KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA
Petugas penyuluh memeragakan cara mengambil sampel darah dari tumit bayi untuk penapisan hipotiroid kongenital dalam pelatihan di Jakarta, Senin (9/3/2015). Penapisan merupakan satu-satunya cara mendeteksi kelainan tersebut, apalagi bayi baru lahir tidak menunjukkan gejala yang jelas. Keterlambatan deteksi atas kelainan itu bisa memicu keterbelakangan mental.
Fakta Singkat
- Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan setiap tahun ada 240.000 bayi baru lahir meninggal di seluruh dunia dalam waktu 28 hari sejak dilahirkan.
- Penderita kelainan kongenital di dunia sebanyak 94 persennya berasal dari negara berpenghasilan rendah dan menengah.
- Di Indonesia diperkirakan dari 4,4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, ada 1.500 bayi terlahir dengan kasus hipotiroid kongenital yang dapat menyebabkan stunting serta retardasi mental.
- Data tahun 2022 menunjukkan Kasus kelainan kongenital menyumbang 12,8 persen pada kematian bayi baru lahir usia 0 – 28 hari.
Dalam dunia medis, penapisan, penyaringan, atau skrining adalah cara yang digunakan untuk mencari keadaan atau penanda risiko yang belum diketahui.
Penapisan, diagnosis, dan intervensi pada bayi baru lahir dapat mencegah kematian atau pun kecacatan. Dengan mengambil sampel darah dari tumit bayi baru lahir, dapat dilihat kelainan genetik, endokrin, dan metabolisme. Selain itu, tes pendengaran serta cacat jantung bawaan juga perlu dilakukan agar mampu memaksimalkan harapan hidup masa depan si bayi.
Terkait dengan kelainan kongenital, WHO memperkirakan setiap tahun ada 240.000 bayi baru lahir meninggal di seluruh dunia dalam waktu 28 hari sejak dilahirkan. Sementara itu, di Indonesia angka kematian tahun 2020 sebesar 16,86, artinya dari 1000 kelahiran hidup ada 16 – 17 kematian anak usia di bawah satu tahun. Namun, di Papua angka morbiditas 38,7 kematian bayi dari 1000 kelahiran hidup, sedangkan DKI Jakarta sebesar 10,38 kematian dari 1000 kelahiran hidup.
Kelainan bawaan menyebabkan lebih dari 170.000 kematian anak-anak antara usia 1 bulan hingga 5 tahun. Bayi yang terlahir dalam keadaan kelainan kongenital dapat hidup, tetapi berisiko tinggi mengalami kecacatan pada organ tubuh tertentu seperti kaki, tangan, jantung, hingga otak. Lebih lanjut, WHO menemukan bahwa sembilan dari sepuluh anak yang lahir dengan kelainan bawaan serius berada di negara dengan penghasilan rendah dan menengah.
Oleh karena itu, perlu dilakukan skrining sejak usia beberapa hari sehingga jika terdeteksi penyakitnya dapat dilakukan pencegahan sejak berumur 1 – 3 bulan.
Skrining pada bayi baru lahir ini sudah dilakukan di Amerika dan Eropa mulai tahun 1974, kemudian Hongkong sejak 1978, dan Inggris sejak 1982. Di negara-negara ASEAN, Singapura sudah memulai sejak 1982, Malaysia sejak 1991, kemudian Thailand tahun 1992, dan Philipina tahun 1996.
Di Indonesia program skrining pada bayi baru lahir dimulai sejak tahun 2009 dengan membentuk Kelompok Kerja Program Skrining Bayi Baru Lahir (Pojoknas Skrining BBL). Pada awalnya, hal ini merupakan upaya untuk menyosialisasikan dan melancarkan skrining hipotiroid kongenital pada bayi baru lahir.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Asisten peneliti laboratorium genetika RSIA Tambak. meneliti spesimen di dalam perangkat laminar dengan metode PCR dari pemeriksaan DNA di RS Ibu Anak Tambak, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (26/7/2023). Pemeriksaan tersebut untuk meneliti suspect kasus talasemia (kelainan darah).
Kelainan Kongenital
Kelainan bawaan atau kelainan kongenital biasanya terjadi pada fase kehamilan, dengan sebagian besar kasus terjadi pada trisemester pertama kehamilan, yaitu saat organ tubuh janin mulai terbentuk.
Kelainan bisa terdeteksi pada saat kehamilan, saat bayi dilahirkan atau pada masa tumbuh kembang anak. Contoh penyakit karena kelainan kongenital adalah penyakit jantung bawaan, hidrosephalus (kepala besar), spina bifida, hirschsprung, bibir sumbing, kelainan bentuk tubuh, sindrom down, fenilketonuria, hemofilia, anemia sel sabit, fibrosis kistik, lumpuh otak, dan distrofi otot bawaan.
Kelainan ini dapat diakibatkan oleh beberapa hal. Salah satunya adalah bawaan genetik, yaitu kelainan yang dibawa oleh kromosom yang diwariskan oleh orang tuanya. Bisa saja terjadi kelainan kromosom atau kelainan genetik pada bayi baru lahir hingga mengakibatkan kelainan bawaan.
Selain karena faktor genetik, terkadang terjadi mutasi kromosom saat di dalam kandungan. Kekerabatan darah juga meningkatkan prevalensi kelainan bawaan genetik yang langka.
Selain genetik, faktor lingkungan bisa berdampak serius, termasuk infeksi. Misalnya, paparan radiasi atau zat kimia tertentu pada ibu hamil seperti pestisida, obat-obatan, alkohol, zat-zat dalam rokok, dan merkuri dapat mengakibatkan penyakit bawaan pada bayi.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Batita Penderita Katarak Kongenital – Carissa, batita usia 12 bulan penderita katarak sejak lahir (Kongenital) hadir dalam peringatan Hari Penglihatan Dunia (World Sight Day) di Rumah Sakit Mata Cicendo, Bandung, Jawa Barat, Jumat (12/10/2012). Anak kembar ini menderita katarak sejak lahir dan harus menggunakan kacamata plus 10 sebagai alat bantu penglihatan mereka setelah lensa mata keduanya terpaksa diangkat saat usia 8 bulan. Katarak Kongenital merupakan jenis katarak bawaan sejak lahir yang disebabkan keturunan (genetika), infeksi, trauma (benturan), diabetes, masalah metabolisme, serta inflamasi atau reaksi obat. Hampir 0,4 persen dari keseluruhan kelahiran ditemui kasus serupa.
Artikel Terkait
Faktor selanjutnya adalah status gizi ibu selama hamil, karena 94 persen kasus kelainan bawaan terjadi di negara berkembang karena gizi buruk selama hamil. Kekurangan asupan nutrisi penting yang berperan dalam pembentukan organ janin dalam kandungan mengakibatkan pembentukan organ tidak sempurna. Selain gizi buruk, obesitas saat hamil memiliki resiko cukup tinggi kelainan kongenital bayi saat lahir.
Kondisi kesehatan dan kebiasaan buruk ibu hamil juga berpengaruh pada kesehatan janin yang dikandungnya. Kebiasaaan merokok, mengonsumsi obat-obatan, alkohol, apalagi narkoba tentunya buruk bagi bayi.
Isu lain yang tidak kalah penting adalah usia ibu saat mengandung. Usia ibu yang cukup tua saat hamil atau pun mengalami anemia akan berpengaruh pada tingkat kesehatan janin. Ibu hamil harus dipastikan memiliki kondisi fisik yang sehat. Jika ia mengalami infeksi seperti air ketuban, sifilis, rubella, atau pun virus zikka, tentunya berbahaya bagi janin yang dikandungnya.
Kelainan kongenital pada bayi baru lahir dapat muncul dengan gejala fisik ataupun fungsional. Gejala fisik adalah cacat fisik pada tubuh bayi yang banyak ditemui, seperti: bibir sumbing (celah bibir dan langit-langit), penyakit jantung bawaan, cacat tabung saraf seperti spina bifida (kelainan tulang belakang), anensefali (bayi tanpa tempurung kepala), serta bagian tubuh tidak normal, seperti pengkor atau bengkok dan kelainan bentuk dan letak tulang panggul (dislokasi panggul kongenital). Selain itu, bisa terjadi kelainan saluran cerna seperti penyakit Hirschprung (gangguan usus besar), fistula saluran cerna, serta atresia anus (anus tidak terbentuk sempurna).
Selain gejala fisik, kelainan kongenital dapat mengakibatkan kelainan fungsional, misalnya gangguan fungsi otak, seperti sindrom down; gangguan metabolisme, seperti hipotiroid dan fenilketonuria; gangguan pada indra tubuh, seperti tuli dan buta; gangguan kelainan otot, seperti distrofi otot; serta kelainan darah, seperti hemofilia, thalassemia, dan anemia sel sabit.
KOMPAS/LASTI KURNIA
Seorang suster tengah mengamati foto throax di ruang perawatan anak di rumah sakit yang di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta (6/7/2005)
Penyakit bawaan lahir yang harus diantisipasi sejak awal adalah Hipotiroid Kongenital, yaitu kekurangan hormon tiroid yang dapat mengganggu tumbuh kembang anak bahkan gangguan kognitif, seperti tubuh cebol dan keterbelakangan mental. Penyakit ini tidak dapat terdeteksi hanya dengan cek biasa saja karena tidak terlihat dengan kasat mata. Mengacu pada prevalensi global, yaitu 1 : 3.000 kelahiran, artinya dari 4,4 juta bayi baru lahir di Indonesia terdapat 1.500 diperkirakan lahir dengan hipotiroid kongenital. Gejalanya hipotiroid kongenital baru dapat diobservasi setelah satu bulan dilahirkan, antara lain, tubuh pendek, lunglai, kurang aktif, bayi kuning, lidah besar, mudah tersedak, suara serak, pusar bodong, dan ubun-ubun melebar.
Sebagian besar gejala kelainan kongenital terkadang baru terdeteksi setelah bayi lahir, atau setelah kanak-kanak bahwa setelah dewasa. Oleh sebab itu, sangat perlu dilakukan deteksi dini pada sejak bayi masih dalam kandungan dengan prosedur USG kandungan, tes darah janin, tes genetic, serta amniocentesis atau pengambilan sampel cairan ketuban.
Untuk mengurangi atau mencegah kelainan kongenital, perlu dilakukan skrining pada bayi yang baru lahir agar mendapatkan penanganan yang cepat untuk mengurangi kelainan kongenital. Jika setelah terdiagnosis memiliki kelainan kongenital, bayi akan mendapatkan penanganan seperti obat atau fisioterapi, penggunaan alat bantu, hingga operasi untuk memperbaiki bagian tubuh yang cacat.
Berdasarkan temuan WHO dari penderita kongenital di dunia, sebanyak 94 persennya berasal dari negara miskin dan negara menengah, bukan dari negara maju. Hasil itu kemudian diartikan bahwa kekurangan gizi bagi perempuan dan ibu hamil berpengaruh sangat pada kasus kongenital di dalam kandungan. Hal itu perlu dicermati oleh pemerintah Indonesia karena di Indonesia masalah gizi buruk pada ibu hamil dan bayi masih membayangi kondisi ekonomi masyarakat.
Indeks Pembangunan Manusia Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, meskipun terjadi pelambatan saat pandemi Covid-19. Pertumbuhan IPM tahun 2021 tercatat 72,29, mengalami kenaikan 0,49 persen daripada pertumbuhan tahun sebelumnya 0,03 persen. Namun, IPM tahun 2021 kalah dengan tahun 2019, yaitu 0,74 persen. Perbaikan IPM tahun 2021 didorong oleh peningkatan dimensi standar hidup layak yang diwakili oleh variabel riil per kapita yang disesuaikan.
KOMPAS/LASTI KURNIA
Kelainan Jantung Bawaan–Balita penderita kelainan jantung bawaan di ruang perawatan anak Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. Foto diambil Maret 2005.
Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin pada September 2021 sebesar 26,50 juta orang atau 9,71 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Dengan persentase kemiskinan terendah di Provinsi Kalimantan Selatan dan kemiskinan tertinggi ada di Provinsi Papua. Berdasarkan Susenas Maret 2021, rata-rata pengeluaran per kapita per bulan pada tahun 2021 digunakan untuk makanan 49,25 persen dan pengeluaran bukan makanan 50,57 persen. Namun, perlu dicermati penghasilan dan besaran uang yang dikeluarkan.
Berdasarkan data WHO pada tahun 2019, sebagian besar kematian bayi baru lahir sebanyak 75 persennya terjadi pada minggu pertama. Menurut data Ditjen Kesehatan Masyarakat (Kemenkes RI 2022), penyebab kematian baru lahir diakibatkan oleh Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) 34,5 persen; Asfiksia 27,8 persen; kelainan kongenital 12,8 persen; infeksi 4,0 persen; Covid 0,5 persen; tetanus neonatorium 0,2 persen; dan lain-lain 20,2 persen.
Sedangkan, kematian bayi yang berusia 29 hari hingga 11 bulan (post neonatal) diakibatkan oleh pneumonia 14,4 persen; diare 14,0 persen; kelainan kongenital 10,6 persen; Covid-19 sebanyak 1,6 persen; kondisi perinatal 0,9 persen; penyakit saraf 0,8 persen; meningitis 0,6 persen; demam berdarah 0,6 persen; dan lain-lain 56,2 persen. Dari data tersebut, terlihat kelainan kongenital memiliki persentase cukup besar, yaitu lebih dari 10 persen, sedangkan saat balita usia 12 – 59 bulan kematian karena kelainan kongenital tercatat hanya 8,8 persen.
Salah satu kelainan kongenital adalah penyakit jantung bawaan. Menurut Kementerian Kesehatan, setiap tahun ada 48 ribu bayi di Indonesia yang memiliki penyakit jantung bawaan. Sekitar 25 persen atau 12.500 bayi dengan jantung bawaan dalam kondisi kritis dan harus dioperasi. Sedangkan kapasitas operasi jantung pada balita hanya 5 ribu setiap tahunnya, dan setiap tahun 7.000 bayi meninggal karena sakit jantung bawaan.
Pelayanan Skrining Neonatal
Mengingat pentingnya skrining bayu baru lahir, beberapa rumah sakit menyediakan pelayanan skrining.
Skrining pendengaran, skrining ini harus dilakukan pada awal kelahiran karena ini adalah periode kritis pertama untuk masalah pendengaran dan bicara. Jika terdeteksi pada usia awal, pada usia tiga tahun anak sudah dapat berbicara normal. Hal ini berbeda jika masalah pendengaran terdeteksi setelah usia bayi enam bulan.
Gangguan pendengaran pada bayi dapat terjadi karena berbagai faktor, misalnya ada riwayat gangguan pendengaran dalam silsilah keluarga atau adanya kelainan bawaan bentuk telinga dan kelainan tengkorak muka. Bisa juga disebabkan oleh infeksi saat masih dalam kandungan, seperti toksoplasma, rubella, sitomegalovirus, dan herpes.
Bayi dengan sindrom down juga akan mengalami gangguan pendengaran. Selain itu, perawatan di NICU juga berisiko pada kesehatan bayi. Penggunaan obat-obatan juga berisiko mengganggu saraf pendengaran dan akan mempengaruhi saraf pendengaran. Namun demikian, ditemukan 50 persen bayi yang mengalami gangguan pendengaran diketahui tidak memiliki gejala awal ataupun faktor pencetus seperti hal-hal tersebut, sehingga skrining pendengaran neonatal perlu dilakukan.
Pertama, skrining pendengaran pada bayi baru lahir hanya menunjukkan ada tidaknya respon terhadap rangsangan dengan intensitas tertentu dan tidak mengukur beratnya gangguan pendengaran ataupun membedakan jenis tuli (tuli konduktif atau tuli saraf). Alat yang direkomendasikan untuk skrining pendengran bayi adalah otoacoustic emission (OAE) atau aotumated auditory brainstream response (AABR).
Prosedur skrining pada bayi baru lahir dapat dilakukan pada bayi usia dua hari, tetapi di RSCM dapat dilakukan pada bayi usia 0 – 28 hari. Jika setelah dilakukan skrining OAE hasilnya adalah bayi tanpa faktor risiko, dilakukan pemeriksaan AABR atau clikdb usia 1 – 3 bulan.
Bila hasilnya Pass, tidak perlu tindak lanjut. Bila hasilnya Refer, dilakukan pemeriksaan lanjutan (ABR click dan tone B 500 Kz atau ASSR, timpanometri high frequency). Bila terdapat neuropati auditorik, dilakukan habilitasi usia 6 bulan. Namun, jika diketahui bayi mempunyai faktor risiko atau hasilnya OAE refer, dilakukan pemeriksaan AABR 35db.
Setelah bayi berusia tiga bulan, dilakukan pemeriksaan otoskopi, timpanometri, OAE, AABR. Jika hasilnya Pass, dilakukan pemantauan perkembangan bicara dan audiologi tiap 3 – 6 bulan sampai usia 3 tahun (hingga anak bisa bicara). Jika hasilnya Refer, dilakukan pemeriksaan lanjutan, dan bila terdapat tuli saraf, dilakukan habilitasi usia 6 bulan.
Kedua, skrining penglihatan bayi lahir prematur atau disebut Retinopathy of Prematurity (ROP). Hal ini dilakukan karena menjadi salah satu penyebab kebutaan pada bayi di dunia, termasuk Indonesia. Kemajuan teknologi saat ini memungkinkan bayi prematur dengan berat badan rendah dapat bertahan hidup. Sayangnya, kondisi penglihatan mereka terancam karena prematur.
Skrining ini wajib dilakukan pada kelahiran usia kandungan kurang dari 34 minggu atau berat bayi kurang dari 1.500 gram. Atau pun pada bayi risiko tinggi seperti mendapat fraksi oksigen (FiO2) tinggi, transfusi berulang, kelainan jantung bawaan, gangguan pertumbuhan dalam rahim, atau pun infeksi/sepsis, gangguan napas, asfiksia, dan perdarahan otak (IVH).
Dengan demikian, perlu dilakukan pemeriksaan. Syaratnya adalah jika bayi lahir dengan masa kandungan lebih dari 30 minggu, pemeriksaan dilakukan sekitar 2 – 4 minggu setelah lahir. Namun, jika usia kandungan kurang dari 30 minggu, pemeriksaan dilakukan setelah empat minggu lahir. Jika usia kandungan tidak diketahui, pemeriksaan harus menunggu bayi berusia tiga bulan
Ketiga, Skrining Hipotiroid. Tujuan skrining ini adalah mendeteksi adanya hipotiroid kongenital/bawaan. Hipotiroid kongenital/bawaan yang tidak diobati sejak dini dapat mengakibatkan retardasi mental berat. Di setiap negara berbeda, umumnya sebesar 1:3000-4000 kelahiran hidup. Gejala hipotiroid kongenital ini tidak jelas, tetapi sangat berpengaruh pada masa depan anak anak. Skrining dilakukan saat bayi berusia 48 – 72 jam, dengan sampel darah sedikit diteteskan di atas kertas saring khusus, setelah darah mengering dilakukan pemeriksaan kadar hormin TSH.
Keempat, Pemeriksaan 17-OH Progesteron untuk mendeteksi Hiperplasia Adrenal Kongenital (HAK). Tujuannya adalah untuk mendeteksi kecenderungan hormon pada bayi. Beberapa bayi dengan HAK diketahui kelebihan hormon androgen, dan pada sebagian kasus diketahui tidak memiliki steroid yang cukup untuk mengatur keseimbangan garam dalam tubuh. HAK dapat mengancam jiwa seorang bayi pada usia minggu kedua, jika tidak teratasi. Jika bertahan hingga dewasa, hal ini dapat menimbulkan gangguan perilaku.
Kelima, Screening G6PD. Skrining ini bertujuan untuk mendeteksi kelainan enzim Glucose-6-Phospate Dehydrosegenase (G6PD). Kelainan yang menimpa pada enzim dapat membuat sel darah merah cepat rusak dan mengalami hemolisis, hingga sel darah tidak efektif mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Penyakit ini disebut anemia hemolitik. Kulit kuning merupakan gejala awal kelainan enzim G6PD. Deteksi yang terlambat akan mengakibatkan anak mengalami keterberlakangan mental dengan kemampuan IQ di bawah 70, hingga biasanya membuat anak tidak mampu masuk sekolah formal.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Seorang bayi laki-laki berumur dua hari yang belum diberi nama, Rabu (6/4), dirawat intensif di RSUD Dr Rasidin, Kota Padang, Sumatera Barat. Bayi tersebut lahir dengan kelainan bawaan tanpa batok kepala (anencephaly).
Artikel Terkait
Mencegah Kelainan Kongenital
Mencegah lebih baik daripada mengobati, inilah falsafah yang semestinya dilakukan masyarakat. Kelainan bawaan atau kelainan kongenital dapat diantisipasi saat ibu mengandung terutama pada trisemester pertama kehamilan. Caranya adalah dengan mengonsumsi gizi seimbang pada masa kehamilan, imunisasi sesuai anjuran dokter, menghentikan kebiasaan merokok atau menghisap asap rokok, olahraga secara teratur, dan cukup tidur, serta menghindari stress selama hamil. Namun, cara demikian tidak efektif untuk mencegah kelainan kongenital karena faktor keturunan atau genetik.
Untuk pencegahan jangka panjang, perlu dilakukan penyadaran bahwa remaja perempuan dan ibu harus memiliki pola makan yang sehat, seperti mengonsumsi berbagai macam sayur dan buah, menjaga berat badan sehat, emastikan asupan vitamin dan mineral yang cukup terutama asam folat bagi ibu dan remaja putri, serta melakukan vaksinasi rubella.
Bagi para ibu yang hendak hamil atau memiliki anak, hendaknya menghindari zat berbahaya seperti rokok dan alkohol. Ibu hamil hendaknya tidak bepergian ke wilayah yang berisiko infeksi kelainan bawaan, serta menghindari lingkungan berbahaya logam berat selama kehamilan.
Kini persiapan ibu hamil juga penting dilakukan dengan penyaringan perawatan kesehatan sebelum dan menjelang konsepsi (prakonsepsi dan peri-konsepsi), seperti praktik kesehatan reproduksi dasar, serta penapisan dan konseling genetik medis.
Skrining dapat dilakukan dalam tiga periode; pertama mengidentifikasi kelompok berisiko mengalami gangguan tertentu atau kecenderungan menularkan pada anak-anak mereka termasuk riwayat keluarga. Kedua, skrining perikonsepsi pada calon ibu yang menggunakan alkohol, tembakau ataupun resiko lainnya. Untuk mengetahui kecenderungan bawaan down sindrom dapat menggunakan ultrasonografi pada trisemester pertama, juga untuk mengetahui anomali janin yang parah pada trisemester kedua.
Sementara itu, tes darah ibu dapat dilakukan untuk membantu memprediksi risiko kelainan kromosom atau cacat tabung saraf. Selain itu, dapat dilakukan tes diagnostik untuk mendeteksi kelainan kromosom dan infeksi pada wanita berisiko tinggi.
Skrining yang ketiga adalah neonates atau skrining bayi baru lahir untuk mendeteksi kondisi kongenital. Hal itu dapat mengurangi mortalitas dan morbiditas akibat kelainan kongenital, sehingga dapat dilakukan rujukan lebih awal dan inisiasi pengobatan medial atau bedah.
KOMPAS/HINDARYOEN NTS
Khoderi anak yang baru dilahirkan dari ibu Ny. Mutingah dilahirkan kelainan di anusnya yang tidak berlobang ( atresiaani ). Bayi anak ke-3 Chalimi, buruh pembuat genting di Ajibarang, Purwokerto ini kesulitan ketika akan berak dan kencing (13/7/1988). Kelainan ini menurut dokter merupakan bawaan lahir dan harus ditolong membuatkan saluran agar beraknya jangan melalui saluran kencing. Khoderi disarankan untuk dibawa ke RS terdekat yang mempunyai peralatan komplit di Purwokerto atau Semarang. Tampak gambar Khoderi bersama ibunya.
Artikel Terkait
Upaya Menghadapi Kelainan Kongenital
Untuk menghadapi persoalan kongenital bawaan, WHO bersama mitra menyelenggarakan program pelatihan tentang pengawasan dan pencegahan kelainan bawaan. Pada saat yang sama, WHO dan mitra berupaya menyediakan keahlian teknis yang diperlukan untuk pengawasan cacat tabung saraf. Dilakukan peningkatan kapasitas laboratorium untuk menilai risiko kelainan bawaan yang dapat dicegah dengan asupan asam folat dan membantu negara berpenghasilan rendah dan menengah dalam meningkatkan kontrol dan eliminasi rubella dan sindrom rubella dengan imunisasi. Dalam hal pangan dilakukan pengawasan fortifikasi asam folat pada makanan pokok.
Negara-negara anggota WHO menyepakati resolusi tentang cacat lahir dari Majelis Kesehatan Dunia ke-63 (2010), yaitu mempromosikan pencegahan primer dan meningkatkan kesehatan dengan kelainan bawaan dengan cara: mengembangkan pengawasan; mengembangkan keahlian dan membangun kapasitas untuk pencegahan kelainan bawaan dan perawatan anak yang terkena dampak; meningkatkan kesadaran tentang pentingnya program skrining bayi baru lahir dan pentingnya identifikasi kelainan bawaan; mendukung keluarga yang memiliki anak dengan kelainan bawaan; serta memperkuat penelitian tentang cacat lahir dan mempromosikan kerjasama internasional.
Hal yang sangat krusial dari data WHO adalah 94 persen kasus kongenital terjadi di negara miskin dan negara menengah bukan di negara maju. Hal itu seolah menegaskan bahwa kasus kongenital banyak terjadi di negara yang belum mampu menjamin nutrisi yang ideal bagi ibu hamil. Oleh karena itu, ibu hamil sangat membutuhkan gizi yang baik dan seimbang. Nutrisi yang penting bagi ibu hamil adalah asam folat, protein, zat besi, kalsium, vitamin A, yodium, dan omega-3. Selain gizi buruk, obesitas saat hamil memiliki risiko cukup tinggi pada kelainan kongenital bayi saat lahir.
Bayi baru lahir atau pada masa neonatal (0 – 28 hari) merupakan perubahan yang sangat besar dari dalam rahim ibu hingga pematangan organ hampir di semua sistem. Pada usia kurang dari satu bulan ini, bayi memiliki risiko gangguan kesehatan paling tinggi dengan berbagai masalah muncul. Penanganan yang taktepat dapat berakibat fatal pada bayi. Untuk mengurangi risiko tersebut, pemerintah Indonesia memberikan perhatian dengan mengupayakan persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan dan menjamin tersedianya pelayanan kesehatan sesuai standar pada kunjungan bayi baru lahir.
Pemerintah juga memberikan pelayanan penimbangan berat badan bayi karena dapat menjadi indikator kesehatan bayi. Kondisi berat badan bayi yang rendah bisa diakibatkan kondisi ibu saat hamil, bayi kembar, kelainan atau kondisi bawaan, dan gangguan plasenta yang menghambat pertumbuhan janin dalam kandungan.
Untuk memantau pertumbuhan bayi dilakukan penimbangan, supaya jika ditemui Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), dapat diupayakan mengejar ketertinggalan berat badan seiring pertambahan usia. Hal ini dilakukan mengingat setiap tahun penyebab kematian terbesar neonatal adalah berat badan bayi yang terlalu rendah. Selain itu, bayi dengan BBLR memiliki risiko lebih besar untuk stunting dan mengidap penyakit tidak menular saat dewasa, seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung.
Untuk mengurangi resiko kematian neonatal, upaya yang harus dilakukan adalah kunjungan bayi. Kunjungan neonatal idealnya dilakukan tiga kali, yaitu pada umur 6 – 48 jam, umur 3 – 7 hari, dan umur 8 – 28 hari. Caranya dengan pendekatan Manajemen Terpadu Balita Muda (MTBM), antara lain, konseling perawatan lahir, ASI Eksklusif, pemberian vitamin K1, dan hepatitis. Hal itu untuk mendeteksi sedini mungkin masalah kesehatan yang menyebabkan kematian bayi baru lahir.
Berdasarkan Renstra 2021 terlihat tren Kunjungan Neonatal (KN) sejak tahun 2018 hingga 2020. KN menurun pada tahun 2018 dan 2019, tetapi meningkat pada tahun 2021 sebesar 96,3 persen atau telah memenuhi target Renstra 88 persen. Sejumlah 24 provinsi atau 76 persen telah memenuhi target tersebut.
Kunjungan Neonatal Pertama dan Kunjungan Neonatal Lengkap
Tahun |
KN 1 (persen) |
KN Lengkap (persen) |
2018 |
97,4 |
91,4 |
2019 |
94,9 |
87,1 |
2020 |
82,0 |
91,0 |
2021 |
100,2 |
96,3 |
Sumber: Kemenkes RI, 2022
KOMPAS/KENEDI NURHAN
Rindhi (6), penderita jantung bawaan, dalam pelukan orangtuanya di pemondokan sementara tak jauh dari RSCM (5/4-/2006).
Kelainan kongenital yang sangat krusial adalah hipotiroid kongenital. Karenanya, Kementerian Kesehatan telah meluncurkan program Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK). Sejak tahun 2000, diupayakan skrining atau uji saring yang dilakukan pada bayi baru lahir untuk memilah bayi yang menderita Hipotiroid Kongenital (HK) dan bayi yang bukan penderita. Dengan pengambilan sampel darah pada tumit bayi yang berusia minimal 48 sampai 72 jam dan maksimal 2 minggu oleh tenaga kesehatan.
Hal itu dapat dilakukan layanan Kesehatan Ibu dan Anak (baik FKTP maupun FKRTL), sebagai bagian dari pelayanan neonatal esensial. Dengan skrining, diharapkan bayi yang menderita hipotiroid kongenital dapat diberikan tata laksana dengan segera, sehingga dapat terhindar dari kecacatan, gangguan tumbuh kembang, serta keterbelakangan mental dan kognitif.
Faktanya, menurut data Riskesdas 2018, baru 4,6 persen bayi di Indonesia yang melakukan skrining hipotiroid kongenital. Angka ini masih sangat jauh dari harapan, bandingkan dengan Iran yang telah melakukan skrining 98 persen, bahkan Sri Langka 96 persen. Meski demikian, pemerintah mengaku telah menyiapkan 4.000 puskesmas di seluruh Indonesia untuk melakukan skrining hipotiroid kongenital.
Untuk mengatasi kasus kongenital, tergantung sakit dan kondisi masing-masing bayi. Ada yang cukup dengan intervensi medis dan ada yang perlu dilakukan pembedahan. Prosedur perawatan dan pembedahan tergantung pada tiap negara dan seringkali dapat mengurangi potensi kematian.
Salah satu kelainan kongenital yang dapat diatasi dengan pembedahan dan perawatan adalah operasi bibir sumbing (celah bibir/langit-langit). Sedangkan kasus hipotiroid kongenital membutuhkan perawatan medis agar diketahui kondisi metabolisme, endokrin, dan hematologi tertentu. Semakin cepat terdeteksi, makin baik agar mendapat perawatan sedini mungkin sehingga anak dapat tumbuh optimal secara fisik, mental, serta kognitif. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20110525/381115/skrining-bayi-baru-lahir-untuk-cegah-keterbelakangan-mental/#:~:text=Skrining%20adalah%20tes%20yang%20dilakukan,kelainan%20dapat%20diantisipasi%20sedini%20mungkin.
- https://p2ptm.kemkes.go.id/infographic-p2ptm/penyakit-diabetes-melitus/page/18/skrining-apa-saja-yang-biasanya-dilakukan-pada-bayi-baru-lahir
- https://www.rspondokindah.co.id/en/news/pentingnya-skrining-pada-bayi-baru-lahir
- https://www.cdc.gov/newbornscreening/index.html
- https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20110525/381115/skrining-bayi-baru-lahir-untuk-cegah-keterbelakangan-mental/#:~:text=Skrining%20adalah%20tes%20yang%20dilakukan,sakit%20atau%20seperti%20ada%20gangguan.
- https://www.idai.or.id/artikel/klinik/pengasuhan-anak/%E2%80%9Cskrining%E2%80%9D-pada-bayi-baru-lahir-untuk-diketahui-oleh-orangtua
- https://www.alodokter.com/memahami-kelainan-kongenital-dan-faktor-penyebabnya#:~:text=Kelainan%20kongenital%20atau%20kelainan%20bawaan,tubuh%20atau%20bagian%20tubuh%20tertentu.
- https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/birth-defects
- https://www.kemkes.go.id/downloads/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/Profil-Kesehatan-2021.pdf
- https://www.kemkes.go.id/article/print/22100800002/kenali-kekurangan-hormon-tiroid-bayi-baru-lahir-begini-cara-mencegahnya.html
- https://kesmas.kemkes.go.id/assets/uploads/contents/others/FINAL_BRS_HASIL_LFSP2020_versi_Indonesia_20.12.pdf
- https://er-indonesia.co.id/info-tips/kelainan-bawaan-bayi/
- https://unair.ac.id/evaluasi-program-skrining-hipotiroidisme-kongenital-di-indonesia/