Paparan Topik | Ekonomi Nasional

Potret, Penyebab, dan Kebijakan Mengatasi Ketimpangan Ekonomi di Indonesia

Pemerataan ekonomi bagi semua kelompok masyarakat merupakan salah satu agenda besar yang ingin diwujudkan bangsa Indonesia. Untuk itu, pemerintah berupaya mewujudkan pembangunan berkeadilan agar ketimpangan ekonomi di tanah air tidak semakin melebar.

KOMPAS/HERU SRI KuMORO

Tenda-tenda semi permanen dengan latar gedung-gedung bertingkat di Jalan Tenaga Listrik, Tanah Abang, Jakarta, Kamis (2/6/2016). Penanganan ketimpangan ekonomi perlu menjadi agenda prioritas pemerirntah. Peningkatan ketimpangan dikhawatirkan mengganggu pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial.

Fakta Singkat

Persentase penduduk miskin 9,54 persen (Maret 2022)

Tingkat kemiskinan Maret 2022:

  • Tingkat kemiskinan kota 7,50 persen
  • Tingkat kemiskinan desa 12,29 persen
  • Tingkat kemiskinan kota & desa 9,54 persen

Rasio gini Maret 2022 sebesar 0,384

IHDI Indonesia 2021: 0,585

Ketimpangan pendapatan (World Inequality Report 2022):

  • Selisih antara kelompok 50 persen terbawah dan 10 persen teratas sebesar 19 kali (2021)
  • Selisih antara kelompok 50 persen terbawah dan 1 persen teratas sebesar 74 kali (2021)

Ketimpangan kekayaan (Global Wealth Databook 2021):

  • 66,2 persen total kekayaan di Indonesia dimiliki oleh 10 persen orang terkaya di Indonesia.
  • 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 36,6 persen dari total kekayaan di Indonesia.

Ketimpangan kesempatan berproduksi:

  • Indeks gini rasio kepemilikan tanah berada di 0,54 — 0,67 pada 2020

Penyebab ketimpangan ekonomi (Bank Dunia)

  • Ketimpangan peluang sejak lahir
  • Ketimpangan pasar kerja
  • Pemusatan kekayaan di segelintir orang
  • Masyarakat miskin tak siap menghadapi guncangan ekonomi

RPJM 2020–2024: target rasio gini 2020–2024 pada 0,36 — 0,374

Pandemi Covid-19 yang telah melanda dunia dan Indonesia pada khususnya sejak tahun 2020 berdampak pada banyak aspek. Tak hanya pada aspek kesehatan nasional, pandemi Covid-19 juga telah mengakibatkan perubahan dalam aspek ekonomi. Perlambatan ekonomi, penurunan aktivitas ekonomi, hingga peningkatan pengangguran dan kemiskinan menjadi fakta yang dihadapi oleh masyarakat dan Pemerintah Indonesia.

Seiring terkendalinya penyebaran Covid-19 di Tanah Air, Indonesia kemudian dihadapkan pada potensi krisis pangan dan krisis energi global. Terkait dengan krisis pangan, Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto pada 5 Agustus 2022 memastikan, kebutuhan pangan nasional aman hingga akhir tahun di tengah potensi krisis pangan dunia. Stok beras tercatat 7 juta ton dan jumlah tersebut dinilai sangat cukup untuk kebutuhan masyarakat Indonesia.

Sementara untuk krisis energi, pada 3 September 2022, pemerintah resmi menaikkan harga BBM atau Bahan Bakar Minyak jenis Solar, Pertalite dan Pertamax. Masing-masing menjadi Rp 6,800 per liter untuk Solar, Rp 10.000 per liter untuk Pertalite dan Rp 16,500 per liter untuk Pertamax.

Kedua krisis terakhir tersebut diperkirakan tak hanya berdampak pada inflasi domestik, namun juga akan berdampak pada peningkatan pengangguran dan kemiskinan serta ujungnya bisa memperlebar ketimpangan ekonomi di Indonesia.

Ketimpangan ekonomi (economic inequality) adalah ketidakmerataan distribusi pendapatan dan peluang ekonomi antara berbagai kelompok di dalam masyarakat. Ketimpangan ekonomi terkait erat dengan kesenjangan dalam kekayaan dan pendapatan di dalam perekonomian. Mereka yang kaya menjadi semakin kaya dan menguasai perekonomian. Sedangkan, orang miskin harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan esensial mereka.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Warga melintasi bangunan semipermanen yang dibangun berjajar di sepanjang rel kereta api di kawasan Kampung Bandan, Jakarta Utara, dengan latar belakang deretan gedung hunian bertingkat, Selasa (23/5/2017). Ketimpangan ekonomi di Indonesia mencapai rekor terparah pada 2012. Saat itu rasio gini sebagai ukuran ketimpangan mencapai 0,415. Pada tahun-tahun berikutnya, angka stagnan di 0,4. Baru mulai 2016 rasio gini turun menjadi 0,397. Untuk mempercepat laju pengurangan ketimpangan ekonomi, pemerintah akan mengangkat dan memberdayakan 40 persen penduduk termiskin.

Gambaran penduduk miskin di Indonesia

Untuk mengukur kemiskinan, Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Penduduk dikategorikan sebagai penduduk miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Ambang batas garis kemiskinan pada Maret 2022 menjadi Rp505.469, meningkat sebesar 4 persen dari sebelumnya Rp486.168 pada September 2021.

Data BPS menunjukkan dalam rentang satu dekade terakhir, angka penduduk miskin di Tanah Air cenderung turun. Pada periode 2010-2017, persentase penduduk miskin masih di atas 10 persen. Namun sejak Maret 2018 sampai September 2019 turun hingga 9,22 persen.

 

Namun seiring merebaknya pandemi Covid-19 di Indonesia, angka kemiskinan kembali melonjak. Jumlah penduduk miskin sebelum pandemi atau pada Maret 2019  tercatat sebanyak 25,14 juta orang atau 9,41 persen. Jumlah penduduk miskin meningkat memasuki tahun pertama pandemi dan mencapai puncaknya pada Maret 2021 sebanyak 27,54 juta orang atau 10,14 persen dari total penduduk.

Kemudian, persentase penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 9,54 persen, menurun 0,17 persen poin terhadap September 2021 dan menurun 0,60 persen poin terhadap Maret 2021. Sedangkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 26,16 juta orang, menurun 0,34 juta orang terhadap September 2021 dan menurun 1,38 juta orang terhadap Maret 2021.

Ditilik dari kemiskinan absolut dan relatif dari sisi sebaran lokasi geografis, data BPS menunjukkan bahwa dari sisi kemiskinan absolut, lebih dari setengah jumlah total penduduk Indonesia yang hidup miskin berada di pulau Jawa (yang berlokasi di bagian barat Indonesia dengan populasi padat). Sementara untuk kemiskinan relatif, nilai kemiskinan lebih tinggi di wilayah Indonesia Bagian Timur.

Pada Maret 2022, lima provinsi di Indonesia dengan angka kemiskinan paling tinggi adalah Papua (26,56 persen), Papua Barat (21,33 persen), Nusa Tenggara Timur (20,05 persen), Maluku (15,97 persen), dan Gorontalo (15,42 persen).

Rasio Gini dan IHDI Indonesia

BPS menggunakan data pengeluaran sebagai proksi pendapatan yang bersumber dari Susenas dalam mengukur tingkat ketimpangan di Indonesia. Rasio gini (gini ratio) adalah salah satu ukuran ketimpangan pengeluaran yang digunakan.

Rasio gini adalah koefisien yang dapat menggambarkan ketimpangan pendapatan di antara penduduk, dengan rentang nilai 0-1. Apabila nilai rasio gini bernilai 0, maka terjadi pemerataan pendapatan sempurna. Sebaliknya, bila Gini Ratio mencapai angka 1, berarti terjadi ketimpangan sempurna.

BPS mencatat rasio gini di Indonesia masih berfluktuasi dari tahun ke tahun meski cenderung menurun.

Sejak 2011 hingga September 2015, rasio gini Indonesia bertahan pada rentang 0,40 sampai 0,41. Kemudian sepanjang Maret 2016 hingga September 2019, rasio gini turun sebanyak enam kali secara beruntun. Dari 0,397 pada Maret 2016 menjadi 0,380 pada September 2019.

Seiring merebaknya pandemi Covid-19 pada 2020, ketimpangan kembali meningkat menjadi 0,381 (Maret 2020), 0,385 (September 2020), 0,384 (Maret 2021), kemudian turun menjadi 0,381 (September 2021), dan terakhir pada Maret 2022 naik kembali pada angka 0,384.

Sementara berdasarkan kriteria Bank Dunia yang membagi kelompok pengeluaran penduduk menjadi tiga kluster, yaitu pada penduduk 40 persen terbawah, penduduk 40 persen menengah, dan penduduk 20 persen teratas, terjadi peningkatan persentase pengeluaran pada penduduk yang menempati 40 persen terbawah dan sekaligus juga terjadi peningkatan pada penduduk yang menempati 20 persen teratas.

Pada Maret 2022, persentase pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah adalah sebesar 18,06 persen. Posisinya meningkat dibandingkan kondisi September 2021 yang 17,97 persen dan Maret 2021 sebesar 17,76 persen.

Pada periode yang sama pada penduduk 20 persen teratas persentase pengeluaran mencapai 46,2 persen, meningkat dibandingkan periode September ataupun Maret 2021 yang masing-masing sebesar 45,71 persen dan 45,87 persen.

 

 

Selain ketimpangan yang makin melebar, penurunan angka kemiskinan juga masih mengandung disparitas antarwilayah. Hingga saat ini, persentase penduduk miskin terendah berada di Pulau Kalimantan dengan besaran 5,82 persen dan yang tertinggi di Pulau Maluku dan Papua sebesar 19,89 persen. Kesenjangan antara yang tertinggi dan yang terendah mencapai dua digit.

Selain rasio gini, terdapat alat ukur lain untuk mengukur pembangunan ekonomi dengan mempertimbangkan distribusinya di antara masyarakat, yakni Indeks Pembangunan Manusia yang Disesuaikan dengan Ketimpangan atau Inequality-adjusted Human Development Index (IHDI) dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP).

IHDI adalah ukuran yang mengoreksi HDI dengan mengurangkan biaya ketimpangan (disparitas). Sementara Human Development Index (HDI) merupakan suatu indeks komposit yang mencakup tiga bidang pembangunan manusia yang dianggap sangat mendasar, yang digunakan sebagai indikator yaitu bidang kesehatan, yakni usia hidup, bidang pendidikan, yakni pengetahuan, dan bidang ekonomi, yakni standar hidup layak.

Para pakar memandang IHDI adalah ukuran ideal dari pembangunan manusia. IHDI lebih aktual karena menunjukkan bagaimana pencapaian pembangunan manusia menyebar di antara penduduk.

Data dari UNDP menunjukkan kendati nilai HDI Indonesia terus meningkat setiap tahun, namun pemerataan pembangunan manusia masih menjadi tantangan. Dalam rentang tahun 2010-2021, nilai IHDI Indonesia dalam rentang terendah 0,544  dan tertinggi 0,593 pada 2019. Terakhir, pada tahun 2021, IHDI Indonesia tercatat sebesar 0,585.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Anak-anak bermain di pinggir kawasan permukiman padat dengan latar belakang gedung-gedung perkantoran di tepi Kanal Banjir Barat, Tanah Abang, Jakarta, Kamis (10/2/2016). Taman yang menjadi interaksi warga tersebut sebelumnya berdiri bangunan liar dan kumuh. Keberadaan taman selain memberikan keindahan dan lebih sehat bagi lingkungan. Ketimpangan ekonomi masyarakat Indonesia per September 2015 sedikit berkurang setelah selama 12 tahun melebar.

Non Pengeluaran

Ukuran ketimpangan tidak hanya berbasis data pengeluaran, tetapi ada sejumlah basis data non pengeluaran, di antaranya ketimpangan pendapatan, kekayaan, kesempatan berproduksi, dan akses terhadap layanan publik.

Ketimpangan pendapatan di Indonesia salah satunya tecermin dari laporan bertajuk World Inequality Report 2022 yang diterbitkan oleh World Inequality Lab, lembaga riset yang diinisiasi Paris School of Economics dan Universitas Berkeley. Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa ketimpangan ekonomi di Indonesia cenderung meningkat dalam dua dekade terakhir.

Hal ini terlihat dari tingkat pendapatan nasional penduduk dewasa sebelum pajak yang makin berjarak. Pada 2000, selisih antara kelompok 50 persen terbawah dan 10 persen teratas hanya sebesar 11 kali, sedangkan pada 2021 sebesar 19 kali. Sedangkan selisih antara kelompok 50 persen terbawah dan 1 persen teratas sebesar 41 kali pada 2000, naik menjadi 74 kali pada 2021.

Sementara itu, porsi kekayaan individual dikuasai kelompok teratas. Pada kelompok 1 persen ke atas menguasai 30,2 persen dari total kekayaan populasi Indonesia. Diikuti oleh kelompok 10 persen teratas yang menguasai 61 persen, kelompok 50 persen terbawah menguasai 4,5 persen dari total kekayaan populasi Tanah Air.

Dalam laporan itu, disebutkan pula bahwa kendati tren kekayaan personal penduduk Indonesia sempat turun, tetapi kelompok teratas tercatat lebih cepat pulih dari krisis 1998. Berbeda dengan kelompok terbawah yang pertumbuhan kekayaannya cenderung lamban.

Berkaitan dengan ketimpangan kekayaan atau aset, Lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, dalam laporan Global wealth databook 2021, menunjukkan 66,2 persen total kekayaan di Indonesia hanya dimiliki oleh 10 persen orang terkaya di Indonesia. Sebanyak 1 persen orang terkaya di Indonesia bahkan menguasai 36,6 persen dari total kekayaan di Indonesia.

Ketiga, ketimpangan kesempatan berproduksi. Ketimpangan ini bisa diukur menggunakan salah satunya rasio gini kepemilikan tanah. Seperti diketahui, skala rasio gini antara 0-1 di mana semakin angkanya mendekati 0 maka semakin kecil tingkat ketimpangan.

Selama empat dekade, menurut data BPS yang dikutip dari Laporan Akhir Penelitian Ketimpangan Penguasaan dan Pemilikan Tanah yang dirilis Kementerian ATR, rasio gini kepemilikan tanah berfluktuasi pada rentang nilai 0,50-0,72. Nilai tersebut berada dalam kategori ketimpangan sedang dan tinggi.

Pada 2013, ketimpangan kepemilikan tanah mencapai 0,68. Artinya hanya 1 persen rakyat Indonesia menguasai 68 persen sumber daya tanah. Sementara itu, pada 2020, indeks gini rasio kepemilikan tanah berada di 0,54-0,67.

Selain indeks rasio gini, pengukuran ketimpangan pemilikan tanah juga bisa dilihat dengan menggunakan metode kriteria Bank Dunia. Masih menurut Laporan Akhir Penelitian Ketimpangan Penguasaan dan Pemilikan Tanah, perhitungan ketimpangan kriteria Bank Dunia memperhatikan besaran penguasaan aset 40 persen kelompok terendah terhadap keseluruhan aset yang dikuasai oleh semua kelompok.

Jika kelompok tersebut menguasai di bawah 12 persen aset maka ketimpangan terhitung tinggi. Jika mereka menguasai antara 12-17 persen aset maka ketimpangan tergolong sedang, dan apabila penguasaan asetnya lebih besar dari 17 persen maka ketimpangan berada dalam kategori rendah.

Hasil perhitungan dengan kriteria Bank Dunia dari data sekunder diketahui bahwa rataan ketimpangan berada pada kategori tinggi di semua provinsi di Indonesia. Jika dilihat lebih spesifik, nilai ketimpangan tertinggi berada pada Provinsi Gorontalo sedangkan angka persentase ketimpangan terendah berada pada Provinsi Sulawesi Tengah.

Keempat, ketimpangan akses layanan publik. Di sektor kesehatan, kendati ada peningkatan kualitas fasilitas kesehatan (faskes), kelompok masyarakat berpendapatan rendah kurang bisa mengakses layanan dengan faskes terbaik. Hal ini tecermin dari semakin besarnya jumlah peserta kelas III BPJS lantaran terjadi fenomena migrasi turun kelas, yang jumlahnya mencapai 4,6 juta peserta BPJS.

Demikian juga dengan ketimpangan akses layanan perbankan, di sektor UMKM, misalnya komposisi kredit usaha mikro sebesar 25 persen, usaha kecil (32 persen), dan usaha menengah (43 persen). Selain itu, perkembangan kredit mikro sejak Maret 2020 terus menurun secara signifikan, yakni dari 280.000 unit usaha mikro (Maret 2020) yang terlayani perbankan menjadi 256.777 unit usaha mikro (Juli 2020).

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Seorang penarik gerobak terlihat melenggang santai melintasi Jalan Thamrin untuk mencari nafkah sementara sejumlah mobil berhenti di belakangnya, Selasa (2/8/2005). Di saat Indonesia akan merayakan kemerdekaan ke-60, ketimpangan sosial ekonomi masih mencolok di kehidupan kota-kota besar.

Penyebab kesenjangan ekonomi

Bank Dunia, dalam laporan A Perceived Divide: How Indonesians Perceive Inequality and What They Want Done About It, menyebut ketimpangan ekonomi di Indonesia bukan karena memburuknya kondisi kemiskinan, namun karena melesatnya akumulasi kekayaan kelas atas.

Sepanjang tahun 2003 dan 2010, konsumsi tahunan per orang dari 10 persen individu terkaya tumbuh hingga 6 persen setelah disesuaikan dengan inflasi. Tetapi konsumsi tahunan untuk 40 persen individu termiskin hanya tumbuh kurang dari 2 persen.

Bank Dunia menyebut terdapat empat faktor yang memperdalam ketimpangan ekonomi di Indonesia. Pertama, ketimpangan peluang sejak lahir. Anak yang lahir dari keluarga miskin cenderung memiliki masa depan kurang beruntung dibandingkan yang lahir dari keluarga kaya. Hal ini karena mereka tumbuh dalam ketidakadilan, sehingga mengurangi peluang untuk sejahtera. Dalam kondisi ini, sebagian ketimpangan terjadi lantaran faktor-faktor di luar kendali seseorang.

Kedua, ketimpangan pasar kerja. Individu yang terperangkap dalam pekerjaan informal biasanya memiliki pemasukan yang rendah, sebab produktivitasnya rendah. Situasi ini menghambat mereka berkembang karena telah kalah dengan pekerja berketerampilan tinggi di bidang formal.

Ketiga, konsentrasi atau pemusatan kekayaan di segelintir orang. Hanya 1 persen rumah tangga terkaya di Indonesia mampu menguasai 50,3 persen kekayaan nasional. Posisi Indonesia tepat di bawah Rusia dan Thailand yang masih terjebak dalam persoalan ketimpangan sosial yang sama.

Keempat, masyarakat miskin cenderung tak siap menghadapi guncangan ekonomi. Biasanya kelompok ini akan paling terdampak ketika terjadi krisis ekonomi. Sebagai contoh, pandemi Covid-19 mengakibatkan krisis di Indonesia sehingga tak sedikit masyarakat yang kehilangan pekerjaannya. Akibatnya kelompok miskin mengalami kesulitan pemasukan dan sulit berinvestasi untuk kesehatan dan pendidikan.

Target dan kebijakan mengatasi ketimpangan ekonomi

Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024,  pemerintah menargetkan tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk yang diukur melalui rasio gini bisa terus membaik. Pada periode 2020-2024, tingkat rasio gini ditargetkan turun menjadi 0,36 hingga 0,374.

Untuk mencapai target tersebut, pemerintah mengarahkan kebijakan tidak hanya pada kelompok masyarakat pendapatan menengah ke bawah, tetapi juga pada masyarakat pendapatan menengah ke atas.

Tantangan yang dihadapi pemerintah dalam mengurangi angka rasio gini demi mencapai target RPJMN mencakup tiga hal. Pertama, kualitas dan akses terhadap pelayanan dasar (kesehatan, gizi masyarakat, pendidikan, dan perumahan) yang belum merata dan belum terstandardisasi. Kedua, belum optimalnya upaya pemberdayaan masyarakat miskin. Ketiga, keterbatasan pranata sosial dan infrastruktur untuk penguatan UMKM dan pelatihan vokasi.

Pada tahun 2023, pemerintah menetapkan beberapa strategi guna optimalisasi pertumbuhan perekonomian yang berkualitas dan berkesinambungan sehingga diharapkan dapat mendorong pengurangan angka rasio gini ke depannya sesuai target yang diproyeksikan.

Bagi kelompok berpenghasilan 40 persen ke bawah, pemerintah menetapkan tujuh langkah. Pertama, reformasi Sistem Perlindungan Sosial dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang meliputi pengembangan registrasi sosial-ekonomi. Kedua, peningkatan akurasi penargetan bantuan sosial. Ketiga, integrasi dan penyederhanaan program serta penyaluran bantuan sosial secara digital, cepat, dan responsif kebencanaan

Keempat, penguatan kelembagaan pelatihan vokasi di seluruh Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja masa depan. Kelima, pengembangan UMKM sebagai salah satu penggerak utama ekonomi kelompok menengah. Keenam, penguatan kebijakan fiskal untuk redistribusi yang merata. Ketujuh, pemberian bantuan sosial langsung dan bantuan sembako untuk mempertahankan daya beli masyarakat terutama kelas menengah ke bawah.

Sebelumnya pada tahun 2017, pemerintah mengeluarkan Kebijakan Pemerataan Ekonomi (KPE) yang bertumpu pada tiga pilar yaitu lahan, kesempatan, dan Sumber Daya Manusia (SDM. Hal ini dimaksudkan agar kebijakan pemerintah dapat diharmonisasikan menjadi satu desain kebijakan yang koheren dan efektif dalam mengurangi ketimpangan yang berbasis pemerataan ekonomi.

Dari ketiga pilar utama tersebut, terdapat 10 bidang yang dinilai menjadi sumber ketimpangan di masyarakat. Pilar pertama berdasarkan lahan akan mencakup reforma agraria dan perhutanan sosial; pertanian dalam kaitannya dengan isu petani tanpa lahan; perkebunan terkait dengan rendahnya produktivitas dan nilai tambah komoditas; perumahan yang terjangkau bagi masyarakat miskin perkotaan; dan nelayan serta petani budidaya rumput laut.

Pilar kedua berdasarkan kesempatan akan menyasar permasalahan sistem pajak; manufaktur dan informasi teknologi; perkembangan pasar ritel dan pasar tradisional; serta pembiayaan dengan dana pemerintah.

Pilar ketiga yakni peningkatan kapasitas sumber daya manusia, ditargetkan untuk menyelesaikan isu vokasional, kewirausahaan dan pasar tenaga kerja. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Mengatasi Ketimpangan dari Bawah”, Kompas, 14 Januari 2019, hlm. 07
  • “Jurang Ketimpangan Pascapandemi Covid-19”, Kompas, 28 Mei 2020, hlm. 06
  • “Kelas Menengah dan Ketimpangan Ekonomi”, Kompas, 10 Januari 2020, hlm. 06
  • “Jurang Ketimpangan Pascapandemi Covid-19”, Kompas, 28 Mei 2020, hlm. 06
  • “Tantangan Pemerataan Pembangunan Ekonomi”, Kompas, 22 Maret 2022, hlm. 06
Aturan Pendukung