KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Foto aerial menggunakan kamera udara menunjukkan kawasan niaga Jalan Sudirman, Jakarta, yang makin dipenuhi gedung-gedung pencakar langit, Rabu (24/6/2015). Perekonomian Indonesia diprediksi akan berada di urutan keempat terbesar dunia sebagai kekuatan ekonomi di tahun 2050.
Fakta Singkat
Tantangan ekonomi global 2022–2023
- Pandemi Covid-19
- Perang Rusia-Ukraina
- Krisis pangan dan energi
- Melonjaknya inflasi
- Pengetatan likuiditas global
Proyeksi ekonomi global 2022-2023
Menurut Bank Dunia
- 2022: tumbuh 2,8 persen (skenario terburuk)
- 2023: tumbuh 0,5 persen (skenario buruk)
- 2024: tumbuh 2 persen (skenario buruk)
Menurut IMF
- 2022: tumbuh 3,2 persen, inflasi 8,8 persen
- 2023: tumbuh 2,7, inflasi 6,5 persen
Menurut UNCTAD
- 2022: tumbuh 2,5 persen
- 2023: tumbuh 2,2 persen
Menurut OECD
- 2022: tumbuh 3,0 persen
- 2023: tumbuh 2,2 persen
Proyeksi ekonomi di Asia Pasifik menurut ADB
- 2022: tumbuh 4,3 persen, inflasi 5,3 persen (tanpa China)
- 2022: tumbuh 4,9 persen, inflasi 5,3 persen (tanpa China)
Pandemi Covid-19 secara global semakin terkendali. Kondisi tersebut ditunjukkan oleh semakin banyaknya negara yang menyatakan pandemi telah berakhir di wilayahnya.
Namun di sisi lain, prospek perekonomian global terus melemah. Harga komoditas global masih tidak stabil atau volatile dan cenderung tinggi meski terdapat peningkatan permintaan pasca-pandemi. Hal ini disebabkan peningkatan permintaan tersebut tidak diikuti dengan perbaikan pada sisi penawaran. Kondisi demikian semakin serius dengan adanya perang Rusia-Ukraina yang berkepanjangan.
Selain itu, tekanan inflasi yang masih tinggi mendorong pengetatan kebijakan moneter di banyak negara dan berpotensi meningkatkan cost of fund (biaya yang harus dibayar oleh suatu lembaga keuangan atau bank atas penggunaan uang yang sumbernya dari pihak lain), pengetatan likuiditas global serta dapat menyebabkan terjadinya resesi di beberapa negara.
Dalam situasi ekonomi tersebut, sejumlah lembaga internasional, di antaranya Bank Dunia (World Bank), Dana Moneter International (IMF), Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Bidang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD), Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), serta Bank Pembangunan Asia (ADB), sepanjang tahun 2022 ini telah menerbitkan sejumlah laporan maupun studi yang membahas kondisi ekonomi dunia tahun ini dan prospeknya pada tahun depan.
Berikut ini akan dipaparkan proyeksi ekonomi dunia dari sejumlah lembaga internasional tersebut secara ringkas.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pembangunan proyek gedung bertingkat di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Minggu (28/6/2020). Bank Indonesia memproyeksikan, proses pemulihan ekonomi mulai menguat pada triwulan III-2020 seiring relaksasi pembatasan sosial berskala besar sejak pertengahan Juni 2020. Namun bayangan resesi global yang bisa berdampak ke ekonomi Indonesia kian nyata.
Bank Dunia
Bank Dunia atau World Bank dalam laporannya berjudul “Is a Global Recession Imminent?” yang terbit pada September 2022 lalu, memproyeksikan resesi masih akan mengancam pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2023. Pasalnya, konflik geopolitik, lonjakan harga komoditas, gelombang inflasi, serta berbagai kondisi yang terjadi tahun 2022 masih membayangi perekonomian global sekaligus berisiko ke jurang resesi.
Bank Dunia dalam laporannya menyebutkan, “Perkiraan kami tidak menunjukkan akan ada resesi global pada 2022–2023. Akan tetapi, berdasarkan pengalaman dari resesi sebelumnya, saat ini sudah ada setidaknya dua gejala yang meningkatkan kemungkinan resesi global dalam waktu dekat.”
Gejala pertama adalah sejak tahun 1970 setiap peristiwa resesi global selalu didahului oleh melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia, seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Gejala kedua, resesi global selalu terjadi seiring dengan merosotnya perekonomian di negara-negara besar.
Studi Bank Dunia tersebut memaparkan analisis sistematis dari evolusi terbaru dari aktivitas ekonomi dan kebijakan serta penilaian berbasis model kemungkinan hasil makro-ekonomi dalam jangka pendek.
Laporan tersebut juga membahas mengenai tiga skenario ekonomi global untuk periode 2022–2024 yang dianalisis dengan menggunakan model lintas negara berskala besar.
Skenario baseline pertama, sejalan dengan konsensus perkiraan pertumbuhan dan inflasi baru-baru ini, serta ekspektasi pasar untuk suku bunga kebijakan. Skenario ini mengambarkan siklus pengetatan kebijakan moneter pada saat ini ada kemungkinan tidak cukup untuk mengembalikan inflasi yang rendah secara tepat waktu.
Skenario kedua mengasumsikan pengetatan kebijakan moneter tambahan oleh bank sentral utama, di mana ekonomi global akan lolos dari resesi pada tahun 2023 tetapi akan mengalami penurunan tajam, tanpa memulihkan inflasi yang rendah.
Skenario ketiga menunjukkan bahwa kenaikan suku bunga tambahan akan memicu risiko yang lebih tinggi di pasar keuangan global dan mengakibatkan resesi global tahun depan.
Jika perlambatan global yang sedang berlangsung berubah menjadi resesi, ekonomi global pada akhirnya dapat mengalami kerugian output permanen yang besar dibandingkan dengan tren sebelum pandemi.
Dengan skenario tersebut, tahun 2022 ini, ekonomi global masih tumbuh positif 2,9 persen dalam skenario dasar dan 2,8 persen dalam skenario terburuk. Sementara tahun 2023, perekonomian global akan berkurang sebesar 1,9 persen poin atau dari 2,4 persen menjadi 0,5 persen dalam skenario terburuk, dan menurun 1 persen atau dari 3 persen menjadi 2 persen dalam skenario terburuk pada tahun 2024.
Bank Dunia memperkirakan, sepertiga negara-negara di dunia akan mengalami pertumbuhan ekonomi negatif tahun depan. Sebab, tiga kekuatan ekonomi terbesar dunia, yakni Amerika Serikat (AS), Uni Eropa (EU), dan China, mengalami perlambatan ekonomi.
Bank Dunia memprediksi, seandainya resesi terjadi, dampaknya akan lebih dirasakan oleh negara-negara maju ketimbang negara berkembang. Untuk negara maju, kontraksi tahunannya diproyeksikan lebih dalam lagi, yaitu 0,8 persen. Sementara pertumbuhan di negara-negara berkembang diproyeksikan melambat. Ancaman resesi ini muncul ketika seluruh negara berusaha pulih dari resesi akibat pandemi Covid-19.
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi menurut Bank Dunia
(dalam persen)
Keterangan | 2022 | 2023 | 2024 |
Ekonomi global | 2,8 | 2,3 | 3,5 |
Ekonomi negara maju | 0,5 | -0,6 | 1,8 |
Ekonomi negara berkembang | 2,0 | 1,0 | 3,4 |
Sumber: Bank Dunia. Diolah Litbang Kompas/PUR
Bank Dunia memperkirakan terdapat beberapa negara yang kemungkinan akan mengalami resesi. Salah satunya Rusia yang tahun ini diperkirakan terkontraksi 8,9 persen. Negara lainnya adalah Ukraina minus 45,1 persen, Kirgistan minus 2 persen, dan Moldova minus 0,4 persen.
Amerika Latin juga mengalami kejatuhan ekonomi dibandingkan dengan tahun lalu, antara lain, Meksiko, Chili, Argentina, Kolombia, El Savador, Paraguay, hingga Peru. Sementara itu, untuk kawasan Timur Tengah, ada Lebanon dan Suriah yang mengalami kontraksi masing-masing minus 6,5 persen dan minus 2,6 persen. Nasib buruk juga diperkirakan menimpa Maroko.
Asia Selatan juga bernasib sama. Ada Sri Lanka yang diperkirakan kontraksi 7,8 persen, sementara Maldives dan Pakistan mengalami perlambatan ekonomi.
Dalam analisis Bank Dunia disebutkan bahwa ekonomi global dapat lolos dari resesi, namun perlu membutuhkan pengetatan tambahan di pasar keuangan. Selain itu, pembuat kebijakan perlu memanfaatkan semua pilihan yang tersedia untuk mengatasi inflasi dan mengurangi risiko perlambatan ekonomi.
Bank sentral bisa mengomunikasikan keputusan kebijakan mereka dengan jelas. Sementara pembuat kebijakan harus menerapkan rencana fiskal jangka menengah yang kredibel dan terus memberikan bantuan yang ditargetkan kepada rumah tangga yang rentan. Situasi ini diyakini akan sangat menganggu emerging markets dan negara-negara berkembang.
Pembuat kebijakan perlu menavigasi jalan sempit yang membutuhkan serangkaian langkah-langkah sisi permintaan dan penawaran yang komprehensif.
Di sisi permintaan, kebijakan moneter harus diterapkan secara konsisten untuk memulihkan stabilitas harga secara tepat waktu. Kebijakan fiskal perlu memprioritaskan kesinambungan utang jangka menengah sambil memberikan dukungan yang ditargetkan kepada kelompok rentan. Pembuat kebijakan harus siap untuk mengelola potensi limpahan dari penarikan kebijakan yang mendukung pertumbuhan secara sinkron secara global.
Di sisi penawaran, mereka perlu menerapkan langkah-langkah untuk meringankan kendala yang dihadapi pasar tenaga kerja, pasar energi, dan jaringan perdagangan.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pekerja berjalan kaki di jalur pedestrian Jalan Sudirman, Jakarta, saat penerapan PPKM darurat yang telah memasuki pekan kedua, Senin (12/7/2021). PPKM darurat sangat berdampak pada pertumbuhan perekonomian. Bank Indonesia memperkirakan jika PPKM darurat diperpanjang pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya akan mencapai 3,8 persen. Proyeksi itu lebih rendah dari perkiraan BI sebelumnya yang berada kisaran 4,1 pesen – 5,1 persen.
Dana Moneter Internasional (IMF)
Lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) sepanjang Januari hingga Oktober tahun 2022 ini telah menerbitkan empat laporan terkait perkembangan ekonomi dunia dan prospeknya.
Keempat laporan tersebut adalah “World Economic Outlook Update, January 2022: Rising Caseloads, A Disrupted Recovery, and Higher Inflation”; “World Economic Outlook, April 2022: War Sets Back The Global Recovery”; “World Economic Outlook Update, July 2022: Gloomy and More Uncertain”; dan “World Economic Outlook, October 2022: Countering the Cost-of-Living Crisis”.
Secara umum, keempat laporan itu membahas mengenai perkembangan ekonomi global dalam jangka pendek dan menengah. Kemudian juga memberikan gambaran serta analisis lebih rinci tentang ekonomi dunia, serta mengulas isu-isu yang mempengaruhi negara-negara maju dan negara-negara berkembang.
Mengacu pada laporan terakhir mengenai prospek ekonomi dunia atau World Economic Outlook (WEO), pada Oktober 2022, IMF melaporkan kegiatan ekonomi global diperkirakan akan mengalami perlambatan yang luas dan lebih tajam dari perkiraan, dengan inflasi yang lebih tinggi dari yang terlihat dalam beberapa dekade terakhir.
IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global 2023 sebesar 2,7 persen, lebih rendah 0,2 persen poin dibandingkan proyeksi yang dikeluarkan IMF pada Juli 2022 yang sebesar 2,9 persen. Proyeksi pada Juli 2022 itu pun sudah turun sebesar 0,7 persen poin dibandingkan proyeksi yang dirilis April 2022 yang sebesar 3,6 persen.
Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi global terus melambat dari 6 persen pada 2021, 3,2 persen pada 2022, dan 2,7 persen pada 2023. Proyeksi pertumbuhan global 2023 merupakan yang terendah sejak 2001, di luar akibat krisis finansial global 2009 dan pandemi Covid-19 tahun 2020.
Proyeksi Pertumbuhan Dunia dan Kawasan Menurut IMF
(dalam persen)
Kawasan/negara | 2021 | 2022 | 2023 |
Pertumbuhan global | 6,0 | 3,2 | 2,7 |
Amerika Serikat | 5,7 | 1,6 | 1,0 |
Uni Eropa | 5,2 | 3,1 | 0,5 |
Timur Tengah dan Asia Tengah | 4,5 | 5,0 | 3,6 |
Negara berkembang | 7,2 | 4,4 | 4,9 |
Amerika Latin dan Karibia | 6,9 | 3,5 | 1,7 |
Afrika Sub Sahara | 4,7 | 3,6 | 3,7 |
Sumber: IMF. Diolah Litbang Kompas/PUR
Kelompok negara maju mengalami revisi turun pertumbuhan ekonomi yang lebih dalam pada 2023 sebesar 0,3 persen poin dibandingkan negara-negara berkembang sebesar 0,2 persen poin. Dengan demikian, proyeksi pertumbuhan ekonomi kelompok negara maju dan kelompok negara berkembang pada 2023 masing-masing menjadi sebesar 1,1 persen dan 3,7 persen.
IMF memperkirakan pada 2023, sepertiga ekonomi dunia akan mengalami resesi yang ditandai dengan kontraksi pertumbuhan ekonomi sekurangnya dua triwulan berturut-turut.
Terkait inflasi, IMF memperkirakan inflasi global akan melonjak menjadi 8,8, persen pada 2022 dan akan menurun kembali menjadi 6,5 persen pada 2023. Seiring itu, untuk meredam lonjakan inflasi akibat kenaikan harga pangan dan energi, tiap-tiap negara akan memperketat kebijakan moneternya yang berimplikasi pada melambatnya pertumbuhan negara bersangkutan.
IMF menyebut, ada tiga faktor yang mempengaruhi prospek ekonomi dunia sampai tahun depan, yakni krisis biaya hidup, pengetatan kondisi keuangan di sebagian besar wilayah, perang Rusia – Ukraina, dan pandemi Covid-19 yang berkepanjangan yang semuanya akan sangat mempengaruhi prospek ekonomi tahun depan.
Karena kondisi perekonomian tersebut, IMF mengajak otoritas moneter memperketat kebijakan moneternya untuk mengendalikan inflasi. Kendati demikian, IMF mengingatkan agar tiap-tiap negara betul-betul mengkalibrasi dan mengkomunikasikan dengan baik kebijakan moneternya, agar tidak berimplikasi negatif pada negara lain, terutama negara-negara berkembang.
Di sisi lain, pengetatan likuiditas global akan menghantam negara-negara berkembang dan miskin yang memiliki banyak utang. Mereka akan kesulitan me-refinancing utang mereka kecuali dengan imbal hasil yang sangat mahal.
Adapun prioritas kebijakan fiskal adalah memberikan subsidi untuk melindungi kelompok rentan dari beban biaya hidup yang cenderung meningkat. Untuk itu, reformasi struktural perlu dilakukan agar dapat lebih mendukung perang melawan inflasi dengan meningkatkan produktivitas dan mengurangi kendala pasokan.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Pekerja dengan menggunakan gondola mengerjakan pembangunan gedung bertingkat di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, Senin (30/5/2022). Badan Pusat Statistik mencatatkan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2022 tumbuh sebesar 5,01 persen secara tahunan. Pertumbuhan ini melampaui sejumlah negara seperti Tiongkok, Amerika Serikat, dan sejumlah negara Asean lainnya.
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Bidang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD)
Lembaga Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Bidang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) menerbitkan laporan ”Trade and Development Report 2022” pada 3 Oktober 2022. UNCTAD adalah organ utama Majelis Umum PBB yang biasa menangani isu perdagangan, investasi, dan pembangunan.
Dalam laporan tersebut, UNCTAD menyebutkan dunia tengah berjalan menuju resesi dan stagnasi ekonomi berkepanjangan, kecuali jika negara-negara maju mengubah arus kebijakan moneter dan fiskal saat ini. Kelesuan sebenarnya telah menampakkan diri selama pandemi seiring adanya kejutan dari sisi pasokan, menurunnya kepercayaan konsumen dan investor, serta perang Rusia – Ukraina.
UNCTAD juga menyebutkan, dengan pesatnya pengetatan kebijakan moneter di negara maju, dikombinasikan dengan melemahnya dukungan multilateral, kondisi lesu saat ini bisa berubah menjadi resesi. Akibatnya, akan terjadi lingkaran setan perekonomian di negara berkembang dengan kerusakan yang bertahan lebih lama ketimbang krisis keuangan global dan Covid-19.
Laporan tersebut menggarisbawahi tindakan Bank Sentral AS. Disebutkan, kenaikan suku bunga tahun ini di AS dapat memangkas sekitar 360 miliar dolar AS pendapatan negara-negara berkembang di masa mendatang, kecuali China. Dengan begitu, sinyal akan datangnya kesulitan lebih jauh mulai teraba.
Tahun ini, Bank Sentral AS telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak lima kali. Langkah terbaru diambil pada September dengan peningkatan 75 basis poin serta membuat levelnya berada pada rentang 3-3,25 persen. Sebagai perbandingan, federal funds rate (FFR) pada permulaan tahun hampir 0 persen. Tujuan Bank Sentral AS untuk meningkatkan suku bunga acuannya itu adalah untuk menangkis lonjakan inflasi. Pasalnya, laju inflasi pada Agustus mencapai 8,3 persen.
UNCTAD memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat 2,5 persen pada 2022 dan masih akan turun menjadi 2,2 persen pada 2023. Perlambatan secara global akan membuat level PDB atau pendapatan domestik bruto berada di bawah tren prapandemi. Dunia akan merasakan kerugian lebih dari 17 triliun dolar AS atau nyaris 20 persen dari pendapatan global.
Tingkat pertumbuhan rata-rata perekonomian negara berkembang diramalkan kurang dari 3 persen. Itu dianggap bakal memperparah keuangan publik dan swasta dan merusak prospek pertumbuhan tenaga kerja.
Menurut laporan tersebut, dengan 60 persen negara berpendapatan rendah dan 30 persen negara berkembang menanggung derita utang dan kemungkinan akan terjadi krisis utang dunia.
Situasi di negara berkembang lebih buruk dari yang dikenali oleh negara-negara G20 dan forum-forum internasional lainnya. UNCTAD menjelaskan negara-negara berkembang telah membelanjakan sekitar 379 miliar dolar AS cadangan devisanya untuk menjaga mata uangnya tahun ini.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Pengunjung berbelanja daging segar di hypermarket di kawasan BSD, Kabupaten Tangerang, Banten, Sabtu (27/3/2021). Bank Dunia memproyeksi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia di sepanjang tahun 2021 akan mencapai 4,4 persen setelah tahun sebelumnnya terkontraksi 2,1 persen. Pemulihan ekonomi ini bergantung pada efektivitas program pengendalian Covid-19 dan kemampuan pemerintah memanfaatkan momentum kebangkitan pasar global.
Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD)
Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) pada September 2022 ini membuat laporan berjudul “Paying the Price of War” yang membahas mengenai dampak perang Rusia-Ukraina bagi perekonomian dan proyeksi ekonomi tahun depan.
Dalam laporannya, organisasi yang berbasis di Paris, Perancis ini, mencatat bahwa ekonomi dunia pada tahun 2023 akan terpukul lebih besar dari perkiraan sebelumnya karena terdampak perang Rusia – Ukraina. Selain itu, konflik tersebut memperburuk tekanan inflasi ketika biaya hidup sudah meningkat dengan cepat.
Wabah Covid masih berdampak pada ekonomi global sementara pertumbuhan juga dipengaruhi oleh kenaikan suku bunga karena bank sentral berjuang untuk mendinginkan harga yang panas.
Sejumlah indikator telah berubah menjadi lebih buruk, dan prospek pertumbuhan global telah menjadi gelap. Pertumbuhan global terhenti pada kuartal kedua tahun ini dan data di banyak negara menunjukkan periode pertumbuhan yang lemah.
Pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia berpotensi melambat pada 2023. OECD memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global pada 2023 menjadi 2,2 persen, turun dari 2,8 persen dari perkiraan sebelumnya pada Juni 2022. Hal tersebut seiring dengan berbagai ketidakpastian yang melanda dunia saat ini.
Kendati terjadi peningkatan aktivitas ketika infeksi Covid-19 turun di seluruh dunia, ekonomi global diperkirakan akan tetap melemah pada paruh kedua tahun 2022 ini, sebelum melambat lebih lanjut pada tahun 2023 menjadi pertumbuhan tahunan hanya 2,2 persen.
Dibandingkan dengan perkiraan OECD pada Desember 2021, sebelum perang Rusia – Ukraina, produk domestik bruto (PDB) global diproyeksikan menjadi setidaknya 2,8 triliun dolar AS, lebih rendah daripada tahun 2023. Ada banyak biaya untuk perang Rusia, tetapi ini memberikan gambaran tentang harga perang di seluruh dunia dalam hal output ekonomi.
OECD dalam laporannya menyebutkan, faktor utama perlambatan ekonomi global adalah pengetatan kebijakan moneter yang didorong oleh target inflasi yang melampaui perkiraan. Penguncian ketat terkait dengan kebijakan nol Covid-19 China juga berdampak pada ekonomi China dan global. Penutupan dan pelemahan pasar properti memperlambat pertumbuhan China menjadi hanya 3,2 persen pada tahun 2022.
Prospek untuk hampir semua negara di Kelompok G20 dipangkas, kecuali Turki, Indonesia, dan Inggris, meskipun yang terakhir diperkirakan memiliki pertumbuhan nol. Pertumbuhan di Amerika Serikat diperkirakan melambat menjadi 0,5 persen pada 2023. Sedangkan pertumbuhan ekonomi China sebesar 3,2 persen pada tahun 2022 dan 4,7 persen pada tahun 2023.
Jerman diperkirakan akan masuk kedalam jurang resesi tahun depan, terlihat menyusut 0,7 persen, penurunan 2,4 poin persentase dari perkiraan sebelumnya. Ekonomi Jerman telah terpukul paling keras di Eropa karena ketergantungan pasokan gas alam dari Rusia, yang telah dipotong secara signifikan oleh Moskow sebagai pembalasan terhadap sanksi Barat. Sementara, Zona euro secara keseluruhan akan mencatat pertumbuhan kecil sebesar 0,3 persen, penurunan tajam dari 1,6 persen.
OECD mempertahankan perkiraan pertumbuhan global 2022 tidak berubah pada tiga persen setelah sebelumnya menurunkannya.
Menyoroti dampak perang Rusia-Ukraina, OECD mengatakan output global pada 2023 diproyeksikan menjadi 2,8 triliun dolar AS, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sebelum konflik pada Desember 2021.
Perang Rusia – Ukraina telah membuat harga energi dan pangan melonjak tinggi karena kekhawatiran tentang pasokan. Rusia tercatat sebagai negara produsen minyak dan gas utama, sementara Ukraina adalah pengekspor utama biji-bijian ke negara-negara di seluruh dunia.
Inflasi telah meningkat sebelum konflik karena hambatan dalam rantai pasokan global setelah negara-negara keluar dari penguncian Covid-19. Namun dampak perang dan dampak berkelanjutan dari pandemi Covid-19 di beberapa bagian dunia telah menghambat pertumbuhan dan memberikan tekanan tambahan pada harga.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pekerja usaha mikro kecil menengah (UMKM) pembuatan roti di kawasan Tanah Kusir, Jakarta, tengah memasukkan donat yang telah selesai dibuat ke dalam wadah sebelum didistribusikan ke warung-warung di seputaran Jakarta, Depok, dan Bogor, Rabu (6/1/2021). Pelaku UMKM menjadi salah satu target pemerintah sebagai penerima dana program pemulihan ekonomi nasional (PEN) pada 2021. Dari total anggaran PEN 2021 yang sebesar sebesar Rp 403,9 triliun, Rp 63,84 triliun diantaranya digunakan untuk mendukung UMKM dan BUMN. UMKM Pembuatan roti yang telah berdiri sejak tahun 2008 ini dalam sehari membuat sekitar 5000 donat dan 30 loyang brownies.
Bank Pembangunan Asia (ADB)
Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) pada September 2022 lalu menerbitkan laporan berjudul “Asian Development Outlook September 2022 Economic Forecasts” yang membahas mengenai perkembangan ekonomi di kawasan Asia Pasifik dan proyeksinya untuk tahun 2023 nanti.
Dalam laporannya, ADB menurunkan kembali proyeksinya untuk pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia yang sedang berkembang dan Pasifik. Penurunan itu tak lepas dari meningkatnya tantangan, termasuk kondisi moneter yang makin diperketat oleh berbagai bank sentral, dampak dari Perang Rusia – Ukraina yang berkepanjangan, dan lockdown Covid-19 yang terjadi berulang-ulang di China.
Perekonomian kawasan ini diperkirakan akan tumbuh 4,3 persen pada tahun ini, dibandingkan dengan proyeksi pertumbuhan 5,2 persen yang disampaikan ADB pada April lalu. Prakiraan pertumbuhan untuk tahun 2023 diturunkan menjadi 4,9 persen dari 5,3 persen.
Sementara inflasi di kawasan ini diperkirakan dinaikkan. Tanpa memperhitungkan pertumbuhan China, kawasan Asia yang sedang berkembang lainnya diproyeksikan akan tumbuh 5,3 persen baik di tahun 2022 maupun 2023.
Belanja konsumen dan investasi domestik menjadi pendorong pertumbuhan seiring terus dilonggarkannya pembatasan pandemi oleh berbagai perekonomian di kawasan ini, sebagian berkat langkah vaksinasi dan menurunnya tingkat kematian Covid-19.
Namun, perang Rusia-Ukraina yang berkepanjangan telah meningkatkan ketidakpastian global, memperburuk gangguan pasokan, dan menimbulkan gejolak di pasar energi dan pangan. Pengetatan moneter yang lebih agresif oleh Bank Sentral AS (The Fed) dan Bank Sentral Eropa (ECB) telah menurunkan permintaan global dan mengguncang pasar keuangan. Sementara itu, wabah Covid-19 dan lockdown yang terjadi secara sporadis telah memperlambat pertumbuhan di China sebagai perekonomian terbesar kawasan ini.
Sejumlah perekonomian maju terbesar di dunia diperkirakan tumbuh 1,9 persen pada 2022 dan 1,0 persen pada 2023, lebih lambat daripada yang diproyeksikan pada awal tahun ini.
Inflasi tinggi telah mendorong Amerika Serikat dan kawasan Uni Eropa untuk melakukan pengetatan kebijakan moneter secara agresif, memperlemah permintaan di perekonomian tersebut dan juga masih terus terdampak oleh gangguan rantai pasokan dan ketidakpastian akibat Perang Rusia – Ukraina.
ADB meningkatkan perkiraan inflasinya tahun ini di kawasan Asia yang sedang berkembang menjadi 4,5 persen dari proyeksi sebelumnya 3,7 persen. Perkiraan untuk tahun depan menjadi 4,0 persen, naik dari sebelumnya 3,1 persen. Meskipun inflasi di kawasan ini masih lebih rendah daripada di kawasan lain, gangguan pasokan terus mendongkrak harga pangan dan bahan bakar.
China diproyeksikan tumbuh 3,3 tahun ini, turun dari proyeksi April sebesar 5,0 persen. Tahun ini akan menjadi tahun pertama dalam lebih dari tiga dekade ketika kawasan Asia yang berkembang lainnya tumbuh lebih cepat daripada China. Sementara pertumbuhan ekonomi India diturunkan menjadi 7,0 persen dari sebelumnya 7,5 persen akibat lonjakan inflasi dan pengetatan moneter.
Permintaan domestik yang kuat di Indonesia dan Filipina berkontribusi terhadap naiknya proyeksi pertumbuhan Asia Tenggara menjadi 5,1 persen tahun ini, meskipun prospek permintaan global yang lebih lemah telah menyebabkan penurunan prakiraan bagi tahun depan.
Proyeksi untuk 2022 juga meningkat bagi Kaukasus dan Asia Tengah, yang diperkirakan akan tumbuh 3,9 persen tahun ini, serta perekonomian Pasifik yang diperkirakan akan naik 4,7 persen seiring pulihnya sektor pariwisata dari pandemi. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- “Antibodi Resesi Global”, Kompas, 15 Oktober 2019, hlm. 06
- “Menghindari Resesi Ekonomi”, Kompas, 21 Juli 2022, hlm. 07
- “Dampak Resesi Ekonomi Global”, Kompas, 05 Agustus 2022, hlm. 06
- “Dampak Resesi Global, Ekonomi Berisiko Melambat”, Kompas, 12 Oktober 2022 , hlm. 01, 15
- “Resesi Global dan Pilihan Kebijakan”, Kompas, 12 Oktober 2022, hlm. 06
- “Pertumbuhan Ekonomi: Perambatan Risiko Global Bisa Dikurangi * Laporan dari Amerika Serikat”, Kompas, 14 Oktober 2022, hlm. 01, 15
- “Analisis Ekonomi: IMF dan Kebijakan Adaptif-Seimbang”, Kompas, 18 Oktober 2022, hlm. 01, 15
- World Economic Outlook Update, January 2022: Rising Caseloads, A Disrupted Recovery, and Higher Inflation, IMF
- World Economic Outlook, April 2022: War Sets Back The Global Recovery, IMF
- World Economic Outlook Update, July 2022: Gloomy and More Uncertain, IMF
- World Economic Outlook Oct 2022 Countering the Cost-of-Living Crisis, IMF
- World Economi Outlook Countering the Cost-of-Living Crisis Oct 20221, IMF
- Justin Damien Guénette, M. Ayhan Kose, and Naotaka Sugawara. Is a Global Recession Imminent?. EFI Policy Note 4 September 2022
- Kose, M. Ayhan; Sugawara, Naotaka; Terrones, Marco E.. 2020. Global Recessions. Policy Research Working Paper; No. 9172. World Bank
- Global Economic Prospects June 2022, World Bank
- Risk of Global Recession in 2023 Rises Amid Simultaneous Rate Hikes, World Bank
- Asian Development Outlook 2022 Entrepreneurship In The Digital Age Update September 2022, Asian Development Bank
- Trade And Development Report 2022 Development prospects in a fractured world: Global disorder and regional responses, United Nations Conference on Trade and Development
- What Is A Recession? Diakses dari https://www.forbes.com/
- Resesi Ekonomi? Apa Itu?, diakses dari https://sikapiuangmu.ojk.go.id/
- Hamid, Edy Suandi. Akar Krisis Ekonomi Global dan Dampaknya Terhadap Indonesia. La Riba, Jurnal Ekonomi Islam Volume III, No. 1, Juli 2009
- Perkembangan Ekonomi Indonesia dan Dunia Triwulan II Tahun 2022, Edisi Vol. 6, No. 2 Agustus 2022
- Kajian Tengah Tahun INDEF 2022: Reformulasi Kemandirian Ekonomi di Tengah Dinamika Global, INDEF
- ADB Turunkan Tingkat Pertumbuhan Kawasan Asia Yang Sedang Berkembang Seiring Naiknya Tantangan Global, Diakses dari https://www.adb.org/
- Bank Dunia Tawarkan Kiat Siasati Resesi Global, laman Kompas.id
- Perekonomian Global Makin Suram, laman Kompas.id