Paparan Topik | Kesehatan

Mewaspadai Wabah Demam Berdarah

Memasuki kuartal kedua tahun 2024, masyarakat Indonesia dihadapkan pada mewabahnya demam berdarah dengue atau DBD hingga 46.148 kasus. Perubahan iklim hingga deforestasi menjadi pemicu wabah yang terus bersiklus ini.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Warga mengasapi lingkungan tempat tinggal di RW 04 di kawasan Joglo, Kembangan, Jakarta Barat, Minggu (21/4/2024). Pengasapan yang dilakukan swadaya warga melalui Karang Taruna ini dikarenakan beberapa orang warganya terinfeksi penyakit demam berdarah dengue.

Fakta Singkat

Demam Berdarah Dengue

  • Hingga 1 April 2024, kasus DBD terdata sepanjang tahun 2024 telah mencapai 46.148 kasus dan 350 korban meninggal.
  • Selama satu bulan (Maret – April) terakhir, terjadi peningkatan hingga 30.191 kasus dan 226 kematian.
  • Kasus DBD terbanyak terjadi di wilayah Bandung. Kota Bandung mencatatkan 1741 kasus, sementara Bandung Barat mencatatkan 1143 kasus.
  • Kasus DBD pertama di Indonesia tercatat pada tahun 1968 di Surabaya, Jawa Timur. Pada tahun itu, terjadi 58 kasus dengan 24 di antaranya berujung kematian.
  • Lonjakan kasus pertama terjadi pada tahun 1973 dengan mencapai 10.189 kasus dan mendorong ditetapkannya KLB.
  • Wabah DBD terbesar terjadi pada tahun 2016, mencapai 204.171 kasus dan 1.598 kematian.
  • Secara rata-rata, wabah DBD terjadi dalam siklus 10 tahunan, menyebabkan 120.000 – 000 kasus DBD, dan menimbulkan kerugian hingga Rp 3,9 triliun/tahun.
  • Penyebaran wabah DBD erat kaitannya dengan perubahan iklim, terutama dengan menghadirkan suhu yang panas dan lembap sebagai kondisi ideal bagi perkembangan Aedes aegypti dan virus dengue.
  • Upaya makro atas DBD oleh negara maupun lembaga dapat dilakukan lewat impelentasi kebijakan (termasuk penetapan KLB) dan peningkatan jumlah riset atas DBD.
  • Upaya pencegahan DBD oleh perseorangan dapat dilakukan dengan menerapkan “3M Plus” yang mengedepankan kebersihan dan kewaspadaan.

 

Korban demam berdarah terus berjatuhan. Jumlah kasusnya mencapai ribuan. Lingkungan-lingkungan tempat tinggal rutin berusaha melakukan penyemprotan. Sosialisasi juga terus digencarkan pemerintah maupun aktor kesehatan lainnya. Namun, tetap saja ruangan Unit Gawat Darurat (UGD) di berbagai rumah sakit terus mengalami overload.

”Dalam sebulan terakhir, terlihat kecenderungan kasus DBD (demam berdarah dengue) di Indonesia mulai meningkat,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) M Adib Khumaedi dalam diskusi daring penanganan DBD, Selasa (27/2/2024). Adib menekankan bahwa risiko penularan DBD biasanya mulai awal tahun sampai bulan Juni. Sementara Maret – April biasa menjadi momen puncaknya (Kompas.id, 27/2/2024, “Cegah Demam Berdarah pada Masa Pancaroba”).

Demikian tren kesehatan di Indonesia tengah berlangsung terutama dalam periode berakhirnya kuartal pertama pada tahun 2024. Nyamuk Aedes aegypti menghadirkan ancaman lewat penyebaran infeksi virus dengue. Virus inilah yang lantas menghadirkan sakit demam berdarah di manusia. Berbagai upaya pengendalian pun tengah digencarkan.

Meski begitu, upaya pengendalian dan pencegahan memerlukan pemahaman yang mendalam terkait penyebab dari demam berdarah itu sendiri. Ada sangat banyak faktor yang menjadi penyebab – dan penanggulangan strategis terhadap demam berdarah perlu mengacu pada faktor-faktor spesifik tersebut. Untuk itu, pembahasan terhadap isu demam berdarah menjadi penting dalam mendistribusikan informasi dan pengetahuan atasnya.

KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Perawat memeriksa keadaan pasien demam berdarah dengue yang dirawat di RSUD Taman Sari, Jakarta, Selasa (16/4/2024). Tercatat terdapat 14 pasien demam berdarah dengue (DBD) dirawat di RSUD Taman Sari per 16 April 2024. Sebanyak 70 persen pasien yang dirawat merupakan anak dan remaja. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat hingga minggu ke-15 tahun 2024, tercatat 62.000 kasus DBD di Indonesia. Dari jumlah tersebut terdapat 475 pasien meninggal dunia. Kasus DBD terbanyak terjadi di Kabupaten Tangerang dengan 2.540 kasus.

Situasi dan Data Demam Berdarah

Secara periodik, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mempublikasikan perkembangan data DBD di Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2PM). Dalam informasi terakhir pada 1 April 2024 (minggu ke-12), kasus DBD terdata sepanjang tahun 2024 telah mencapai 46.148 kasus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 350 orang meninggal.

Angka ini sendiri meningkat cukup signifikan dibanding waktu satu bulan yang lalu. Peningkatan mencapai 30.191 kasus dalam rentang satu bulan, dengan mengacu pada laporan per 1 Maret 2024 (minggu ke-8). Jumlah korban meninggal akibat DBD juga meningkat signifikan hingga 226 kasus kematian dari sebelumnya 124 kematian.

Angka-angka pada 2024 ini juga menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Sebagai contoh, kasus DBD tercatat per minggu ke-11 tahun 2023 dilaporkan sebanyak 15.886 kasus dengan 118 kematian. Sementara total kasus sampai minggu ke-11 tahun 2024 mencapai 35.556 kasus dengan 290 kematian (Kompas.id, 2/4/2024, “DBD di Papua Melonjak Lagi, Kasus Kematian Kembali Dilaporkan”).

Dari tren kesehatan demikian, Kota Bandung di Jawa Barat tercatat menjadi penyumbang terbesar jumlah kasus DBD. Sebanyak 1741 kasus DBD tercatat – diikuti dengan 5 kasus kematian, yang turut menjadikannya tertinggi ketiga sebagai penyumbang angka kematian. Lebih lanjut, kasus DBD terbanyak terjadi secara berturut-turut di Kendari, Sulawesi Tenggara (1195 kasus), Bandung Barat, Jawa Barat (1143 kasus), dan Kota Bogor, Jawa Barat (939 kasus).

Data menunjukkan bahwa situasi DBD di Kendari sendiri juga cukup memprihatinkan. Selain menyumbang kasus terbanyak kedua, angka Incident Rate (IR) 276,3 juga menjadi yang tertinggi. Artinya, di tiap 100.000 penduduk Kendari, lebih dari 276 orang di antaranya mengidap DBD.

Sementara jumlah kematian tertinggi terjadi di Kendal, Jawa Tengah dengan korban meninggal mencapai 10 orang, diikuti Blora, Jawa Tengah dengan 9 orang. Sementara setelahnya, terdapat Bandung, Subang, Jawa Barat, dan Palembang, Sumatera Selatan dengan masing-masing 5 korban meninggal akibat DBD.

Patut dicatat bahwa angka-angka ini sendiri tidak niscaya mewakili situasi riil di lapangan. Pendataan secara kuantitatif kerap luput atas seluruh kasus yang terjadi. Apalagi, pencatatan didasarkan pada konfirmasi medis atas infeksi DBD, bukan berdasarkan gejala. Sehingga sangat dimungkinkan bila yang bergejala juga termasuk infeksi, namun tidak dimasukkan dalam perhitungan.

 KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Perawat memeriksa infus pasien demam berdarah dengue (DBD) di RSUD Tamansari, Jakarta Barat, Rabu (6/3/2024). Kasus DBD di Jakarta meningkat sejak awal Februari 2024. Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencatat 627 kasus DBD tanpa kematian hingga 19 Februari. Saat ini, RSUD Tamansari merawat tujuh pasien DBD yang terdiri dari empat anak dan tiga dewasa.

Sekilas Sejarah Tren Demam Berdarah di Indonesia

Apa yang terjadi pada kuartal pertama tahun 2024 rupanya bukan kali pertama. Masyarakat Indonesia telah secara berulang berhadapan dengan wabah DBD yang tiba-tiba meningkat. Kasus-kasus baru terus tercatat, begitupun korban-korban yang berjatuhan. Namun, nyamuk Aedes aegypti tetap berhasil menebar ancamannya.

Atas hal demikian, kemunculan wabah DBD tercatat selalu muncul dalam suatu siklus tahunan. Meski begitu, sebelum menjadi begitu mengancam dan mewujud dalam pola siklus, DBD sendiri sejatinya baru mulai mengancam sejak pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1968. Sejak itu, angka kejadian DBD terus meningkat secara bertahap hingga mewujud seperti saat ini.

Mengacu pada Kompas.id (25/3/2024, “DBD Meningkat Drastis, Apakah Tren Siklus Wabah Tiga Tahunan Berubah?”), kejadian DBD pertama ditemukan di Surabaya. Kala itu, karena merupakan penyakit baru, penanganan atas penyakit pun belum mumpuni. Akibatnya, 24 kasus dari total 58 kasus berujung pada kematian. Artinya, tingkat kefatalan (case fatality rate/CFR) dari DBD masih mencapai 41,3 persen.

Lebih lanjut, lonjakan kasus DBD pertama terjadi lima tahun setelah pertama kali ditemukan, yakni pada tahun 1973. Pada tahun tersebut, tercatat 10.189 kasus yang dilaporkan menjadi pemicu ditetapkannya kejadian luar biasa (KLB) DBD untuk pertama kalinya. Insiden kasus tertinggi berikutnya terjadi 10 tahun kemudian (1983) dengan 13.668 kasus.

Wabah besar DBD kembali terjadi pada 1988, berdampak pada 41.347 korban. Pada tahun ini jugalah kali pertama wabah DBD tercatat di lebih dari 100 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Pada tahun 1994, kasus DBD sudah tersebar di seluruh provinsi, yang kala itu berjumlah 27 provinsi. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran DBD semakin meluas.

Lebih lanjut, 10 tahun sejak 1988, kembali terjadi lonjakan signifikan wabah DBD. Pada tahun 1998, jumlah penderita mencapai 72.133 orang dan mengharuskan pemerintah untuk kembali menetapkan status KLB. Sementara dari banyaknya penderita tersebut, 1.411 orang akhirnya meninggal dunia.

Wabah DBD tahun 1998 kala itu menjadi yang terburuk dalam dua dekade sejak pertama kali ditemukan. Penurunan kasus pada tahun-tahun berikutnya pun berhasil tercapai, meski hanya bertahan hingga tahun 2003. Selama tahun 2003 hingga 2007, terjadi peningkatan konsisten setiap tahunnya atas kasus DBD di Indonesia.

Pada tahun 2003 dilaporkan terjadi 51.516 kasus, tahun 2004 tercatat 79.462 kasus, tahun 2005 sebanyak 95.279 kasus, tahun 2006 tercatat 114.656 kasus. Peningkatan konsisten ini mencapai puncaknya pada tahun 2007 mencapai jumlah 158.115 kasus.

Pada tahun 2007 angka IR bahkan sampai angka 71,78 per 100.000 penduduk. Setelah konstan mengalami peningkatan terus menerus tiap tahunnya, angka kasus DBD akhirnya turun pada 2008. Jumlahnya mencapai 133.402 kasus dengan angka IR 58,85 per 100.000 penduduk. Parahnya situasi pada periode ini kembali menghidupkan status KLB DBD di beberapa daerah.

Lebih lanjut, sejak masa ini jugalah siklus wabah DBD terjadi tiap tiga tahun sekali. Setelah pada tahun 2010 jumlah kasus DBD mencapai 156.086 kasus dan membunuh 1.358 orang, penderita DBD terus meningkat hingga 2013 mencapai 112.511 kasus. Tepat tiga tahun kemudian, pada 2016, masyarakat Indonesia kembali berhadapan dengan wabah DBD masif.

Sebanyak 204.171 kasus tercatat pada tahun tersebut. Tak hanya itu, juga tercatat 1.598 kematian akibat DBD. Jumlah kasus pada tahun 2016 begitu luar biasa, di mana hingga kini masih menjadi angka kasus tertinggi sepanjang sejarah penyebaran DBD di Indonesia.

Trend Kasus DBD 1968-2021

Sumber: Kementerian Kesehatan

Selama periode 1968 – 2016 tersebut, Indonesia mencatatkan rata-rata 120.000 – 170.000 kasus DBD per tahun. Angka ini setara dengan peringkat keenam tertinggi di dunia. Sementara rata-rata angka kematian akibat DBD mendekati 1 persen, menjadi yang kedua di dunia setelah Brasil. Tidak hanya menghabisi kesehatan dan nyawa, DBD juga menimbulkan kerugian ekonomi masif hingga Rp 3,9 triliun/tahun (Kompas, 1/11/2016, “Indonesia Mampu Membuat Vaksin Dengue”).

Selain itu, lonjakan kasus pada 2016 juga menguhkan siklus tiga tahunan DBD selama beberapa tahun belakangan, terutama sejak tahun 2007. Meski demikian, rata-rata peningkatan wabah DBD sejak pertama kali ditemukan adalah siklus 10 tahunan.

Lonjakan kasus DBD kembali tiga tahun kemudian pada tahun 2019. Setelah tahun-tahun sebelumnya kasus DBD nasional konstan berada di angka 60.000-an, kasus DBD kembali melonjak signifikan hingga angka 138.127 kasus. Persis tiga tahun kemudian, tepatnya pada 2022, lonjakan kembali terjadi menjadi 143.000 kasus.

Pada tahun 2023, kasus DBD menurun sedikit menjadi 114.720 kasus. Tidak tampak arah penurunan yang signifikan, terutama dengan justru terjadi peningkatan kasus DBD di beberapa wilayah Indonesia seperti Kalimantan Tengah. Akhirnya, pada awal tahun 2024, kasus DBD kembali mengalami peningkatan.

Peningkatan ini menunjukkan kecenderungan perubahan siklus tiga tahunan yang selama ini berlangsung. Kemungkinan perubahan siklus waktu tersebut sangat dimungkinkan, dan justru berfungsi sebagai “alarm” yang mengartikan adanya kurang kewaspadaan atas penanganan DBD selama ini.

Meski kian tahun jumlah kasus DBD semakin meningkat, hal tersebut juga dibarengi dengan kapasitas medis yang kian mumpuni. Hal ini dibuktikan dengan angka kematian yang semakin rendah. Pada mula penemuannya pada tahun 1968, kematian akibat DBD mencapai 41 persen. Memasuki tahun 2000-an, angkanya berubah menjadi kurang dari 2 persen. Angka ini terus menurun hingga 1,21 persen pada 2004 dan drastis menjadi 0,86 persen pada 2022.

Kabupaten/Kota terjangkit

Sumber: Kementerian Kesehatan

Penyebab Tren Demam Berdarah

Penyebab siklus kedatangan wabah DBD dapat ditentukan dengan menelisik faktor-faktor penyebab kehadiran DBD itu sendiri. Momen mewabah menunjukkan tingginya determinasi atau pengaruh dari satu atau lebih penyebab tersebut dalam suatu rentang waktu tertentu. Mengetahui hal-hal ini akan membantu tahap penanggulangan dan pencegahan.

Lembaga riset kesehatan dan studi pembangunan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyebutkan bahwa DBD dan perubahan iklim begitu terkait. Dalam tulisannya di LinkedIn pada Maret 2024 lalu mencatat bahwa pada dasarnya, nyamuk Aedes aegypti menyukai lokasi panas dan lembap untuk hidup dan berkembang biak.

Sebagai alasannya, suhu yang lebih tinggi mempercepat reproduksi nyamuk dan virus dengue di dalam tubuh nyamuk itu sendiri. Suhu yang panas juga meningkatkan daya jelajah nyamuk tanpa terhambat oleh musim dingin. Sementara kelembapan yang tinggi menjaga kelangsungan hidup nyamuk. Di titik-titik dengan karakteristik demikianlah, jenis nyamuk ini dapat dengan mudah ditemukan.

Pada situasi terkini, kehadiran perubahan iklim, secara khusus akibat pemanasan global, justru akhirnya menghadirkan kondisi lingkungan yang lebih panas dan lembap. Berbagai lokasi mengalami pemanasan yang esktrem – menyediakan tempat-tempat baru bagi nyamuk untuk hidup. CISDI bahkan memperkirakan, bila perubahan iklim tak kunjung ditangani secara serius, persebaran virus dengue bisa mencapai setengah populasi bumi.

Masalah iklim ekstrem juga disoroti oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi, pada awal Maret 2024 lalu. Perubahan iklim yang terjadi secara natural namun ekstrem juga turut berdampak pada perkembangan tempat perindukan nyamuk dan penetasan telur nyamuk. Hal tersebut secara konkret terjadi lewat El Nino yang bersuhu panas dan kering diikuti dengan La Nina yang disertai hujan akan berdampak pada.

“Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit yang penularannya sangat dipengaruhi oleh iklim. Cuaca ekstrem seperti El Nino yang kering dan bersuhu tinggi akan menyebabkan peningkatan gigitan nyamuk,” katanya (Kompas.id, 4/3/2024, “Kematian akibat Demam Berdarah pada Awal Tahun Ini Lebih Tinggi”).

Dalam konteks curah hujan tinggi akibat La Nina, tercipta genangan-genangan maupun peningkatan permukaan air. Tempat-tempat basah atau tergenang baru ini menjadi habitat baru bagi nyamuk untuk menetaskan telurnya. Dengan demikian, bencana seperti banjir yang tergenang selama berhari-hari membuka risiko penyebaran virus dengue begitu signifikan.

Selain soal iklim, baik itu faktor manusia maupun alamiah, kehadiran hutan juga menjadi faktor penting dalam penyebaran virus dengue. Deforestasi sebagai upaya pembukaan lahan dan hutan menghancurkan habitat-habitat nyamuk Aedes aegypti yang tadinya terisolasi. Kehilangan habitat, mereka pun berpindah ke lokasi-lokasi baru seperti pemukiman dan membuka kontak dengan manusia..

Dalam konteks wabah DBD pada awal 2024 ini, Indonesia memang baru saja mengalami fenomena El Nino secara ekstrem. Kemarau nan panjang menjadi penutup bagi akhir tahun 2023, dengan disambut musim hujan yang terbilang terlambat. Di berbagai titik, terjadi kekeringan ekstrem yang sampai berdampak pada kebakaran lahan dan kesulitan pangan.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Fogging di ruang olah raga di Sekolah Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu (16/3/2024). Fogging dilakukan sebagai pencegahan di tengah meningkatnya demam berdarah dengue. Fogging dilakukan oleh petugas dari Puskesmas Gedangan. Semua bagian yang diperkirakan menjadi sarang nyamuk Aedes aegypti difogging.

Upaya Penanggulangan dan Pencegahan

Upaya menekan angka kasus DBD dapat dilakukan lewat skala yang bervariasi. Mulai dari pengendalian skala besar yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga kesehatan di tingkat nasional hingga peran aktif setiap individu dalam menerapkan tindakan pencegahan di lingkungan sekitarnya.

Dari skala makro, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi DBD adalah dengan menetapkan DBD sebagai penyakit KLB. Dalam hal ini, jika suatu daerah ditetapkan sebagai KLB, pemerintah dapat memprioritaskan semua komponen pemerintahan untuk memberantas penyebab KLB tersebut, dalam hal ini wabah DBD.

Yuningsih dalam artikel akademik “Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Tangerang”, menyebutkan bahwa pengendalian KLB diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 949/Menkes/Per/VIII/2004 tentang Pedoman   Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa.

Selain itu, terdapat kebijakan yang secara lebih spesifik mengatur mengenai KLB penyakit DBD, yaitu Menteri Kesehatan Nomor 374/Menkes/Per/Menteri Kesehatan Nomor 374/Menkes/Per/III/2010 tentang Pengendalian Vektor.

Berdasarkan kebijakan terkait, jika pemerintah menetapkan DBD sebagai KLB, langkah-langkah penanggulangan dan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan pengelolaan secara fisik atau mekanis, penggunaan agen biotik dan bahan kimia untuk mengendalikan vektor dan habitatnya, serta perubahan perilaku masyarakat.

Secara konkret, pemerintah akan mengutamakan peningkatan kesiapan dan pengawasan dini setiap fasilitas layanan kesehatan, termasuk rumah sakit dan klinik swasta, untuk memperkuat sistem kewaspadaan dini dan kesiapsiagaannya dalam menghadapi kasus DBD (Kompas.id, 4/3/2024, “Kematian akibat Demam Berdarah pada Awal Tahun Ini Lebih Tinggi”).

Selain penetapan KLB, dengan kembali mengacu pada CISDI, pemerintah dapat melaksanakan pendekatan one health dalam program pembangunan lewat tiga langkah. Langkah pertama, pemerintah melakukan kolaborasi lintas sektor. Hal ini dilakukan karena DBD bukan lagi hanya persoalan kesehatan, namun juga bidang infrastruktur sanitasi, pertanian, hingga kehutanan.

Langkah kedua adalah mengambil langkah-langkah untuk mendorong riset dan inovasi guna menanggulangi serta mencegah DBD. Salah satu contoh penelitian yang dapat dilakukan adalah memperdalam pemahaman tentang habitat nyamuk, termasuk mempelajari dampak perubahan faktor lingkungan terhadap risiko penyebaran DBD. Penelitian yang komprehensif diharapkan dapat mengidentifikasi strategi yang efektif dan langkah-langkah preventif yang lebih tepat sasaran.     

Langkah terakhir, pemerintah perlu melakukan kerja sama dengan negara lain. Tidak hanya Indonesia, berbagai negara di belahan dunia lain pun juga terjangkit DBD yang menunjukkan bahwa DBD tidak mengenal batasan ruang dan waktu. Jika negara-negara tersebut dapat bertukar informasi, upaya mengatasi DBD pun dapat menjadi lebih optimal.

Salah satu upaya spesifik dalam menanggulangi dan mencegah DBD di program one health dapat dilakukan dengan meningkatkan giat riset dan inovasi teknologi Wolbachia. Teknologi ini merupakan inovasi yang dapat melumpuhkan virus dengue dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti sehingga virus dengue tidak akan menular ke dalam tubuh manusia.

Dikutip dari laman Kemenkes, Teknologi Wolbachia saat ini telah menjadi bagian dari Strategi Nasional Pengendalian Demam Berdarah di Indonesia. Pengembangan teknologi ini diprakarsai melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1341 tentang Penyelenggaraan Pilot Project Implementasi Wolbachia sebagai Inovasi Penanggulangan Demam Berdarah.

Di Yogyakarta, teknologi Wolbachia terbukti efektif ketika diimplementasikan. Dokter speasialis penyakit dalam, Soroy Lardo, melalui laman resmi Kompas, menyatakan bahwa teknologi ini merupakan terobosan yang membuka simpul hulu dan hilir DBD dalam arena kesehatan preventif (Kompas.id, 27/02/2024, “Cegah Demam Berdarah pada Masa Pancaroba”).

Selain upaya-upaya struktural dengan skala makro, individu dari lingkup terkecilnya turut dapat mengambil peran dalam pencegahan DBD. Upaya terpenting yang telah secara berulang disampaikan dalam tiap wabah DBD adalah “3M”, yakni menguras dan menyikat, menutup tempat penampungan air, dan memanfaatkan/mendaur ulang barang bekas.

Ketiga upaya ini secara spesifik berfokus pada upaya membatasi habitat nyamuk Aedes aegypti. Terutama sekali, nyamuk ini menyukai titik-titik basah yang kotor. Oleh karenanya, mencegah akses dan menjaga kebersihan titik-titik penampungan air menjadi upaya penting yang diusahakan dalam slogan 3M.

Belakangan, slogan tersebut dilengkapi menjadi “3M Plus”. Selain tiga upaya yang sudah disebutkan, turut ditambahkan upaya untuk mencegah gigitan dan perkembangbiakan nyamuk. Hal-hal yang dapat dilakukan terkait ini adalah dengan memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi serta menggunakan obat anti-nyamuk. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
Jurnal
  • Yuningsih, R. (2018). “Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Tangerang”. Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial Volume 9, Nomor 2, 260-273.
Internet