Fakta Singkat
Palang Merah Indonesia (PMI)
- organisasi nasional yang bergerak di bidang kemanusiaan
- Didirikan pada 17 September 1945
Sejarah
- 17 September 1945: PMI didirikan.
- 16 Januari 1950: Pengukuhan PMI oleh Presiden Soekarno melalui Keppres 25/1950.
- 15 Juni 1950: Pengakuan Komite Palang Merah Internasional (ICRC).
- 16 Oktober 1950: Diterima sebagai anggota ke-68 Liga Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah.
- 16 Desember 1985: Markas Pusat PMI diresmikan.
- 9 Januari 2018: PMI menjadi organisasi yang berbadan hukum melalui UU 1/2018.
Layanan:
- Penanganan Bencana
- Sosial dan Kesehatan
- Pembinaan Relawan dan Generasi Muda
- Transfusi Darah
- Diseminasi dan Kepalangmerahan dan Hukum Perikemanusiaan Internasional
Satu bulan setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya 17 September 1945, Palang Merah Indonesia (PMI) resmi didirikan dengan Mohammad Hatta sebagai ketuanya. Tanggal tersebut hingga hari ini diperingati sebagai Hari Palang Merah Indonesia. Seiring dengan usia negara Indonesia, pada 17 September 2021, PMI berusia 76 tahun dan selama itu pula PMI telah berkarya bagi kemanusiaan.
Pada tahun 2021 Indonesia tengah menghadapi pandemi Covid-19 dan bencana datang silih berganti. Banjir yang dipengaruhi oleh efek La Nina melanda banyak daerah mulai dari Jombang, Sukabumi, Tasikmalaya, Bandung, Karawang, dan Jabodetabek. Banjir disertai tanah longsor terjadi di Sumedang. Banjir bandang yang lebih kuat lagi terjadi di Kalimantan Selatan, NTB, dan NTT. Rentetan bencana tersebut masih ditambah dengan erupsi Gunung Sinabung di Sumatera Utara, Gunung Semeru di Jawa Timur, dan Gunung Ile Lewotolok di Nusa Tenggara Timur. Selain itu, pada 2021 juga terjadi bencana jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182. Dalam semua bencana itu, PMI turun melayani para korban bencana dan berkomitmen hadir sejak enam jam setelah terjadinya bencana.
Layanan PMI
Apa sebenarnya PMI itu? Palang Merah Indonesia (PMI) merupakan organisasi nasional yang bergerak di bidang kemanusiaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 UU 1/2018, karya di bidang kemanusiaan ini disebut juga sebagai karya kepalangmerahan. Dalam pelayanannya itu, PMI bersifat bebas dari keberpihakan terhadap kelompok politik, ras, etnis, maupun agama tertentu. Yang menjadi prioritas pelayanan PMI adalah kebutuhan masyarakat itu sendiri atas pertolongan PMI.
Prinsip ketidakberpihakan tersebut merupakan salah satu dari Tujuh Prinsip Dasar gerakan internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah yang menjadi dasar bagi pelayanan PMI. Ketujuh prinsip dasar terebut adalah kemanusiaan, kesamaan, kenetralan, kemandirian, kesukarelaan, kesatuan, dan kesemestaan.
Hal yang dengan mudah diasosiasikan dengan pelayanan PMI adalah donor darah. Akan tetapi, donor darah bukan satu-satunya pelayanan yang dibuat oleh PMI. Pelayanan PMI itu sendiri terdiri atas lima kategori pelayanan kepalangmerahan.
- Pertama adalah penanganan bencana. Dalam pelayanan ini, PMI memberikan layanan tanggap darurat seperti evakuasi, distribusi bantuan, dapur umum, dan sebagainya. PMI juga memberikan layanan pelatihan kesiapsiagaan bencana sebagai upaya mengurangi dampak dan risiko bencana. Termasuk juga dalam kategori layanan ini adalah layanan pemulihan hubungan keluarga, yakni penyatuan kembali keluarga yang hilang atau terpisah akibat konflik atau bencana.
- Kedua adalah pelayanan sosial dan kesehatan. Yang termasuk dalam kategori ini adalah Program Dukungan Psikososial (PSP) bagi korban bencana, ambulan, Pertolongan Pertama (PP), Rumah Sakit Lapangan, dan sebagai
- Ketiga adalah karya pembinaan relawan dan generasi muda. PMI dalam hal ini memberikan pelatihan bagi Palang Merah Remaja (PMR) di sekolah, Korps Sukarela (KSR) dan Tenaga Sukarela (TSR).
- Keempat adalah pelayanan tranfusi darah. Dalam hal ini PMI berupaya menyediakan darah yang aman dan berkualitas, mengadakan uji saring darah, serta konseling.
- Kelima adalah diseminasi kepalangmerahan dan Hukum Perikemanusiaan Internasional. Termasuk dalam kategori ini adalah kegiatan yang diadakan PMI untuk menyebarluaskan nilai-nilai kemanusiaan, seperti penyebarluasan informasi gerakan PMI, Prinsip Dasar Gerakan PMI, dan Hukum Perikemanusiaan Internasional itu sendiri.
PMI dan Gerakan Internasional Kepalangmerahan
Hari Palang Merah Indonesia memang tidak jatuh pada tanggal yang sama dengan Hari Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. Yang terakhir ini dirayakan setiap tanggal 8 Mei. Tanggal tersebut adalah tanggal wafatnya Bapak Palang Merah Internasional, Jean Henry Dunant. Meski demikian, karya PMI tidaklah terpisah dari karya kemanusiaan Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.
Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (disingkat Gerakan) itu sendiri adalah jaringan kemanusiaan terbesar di dunia. Gerakan ini memiliki misi meringankan penderitaan manusia, melindungi kehidupan dan kesehatan, dan menjunjung tinggi martabat manusia terutama pada saat konflik bersenjata dan keadaan darurat lainnya. Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional terdiri atas tiga komponen, yakni Komite Internasional Palang Merah (ICRC), Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC), serta Perhimpunan Nasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Setiap organisasi tersebut merupakan badan hukum yang berbeda dan misi masing-masing, tetapi bergerak dalam kesinambungan dan sama-sama menjunjung Tujuh Prinsip Dasar yang telah dijelaskan di atas.
Komite Internasional Palang Merah (ICRC) adalah organ internasional dengan misi perlindungan kehidupan dan martabat para korban konflik bersenjata dan situasi kekerasan lain. ICRC hadir untuk memberi bantuan kepada para korban tersebut. ICRC inilah yang mengatur dan mengkoordinasikan kegiatan bantuan internasional dari Gerakan untuk korban-korban dalam konflik bersenjata. Dalam sejarahnya, ICRC didirikan tahun 1863 dan merupakan awal mula dari Gerakan itu sendiri.
Sementara itu, Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) adalah organisasi yang bertugas menggerakkan, memfasilitasi, dan mempromosikan setiap aktivitas kemanusiaan yang dilakukan oleh organisasi gerakan kepalangmerahan di tingkat nasional, yakni Perhimpunan Nasional di tiap-tiap negara. Pada 2021 tercatat terdapat 189 Perhimpunan Nasional.
IFRC ini lantas mengatur dan mengoordinasikan anggota-anggota tersebut dalam pelayanan bantuan bagi korban bencana alam dan teknologi, pengungsi lintas negara, juga mereka yang menjadi korban situasi darurat kesehatan. Dari sisi sejarah, IFRC ini didirikan pada tahun 1919.
Di tingkat nasional, yang bertindak sebagai instrumen pendukung tiap pemerintah dalam karya kepalangmerahan adalah Perhimpunan Nasional. PMI merupakan perhimpunan nasional itu di Indonesia. PMI diakui dan ditunjuk sebagai satu-satunya organisasi untuk menjalankan pekerjaan kepalangmerahan di Indonesia sejak diterbitkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 25 Tahun 1950 dan dikukuhkan kembali dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2018.
Karena konteks kultural yang berbeda, perhimpunan nasional di berbagai negara menggunakan lambang yang berbeda. Pada Konferensi Internaional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ke-20 di Wina pada tahun 1965 ditentukan bahwa tiap perhimpunan nasional perlu menggunakan satu lambang. Keputusan ini diteguhkan kembali oleh Dewan Delegasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di Budapest pada tahun 1991 yang menghasilkan “Peraturan Tentang Penggunaan Lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah oleh Perhimpunan Nasional (Regulation on the Use of Emblem of the Red Cross or the Red Crescent by the National Societies).
Dari sejarahnya, PMI menggunakan lambang palang merah. UU 1/2018 tentang Kepalangmerahan meneguhkan penggunaan lambang tersebut dan mengatur dengan detail seperti apa lambang palang merah tersebut, juga bagaimana lambang tersebut semestinya digunakan. Pasal 23 di dalamnya menyebutkan bahwa lambang PMI adalah palang merah yang dilingkari garis merah berbentuk bunga melati berkelopak lima di atas dasar berwana putih.
Selain itu, di Indonesia sendiri pada 8 Juni 2002 dibentuk suatu perhimpunan berbadan hukum bernama Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) yang berkantor pusat di Jakarta Timur. Kendati tidak terhubung langsung secara organisasional dengan PMI, BSMI ini memiliki misi serupa untuk karya kemanusiaan. BSMI bergerak dengan Sembilan Prinsip Dasar, yakni keikhlasan, amanah, profesionalitas, kemanusiaan, kesamaan, kenetralan, kemandirian, kesatuan, dan kesemestaan.
Sejarah PMI
Masa Kolonial
Sejarah Palang Merah di Indonesia dimulai sejak masa kolonial Belanda. Pemerintah Kolonial Belanda pada 21 Oktober 1873 mendirikan organisasi Het Nederland-Indiche Rode Kruis (NIRK). NIRK ini diubah namanya menjadi Nederlands Rode Kruiz Afdeling Indie (NERKAI) pada 31 Desember 1945.
Pada tahun 1932, dr. RCL. Senduk dan Bahder Djohan bergerak memelopori upaya pendirian Palang Merah Indonesia. Proposal diajukan kepada Kongres NERKAI (1940) untuk pendirian PMI, akan tetapi proposal tersebut ditolak. Proposal bahkan ditanggapi oleh seorang peserta kongres dengan kata-kata sinis, “de Inlander weet niet wat menschelijk is (orang pribumi tidak mengetahui apa yang dimaksud kemanusiaan).” Proposal ini kembali diajukan pada saat Jepang masuk menguasai Hindia-Belanda pada tahun 1942–1945, tetapi usulan tersebut kembali mendapat penolakan.
Masa Revolusi Kemerdekaan dan Republik Indonesia Serikat
Pada 3 September 1945, tujuh belas hari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Presiden Soekarno memandatkan pendirian Badan Palang Merah Nasional kepada Menteri Kesehatan dr. Buntaran Martoatmodjo. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa keberadaan Negara Indonesia yang baru saja diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 adalah fakta nyata.
Berdasarkan perintah tersebut, pada 5 September 1945 dr. Buntaran membentuk Panitia Lima yang terdiri atas dr. R. Mochtar, dr. Bahder Johan, dr. Joehana, Dr. Marjuki, dan dr. Sitanala untuk mempersiapkan pembentukan Palang Merah Indonesia.
Cita-cita tersebut terwujud pada 17 September 1945 dengan dibentuknya Pengurus Besar Palang Merah Indonesia (PMI). Ketua pertama Pengurus Besar PMI ini adalah Drs. Mohammad Hatta dan dr. R. Boentaran Martoatmodjo menjadi wakilnya.
PMI yang baru lahir ini tidak memiliki modal dan aset yang besar untuk menjalankan tugas kemanusiaannya pada waktu Perang Kemerdekaan dan akhir Perang Dunia Kedua ini. Pembiayaan organisasi lantas diusahakan secara gotong-royong dari kesukarelaan masyarakat. Dr. Kwa Tjoen Sioe membentuk panitia penderma khusus yang setiap minggunya mengumpulkan dana untuk karya PMI.
PMI waktu itu berperan penting dalam karya kemanusiaan pada masa perang, yakni dalam pembebasan dan pengembalian tawanan-tawanan perang dan pekerja paksa romusha dari masa pendudukan Jepang. Pada waktu itu, PMI tergabung dalam Organisasi Panitia Oentoek Pengembalian Djepang dan Allied Prisoneer War and Interneer (POPDA) yang dipimpin oleh Jenderal Mayor Sudibyo dan Jenderal Mayor Adul Kadir. PMI dalam hal ini menolong orang-orang yang diangkut dari kamp-kamp internir, pengungsian anak-anak Indo-Belanda dan pengangkutan tentara Koninklijke Nederlands-Indische Leger (KNIL) ke daerah yang diduduki tentara Hindia Belanda, membantu Tentara Rakyat Indonesia dan keluarganya berpindah ke daerah Republik, serta membantu mengirimkan berita keluarga dengan formulir palang merah, kartu pos palang merah, dan berita radio.
Tidak hanya itu, PMI juga berperan dalam hubungan antarkelompok bahkan hubungan antarnegara mengingat saat itu Indonesia belum mendapatkan pengakuan diplomatik dari banyak negara. Hal ini dikarenakan citra internasional PMI yang mendapat kepercayaan dari banyak pihak. Bantuan-bantuan dari luar negeri seperti obat-obatan berhasil disalurkan kepada masyarakat melalui karya PMI. Contohnya adalah penyaluran obat-obatan bantuan dari luar negeri yang berdatangan setelah agresi militer pertama yang dilakukan Belanda pada 21 Juli 1947 dengan penyerangan ke pusat-pusat perekonomian Indonesia di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera.
Setelah Indonesia mendapatkan pengakuan kemerdekaan dari Pemerintah Belanda pada Konferensi Meja Bundar yang berlangsung pada 23 Agustus 1949 hingga 2 November 1949 di Den Haag, Belanda, PMI mengadakan kerja sama dengan Palang Merah Hindia Belanda, NERKAI, untuk koordinasi karya kepalangmerahan di Indonesia. Hal ini sempat mendapatkan tentangan dari kelompok progresif di Indonesia.
Beberapa bulan setelahnya, pada 16 Januari 1950, guna mempersatukan gerakan Palang Merah di Indonesia, Pemerintah Belanda membubarkan NERKAI dan menyerahkan asetnya kepada PMI. Penyerahan ini diwakili oleh dr. B. van Trich dari pihak NERKAI dan dr. Bahder Djohan dari pihak PMI.
Pemerintah Republik Indonesia Serikat melalui Presiden Soekarno mengukuhkan organisasi PMI dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 25 Tanggal 16 Januari 1950 dan Keputusan Presiden Nomor 246 Tanggal 29 November 1963. Dokumen Keppres 25/1950 tersebut membuat PMI menjadi badan hukum bernama “Perhimpunan Palang Merah Indonesia” dan PMI menjadi satu-satunya organisasi yang mengelola karya kepalangmerahan di Indonesia. Dalam dokumen tersebut dijelaskan bahwa tugas utama PMI adalah untuk memberikan bantuan pertama pada korban bencana alam dan korban perang sebagaimana disebutkan dalam Konvensi Jenewa 1949.
PMI akhirnya mendapatkan pengakuan dari Komite Palang Merah Internasional (The International Committee of the Red Cross – ICRC) pada 15 Juni 1950. Pada 16 Oktober 1950, PMI lantas diterima sebagai anggota ke-68 dalam Liga Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, yang kini bernama Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC).
Selanjutnya, dalam Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 ditetapkan empat konvensi, yakni Konvensi tentang Perbaikan Nasib Anggota-anggota Yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Perang di Darat, Konvensi tentang Perbaikan Nasib Anggota-anggota Yang Luka, Sakit dan Korban-korban Karam dari Angkatan Perang di Laut, Konvensi tentang Perlakuan Tawanan Perang, dan Konvensi tentang Perlindungan Rakyat Sipil dalam Masa Perang. Konvensi ini menjadi salah satu pijakan hukum internasional bagi pelayanan Palang Merah Internasional. Pemerintah Indonesia meratifikasi seluruh konvensi tersebut melalui Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958 tentang Ikut-Serta Negara Republik Indonesia dalam Seluruh Konpensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949.
Masa Orde Baru
Pada 16 Desember 1985, gedung markas PMI di Jalan Gatot Soebroto Kaveling 96 Jakarta Selatan yang baru selesai dibangun diresmikan. Peresmian itu dilakukan oleh Presiden Soeharto beserta Presiden Liga Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, Enrique de la Mata. Ketua PMI pada waktu itu adalah dr. H. Suyoso Soemodimedjo.
Sebelum kantor pusat ini dibangun, markas PMI sempat berpindah-pindah. Mulai dari menumpang di Hotel Majapahit pada waktu awal pendirian PMI (waktu itu bernama Hotel du Pavillion) di Jalan Setjodiningratan dan Jalan Gondokusuman di Yogyakarta ketika ibu kota RI dipindah ke Yogyakarta, di Jalan dr. Soetomo di Jakarta Pusat, hingga di sebuah kantor yang dipakai bersama dengan suatu perusahaan kayu di Jalan Abdul Muis pada tahun 1953.
Tiga persoalan yang banyak dihadapi PMI pada masa Orde Baru ini adalah pembiayaan pelayanan, praktik calo darah yang marak terjadi, serta tingkat donor sukarela yang masih rendah.
PMI berupaya untuk memberikan pelayanan cuma-cuma untuk semua orang, terlebih pada saat terjadi bencana. Akan tetapi, untuk pelayanan donor darah, PMI menghadapi kesulitan karena tingginya biaya penyediaan layanan ini, baik dari proses tranfusinya, penyimpanan darahnya, hingga distribusi darah tersebut. Situasi finansial yang sulit ini juga dihadapi PMI untuk dapat membiayai para pekerjanya dan pelatihan sukarelawan karena dana dari APBN dan APBD yang terbatas.
Di samping itu, tingginya permintaan darah dan kurangnya pasokan darah yang bisa disediakan PMI dalam segala keterbatasannya memunculkan fenomena calo darah. Pada waktu itu, di rumah-rumah sakit dapat ditemui orang yang menjajakan darah untuk pasien-pasien. Hal ini berlawanan dengan prinsip yang dipegang PMI bahwa darah bukanlah komoditas yang boleh diperjualbelikan. Hal ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1980 tentang Transfusi Darah. Namun nyatanya, kurangnya suplai darah membuat fenomena tersebut menjadi susah untuk dihindari.
PMI pada masa itu juga menghadapi rendahnya tingkat donor sukarela. Donor sukarela adalah donor yang dibuat oleh seseorang tanpa adanya pasien penerima yang telah ditentukan oleh pendonor. Yang terakhir itu disebut sebagai donor pengganti. Donor sukarela ini diperlukan untuk mengatasi kebutuhan transfusi darah.
Pada tahun 1969 misalnya, PMI mencatat jumlah penerima darah sebanyak 28.265 labu darah kapasitas 200 cc. Padahal, pada tahun tersebut hanya terdapat 6.859 donor sukarela. Selebihnya, sejumlah 21.406 labu darah, adalah donor pengganti, entah dari keluarga dan kerabat maupun dari calo darah.
Dengan beragam upaya promosi peningkatan kesadaran masyarakat, pada tahun 1981 angka donor sukarela meningkat menjadi 198.821 donor sukarela, dengan angka donor pengganti sejumlah 64.835 donor pengganti. Direktur Lembaga Pusat Transfusi Darah PMI, dr. Masri Roestam, waktu itu menyebutkan bahwa keberhasilan peningkatan donor sukarela sesuai dengan Prinsip Dasar PMI dan akan membantu mengatasi masalah jual-beli darah yang terjadi.
Akan tetapi, ketersediaan darah masih belum merata di berbagai daerah. Sebagai contoh, pada tahun 1981, di PMI Medan tercatat bahwa donor darah dari Kota Medan hanya dapat memenuhi lima persen dari total kebutuhan darah di kota tersebut. Tantangan biaya, fenomena calo darah, dan tingkat donor sukarela menjadi ketiga tantangan yang fokus dihadapi PMI pada masa Orde Baru.
Masa Reformasi
Pada 4 Februari 2011, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Darah. PP ini mengatur tentang pelayanan transfusi darah yang merupakan salah satu pelayanan PMI. Pelayanan ini dikoordinasi oleh Unit Transfusi Darah (UTD) PMI di seluruh Indonesia. Peraturan ini mengubah peraturan lama pada PP 18/1980 guna meningkatkan mekanisme pelayanan transfusi darah di Indonesia.
Kemudian pada 9 Januari 2018, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan. UU 1/2018 ini menetapkan PMI sebagai organisasi kemanusiaan yang berstatus badan hukum dan bertujuan untuk mencegah, meringankan penderitaan, dan melindungi korban tawanan perang dan bencana, tanpa keberpihakan pada kelompok agama, ras, etnis, gender, dan politik tertentu. UU ini mengukuhkan PMI sebagai organisasi yang berkarya untuk kemanusiaan di Indonesia.
Covid-19 dan Plasma Konvalesen
PMI mencatat, selama tahun 2020 hingga April 2021, terdapat tidak kurang dari 3.000 bencana di seluruh Indonesia yang telah direspons PMI. Situasi pandemi Covid-19 mengharuskan PMI bekerja lebih keras dalam penanganan bencana-bencana tersebut. Menyediakan tempat penampungan korban bencana yang sesuai dengan protokol kesehatan pencegahan penularan Covid-19 merupakan salah satu tantangan yang sulit untuk ditangani.
Selain karya pelayanan bagi korban bencana di tengah pandemi tersebut. PMI mengadakan layanan disinfeksi di berbagai tempat. Hingga 22 April 2021, PMI mencatat telah mendisinfeksi 113.085 lokasi di seluruh Indonesia. Hal ini menjadi salah satu upaya PMI untuk ikut merespons bencana pandemi Covid-19 di Indonesia.
Selain disinfektan, pelayanan lain yang dibuat PMI dalam masa pandemi Covid-19 ini adalah transfusi darah dengan plasma konvalesen yang dibuat sejak pertengahan tahun 2020. Plasma konvalesen itu sendiri adalah darah yang mengandung antibodi terhadap virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 yang dimiliki oleh orang-orang yang telah sembuh dari Covid-19. Transfusi darah dengan plasma konvalesen ini kepada pasien Covid-19 dapat membantu memperkuat sistem imun pasien tersebut terhadap Covid-19. Dengan sistem imun yang diinjeksi demikian, harapan kesembuhan pasien menjadi meningkat.
Kerja plasma konvalesen berbeda dengan kerja vaksin yang berfungsi meningkatkan sistem imun guna mencegah penularan virus. Plasma konvalesen dari penyintas Covid-19 meningkatkan sistem imun pada pasien yang telah tertular Covid-19 dan sedang dalam proses penyembuhan. Semakin dini plasma konvalesen tersebut diberikan, semakin mungkin pasien dapat menerima manfaat dari antibodi dalam plasma konvalesen tersebut.
Unit Donor Darah Pusat PMI menyebutkan bahwa tingkat permintaan plasma konvalesen amatlah tinggi, tetapi tingkat persediaannya amat tidak mencukupi. Pada 12 Juli 2021, PMI pusat mencatat terdapat antrean hingga 53.592 orang sementara persediaan plasma konvalesen hanya mencapai 89 kantong darah. Dalam situasi ini, PMI lantas berupaya menyebarluaskan informasi kepada masyarakat agar para penyintas Covid-19 mendonorkan plasma darahnya demi membantu pasien Covid-19.
Syarat donor plasma konvalesen meliputi syarat-syarat donor darah seperti biasanya dan beberapa ketentuan khusus yang berkaitan dengan kesembuhan dari Covid-19:
- Usia 18–60 tahun
- Berat badan di atas 55 kilogram
- Diutamakan pria dan perempuan yang belum pernah hamil
- Pernah terkonfirmasi Covid-19 dengan metode pemeriksaan swab PCR
- Bebas gejala minimal 14 hari dan maksimal 3 bulan pascasembuh dari Covid-19
- Surat keterangan sembuh dari Rumah Sakit yang merawat untuk mereka yang dirawat di rumah sakit dan calon pendonor penyintas yang isolasi mandiri lebih dari 3 gejala dapat melalukan donor dengan membawa surat keterangna sembuh dari dokter/puskesmas
- Tidak menerima transfusi darah selama 3 bulan terakhir
Dari pertengahan 2020 hingga April 2021, PMI telah berhasil menghimpun sejumlah 26.766 kantong plasma konvalesen. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- “PMI….. jang kini banyak dilupakan,” Kompas, 14 Agustus 1970.
- “Persoalan biaya dalam usaha tranfusi darah PMI,” Kompas, 5 Januari 1976.
- “Persediaan darah cukup, praktek calo darah dicegah,” Kompas, 8 Februari 1989.
- “Tanpa uang, tak ada pelayanan,” Kompas, 26 September 1977.
- “Donor darah sukarela dinilai berhasil,” Kompas, 28 Februari 1985.
- “Komersialisasi darah harus dicegah dengan undang-undang,” Kompas, 21 Juni 1980.
- “Markas pusat PMI diresmikan,” Kompas, 17 Desember 1985.
- “Program donor darah hasilnya beulm merata,” Kompas, 25 November 1981.
- Sukarna, Dadan (Ed.). 1985. Kapita Selekta Palang Merah Indonesia. PMI. https://pustakapmi.id/wp-content/uploads/2019/07/KAPITA-SELEKTA-PALANG-MERAH-INDONESIA.pdf
- (November, 2020). Humanitarian Digest, Volume 2.
- (2021). Nawala Suara Kemanusiaan, Edisi 1.
- RCRC Resilience Southeast Asia. n.d. Selayang Pandang Palang Merah Indonesia.
- Susilowati, Rini. (Mei-Agustus, 2013). “Palang Merah Indonesia dan Peranannya pada Masa Revolusi Kemerdekaan.” Arsip 61, 24-26.
- Undang-undang Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Kepalangmerahan
- Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2019 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Kepalangmerahan.
- Undang-undang Nomor 59 Tahun 1958 Tentang Ikut-Serta Negara Republik Indonesia dalam Seluruh Konpensi Jenewa Tanggal 12 Agustus 1949.
- The Geneva Convention of 12 August 1949.
- Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 25 Tahun 1950.
- Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pelayanan Darah.
- Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1980 Tentang Transfusi Darah.