KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Suasana saat pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam Sidang Paripurna MPR RI Pelantikan Presdien dan Wakil Presiden 2024-2029 di Ruang Sidang Utama DPR/MPR RI, Jakarta, Minggu (20/10/2024). MPR melantik Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI 2024-2029. Pelantikan ini juga dihadiri sejumlah kepala negara dan perwakilan kepala negara sahabat.
Fakta Singkat
Pelantikan Presiden dari Masa ke Masa
- Presiden Soekarno:
18 Agustus 1945
17 Desember 1949 - Presiden Soeharto:
27 Maret 1968
23 Maret 1973
23 Maret 1978
11 Maret 1983
11 Maret 1988
11 Maret 1993
11 Maret 1998 - Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie: 21 Mei 1998
- Presiden Abdurrahman Wahid: 20 Oktober 1999
- Presiden Megawati Soekarnoputri: 23 Juli 2001
- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono:
20 Oktober 2004
20 Oktober 2009 - Presiden Joko Widodo:
20 Oktober 2014
20 Oktober 2019 - Presiden Prabowo Subianto: 20 Oktober 2024.
Setiap pelantikan presiden menyimpan harapan besar bagi masyarakat. Setiap kali prosesi pelantikan presiden berlangsung, salah satu momen yang paling dinanti adalah pidato presiden terpilih.
Pidato ini tidak sekadar formalitas, melainkan merupakan platform penting untuk menyampaikan visi dan misi kepemimpinan selama lima tahun ke depan kepada publik.
Momen ini memberikan kesempatan kepada pemimpin baru untuk berbicara langsung kepada rakyat, menyentuh isu-isu krusial, dan menetapkan agenda prioritas pemerintahan. Dari sinilah rakyat dapat mulai menilai arah dan komitmen pemimpin, serta seberapa baik pemimpin tersebut akan mewakili aspirasi mereka.
Dalam pidato tersebut, tema-tema penting sering kali menjadi sorotan, seperti pembangunan infrastruktur, pemberantasan korupsi, peningkatan pendidikan, dan penanganan kemiskinan. Pidato ini diharapkan dapat membangun hubungan emosional antara pemimpin dan rakyat. Bukan hanya alat komunikasi, pidato ini juga berfungsi untuk menunjukkan empati dan pemahaman terhadap tantangan yang dihadapi masyarakat.
Rakyat menanti dengan harapan, apakah pemimpin mereka mampu merangkul seluruh elemen masyarakat dan memberikan solusi konkret terhadap tantangan yang ada. Pertanyaan-pertanyaan ini akan terus bergema dalam benak rakyat, mengiringi harapan akan masa depan yang lebih baik.
Presiden Soekarno
18 Agustus 1945
Soekarno, yang ditunjuk sebagai presiden pertama Republik Indonesia, memulai masa jabatannya dari tahun 1945 hingga 1967. Proses pemilihannya dimulai pada sidang pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang berlangsung pada 18 Agustus 1945 di Gedung Pancasila, yang saat itu dikenal sebagai Gedung Tyuuoo Sangi-In.
Dalam sidang bersejarah tersebut, diambil tiga keputusan penting, di antaranya pemilihan Ir. Soekarno sebagai presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai wakil presiden. Keputusan ini diterima secara bulat oleh seluruh anggota sidang.
Merespons kepercayaan itu, Soekarno mengucapkan terima kasih. “Tuan-tuan, banyak terima kasih atas kepercayaan Tuan-tuan dan dengan ini saya dipilih oleh Tuan-tuan sekalian dengan suara bulat menjadi Presiden Republik Indonesia,” katanya.
Tak ada perayaan besar. Soekarno segera mengarahkan fokus sidang kepada agenda penting lainnya, yaitu membahas aturan peralihan dan pembentukan pemerintahan.
“Sidang yang terhormat, sesudah acara ini selesai, saya minta supaya kita meneruskan pembicaraan tentang rancangan aturan peralihan, yang ada di tangan Tuan-tuan sekalian,” ucap Soekarno. Sidang pun berakhir tanpa momen spesial terkait pelantikan presiden.
IPPHOS
Upacara pelantikan Ir. Soekarno sebagai Presiden R.I.S. oleh Mahkamah Agung Mr. Kusumah Atmadja pada tanggal 17 Desember 1949.
17 Desember 1949
Meskipun Soekarno telah terpilih sebagai Presiden pertama Republik Indonesia sehari setelah proklamasi kemerdekaan, pelantikan resminya baru dilaksanakan pada 17 Desember 1949. Dalam upacara yang berlangsung di Bangsal Siti Hinggil, Kraton Yogyakarta, Soekarno diambil sumpah jabatannya di hadapan Ketua Mahkamah Agung, Kusumah Atmaja, sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS).
Dalam pidato pertamanya setelah dilantik, Soekarno menyalurkan semangat perjuangan dan harapan bagi masa depan bangsa. Ia membuka pidatonya dengan ungkapan rasa syukur dan pengakuan atas tanggung jawab besar yang kini dipikulnya. Soekarno memberi penghormatan mendalam kepada para pahlawan yang telah berkorban untuk kemerdekaan, mengingatkan rakyat akan jerih payah yang telah dilakukan selama puluhan tahun demi kebebasan.
Tema demokrasi menjadi salah satu poin penting dalam pidatonya. Soekarno menekankan bahwa kekuasaan harus berada di tangan rakyat. “Alangkah baiknja djikalau dikelak kemudian hari rakjat Indonesia dapat memilih Presidennja dengan tjara jang lebih langsung, dengan tjara pemilihan rakjat,” ujarnya, menegaskan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pemerintahan.
Sorotan mencolok lainnya dalam pidato tersebut adalah seruan untuk persatuan. Presiden menekankan bahwa keberhasilan bangsa tidak akan terwujud tanpa adanya persatuan yang kokoh di antara semua elemen masyarakat. Soekarno menegaskan, “Syarat mutlak untuk tertjapainja tjitatjita Revolusi Nasional ialah persatuan nasional.” Ia meyakini bahwa tanpa persatuan, cita-cita yang telah diperjuangkan akan sulit tercapai.
Soekarno juga mengingatkan bahwa perjuangan belum berakhir. “Tjita-tjita kita belum tertjapai! Ikrar kita, keinginan djiwa kita jang telah berkobar-kobar didalam hati sanubari kita, bukan setahun dua tahun, tetapi berpuluh-puluh tahun, belum tertjapai!” Ia mengajak rakyat untuk terus berjuang dan bekerja keras demi mewujudkan cita-cita bersama.
Di akhir pidatonya, Soekarno berdoa agar Tuhan memberikan petunjuk dalam menjalankan tugasnya. “Moga-moga saja sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat diberi taufik hidajat oleh-Nja.”
Presiden Soeharto
27 Maret 1968
Presiden Kedua Republik Indonesia, Soeharto, resmi memegang pucuk pimpinan pada 27 Maret 1968. Pengangkatannya sebagai Presiden menandai lahirnya era Orde Baru, sebuah periode yang berlangsung lebih dari 30 tahun dan menjadi bagian penting dalam sejarah bangsa ini.
Pelantikan Soeharto sebagai presiden berlangsung dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) V. Dalam pidato perdananya, Soeharto menekankan dua tema pokok yang akan menjadi landasan perjuangan Orde Baru.
Pertama, mengisi kemerdekaan dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kedua, menegakkan kehidupan konstitusional, termasuk mengembalikan demokrasi. Soeharto menegaskan bahwa kedua aspek tersebut tidak dapat dipertentangkan, melainkan harus diserasikan untuk mencapai tujuan bersama.
Presiden menyampaikan bahwa dalam SU-V MPRS ini sama sekali tidak ada soal kalah atau menang bagi golongan-golongan. Orde Baru, menurutnya, merupakan babak baru pembangunan yang harus didukung oleh seluruh rakyat. Ia mengajak semua elemen masyarakat untuk melaksanakan putusan-putusan MPRS, terutama dalam bidang pembangunan.
Soeharto berharap agar rakyat dapat bersatu dalam mewujudkan cita-cita bersama, demi tercapainya kesejahteraan dan stabilitas negara.
23 Maret 1973
Pada 23 Maret 1973, Presiden Soeharto dilantik kembali sebagai Presiden Republik Indonesia melalui Ketetapan MPR Nomor IX/III/1973. Pelantikan ini berlangsung dalam Sidang Paripurna Ke-6 MPR.
Dalam pidato pelantikannya yang singkat, hanya berdurasi 11 menit dan terdiri dari 8 halaman, Soeharto menegaskan bahwa hari itu adalah momen bersejarah. “Untuk pertama kalinya dalam sejarah ketatanegaraan kita, Presiden Republik Indonesia dilantik oleh wakil-wakil rakyat yang juga dipilih oleh rakyat,” ujar Soeharto. Ia menggarisbawahi bahwa pelantikan ini, menunjukkan panjang dan beratnya perjuangan untuk menegakkan konstitusi dan demokrasi.
Soeharto kemudian menekankan pentingnya bidang ekonomi sebagai fokus strategis dalam pembangunan lima tahun ke depan. Ia menyatakan, “Pembangunan ekonomi tidak hanya dapat meningkatkan tingkat hidup masyarakat, tetapi juga memberikan dinamika untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.” Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, presiden mengungkapkan bahwa pemerintah telah melaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dengan hasil yang cukup signifikan.
Namun, Soeharto juga mengingatkan bahwa tantangan sosial-ekonomi yang dihadapi masih besar, mencakup masalah pendidikan anak, perluasan lapangan pekerjaan, dan penyebaran penduduk yang lebih merata.
Untuk itu, ia menyerukan agar semua pihak bekerja keras meneruskan usaha pembangunan berdasarkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). “Pembangunan adalah bekerja keras. Makin banyak yang kita inginkan, makin banyak pula yang harus kita kerjakan,” tegasnya.
Oleh karena itu, Soeharto mengharapkan dukungan dari seluruh rakyat Indonesia. “Saya memikul tanggung jawab yang berat ini semata-mata karena kepercayaan 120 juta rakyat Indonesia kepada kepemimpinan saya. Dan saya yakin, hanya dengan bantuan 120 juta rakyat, tugas yang berat ini bisa kita selesaikan bersama,” ungkapnya.
Di akhir pidato, Soeharto mengucapkan terima kasih kepada rakyat dan MPR yang telah memberinya kepercayaan untuk menjabat sebagai presiden untuk kedua kalinya. Ia juga memohon perlindungan dan petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa dalam melaksanakan tugas yang berat ini, menegaskan bahwa keberhasilan pembangunan hanya dapat tercapai melalui dukungan seluruh rakyat Indonesia.
23 Maret 1978
Pada 23 Maret 1978, Presiden Soeharto kembali dilantik untuk periode ketiga. Dalam pidato setelah pengucapan sumpah jabatan, Soeharto mengawali dengan menyampaikan apresiasi kepada MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Ia menilai bahwa keberhasilan MPR dalam melahirkan GBHN menandakan bahwa demokrasi di Indonesia tidak hanya hidup, tetapi juga terus berkembang, di mana rakyat memiliki suara dalam menentukan masa depannya.
Soeharto juga mengungkapkan rasa syukurnya kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkah yang diterimanya. Dengan penuh tanggung jawab, ia menyatakan, “Dengan rasa penuh haru dan tanggung jawab, saya menerima pengangkatan ini.”
Ia berjanji untuk melaksanakan GBHN dan ketetapan MPR dengan sekuat tenaga, baik secara lahir maupun batin, dengan kesungguhan dan keikhlasan. “Dengan berpegang pada sumpah jabatan ini, saya akan melaksanakan Garis-garis Besar Haluan Negara dan segala Ketetapan Majelis. Garis itulah yang akan saya ikuti, dan pada garis itu pula akan saya bimbing Bangsa dan Negara ini,” tegasnya.
Soeharto melanjutkan, “Di hadapan Majelis yang agung ini, saya hanya menjanjikan melaksanakan apa yang saya katakan tadi dengan sekuat tenaga, dengan segala kemampuan lahir dan batin saya, serta dengan kesungguhan dan keikhlasan.”
Namun, Soeharto juga mengingatkan bahwa keberhasilan dalam tugas yang besar tidak dapat dicapai seorang diri. “Namun saya seorang diri saja, sungguh tidak berarti apa-apa bagi tugas-tugas pembangunan yang sangat besar ini!” ujarnya. Oleh karena itu, ia meminta dukungan dari seluruh rakyat Indonesia, baik berupa dukungan, dorongan, maupun keikutsertaan dalam melaksanakan tugas pembangunan dengan semangat persatuan dan gotong-royong.
Di akhir pidato, Soeharto memohon bimbingan dan petunjuk dari Allah SWT untuk melaksanakan tugas ini, serta berharap agar semua pihak dapat bersama-sama melanjutkan pembangunan bangsa dan negara yang tercinta.
KOMPAS/KARTONO RYADI
Presiden Soeharto untuk ketiga kalinya terpilih kembali memegang jabatan Presiden/Mandataris MPR hasil pemilu untuk masa lima tahun mendatang 1983 – 1988. Tampak Presiden Soeharto tengah mengucapkan sumpah jabatan di depan Sidang Paripurna MPR ke-8 yang berlangsung di “Grahasabha Paripurna” gedung MPR/DPR Jumat pagi (11 Maret 1983).
11 Maret 1983
Pada 11 Maret 1983, Presiden Soeharto dilantik kembali untuk periode keempat. Dalam pidato pelantikannya, ia menekankan beberapa hal mendasar yang terdiri dari tiga poin utama. Pertama, keberhasilan pembangunan selama ini adalah hasil kerja keras seluruh rakyat. Kedua, penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas politik diharapkan dapat meringankan beban generasi penerus. Ketiga, ia memperingatkan bahwa perjuangan lima tahun mendatang dalam Repelita IV akan menjadi tantangan berat.
Mengawali pidatonya, Soeharto menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan atas penerimaan Majelis terhadap pertanggungjawabannya selama lima tahun terakhir, serta penghargaan yang diberikan kepadanya sebagai Bapak Pembangunan. “Saya terima semuanya itu dengan rendah hati dan rasa syukur yang sedalam-dalamnya kepada Tuhan Yang Maha Esa,” ungkapnya. Namun, ia juga menegaskan bahwa penghargaan tersebut adalah hasil kerja keras seluruh rakyat Indonesia. “Rakyat Indonesia lah yang telah bekerja keras membangun dirinya sendiri,” tegasnya.
Soeharto kemudian menyoroti Keputusan Majelis yang menegaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas politik bagi semua kekuatan sosial politik. Menurutnya, keputusan ini merupakan langkah baik untuk meningkatkan penghayatan dan pengamalan Pancasila. “Dengan keputusan yang sangat penting ini, diharapkan segala pertentangan, kecurigaan, dan perpecahan yang merupakan bagian dari pengalaman pahit kita di masa lampau, telah kita tinggalkan,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya generasi penerus yang tidak dibebani dengan sisa-sisa konflik masa lalu. “Generasi penerus tidak usah dibebani lagi dengan sisa-sisa dari pertentangan, kecurigaan, dan perpecahan di masa lampau. Cukuplah ini menjadi bagian dari pengalaman Generasi ’45 yang tidak akan diwariskan kepada Generasi Penerus!” tegasnya.
Selanjutnya, Soeharto beralih ke tantangan pembangunan di masa depan. Ia menekankan perlunya menyiapkan prasyarat untuk menciptakan masyarakat yang dicita-citakan dalam Repelita IV. “Kita harus memantapkan lembaga-lembaga politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan berlandaskan Pancasila,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya membina generasi baru yang memiliki pengabdian, ketekunan, serta pemahaman yang kuat tentang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Soeharto memperingatkan bahwa tantangan lima tahun ke depan lebih berat, mengingat dampak resesi ekonomi dunia dan berbagai konflik global yang tengah terjadi. “Demikianlah saya melihat perjuangan lima tahun mendatang tidak kalah berat dari perjuangan lima tahun yang lalu. Juga tidak kalah maknanya dari perjuangan kemerdekaan kita dahulu,” ungkapnya.
Oleh karena itu, untuk menghadapi tantangan yang ada, Soeharto mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersatu dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Ia meminta dukungan dari semua golongan dan lapisan masyarakat, menegaskan bahwa “setiap orang adalah pelaku pembangunan yang penting!”
Pada akhir pidato, Soeharto menyatakan kepada Majelis dan seluruh rakyat Indonesia bahwa “saya telah siap bekerja,” menegaskan komitmennya untuk melanjutkan pembangunan bangsa.
11 Maret 1988
Pada 11 Maret 1988, Presiden Soeharto kembali dilantik untuk periode kelima. Dalam pidato pelantikannya kali ini, ia mengawali pidatonya dengan menyoroti arti penting tanggal ini sebagai tonggak sejarah yang menandai babak baru bagi bangsa Indonesia. “Tanggal 11 Maret telah menjadi tonggak sejarah, yang menandai tekad baru untuk meluruskan kembali jalannya sejarah bangsa kita,” ujarnya. Ia juga menegaskan komitmennya untuk melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar ’45 secara murni dan konsekuen.
Selanjutnya, Soeharto berharap para anggota MPR, pemikir politik, dan seluruh rakyat merenungkan pengalaman yang berkembang selama sebelas hari Sidang Umum. Ia percaya bahwa dari renungan tersebut, akan muncul hikmah yang lebih mendalam dan bermakna.
Soeharto kemudian membahas GBHN yang ditetapkan MPR. Ia menegaskan pentingnya memahami GBHN bukan hanya dari kata-kata yang tertuang, tetapi juga dari semangat dan pikiran yang melatarbelakanginya. “Saya menarik inti semangat GBHN sebagai tekad bangsa Indonesia untuk meletakkan landasan yang kukuh dalam Repelita V,” jelasnya. Dengan harapan ini, bangsa diharapkan dapat memasuki proses tinggal landas menuju Pembangunan Jangka Panjang yang kedua.
Ia juga mengingatkan bahwa pembangunan, terutama di sektor ekonomi, akan menghadapi ujian dan tantangan yang berat. “Tugas itu jelas bertambah berat, karena kita bertekad untuk meletakkan landasan yang kokoh bagi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila,” imbuhnya.
Dengan mengingat tantangan yang akan dihadapi, Soeharto meminta dukungan dari seluruh lapisan masyarakat, semua kalangan, dan generasi bangsa. Ia menegaskan bahwa keberhasilan pembangunan nasional akan ditentukan oleh partisipasi aktif seluruh rakyat. “Dukungan rakyat itulah yang membesarkan hati saya dan memberi kekuatan batin,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya pengawasan, yang dianggap sama pentingnya dengan dukungan. Dengan pengawasan, ia berharap dapat terhindar dari kesalahan-kesalahan yang dapat menyulitkan bangsa.
Di akhir pidatonya, Soeharto menyatakan bahwa ia tidak akan menjanjikan apa-apa, tetapi akan mengerahkan segala kemampuan untuk memimpin bangsa menuju masa depan yang lebih baik. “Tugas sejarah itu ialah mengantarkan perjalanan bangsa kita memasuki pintu gerbang kedua, memasuki tahap tinggal landas, pembangunan masyarakat yang adil, makmur, dan lestari berdasarkan Pancasila,” pungkasnya.
11 Maret 1993
Presiden Soeharto dilantik untuk keenam kalinya pada 11 Maret 1993, dalam suasana yang penuh harapan dan tantangan. Dalam pidato pelantikannya, ia menekankan bahwa sumpah jabatan yang diucapkannya dilakukan dengan penuh kesadaran di hadapan Tuhan dan rakyat. Oleh karena itu, ia juga menegaskan akan berkomitmen untuk mengemban amanat rakyat dengan penuh tanggung jawab.
Amanat yang diembannya bukanlah tugas yang ringan. “Amanat rakyat itu adalah untuk melanjutkan, meningkatkan, memperluas, memperbaharui dan memperdalam pembangunan bangsa,” agar dapat mendekatkan seluruh rakyat kepada kehidupan yang “makmur berkeadilan dan adil berkemakmuran berdasarkan Pancasila.”
Dengan semangat gotong royong, Soeharto mengajak seluruh elemen bangsa untuk bersatu, bahu-membahu menghadapi berbagai tantangan. Ia menggambarkan isu-isu mendesak yang harus segera diatasi, seperti kemiskinan yang masih melanda lebih dari 27 juta warganya dan sempitnya lapangan pekerjaan.
Merujuk tantangan itu, Soeharto menyatakan, “Kita harus menyiapkan lapangan kerja baru bagi jutaan orang, terutama mereka yang berusia muda.” Tidak hanya itu, ia juga menekankan pentingnya membangun tempat tinggal yang layak, memperluas dan meningkatkan mutu pendidikan, serta menyiapkan kader-kader bangsa yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. “Kita harus makin memeratakan pembangunan sehingga terasa adanya keadilan sosial,” ujarnya, menekankan perlunya pemerataan di antara daerah, golongan, dan lapisan masyarakat.
Dengan menekankan nilai-nilai Pancasila, Soeharto mengajak semua pihak untuk berkolaborasi dalam upaya pembangunan. “Yang kita bangun adalah kehidupan bersama dalam tata kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang berdasarkan Pancasila,” tegasnya. Dalam hal ini, Presiden menekankan penting dan komitmennya untuk mematuhi arah dan pedoman yang ditetapkan dalam GBHN ‘93, yang memberikan ruang gerak untuk penyesuaian dalam menghadapi dinamika kehidupan.
Soeharto juga menggambarkan masa depan bangsa dalam konteks “Era Tinggal Landas,” di mana kemandirian nasional menjadi tujuan utama. “Kunci keberhasilan Era Tinggal Landas itu terletak pada kemampuan kita untuk mengerahkan segenap kekuatan nasional sepenuh-penuhnya dan terpadu,” ucapnya, mencerminkan keyakinannya akan potensi kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat.
Soeharto juga menegaskan pentingnya prinsip musyawarah dalam pengambilan keputusan, dengan menyatakan bahwa “musyawarah untuk mencapai mufakat menunjukkan keunggulan dari cara-cara pengambilan keputusan yang lain.” Ini menjadi dorongan untuk membangun demokrasi yang sehat, di mana semua suara didengarkan, dan keputusan yang diambil mencerminkan kepentingan bersama. Dengan cara ini, ia berharap dapat menciptakan keseimbangan dalam hubungan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Di akhir pidatonya, Soeharto memohon dukungan dan pengawasan dari semua pihak, menutup pernyataannya dengan harapan agar “Tuhan Yang Maha Esa memberkahi kita semua dalam melanjutkan pembangunan bangsa kita.” Dengan ungkapan ini, tidak hanya menunjukkan keyakinan akan dukungan ilahi, tetapi juga menyerukan solidaritas seluruh rakyat Indonesia dalam membangun masa depan yang lebih baik.
KOMPAS/EDDY HASBY
Presiden Soeharto mengucapkan sumpah sebagai Presiden Republik Indonesia terpilih 1998-2003 di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu (11/3/1998).
11 Maret 1998
Pada tanggal 11 Maret 1998, Presiden Soeharto kembali dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia untuk menjadi Presiden untuk tujuh kalinya hingga tahun 2003 di tengah situasi yang penuh tantangan. Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi yang mendalam, yang memerlukan langkah-langkah strategis dan komitmen semua pihak untuk menghadapinya.
Dalam pidato singkatnya, Soeharto menyatakan, beberapa hal krusial. Presiden menyoroti transisi Indonesia menuju abad ke-21. Presiden menggambarkan transisi ini sebagai sebuah era yang “penuh perubahan, penuh tantangan dan penuh harapan,” yang tidak hanya meliputi dinamika internal, tetapi juga konteks global yang semakin kompleks. Kekuatan politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang telah dibangun harus dimanfaatkan sebagai modal untuk menjawab tantangan ini.
Soeharto mengapresiasi banyak kemajuan yang telah dicapai dalam pembangunan. Meski begitu, presiden juga mengakui masih adanya kelemahan dan kekurangan. Ia mengajak semua pihak untuk berkomitmen melakukan perbaikan. “Yang penting adalah tekad kita semua untuk terus membuat lebih baik lagi semua yang telah baik,” ujarnya, mengingatkan pentingnya perbaikan terus-menerus.
Dalam menghadapi ketidakpastian global, Soeharto menegaskan sikap politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Kebijakan luar negeri harus diarahkan untuk mendorong ketenteraman dan kesejahteraan, sambil tetap menjaga kedaulatan nasional serta berkontribusi pada perdamaian global.
Di tengah guncangan perekonomian yang berat, Soeharto mengingatkan bahwa bangsa Indonesia sedang menghadapi ujian yang tidak ringan. “Kita tidak akan mengalami lagi pertumbuhan ekonomi seperti yang kita nikmati lebih dari seperempat abad terakhir,” ujarnya.
Soeharto mendorong rakyat untuk hidup prihatin, mengingatkan bahwa sebagai bangsa, hidup berlebihan tidak dapat dipikul dalam keadaan sulit. “Dalam keadaan kehidupan yang serba berat ini, kita lebih-lebih memerlukan kuatnya rasa kesetiakawanan, rasa senasib sepenanggungan,” tegasnya.
Sebagai Presiden, Soeharto berkomitmen untuk memikul tanggung jawab ini dengan penuh kesadaran, mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk mendukungnya. “Saya mohon bantuan dan dukungan dari seluruh rakyat Indonesia, dari semua golongan, dari semua lapisan,” ungkapnya.
Soeharto menegaskan bahwa banyak aspek perlu dibenahi untuk membawa bangsa keluar dari kesulitan. “Kita harus mengefisienkan seluruh kekuatan ekonomi nasional kita. Di tahun-tahun yang akan datang, kita akan terus menyegarkan dan membangkitkan prakarsa serta kreativitas rakyat, yang menjadi kekuatan untuk membangun masa depan,” jelasnya.
Ia juga mengharapkan dukungan, koreksi, dan pengawasan dari semua pihak. Soeharto mengingatkan bahwa kerja sama antar lembaga tinggi negara, sesuai dengan tugas masing-masing, sangat diperlukan. Ia percaya bahwa dengan kerja keras dari seluruh elemen masyarakat, mulai dari petani hingga pegawai negeri, bangsa ini mampu menghadapi dan menyelesaikan tantangan yang ada. Dengan sinergi dan komitmen bersama, Soeharto optimis masa depan yang lebih baik dapat tercapai.
Dengan semangat bersatu dan saling membantu, Soeharto menekankan, “Kita percaya masa-masa sulit dapat kita lewati dengan selamat.” Ia pun berharap agar tidak mengecewakan harapan rakyat. Mengakhiri pidatonya, ia memohon bimbingan dan kekuatan dari Tuhan Yang Maha Esa, siap menjalankan tugasnya sebagai Presiden Republik Indonesia. “Semoga Tuhan memberkati kita semua,” ujarnya.
Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie
21 Mei 1998
Pada 21 Mei 1998, Bacharuddin Jusuf Habibie resmi dilantik sebagai Presiden ketiga Republik Indonesia, menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri setelah lebih dari tiga dekade berkuasa. Pelantikan ini terjadi dalam suasana yang tidak biasa, dipenuhi ketegangan.
Suasana di Jakarta dan kota-kota besar lainnya masih dipenuhi gejolak, dengan aksi mahasiswa dan elemen masyarakat yang terus menggema, menuntut reformasi total dan pertanggungjawaban dari rezim Soeharto.
Mahasiswa memenuhi kompleks Gedung DPR/MPR dan menjelajahi ruas-ruas jalan utama, seperti Jalan Gatot Subroto, Bundaran Hotel Indonesia, dan Jalan Sudirman. Dalam situasi yang tidak kondusif ini, pelantikan Habibie dilakukan di Istana Merdeka di hadapan Mahkamah Agung.
Di tengah situasi tersebut, dalam pidato pertamanya di Istana Merdeka, Habibie mengharapkan dukungan sepenuhnya dari seluruh lapisan masyarakat dalam menjalankan tugas sebagai Presiden ke-3 Republik Indonesia. “Saya mengharapkan dukungan dari seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama dapat keluar dari krisis yang sedang kita hadapi, yang hampir melumpuhkan berbagai sendi-sendi kehidupan bangsa,” katanya.
Pemerintahan baru yang dipimpin oleh Habibie mengemban tugas melaksanakan reformasi secara menyeluruh seperti yang menjadi aspirasi serta gerakan reformasi yang dipelopori oleh para mahasiswa, sivitas akademika dan didukung oleh masyarakat secara luas.
Habibie mengungkapkan komitmennya untuk melaksanakan reformasi yang telah menjadi aspirasi masyarakat, tentang peningkatan kehidupan politik yang sesuai dengan tuntutan zaman dan generasinya, ke pemerintahan yang bersih dan bebas dari inefisiensi dan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, serta kehidupan ekonomi yang lebih memberi peluang berusaha secara adil. “Saya telah tangkap aspirasi rakyat,” katanya.
KOMPAS, 22 MEI 1998
Habibie berjanji melakukan reformasi secara bertahap dan konstitusional di segala bidang, dengan memulihkan kehidupan sosial-ekonomi, meningkatkan kehidupan politik demokratis, mengikuti tuntutan zaman dan generasinya, dan menegakkan kepastian hukum sesuai Pancasila dan UUD 1945.
Sebagai bagian dari rencana reformasi, akan segera disusun kabinet yang sesuai dengan tuntutan zaman, aspirasi, dan kehendak rakyat, yaitu kabinet yang profesional dan memiliki dedikasi serta integritas tinggi. Tugas pokok kabinet itu, katanya, menyiapkan proses reformasi.
Di bidang politik, antara lain dengan memperbarui berbagai perundang-undangan dalam rangka lebih meningkatkan kualitas kehidupan berpolitik yang bernuansa pada Pemilu sebagaimana yang diamanatkan oleh GBHN.
Di bidang hukum antara lain meninjau kembali Undang-undang Subversi. Di bidang ekonomi, mempercepat penyelesaian undang-undang yang menghilangkan praktek-praktek monopoli dan persaingan yang tidak sehat.
Presiden Habibie menyatakan akan tetap melaksanakan komitmen yang telah disepakati dengan pihak luar negeri, khususnya dengan melaksanakan program reformasi ekonomi sesuai kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional (IMF).
Di akhir pidatonya, Habibie mengajak seluruh potensi bangsa untuk mengakhiri pertentangan dan bekerja sama. “Marilah kita mengakhiri pertentangan-pertentangan yang ada di antara kita agar waktu yang sangat terbatas ini dapat dipergunakan secara efektif dalam rangka menyelesaikan krisis yang sedang kita hadapi,” serunya.
Habibie juga menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Presiden kedua, Soeharto. “Atas nama pemerintah dan atas nama pribadi, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Presiden Republik Indonesia kedua, Haji Muhammad Soeharto, atas segala jasa dan pengabdiannya kepada nusa dan bangsa. Saya percaya, bahwa rakyat Indonesia juga menghargai jasa dan pengabdian beliau,” katanya.
Presiden Abdurrahman Wahid
20 Oktober 1999
Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, dilantik menjadi Presiden ke-4 Republik Indonesia pada 20 Okktober 1999. Masa pemerintahannya tergolong singkat, yakni dari 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001.
Dalam pidato singkat setelah pelantikan, Gus Dur menyampaikan rasa terima kasihnya kepada istri dan keluarganya, serta mantan Presiden Habibie, yang menurutnya telah meletakkan dasar-dasar penting bagi masa depan bangsa.
“Beban yang sangat berat ini hanya mungkin terlaksana berkat dukungan keluarga saya serta langkah-langkah yang diambil oleh mantan Presiden Habibie,” ungkapnya. Preisden kemudian mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu dalam menghadapi tantangan global di tengah persaingan yang semakin ketat.
Gus Dur menekankan pentingnya mempertahankan kedaulatan dan harga diri bangsa di hadapan negara lain. “Kita akan berupaya sekuat tenaga untuk menunjukkan kebaikan dan kemajuan kehidupan kita sebagai bangsa di daerah khatulistiwa ini,” tegasnya.
Dalam pidatonya, ia juga menyoroti pentingnya meletakkan dasar-dasar kehidupan yang harmonis bagi generasi mendatang. “Ini bukanlah tugas yang ringan, melainkan tanggung jawab besar, terutama di saat kita menghadapi perbedaan paham yang signifikan,” ujarnya. Gus Dur mengingatkan bahwa, seperti yang diajarkan Bung Karno, kita harus memiliki raison d’etre, alasan untuk bersatu sebagai bangsa.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Presiden KH Abdurrahman Wahid bersiap untuk mengucapkan sumpah jabatan sebagai Presiden keempat RI periode 1999-2004 pada 20 Oktober 1999.
Dalam pidatonya, juga mengucapkan terima kasih kepada Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, yang dinilai telah menjunjung tinggi kehidupan demokrasi. “Saya mengucapkan terima kasih kepada saudari saya, Megawati Soekarnoputri, yang telah menunjukkan pengertian mendalam terhadap keadaan kita semua,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa hanya mereka yang memahami hakikat demokrasi yang dapat memelihara dan menegakkannya. “Demokrasi hanya dapat dipelihara dan dikembangkan oleh orang-orang yang mengerti tentang hakikatnya,” tegasnya.
Lebih lanjut, Gus Dur mengajak masyarakat untuk menghargai perbedaan, dengan menyatakan, “Hanya dengan cara seperti itu kita dapat menegakkan kedaulatan hukum, kebebasan berbicara, dan persamaan hak bagi semua orang.” Selain itu, juga menyoroti pentingnya akuntabilitas pemerintah, menegaskan bahwa “pemerintah harus memberikan pertanggungjawaban yang jujur kepada rakyat.”
Di akhir pidatonya, Gus Dur menyampaikan komitmennya untuk menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. “Tetapi harus diingat, sabda Rasulullah SAW, Al-Insan Ahallu Khoto Wa Nisyan (Manusia adalah tempatnya kesalahan dan kelupaan), karena itu, bimbinglah saya dan pembantu-pembantu saya dalam menjalankan tugas selama lima tahun ke depan,” ungkapnya, menandai awal kepemimpinannya yang diharapkan dapat membawa perubahan positif bagi bangsa Indonesia.
Presiden Megawati Soekarnoputri
23 Juli 2001
Pada 23 Juli 2001, Megawati Soekarnoputri resmi terpilih dan dilantik sebagai Presiden ke-5 Republik Indonesia melalui Sidang Istimewa MPR (SI MPR). Pemilihan ini merupakan respons terhadap dekrit yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang di antaranya membekukan MPR dan DPR.
Dalam pidato singkat pertamanya setelah ditetapkan, Megawati menyadari beratnya tugas dan tantangan yang dihadapinya. Ia menekankan perlunya upaya cepat untuk keluar dari keterpurukan yang melanda hampir semua aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Presiden merasakan adanya keprihatinan nasional yang mendalam berkenaan dengan kondisi itu sebagaimana dirasakan seluruh rakyat Indonesia. “Saya menangkap adanya rasa lelah bahkan kian melunturnya kepercayaan terhadap kemampuan pemerintahan negara menyelesaikan semua kemelut ini. Dalam keyakinan saya, di tengah kondisi itu tidak satu kelompok atau golongan mana pun yang mampu menyelesaikan sendiri masalah besar yang saat ini sedang kita hadapi,” katanya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Megawati Soekarnoputri, saat menyampaikan pidato di Gedung DPR/MPR setelah dilantik menjadi Presiden RI kelima (23/7/2001).
Megawati juga mengajak semua pihak untuk menerima hasil proses demokrasi dengan ikhlas, dengan legowo. “Saya juga menyimak dengan saksama proses demokrasi dan konstitusi yang berlangsung menjelang dan selama sidang majelis yang mulia ini, serta pelajaran yang begitu berharga tentang arti aspirasi, tentang makna amanah, mandat, dan bahkan konsekuensi jabatan yang harus dihadapi terhadap pengingkarannya. Betapapun, demokrasi pada ujungnya juga menuntut ketulusan, keikhlasan, dan ketaatan pada aturan permainan,” katanya.
Dalam pidatonya, Megawati menyerukan semua komponen masyarakat untuk bersama-sama membangun bangsa dan negara. Selain itu, ia juga menekankan perlunya mengakhiri perselisihan dan permusuhan, yang hanya akan menambah penderitaan rakyat.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
20 Oktober 2004
Susilo Bambang Yudhoyono, yang akrab disapa SBY, resmi dilantik sebagai Presiden ke-6 Republik Indonesia pada 20 Oktober 2004 setelah terpilih melalui pemilihan umum secara langsung pada 20 September 2004.
Dalam pidato pertamanya, SBY menyampaikan apresiasi atas keberhasilan bangsa dalam menjalani proses pemilihan yang demokratis dan damai. Ia menyebut pemilu 2004 sebagai “marathon pemilu yang paling ambisius, paling rumit, dan paling kompleks di dunia,” yang menjadi indikator kematangan demokrasi Indonesia.
SBY mengungkapkan bahwa keberhasilan ini mencerminkan pertumbuhan politik yang semakin dewasa dan dapat menjadi teladan bagi komunitas demokrasi global. “Kita maju selangkah dalam melakukan modernisasi politik di Indonesia,” ujarnya.
Dalam menghadapi tantangan besar, SBY mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersatu dan bekerja keras. Ia mengidentifikasi beberapa isu utama yang perlu ditangani, antara lain pertumbuhan ekonomi yang masih rendah, angka pengangguran yang tinggi, serta 16 persen penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Selain itu, juga menyoroti masalah utang, konflik di Aceh dan Papua, ancaman terosisme, serta isu korupsi yang masih mengakar.
Pemerintahannya berkomitmen untuk menstimulasi ekonomi guna menciptakan lapangan kerja dan mengentaskan kemiskinan. “Kebijakan ekonomi terbuka, peningkatan produktivitas, dan penggalakan investasi untuk infrastruktur akan menjadi fokus utama,” tambahnya. Presiden SBY berjanji akan melakukan dialog konstruktif dengan pelaku ekonomi dan dunia usaha sebagai motor penggerak ekonomi.
Dalam bidang pemberantasan korupsi, SBY berjanji akan memimpin langsung program ini, serta menata kebijakan di bidang pendidikan dan kesehatan. Ia juga menekankan pentingnya desentralisasi dan otonomi daerah untuk meningkatkan pelayanan masyarakat. “Pemerintah akan berusaha keras membentuk pemerintahan yang bersih dan responsif terhadap aspirasi rakyat,” tegasnya.
Dalam konteks hubungan internasional, SBY menegaskan komitmennya terhadap politik luar negeri yang bebas dan aktif. Ia berambisi menjadikan Indonesia sebagai suara nurani untuk memajukan perdamaian dan keadilan di dunia.
Meski optimis, SBY mengingatkan bahwa solusi terhadap persoalan yang kompleks ini tidak bisa dicapai dalam waktu singkat. “Segala persoalan yang rumit ini tidak mungkin diselesaikan hanya dalam 100 hari,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya kebersamaan dalam menghadapi tantangan yang ada. “Kini saatnya bagi kita untuk melangkah bersama menjemput masa depan. Masa bersaing telah kita lalui, kini masanya bersatu. Masa berucap dan berjanji pun telah kita lalui, kini masanya untuk bertindak dan bekerja. Kini saatnya bagi kita untuk bersatu dalam kreasi dan karya bersama,” tambahnya.
SBY berkomitmen untuk menjadi pemimpin bagi seluruh rakyat Indonesia. “Saya bertekad bukan saja untuk menjadi Presiden Republik Indonesia, namun juga menjadi presiden seluruh rakyat Indonesia. Saya akan terus menjaga kontrak politik yang mulia dengan rakyat. Pikiran, tenaga, dan waktu yang saya miliki akan saya dedikasikan untuk memajukan dan melindungi setiap insan Indonesia,” tegasnya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Sumpah Jabatan- Susilo Bambang Yudhoyono mengucapkan sumpah jabatan presiden di depan anggota MPR di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu (20/10/2004). Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla dilantik sebagai presiden dan wakil presiden periode 2004-2009 setelah terpilih melalui pemilu presiden 2004 secara langsung oleh rakyat.
20 Oktober 2009
Pada Pemilu 2009, SBY kembali kembali berhasil meraih kemenangan, dan menjadi Presiden RI untuk periode kedua. Ia secara resmi dilantik pada 20 Oktober 2009.
Dalam pidatonya, Presiden SBY menekankan pentingnya persatuan, tantangan yang dihadapi, serta visi pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
SBY mencatat bahwa periode 2004-2009 penuh dengan tantangan, namun bangsa Indonesia berhasil menunjukkan ketangguhan di tengah gejolak dunia. “Di tengah badai finansial dunia, ekonomi Indonesia tetap tumbuh positif,” ujarnya. Oleh kerenanya, menurut Presiden, bangsa Indonesia patut bersyukur dan berbesar hati.
Namun, SBY juga mengingatkan bahwa tantangan global masih mengintai. “Krisis perekonomian global belum sepenuhnya usai. Perdagangan dan arus investasi dunia belum pulih,” tegasnya, mengingatkan semua itu jangan membuat bangsa Indonesia lemah, lalai, apalagi besar kepala.
SBY mengingatkan, sendi-sendi perekonomian nasional harus diperkuat guna meminimalkan dampak krisis keuangan dunia. “Dengan peningkatan ekonomi, kita akan mengurangi angka kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan rakyat, membangun pemerintahan yang baik, dan memberantas korupsi,” katanya.
Ia menekankan perlunya persatuan di antara komponen bangsa. “Dalam demokrasi kita bisa berbeda pendapat, namun tidak berarti harus terpecah belah,” katanya. Presiden juga mengajak para pemimpin bangsa untuk tetap kompak apa pun warna dan pilihan politiknya. Kekompakan para pemimpin bangsa itu penting untuk menghadapi tantangan dunia yang kian berat.
Dalam menjalankan amanah rakyat di periode keduanya, SBY berkomitmen terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama. “Esensi dari program lima tahun mendatang adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, penguatan demokrasi, dan penegakan keadilan. Prosperity, democracy, and justice,” jelasnya. Dengan program yang terencana, dia berharap dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan. “Ekonomi kita harus tumbuh semakin tinggi, namun pertumbuhan yang kita ciptakan adalah pertumbuhan yang inklusif,” tambahnya.
Dalam mencapai cita-cita tersebut, SBY mengidentifikasi tiga kunci sukses. Pertama, semangat tak kenal menyerah. “Kita harus selalu mengobarkan semangat harus bisa. ‘Can do spirit’,” tegasnya, mengingatkan akan pentingnya keuletan dalam menghadapi tantangan.
Kedua, menjaga persatuan dan kebersamaan. “Dalam menghadapi berbagai tantangan dunia yang kian berat, para pemimpin bangsa harus bisa terus menjaga kekompakan,” pintanya.
Ketiga, jati diri dan ke-Indonesia-an. “Ada identitas dan kepribadian yang membuat Bangsa Indonesia khas, unggul, dan tidak mudah goyah,” ujarnya, menekankan pentingnya nilai-nilai budaya dan pluralisme dalam menjaga keutuhan bangsa.
SBY juga kembali menegaskan posisi Indonesia di dunia internasional. “Indonesia akan terus menjalankan politik bebas aktif dan berjuang untuk keadilan dan perdamaian dunia,” ungkapnya. Dengan visi untuk memiliki “a million friends and zero enemy,” Indonesia berkomitmen untuk berkolaborasi dengan negara lain dalam menciptakan tatanan dunia yang lebih baik.
Mengakhiri pidatonya, SBY mengajak rakyat untuk menyongsong masa depan yang lebih baik, di mana keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi prioritas utama pemerintahannya.
Presiden Joko Widodo
20 Oktober 2014
Joko Widodo, akrab disapa Jokowi, resmi dilantik sebagai Presiden ke-7 Republik Indonesia pada 20 Oktober 2014. Dalam pidato pelantikannya, Jokowi mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersatu dan bergotong royong dalam membangun bangsa yang besar. Ia menegaskan bahwa Indonesia tidak akan pernah mencapai kebesaran jika terjebak dalam perpecahan.
Menyadari tantangan yang ada, Jokowi menekankan pentingnya kerjasama untuk menciptakan Indonesia yang berdaulat dalam politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. “Pemerintahan yang saya pimpin akan memastikan kehadiran layanan di seluruh pelosok tanah air,” ujarnya. Ia mengajak berbagai elemen masyarakat, mulai dari nelayan, petani, buruh, hingga akademisi, untuk berpartisipasi aktif dalam mewujudkan cita-cita bersama.
Jokowi juga berkomitmen untuk memastikan kehadiran pemerintah di seluruh pelosok tanah air, “Pemerintahan yang saya pimpin akan bekerja untuk memastikan bahwa setiap rakyat di seluruh pelosok tanah air merasakan kehadiran pelayanan pemerintahan.”
Salah satu sorotan penting dalam pidatonya adalah tema identitas maritim Indonesia. Jokowi menyerukan agar bangsa ini kembali menatap laut sebagai masa depan peradaban. “Samudra, laut, selat, dan teluk adalah sumber kekuatan kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut,” tegasnya.
Di penghujung pidatonya, Jokowi pun mengutip kata-kata Bung Karno. “Presiden pertama Republik Indonesia Bung Karno mengatakan bahwa untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai, kita harus memiliki jiwa cakrawarti samudra; jiwa pelaut yang berani mengarungi gelombang dan empasan ombak yang menggulung,” ujar Jokowi.
Mengakhiri pidato, Jokowi mengajak semua pihak untuk mengarungi samudra itu bersama dirinya. ”Sebagai nakhoda yang dipercaya rakyat, saya mengajak semua warga bangsa untuk naik ke atas kapal Republik Indonesia dan berlayar bersama menuju Indonesia Raya. Kita akan kembangkan layar yang kuat. Kita akan hadapi semua badai dan gelombang samudra dengan kekuatan kita sendiri,” katanya.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Presiden Periode 2014-2019, Joko Widodo membacakan pidato kenegaraan pertamanya dalam Sidang Paripurna MPR dengan agenda Pelantikan Presiden di Ruang Rapat Paripurna 1 MPR, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (20/10/2014). Jokowi-JK resmi memimpin Indonesia setelah dilantik di MPR.
20 Oktober 2019
Pada 20 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo resmi dilantik untuk periode kedua setelah berhasil meraih kemenangan dalam Pemilu 2019. Dalam pidato pelantikan, Jokowi menegaskan pentingnya persatuan dan komitmen kolektif untuk mencapai cita-cita besar Indonesia di tahun 2045. “Mimpi kita, cita-cita kita, mestinya Insya Allah Indonesia telah keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah,” ujarnya.
Presiden menekankan perlunya kerja keras, inovasi, dan pembaruan sebagai bagian dari budaya bangsa. Ia menyatakan bahwa untuk mencapai Indonesia maju pada perayaan seratus tahun kemerdekaan, inovasi harus menjadi prioritas. Dalam bagian inti pidato, Jokowi menguraikan ambisi besar untuk mencapai Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 7 triliun dolar AS dan menempatkan Indonesia di antara lima besar ekonomi dunia. Dengan pencapaian ini, diharapkan kemiskinan dapat ditekan hingga mendekati nol persen.
Jokowi menyebutkan ada lima prioritas untuk lima tahun ke depan pemerintahannya, yakni pembangunan sumber daya manusia (SDM), pembangunan infrastruktur, penyederhanaan regulasi, penyederhanaan birokrasi, dan transformasi ekonomi.
“Pembangunan SDM akan menjadi prioritas utama kita,” jelas Presiden. Dengan bonus demografi yang sedang dinikmati, penting untuk mempersiapkan SDM yang unggul dan terampil, yang mampu bersaing di tingkat global. Pemerintah berkomitmen untuk mengundang talenta global dan membangun kerjasama dengan industri untuk mengoptimalkan potensi yang ada.
Dalam konteks pembangunan infrastruktur, Jokowi menekankan pentingnya konektivitas antara kawasan produksi dan distribusi, serta akses ke kawasan wisata. “Infrastruktur akan mendongkrak lapangan kerja baru, yang mengakselerasi nilai tambah perekonomian rakyat,” ungkapnya.
Dalam hal regulasi, pemerintah akan mengajak DPR menerbitkan dua undang-undang, yaitu UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM. Kedua UU itu akan menjadi omnibus law, yaitu satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU, bahkan puluhan UU. Puluhan UU yang menghambat penciptaan lapangan kerja dan pengembangan UMKM akan sekaligus langsung direvisi.
Birokrasi juga menjadi sektor yang akan diperbaiki secara komprehensif. Poin penting lainnya adalah reformasi birokrasi yang harus dilakukan secara menyeluruh. Presiden mengusulkan untuk menyederhanakan struktur eselon menjadi dua level saja. “Saya akan minta untuk disederhanakan menjadi 2 level saja,” ujarnya. Dengan demikian, diharapkan proses birokrasi dapat lebih cepat dan efisien, sehingga dapat lebih fokus pada hasil nyata daripada sekadar prosedur.
Transformasi ekonomi menjadi poin kelima yang ditekankan oleh Presiden. Indonesia harus mengubah ketergantungan sumber daya alam menjadi daya saing manufaktur dan jasa modern yang mempunyai nilai tambah tinggi. “Kita harus bertransformasi dari ketergantungan pada sumber daya alam menjadi daya saing manufaktur dan jasa modern,” tegasnya.
Di bagian akhir, Jokowi mengutip pepatah Bugis yang berbunyi ”Pura babbara’ sompekku, Pura tangkisi’ golikku” yang artinya ’Layarku sudah terkembang… Kemudiku sudah terpasang….’ Pepatah ini mengandung makna, sebagai nakhoda Indonesia, Jokowi bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin siap mengarungi lautan dan menerjang ombak, tetapi tetap mengutamakan kecermatan dan penuh perhitungan.
Mengakhiri pidatonya, Presiden mengajak seluruh komponen bangsa untuk berkomitmen mewujudkan cita-cita besar ini. “Kita bersama, menuju Indonesia maju!!!” serunya.
Presiden Prabowo Subianto
20 Oktober 2024
Prabowo Subianto resmi dilantik menjadi Presiden RI ke-8 pada 20 Oktober 2024. Dalam pidato pertamanya sebagai presiden, Prabowo menegaskan komitmennya untuk mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya. “Kami akan mengutamakan kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia di atas segala golongan, apalagi kepentingan pribadi kami,” ucapnya.
Mengajak masyarakat untuk optimis, Prabowo mengingatkan tentang anugerah yang dimiliki Indonesia, mulai dari luasnya wilayah hingga kekayaan alam yang melimpah. Oleh karena itu, ia juga menyerukan bangsa Indonesia untuk berani menghadapi tantangan dan rintangan. Ia menegaskan, “Sesungguhnya sejarah kita adalah sejarah dengan penuh kepahlawanan penuh pengorbanan, penuh keberanian.”
Tidak menutup mata terhadap adanya tantangan dari dalam, Prabowo menyoroti masalah kebocoran anggaran dan korupsi yang masih terjadi di berbagai tingkatan pemerintahan. Ia menekankan pentingnya perbaikan sistem, penegakan hukum yang tegas, dan digitalisasi dalam pemberantasan korupsi. “Kalau ikan menjadi busuk, busuknya mulai dari kepala. Semua pejabat harus memberi contoh dalam menjalankan pemerintahan yang bersih,” ujarnya.
Selain itu, Prabowo juga mengungkapkan keprihatinan terhadap tingginya angka kemiskinan di Indonesia, banyaknya anak-anak berangkat sekolah dalam keadaan lapar, hingga banyaknya anak-anak kurang gizi. Untuk itu, salah satu fokus utama pemerintahannya adalah swasembada pangan. “Bersama pakar-pakar yang membantu saya, saya yakin dalam 4-5 tahun kita akan swasembada pangan. Bahkan kita siap menjadi lumbung pangan dunia,” ungkapnya.
Dalam konteks energi, Prabowo menekankan pentingnya ketahanan energi, mengingat ketegangan global yang dapat mempengaruhi pasokan. Ia percaya bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk memenuhi kebutuhan energi sendiri. “Kita diberi karunia oleh Tuhan, tanaman-tanaman yang membuat kita bisa tidak tergantung dengan bangsa lain. Tanaman-tanaman seperti kelapa sawit bisa menghasilkan solar dan bensin. Kita juga punya singkong, tebu, sagu jagung dan lain-lain. Kita juga punya energi bawah tanah, geotermal, yang cukup. Kita punya batu bara yang sangat banyak. Kita punya energi dari air yang sangat besar,” jelasnya.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Presiden Prabowo Subianto saat diambil sumpah dalam Sidang Paripurna MPR RI Pelantikan Presdien dan Wakil Presiden 2024-2029 di Ruang Sidang Utama DPR/MPR RI, Jakarta, Minggu (20/10/2024). MPR melantik Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI 2024-2029. Pelantikan ini juga dihadiri sejumlah kepala negara dan perwakilan kepala negara sahabat.
Untuk mencapai cita-cita Indonesia yang lebih baik, Prabowo menyerukan seluruh lapisan masyarakat untuk bersatu. “Kita perlu suasana kebersamaan, persatuan, dan kolaborasi, bukan cekcok yang berkepanjangan,” tegasnya. Ia mengingatkan bahwa kekuasaan adalah milik rakyat, dan pemimpin harus bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu.
Dalam tatanan hubungan internasional, Prabowo Subianto menegaskan komitmen Indonesia untuk bersikap bebas aktif dan nonblok. “Kita tidak mau ikut pakta-pakta militer manapun. Kita memilih jalan bersahabat dengan semua negara,” ungkapnya. Dengan filosofi ‘seribu kawan terlalu sedikit, satu lawan terlalu banyak’, ia menekankan bahwa Indonesia ingin menjadi sahabat semua negara sambil tetap berpegang pada prinsip antipenjajahan, mengingat pengalaman sejarah bangsa.
Di akhir pidatonya, Prabowo memberikan apresiasi kepada para presiden terdahulu yang telah menakhodai bangsa melalui krisis berat. Ia menegaskan komitmennya untuk melanjutkan estafet kepemimpinan dalam membangun masa depan Indonesia yang lebih baik. “Kita siap bekerja keras menuju Indonesia Emas, menjadi bangsa yang kuat, merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Kita tidak mau mengganggu siapapun, tapi juga tidak akan mengizinkan bangsa manapun mengganggu kita,” tegasnya. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- “Pidato pertama presiden ke II RI: Mari laksanakan keputusan2 Sid. V MPRS,” Kompas, 29 Maret 1968.
- “Pidato pelantikan Presiden Soeharto: “Kita kokohkan konstitusi dan kita tumbuhkan demokrasi” * Saya mengharapkan pengawasan dan petunjuk2,” Kompas, 24 Maret 1973.
- “Presiden-terpilih Soeharto pada acara sumpah jabatan: Memahami segala keputusan dan keinginan rakyat,” Kompas, 25 Maret 1978.
- “Presiden Terpilih Soeharto Dilantik: Keberhasilan Selama Ini Hasil Kerja Rakyat Seluruhnya,” Kompas, 12 Maret 1983.
- “Pelantikan Presiden/Mandataris dan Wapres: Mohon Pengawasan dan Tegaskan Kepresidenan Penuh Lima Tahun,” Kompas, 12 Maret 1988.
- “Presiden Mohon Dukungan, Koreksi dan Pengawasa DPR,” Kompas, 12 Maret 1993.
- “Presiden Soeharto: Lima Tahun Nanti Saya akan Sampaikan Pertanggungjawaban,” Kompas, 12 Maret 1998.
- “BJ Habibie Minta Dukungan Rakyat,” Kompas, 22 Mei 1998.
- “Presiden Harapkan Bimbingan MPR,” Kompas, 21 Oktober 1999.
- “Presiden Megawati Soekarnoputri: Kabinet Demisioner,” Kompas, 24 Juli 2001.
- “Presiden Susilo Bambang Yudhoyono: Mari Kita Bekerja Keras,” Kompas, 21 Oktober 2004.
- “Indonesia Melangkah Maju *Presiden Bertekad Kurangi Kemiskinan dan Tingkatkan Kesejahteraan Rakyat,” Kompas, 21 Oktober 2009.
- “Bergerak Bersama demi Indonesia Raya,” Kompas, 21 Oktober 2014.
- “Pidato Pelantikan Presiden Bekerja… Bekerja… Bekerja!! *Indonesia Baru,” Kompas, 21 Oktober 2014.
- “Saatnya Bekerja Lebih Keras,” Kompas, 21 Oktober 2019.
- “Sate Ayam dan Sedan Buick di Balik “Pelantikan” Presiden Soekarno,” Kompas, 18 Oktober 2019.
- “Menyimak Pidato Pelantikan Presiden,” Kompas, 20 Oktober 2019.
- “Antusiasme Masyarakat Lintas Zaman Sambut Pelantikan Presiden,” Kompas, 20 Oktober 2020.
- “Pidato Awal Jabatan Presiden Prabowo: Kekuasaan Milik Rakyat,” Kompas, 20 Oktober 2024.
- “Amanat Presiden Pertama Republik Indonesia Serikat,” diakses dari sejarahmu.umy.ac.id pada 18 Oktober 2024.
- “1973-03-23 Pidato Pelantikan Presiden Soeharto Pada tanggal 23 Maret 1973,” diakses dari soehartolibrary.id pada 18 Oktober 2024.
- “1978-03-23 Pidato Presiden Soeharto Saat Dilantik Menjadi Presiden Di Hadapan Sidang MPR,” diakses dari soehartolibrary.id pada 18 Oktober 2024.
- “1983-03-11 Pidato Presiden Soeharto Pada Pelantikan Presiden Soeharto Di Hadapan Sidang Umum MPR,” diakses dari soehartolibrary.id pada 18 Oktober 2024.
- “1988-03-11 Pidato Presiden Soeharto Pada Pelantikan Di Sidang Umum MPR,” diakses dari soehartolibrary.id pada 18 Oktober 2024.
- “1993-03-11 Pidato Presiden Soeharto Pada Upacara Sumpah Jabatan Presiden Republik Indonesia Di Hadapan Sidang Umum MPR,” diakses dari soehartolibrary.id pada 18 Oktober 2024.
- “Pidato Kepresidenan Pertama K.H. Abdurrahman Wahid, 20 Oktober 1999,” diakses dari gusdur.net pada 19 Oktober 2024.
- “Pidato pelantikan Susilo Bambang Yudhoyono, 20 Oktober 2004,” diakses dari wikisource.org pada 19 Oktober 2024.
- “Pidato Lengkap Presiden SBY 20 Oktober 2009,” diakses dari kompas.com pada 19 Oktober 2024.
- “Pidato Presiden Joko Widodo pada Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, di Gedung MPR, Senayan, Jakarta, 20 Oktober 2014,” diakses dari setkab.go.id pada 19 Oktober 2004.
Artikel terkait