sah.
Dalam situasi yang tidak stabil ini, Demak, yang sebelumnya merupakan daerah bawahan Majapahit, memutuskan untuk melepaskan diri dan mendirikan kerajaan baru. Raden Patah, yang saat itu menjabat sebagai bupati Demak, merasa bahwa dengan dukungan dari Wali Sanga dan posisi strategisnya, ia dapat mengubah Demak menjadi kerajaan Islam dan sepenuhnya memisahkan diri dari Majapahit.
Kesultanan Demak berhasil mencapai puncak kejayaan pada periode pemerintahan Sultan Trenggono (1521-1546 M). Pada periode ini, Demak menjadi kerajaan terkuat di Jawa dengan wilayah kekuasaan yang cukup luas, menguasai sepanjang pesisir utara Jawa.
Kejayaan Demak didukung oleh posisinya yang strategis, Kesultanan Demak terletak di utara Pulau Jawa atau dipesisir pantai Utara Pulau Jawa. Posisi ini membuat demak berkembang pesat menjadi kerajaan maritim yang berperan penting dalam kehidupan perekonomian antarpulau.
Sebagai pusat perdagangan, Kerajaan Demak memiliki pelabuhan-pelabuhan penting, seperti Jepara, Tuban, Sedayu, dan Gresik. Kehidupan ekonomi pada masa Kerajaan Demak semakin berkembang karena didukung oleh sektor pertaniannya. Pasalnya, lingkungan alam pedalaman Demak juga sangat subur, dengan komoditas utama berupa beras, gula, kelapa, dan palawija.
-
Kerajaan Mataram Islam
Kerajaan Mataram Islam atau Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang berkuasa antara abad ke-16 hingga abad ke-18. Pendiri Kerajaan Mataram Islam adalah Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati.
Sejarah Kerajaan Mataram Islam dimulai dari bantuan Ki Ageng Pemanahan kepada Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya, untuk mengalahkan Arya Penangsang dari Jipang. Sebagai imbalan atas jasanya, Ki Ageng Pemanahan diberikan wilayah tanah di hutan Mentaok, yang kini dikenal sebagai Kotagede, Yogyakarta. Ki Ageng Pemanahan kemudian mengubah tanah tersebut menjadi sebuah desa yang makmur.
Setelah kematiannya, tugasnya dilanjutkan oleh putranya, Danang Sutawijaya, yang juga dikenal sebagai Raden Ngabehi Loring Pasar. Danang Sutawijaya kemudian mulai memberontak terhadap Kerajaan Pajang yang masih dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya. Dalam pertempuran antara Pajang dan Mataram, Sutawijaya berhasil meraih kemenangan. Sutawijaya kemudian mendirikan Kesultanan Mataram.
Puncak kejayaan Kesultanan Mataram Islam terjadi pada era Sultan Agung pada 1613 hingga 1645 Masehi. Pada masa kejayaannya, kerajaan ini pernah menjadi kerajaan terkuat di Jawa yang mampu menguasai sebagian besar Pulau Jawa, Madura, dan Sukadana (Kalimantan Barat).
Di bawah kepemimpinan Sultan Agung, Kesultanan Mataram Islam juga berhasil mencapai kemajuan di berbagai sektor kehidupan, termasuk bidang ekonomi, keagamaan, budaya, hukum, tata negara/pemerintahan, dan lain-lain.
Namun, sepeninggal Sultan Agung, Kesultanan Mataram Islam mulai mengalami kemunduran. Keruntuhan Mataram dimulai setelah takhta kerajaan jatuh ke tangan Amangkurat I. Amangkurat I memiliki sifat yang bertolak belakang dengan sang ayah, bahkan disebut sebagai raja yang bengis. Setelah tragedi demi tragedi terjadi, rakyat mulai antipati. Akibatnya, rakyat bersatu membrontak kerajaan di bawah pimpinan Pangeran Trunojoyo dari Madura.
Untuk meredakan konflik, tahta Mataram berpindah ke Kartasura di bawah Amangkurat II. Namun, perselisihan internal tak kunjung padam. Puncaknya, Perjanjian Giyanti (1755) membagi Mataram menjadi dua: Kesultanan Ngayogyakarta (Yogyakarta) dan Kasunanan Surakarta.
Perpecahan belum berakhir. Dua tahun kemudian, Raden Mas Said memberontak di Surakarta, melahirkan Praja Mangkunegaran. Sementara itu, Pangeran Notokusumo mendirikan Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Aktivitas para abdi dalem menyapu pelataran Keraton Kasunanan Surakarta, Minggu (28/8/2016).
Eksistensi Kerajaan dan Raja di Era Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, banyak kerajaan di tanah Jawa harus menghadapi perubahan besar. Semua kerajaan ini bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meski begitu, beberapa kerajaan itu masih eksis secara fisik dan memiliki raja meskipun tak lagi berdaulat, serta tetap menjadi simbol budaya dan tradisi Jawa.
Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman memperoleh status istimewa sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sultan Kesultanan Yogyakarta menjadi gubernur tanpa harus melalui pemilihan umum, sementara Adipati Kadipaten Pakualaman berfungsi sebagai wakilnya. Saat ini, Kasultanan Yogyakarta dipimpin Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Kadipaten Pakualaman dipimpin oleh Adipati Arya Paku Alam X.
Sementara, Kasunanan Surakarta, saat ini dipimpin oleh Sri Susuhunan Pakubuwana XIII. Adapun Kadipaten Mangkunegaran dipimpin oleh Adipati Arya Mangkunegara X. (LITBANG KOMPAS)
Artikel terkait
Referensi
- Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa Silang Budaya Bagian III: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- 2018. Wahyu Yang Hilang Negeri Yang Guncang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- Moertono, Soemarsaid. 2017. Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI-XIX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Abadi.
- “Terpilih Jadi Ketum Golkar, Bahlil: Jangan Lawan Taktik Raja Jawa,” Kompas, 21 Asgustus 2024.
-
“Raja-Raja Jawa dalam Lintasan Masa,” diakses pada 4 September 2024 dari historia.id.