Paparan Topik

Potret Pemberdayaan dan Tantangan Perempuan

Indeks Ketimpangan Gender merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan dan kemajuan pada perempuan. Indeks Ketimpangan Gender (IKG) menunjukkan adanya potensi capaian pembangunan manusia yang hilang akibat adanya kesenjangan gender dalam dimensi kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan pasar tenaga kerja.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Aktivis perempuan dari Universitas Indonesia (UI) dalam aksi damai memperingati Hari Perempuan Internasional di kawasan silang Monumen Nasional, Jakarta Pusat, Selasa (8/3/2022). Selain orasi, aksi bersama sejumlah organisasi perempuan tersebut juga menghadirkan aksi teatrikal dan pembacaan puisi. Aktivis perempuan tersebut menyuarakan dan mengampanyekan hak kerja yang layak, perlindungan, keadilan, dan melawan segala bentuk kekerasan pada perempuan.

Fakta Singkat

  • Hari Perempuan Internasional atau International Womens Day ditetapkan pertama kali pada tahun 1911 di Austria, Denmark, Jerman, dan Swiss.
  • Diadopsi oleh PBB dan menjadi program internasional sejak tahun 1975.
  • Di beberapa negara di dunia, Hari Perempuan Internasional dijadikan sebagai hari libur, sedangkan di China, Hari Perempuan Internasional menjadi libur setengah hari.

Salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah melihat kemajuan pada perempuan dengan Indeks Ketimpangan Gender. Indeks Ketimpangan Gender adalah ukuran ketimpangan yang menunjukkan capaian pembangunan manusia yang kurang optimal karena ketimpangan antara perempuan dengan laki-laki dalam dimensi kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan pasar tenaga kerja. Semakin kecil nilai Indeks Ketimpangan Gender, semakin rendah ketimpangan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan.

Melihat data resmi Badan Pusat Statistik yang dirilis 1 Agustus 2023 tentang Indeks Ketimpangan Gender, terjadi penurunan ketimpangan gender di sebagian besar provinsi di Indonesia. Tahun 2022, tercatat IKG sebesar 0,459 atau turun 0,006 poin dibandingkan tahun 2021 yang sebesar 0,465. Perbaikan ini dipengaruhi oleh peningkatan capaian dimensi kesehatan reproduksi dan pemberdayaan.

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Sementara itu, berkurangnya jumlah perempuan melahirkan hidup yang tidak mendapat fasilitas kesehatan dari 15,4 persen tahun 2021 menjadi 14,0 persen pada tahun 2022 ikut menurunkan angka ketimpangan gender. Dengan kata lain, hal itu meningkatkan perbaikan dimensi kesehatan perempuan.

Sedangkan, dimensi pemberdayaan perempuan mengalami perbaikan karena dipengaruhi oleh indikator meningkatnya tingkat pendidikan SMA ke atas pada wanita usia 25 tahun ke atas yang meningkat lebih tinggi daripada laki-laki.

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Persentase perempuan meningkat dari 34,87 persen tahun 2021 menjadi 36,95 persen, sedangkan persentase laki-laki meningkat dari 41,30 persen menjadi 42,06 persen pada tahun 2022.

KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Peserta aksi memotret spanduk berisi tuntutan hak perempuan di sekitar Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta, Rabu (8/3/2023). Peserta aksi yang tergabung dalam berbagai aliansi buruh dan aktivis perempuan ini menyambut peringatan Hari Perempuan Sedunia 2023 dengan aksi di Patung Kuda Wiwaha, Jakarta. Dalam aksinya tersebut peserta aksi menuntut pemerintah mengabulkan hak-hak perempuan, salah satunya hak cuti selama haid atau menstruasi.

Sejarah Hari Perempuan Internasional

Pada tahun 1908, terjadi demonstrasi pekerja perempuan. Mereka turun ke jalan di Kota New York, Amerika Serikat menuntut jam kerja yang lebih singkat bagi perempuan, gaji yang lebih baik dan hak untuk memilih (hak politik). Hal itu didukung oleh Clara Zetkin, aktivis perempuan yang mengadvokasi hak-hak perempuan.

Untuk mendukung kesamaan hak perempuan, dalam konferensi di Kopenhagen tahun 1910, Zetkin mengusulkan peringatan hari perempuan di hadapan 100 peserta yang berasal dari 17 negara. Ternyata seluruh peserta mendukung gagasan tersebut. Karenanya, tahun 1911 pertama kali Hari Perempuan Internasional, Women International Day (IWD) dirayakan di Austria, Denmark, Jerman, dan Swiss.

Namun, ditemukannya tanggal pasti perayaan itu baru diformulasikan tahun 1917 ketika terjadi aksi massa perempuan di Rusia menuntut pengunduran diri Tsar dan menuntut agar pemerintah memberikan jaminan hak politik bagi perempuan. Aksi itu dilakukan pada hari Minggu 23 Februari dalam kalender Julian (kalender yang berlaku di Rusia), sedangkan dalam kalender Gregorian jatuh pada tanggal 8 Maret.

Organisasi internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) resmi mengadopsi Women International Day (IWD) pada tahun 1975. Peringatan IWD tersebut bertujuan merayakan pencapaian para perempuan dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Namun, akar politik perayaan itu adalah aksi mogok dan demonstrasi untuk meningkatkan kesadaran akan kesetaraan gender.

Peringatan IWD pun menyebar ke seluruh dunia tidak hanya di Amerika atau Eropa karena perayaan tersebut bukan milik negara, organisasi, ataupun golongan. IWD adalah hari aktivisme global yang menjadi perayaan kolektif di semua wilayah yang mengaku berkomitmen untuk mendorong kesetaraan perempuan. Hal itu pernah diungkapkan oleh Gloria Steinem, seorang feminis, jurnalis, dan aktivis perempuan, “Kisah perjuangan perempuan untuk kesetaraan bukanlah milik seorang feminis atau organisasi mana pun, melainkan milik upaya kolektif semua orang yang peduli pada hak asasi manusia”.

Dalam perayaan HPI di Amerika dan Eropa, biasanya orang-orang mengenakan warna ungu, hijau, dan putih. Warna ungu melambangkan keadilan dan kehormatan, hijau melambangkan harapan, dan putih representasi kemurnian. Warna-warna tersebut merujuk pada gerakan Women’s Social and Political Union (WSPU) di Inggris tahun 1908.

Di beberapa negara, peringatan IWD dijadikan hari libur nasional, seperti di Rusia yang selalu mengalami lonjakan penjualan bunga sejak empat hari sebelum tanggal 8 Maret. Di Italia, HPI dikenal sebagai la Festa della Donna dengan tradisi memberikan bunga Semalu, sedangkan di China perempuan boleh libur kerja setengah hari pada hari itu.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Aksi tutup mulut dari komunitas perempuan saat mereka menggelar aksi terkait dengan Hari Perempuan Internasional di depan Kantor DPRD Jawa Tengah, Kota Semarang, Rabu (8/3/2023). Mereka melakukan aksi solidaritas untuk menyuarakan berbagai persoalan tentang isu perempuan dalam berbagai sektor antara lain sosial, budaya, ekonomi, lingkungan, dan politik.

Tema Hari Perempuan Internasional

Tahun 2024, PBB mengangkat tema “Invest in Women, Accelerate Progress”, karena keprihatinan pada minimnya investasi dana untuk upaya kesetaraan gender. Situasi konflik dan kenaikan harga mengakibatkan 75 persen negara memangkas pengeluaran pada tahun 2025. Hal itu berdampak negatif pada perempuan dan layanan yang penting bagi perempuan.

Padahal, untuk mencapai kesetaraan gender, pada 2023 dibutuhkan tambahan US$ 360 miliar pertahunnya. Sedangkan saat ini, hanya 5 persen bantuan pemerintah yang berfokus pada langkah pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, dan kurang dari 0,2 persen yang dialokasikan untuk pencegahan.

Selain itu, masih ada tema lain yang diangkat pada IWD 2024 ini, yaitu “Inspire Inclusion” yang bertujuan untuk merobohkan batasan-batasan, menentang stereotip, serta membangun lingkungan yang menghormati dan menghargai perempuan.

PBB juga menyoroti kekerasan yang menimpa anak-anak dan perempuan korban konflik peperangan seperti di wilayah Timur Tengah. Dalam konflik Israel-Palestina, PBB mendapatkan data adanya kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan dan anak-anak perempuan di Gaza yang dilakukan oleh pasukan Israel. Konflik tersebut mengakibatkan 5.000 perempuan Gaza melahirkan dengan bantuan medis yang sangat terbatas.

Gerakan mendukung inklusi ini dapat berupa organisasi, kelompok, dan individu di seluruh dunia. Hari Perempuan Internasional merupakan gerakan yang melibatkan dan menerima secara terbuka keberagaman ras, usia, kemampuan, keyakinan, citra tubuh, dan cara mengindentifikasikan diri. Tentu saja secara individual harus memahami, menghargai, dan mengupayakan inklusi perempuan dan anak. Selain itu, secara organisasi, ada banyak cara untuk memastikan kebutuhan, kepentingan aspirasi perempuan dan anak perempuan. Tindakan yang dapat dilakukan, antara lain:

  • Mendorong pemberdayaan ekonomi perempuan
  • Merekrut, mempertahankan, dan mengembangkan beragam bakat
  • Mendukung perempuan dan anak perempuan dalam kepemimpinan, pengambilan keputusan, bisnis, dan STEM
  • Merancang pembangunan infrastruktur yang memenuhi kebutuhan perempuan dan anak perempuan
  • Membantu perempuan dan anak perempuan membuat keputusan yang tepat terkait kesehatan mereka
  • Melibatkan perempuan dan anak perempuan dalam pertanian berkelanjutan dan ketahanan pangan
  • Memberikan perempuan dan anak perempuan akses pendidikan dan pelatihan berkualitas
  • Meningkatkan partisipasi dan prestasi perempuan dan anak perempuan dalam olahraga
  • Mempromosikan bakat kreatif artistik perempuan dan anak perempuan menangani bidang-bidang lain yang mendukung kemajuan perempuan dan anak perempuan.

Meskipun demikian, di berbagai belahan dunia masih banyak terjadi ketidakadilan yang dialami perempuan. Misalnya, anak-anak perempuan berusia remaja di Afganistan terbatas akses pendidikannya karena Taliban. Demikian pula perempuan dan anak-anak perempuan di Sudan yang diculik dan diperkosa di wilayah yang dikuasai pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF).

Sementara di Iran, terjadi pemaksaan perempuan harus mengenakan tutup kepala, bahkan memenjarakan aktivis gerakan yang menentang kebijakan tersebut. Bahkan, Mahsa Amini (22 tahun) ditahan polisi moral Iran karena melanggar ketentuan penutup kepala dan meninggal dalam tahanan. 

KOMPAS/YOLA SASTRA

Anggota Jaringan Peduli Perempuan Sumatera Barat berorasi dalam aksi damai antikekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Jalan Jenderal Sudirman depan Kantor Gubernur Sumatera, Padang, Sumatera Barat, Kamis (25/11/2021).

Persoalan Perempuan Indonesia

Salah satu tujuan dalam Sustainable Goals yang harus dicapai pada tahun 2030 adalah Kesetaraan Gender. Pembangunan manusia di tingkat nasional berbasis gender menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG), dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG), yang dianalisis di tingkat kabupaten/kota.

Menurut data Badan Pusat Statistik, capaian pembangunan manusia di bidang kesetaraan gender menunjukkan peningkatan. Skor IPG pada tahun 2022 meningkat 91,63 poin, atau meningkat 0,4 persen atau 0,36 poin dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 91,27 poin.  Wilayah dengan peningkatan skor IPG tertinggi adalah D.I. Yogyakarta mencapai 94,99 poin dan terendah di wilayah Papua hanya sebesar 81,04 poin pada tahun 2022.

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Meskipun sempat menurun pada masa pandemi, yaitu 91,07 menjadi 91,06 poin pada tahun 2020, skor IPG langsung meningkat pada tahun berikutnya. Angka IPG membandingkan capaian pembangunan laki-laki dan perempuan berdasarkan dimensi umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak. Nilai IPG yang meningkat menunjukkan perbandingan capaian kemampuan dasar antara laki-laki dan perempuan berkurang.

Data IPG dapat menjadi salah satu indikator pembangunan manusia di Indonesia, karena perempuan memiliki peran penting dalam pembangunan termasuk perekonomian. Jika melihat pertumbuhan ekonomi berdasarkan data statistik, masih banyak yang belum masuk dalam data resmi Badan Pusat Statistik (BPS).

Grafik:

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), shadow economy, seperti usaha kaki lima, pembantu rumah tangga, buruh, kuli, petani, nelayan memiliki peran dalam perekonomian masyarakat. Menurut data BRI Research Institute (2021), ada 45 juta pelaku usaha mikro di Indonesia, 30 juta di antaranya belum tersentuh layanan keuangan formal.

Menurut Country Gender Assessment (CGA) Bank Dunia 2020 dalam Program Riset dan Analitis Jender untuk Pertumbuhan Ekonomi, ada beberapa hal isu utama di Indonesia. Pertama, Indonesia aktif berupaya meningkatkan daya saing menciptakan lapangan kerja melalui berbagai kebijakan dan progam pasar tenaga kerja. Namun, banyak program tersebut  bergerak bias, mengarah pada perbedaan jenis kelamin dan menggiring perempuan mengerjakan pekerjaan yang bersifat produktifitas dan upah rendah.

Kedua, industri manufaktur  makin berkembang menuju pekerjaan kelas menengah, tetapi yang terjadi pada akhirnya menciptakan kesenjangan urusan keluarga menjadi kendala jender. Padahal, kebutuhan perawatan keluarga yang memiliki anak dibebankan pada perempuan, sehingga banyak perempuan akhirnya bergerak pada sektor mikro.

Sayangnya, keinginannya untuk menguasai usaha sektor mikro akhirnya terhambat oleh akses kredit yang rendah dan tidak mampu menguasai pasar. Oleh karena itu, dibutuhkan kelembagaan formal dan informal untuk membuka layanan keuangan mikro bagi wirausaha perempuan. Selain itu, perlu adanya pendampingan dan formalisasi posisi perempuan dalam pasar tenaga kerja, tentu saja harus dapat menjangkau lapisan masyarakat marjinal.

KOMPAS/RIZA FATHONI

PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) menggelar kampanye pencegahan pelecehan seksual yang kerap terjadi di kereta Commuter Line. Kampanye sebagai bentuk memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret ini diselenggarakan di Stasiun Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (12/3/2019). Kampanye yang menggandeng Komnas Perempuan dan komunitas perempuan ini diharapkan mampu meningkatkan kesadaran para pengguna KRL untuk peduli dengan pelecehan seksual yang kerap terjadi.

Advokasi Hukum

Meskipun data statistik menunjukkan adanya peningkatan Indeks Pembangunan Gender dan semakin menurunnya angka Indeks Ketimpangan Gender, masih banyak ketimpangan dalam yang dialami perempuan. Perempuan di Indonesia masih berhadapan dengan negara sebagai pihak yang menelurkan undang-undang.

Dalam press releasenya, kelompok gerakan pembela hak-hak perempuan menyampaikan keprihatinan pada persoalan di Indonesia. Hal itu karena kebijakan DPR tidak menjalankan fungsi chek and balances sehingga kebijakan DPR justru mempersempit kebebasan masyarakat sipil untuk berpendapat, seperti disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja, UU Kesehatan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan Revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik—yang tetap diimplementasikan walaupun mendapat penolakan dari masyarakat.

Walaupun UU No.7 Tahun 2017 menegaskan dukungan pada keterwakilan perempuan dalam politik dengan persyaratan minimal 30 persen perempuan dalam bursa caleg parpol. Faktanya, dalam pemilu 2024 mayoritas parpol tidak memenuhi syarat keterwakilan 30 persen perempuan.

Dalam hal ketenagakerjaan, walaupun terjadi peningkatan penyerapan tenaga perempuan, pemerintah dianggap tidak peka pada persoalan yang terjadi. Perlindungan kerja yang minim bagi perempuan makin menjerumuskan perempuan dalam kemiskinan. Misalnya, upah buruh yang murah, relasi kerja yang tidak formal karena tidak ada status pengakuan kerja, tidak adanya perlindungan pada ibu hamil dan menyusui, serta diskriminatif pada keragaman identitas gender dan orientasi seksual. 

Kebijakan pro-oligarki justru melapangkan jalan investasi dan pembangunan adalah pasar tenaga kerja murah. Salah satu kasus nyata adalah di perusahaan padat karya garmen yang mempekerjakan 90 persen perempuan. Kontrak kerja mereka diperpanjang, rentan PHK  dengan sistem no work no pay, sehingga perempuan yang mengambil haknya seperti cuti haid, cuti melahirkan, atau sakit akan kehilangan pendapatan. 

Selain itu, perlindungan hukum bagi perempuan dan pekerja perempuan makin tidak menentu, karena payung hukum bagi mereka makin jauh dari harapan. Dalam 10 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan meningkat. Mirisnya mereka kerap mengalami diskriminasi dan re-viktimisasi dalam proses peradilan sehingga sulit mendapatkan keadilan.

Pemerintah seolah tidak serius menjamin hak-hak Pekerja Rumah Tangga, karena dalam 20 tahun RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) belum disahkan. Termasuk UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) masih terganjal peraturan pelaksanaan hingga belum dapat digunakan.

Aliansi Perempuan Indonesia dalam IWD 2024 ini juga menyoroti kebijakan Presiden Joko Widodo yang tampak tidak sungguh-sungguh menyelesaikan kasus HAM berat. Meskipun menjadi presiden selama dua periode, Jokowi dianggap tidak konsisten dengan konsep Nawacita yang digulirkan sejak 2014. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Jurnal
  • Indeks Ketimpangan Gender No. 52/08/Th. XXVI, 1 Agustus 2023
Arsip Kompas
  • “Perempuan, Kesetaraan, dan Pertumbuhan Ekonomi”, Kompas, Kamis, 22 Desember 2022

Artikel terkait