Paparan Topik | Kesehatan

Mewaspadai Penularan Penyakit Cacar Monyet

Kasus penularan cacar monyet atau Mpox di Indonesia terus bertambah dan meluas. Epidemiolog memperkirakan akan ada 3.600 kasus Mpox dalam satu tahun ke depan, jika tidak ada perhatian dan upaya penanganan yang serius.

KOMPAS/SAMUEL OKTORA

Suasana di depan pintu keluar terminal kedatangam internasional Bandar Udara Internasional Husein Sastranegara, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (16/5/2019). Petugas bagian epidemiologi Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) memeriksa suhu tubuh penumpang dengan menggunakan termometer infrared non kontak 

Fakta Singkat

  • Mpox adalah penyakit langka menular yang disebabkan oleh virus monkeypox (MPXV), bagian dari genus Orthopoxvirus dalam keluarga Poxviridae, yang juga mencakup virus variola, cacar sapi, dan vaccinia.
  • Mpox merupakan zoonosis yang penularan awalnya berasal dari hewan.
  • Mpox pertama kali ditemukan pada monyet yang digunakan di laboratorium penelitian di Kopenhagen, Denmark, pada 1958.
  • Infeksi terhadap manusia pertama kali ditemukan tahun 1970 pada seorang anak laki-laki berusia 9 bulan di Republik Demokratik Kongo, kemudian menjadi endemik di Afrika tengah dan barat.
  • Pada Mei 2022, Mpox menyebar secara global di banyak negara yang sebelumnya tidak memiliki riwayat atau sudah lama tidak ada kasus.
  • WHO menetapkannya sebagai kedaruratan global pada 23 Juli 2022 hingga 11 Mei 2023.
  • Sejak 1 Januari 2022 sampai 30 September 2023, ada 91.123 kasus Mpox dari 115 negara dengan jumlah kematian mencapai 157 kasus.
  • Sebanyak 82,5 persen kasus Mpox dilaporkan melalui hubungan seksual.
  • Kasus pertama Mpox di Indonesia ditemukan pada 20 Agustus 2022 di DKI Jakarta.
  • Sejak kasus kedua pada 13 Oktober 2023 hingga 15 November 2023, terdapat 48 pasien terkonfirmasi Mpox di Indonesia.

Penyebaran penyakit Mpox yang sebelumnya disebut cacar monyet semakin mengkhawatirkan. Di Indonesia, kasus baru Mpox dilaporkan terus bertambah dan meluas.

Kasus pertama Mpox di Indonesia ditemukan pada 20 Agustus 2022 di DKI Jakarta dan sudah sembuh. Kasus kedua baru muncul pada 13 Oktober 2023. Sejak kasus kedua muncul hingga pertengahan November ini, terdapat lebih dari 40 kasus terkonfirmasi positif cacar monyet yang dilaporkan.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), hingga Kamis (16/11/2023), terdapat 48 pasien terkonfirmasi Mpox. Terbaru, kasus Mpox dilaporkan di Madiun, Jawa Timur pada Rabu (15/11/2023). Dengan adanya temuan ini, penyakit cacar monyet sudah menyebar di lima provinsi di Indonesia, yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Kepulauan Riau, dan Jawa Timur.

Mengacu data Kemenkes, DKI Jakarta menjadi provinsi yang paling banyak melaporkan temuan kasus Mpox, yakni 36 kasus positif. Kemudian, Jawa Barat dan Banten masing-masing terkonfirmasi 5 kasus positif, serta Kepulauan Riau dan Jawa Timur masing-masing 1 kasus positif. Dari keseluruhan kasus, 26 kasus dinyatakan sembuh.

Sementara secara global, sejak 1 Januari 2022 sampai 30 September 2023, WHO menerima laporan 91.123 kasus Mpox dari 115 negara dengan jumlah kematian mencapai 157 kasus. Kasus terbanyak Mpox ditemukan di Amerika Serikat, Brasil, dan Spanyol.

Selama September 2023, ada 868 kasus baru Mpox dilaporkan atau turun 16 persen dibanding bulan sebelumnya. Penambahan terbesar Mpox selama September itu berasal dari wilayah Pasifik Barat dan Eropa.

Dari seluruh kasus Mpox global, 96,3 persen penderitanya adalah laki-laki dan paling banyak berumur 29 – 41 tahun. Model penyebaran yang paling banyak dilaporkan adalah melalui kontak seksual sebanyak 82,5 persen. Sejak Mei 2022 – September 2023, WHO menyebut paparan Mpox banyak berasal dari kluster kegiatan yang melibatkan orang banyak dan disertai dengan kontak seksual.

Karakter penderita Mpox global itu juga mirip dengan yang terjadi di Indonesia. Seluruh penderita Mpox di DKI Jakarta, daerah dengan jumlah penderita Mpox terbanyak, adalah laki-laki dengan rentang umur 25 – 50 tahun.

Data Ikatan Dokter Indonesia, Selasa (7/11/2023), menunjukkan bahwa sekitar 90 persen penderita tertular melalui hubungan seksual sejenis, yaitu lelaki suka lelaki (LSL). Selain itu, 10 penderita mengidap human immunodeficiency virus (HIV), tiga penderita mengalami sifilis, sembilan pasien dengan HIV dan sifilis, dan sisanya belum diketahui komorbidnya.

Jika kasus pertama Mpox di Indonesia yang terjadi tahun 2022 berasal dari transmisi luar negeri. Kasus yang terjadi sebulan terakhir merupakan transmisi lokal sehingga penyebarannya menjadi lebih cepat. Mereka yang terpapar Mpox umumnya tinggal di perkotaan.

Karena itu, lonjakan Mpox selama Oktober – November 2023 ini di Indonesia perlu menjadi perhatian serius pemerintah dan masyarakat. Jika tidak, epidemiolog memperkirakan akan ada 3.600 kasus Mpox dalam satu tahun ke depan (“Mpox, Kesehatan Seksual, dan Cuaca Panas”, Kompas, 7 November 2023).

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Apa itu Mpox?

Mpox adalah penyakit langka menular yang disebabkan oleh virus mpox/monkeypox (MPXV). Mengacu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Mpox 2023, virus tersebut merupakan bagian dari genus orthopoxvirus keluarga poxviridae, yang juga mencakup virus variola, cacar sapi, dan vaccinia.

Secara umum, orthopoxvirus terdiri dari empat bagian besar, yaitu inti virus, bagian lateral, membran luar, dan selubung lipoprotein luar. MPXV mengandung DNA rantai ganda dan memiliki selubung berbentuk bata dengan panjang 200 – 250 nm dan lebar 140 – 260 nm.

Ada dua jenis (clade) virus mpox yang diketahui, yakni satu berasal dari Afrika Tengah (clade I) dan satu lagi berasal dari Afrika Barat (clade II). Clade I lebih ganas dibanding clade II. Clade II terbagi menjadi clade IIa dan IIb, kemudian terbagi lagi menjadi galur (lineage). Wabah global saat ini disebabkan oleh clade IIb, subtipe dari clade Afrika Barat.

Sama seperti Covid-19, Mpox merupakan zoonosis yang penularan awalnya berasal dari hewan. Namun, saat ini penularan cacar monyet bisa terjadi dari hewan ke manusia ataupun dari manusia ke manusia.

Transmisi virus yang terjadi dari hewan bisa ditularkan akibat kontak langsung dengan darah dan cairan tubuh dari hewan, seperti monyet, tikus, dan tupai. Penularan juga bisa terjadi dari lesi kulit dan mukosa dari hewan yang terinfeksi. Daging hewan yang terinfeksi pun dapat menjadi sumber penularan.

Sementara penularan antarmanusia terjadi lewat kontak fisik erat dengan penderita, baik melalui ruam, koreng, atau cairan tubuh, dan sekresi pernapasan dalam kontak fisik intim seperti berciuman, berpelukan, ataupun berhubungan seksual. Orang hamil dapat menyebarkan virus ke janinnya melalui plasenta.

Benda yang sudah digunakan atau tersentuh penderita Mpox, seperti baju, handuk, seprei tempat tidur, atau permukaan alat elektronik, juga bisa jadi alat penularan jika benda tersebut digunakan, disentuh, atau dihirup orang yang sehat.

Gejala paling banyak dilaporkan, yaitu demam, sakit kepala, sakit otot dan sakit punggung, serta pembengkakan kelenjar getah bening (limfadenopati). Gejala lanjutan yang muncul, yaitu berupa ruam atau lesi seperti cacar air yang melepuh, kerap terjadi di area genital atau alat kelamin. Ruam itu muncul satu hari hingga tiga hari sejak demam.

Ruam itu bisa berkembang dari bintik merah seperti cacar, lepuh berisi cairan bening, lepuh berisi nanah, hingga kemudian mengeras menjadi keropeng dan rontok. Ruam ini cenderung terkonsentrasi di wajah, telapak tangan, telapak kaki, mulut, mata, dan sekitar alat kelamin.

Mpox termasuk dalam self-limiting disease atau penyakit yang bisa sembuh sendiri. Berbagai gejala tersebut biasanya berlangsung antara dua sampai empat minggu. Namun, sekalipun memiliki gejala yang ringan dan bisa sembuh sendiri, bagi kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, orang dengan imunokompromais atau gangguan imunitas, serta orang dengan komorbid atau penyakit penyerta, berisiko mengalami masalah serius akibat infeksi virus ini.

Beberapa kasus terpaksa menjalani perawatan di rumah sakit untuk mengatasi nyeri luar biasa di bagian yang mengalami luka lepuh atau gangguan akut di ginjal dan selaput jantung. Risiko komplikasi serius yang bisa ditemukan pada pasien cacar monyet, antara lain, infeksi pada saluran pernapasan, infeksi pada mata, dan infeksi pada otak. Pada kondisi lebih buruk, komplikasi bisa sampai menyebabkan sepsis yang sangat berisiko menimbulkan kematian.

Sejarah Mpox

Mpox bukan penyakit baru. Mengacu pada jurnal NEJM dan Frontiers, penyakit zoonotik ini pertama kali ditemukan pada monyet yang digunakan di laboratorium penelitian di Kopenhagen, Denmark, pada 1958. Karenanya, kemudian dinamakan cacar monyet.

Dua belas tahun kemudian, pada 1970 kasus yang menginfeksi manusia pertama kali ditemukan pada seorang anak laki-laki berusia 9 bulan di Republik Demokratik Kongo di Afrika Tengah. Sejak penemuan tersebut, kasus pada manusia menyebar secara sporadis di wilayah hutan hujan tropis di Afrika Tengah dan Barat.

Dari data WHO, sepanjang 1970 hingga 1979 tercatat ada 54 kasus yang dilaporkan. Kemudian jumlah ini meningkat pesat menjadi 350 kasus antara tahun 1980 dan 1986. Peningkatan kasus tersebut diperkirakan berhubungan dengan berakhirnya program vasinasi cacar pada 1980, sehingga terjadi penurunan kekebalan kelompok yang berkontribusi terhadap penyebaran Mpox saat itu.

Sejak itu, virus Mpox menjadi endemi di Afrika, terutama di kawasan hutan di Afrika Tengah atau Barat, di antaranya Benin, Kamerun, Republik Afrika Tengah, Pantai Gading, Republik Demokratik Kongo, Gabon, Liberia, Nigeria, Sudan Selatan, Republik Kongo, dan Sierra Leone.

Kasus pertama di luar Benua Afrika teridentifikasi di Amerika Serikat pada tahun 2003. Ditemukan 37 kasus terkonfirmasi dan 10 kasus suspek di enam negara bagian, yakni Illinois, Indiana, Kansas, Missouri, Ohio, dan Wisconsin. Dari penelusuran, diketahui bahwa sumber virus berasal dari impor tikus berkantung raksasa Gambia dari Ghana. Hewan pengerat tersebut menularkan virus ke anjing padang rumput yang ditempatkan bersebelahan di fasilitas hewan yang sama, dan anjing padang rumput kemudian menginfeksi pemiliknya.

Kemudian, pada tahun 2018, kasus positif Mpox dilaporkan ditemukan di Inggris dan Israel, serta Singapura pada 2019. Penyebarannya diduga bermula dari perjalanan internasional dari Afrika.

Pada Mei 2022, virus yang selalu dianggap kejadiannya terbatas hanya di Benua Afrika ini menyebar secara global di banyak negara yang sebelumnya tidak memiliki riwayat atau sudah lama tidak ada kasus. Dalam waktu sebulan, sedikitnya tercatat ada 16.000 kasus Mpox di 75 negara, sebagian besar kasus berasal dari Eropa dan Amerika. Hal ini membuat WHO menetapkannya menjadi Public Health Emergency of International Concern (PHEIC)/Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia (KKMD) pada 23 Juli 2022.

Benua Asia pun tak luput. China, Jepang, Korea Selatan, India, Sri Lanka, Arab Saudi, Turki, Iran, Mesir, Thailand, Filipina, Myanmar, dan Indonesia kemudian juga melaporkan kasus Mpox. Indonesia melaporkan adanya kasus terkonfirmasi positif pada 20 Agustus 2022 di DKI Jakarta. Pasien terkonfirmasi Mpox itu laki-laki berusia 27 tahun dan baru pulang dari bepergian ke luar negeri (“Cacar Monyet di Indonesia”, Kompas, 21 Agustus 2022).

Hampir satu tahun ditetapkan sebagai kedaruratan global, pada 11 Mei 2023, WHO secara resmi mengumumkan pencabutan status kedaruratan kesehatan global untuk penyakit Mpox. Hal tersebut dikarenakan kasus penularan dalam tiga bulan terakhir dilaporkan menurun 90 persen dibandingkan dengan tiga bulan sebelumnya.

Meski begitu, data WHO menunjukkan bahwa penularan penyakit tersebut masih terus berlanjut. Dalam sebulan terakhir, 30 negara telah melaporkan peningkatan jumlah kasus bulanan dan 1 negara melaporkan kasus pertamanya. Negara yang melaporkan kasus pertamanya dalam sebulan terakhir adalah Republik Demokratik Rakyat Laos. 

Terdapat 10 negara yang paling terkena dampak secara global sejak 1 Januari 2022 sampai 30 September 2023, yakni Amerika Serikat (30.636 kasus), Brasil (10.967 kasus), Spanyol (7.611 kasus), Prancis (4.158 kasus), Kolombia (4.090 kasus), Meksiko (4.062 kasus), Peru (3.812 kasus), Inggris (3.805 kasus), Jerman (3.708 kasus), dan China (1.794 kasus). Secara keseluruhan, negara-negara tersebut menyumbang 81,9 persen dari kasus yang dilaporkan secara global.

Grafik:

 

Infografik: Albertus Erwin Susanto

Isu Diskriminasi

Selain menjadi masalah kesehatan, Mpox ternyata juga menimbulkan masalah lainnya, yakni diskriminasi dan rasime. Melansir Smithsonian Magazine, banyak masyarakat yang mengasosiasikan virus Mpox sebagai virus yang berasal dari Afrika karena virus ini menjadi endemik selama bertahun-tahun di sana.

Beberapa media pun seolah-olah ikut menegaskan hal itu dengan mengilustrasikan penyakit tersebut dengan pasien yang berkulit hitam. National Public Radio mencatat, BBC, Independent, CNCB, dan ABC News termasuk di antara yang menggunakan foto orang kulit hitam yang menderita lepuh karena Mpox dalam pemberitaaan. Hal ini melanggengkan narasi bahwa penyakit tersebut adalah penyakit Afrika, padahal Mpox bisa terjadi di mana saja dan telah dilaporkan di banyak negara di seluruh dunia.

Kenyataannya, keberadaan virus yang terus berlanjut di Afrika sebagian besar disebabkan oleh ketidaksetaraan akses terhadap persediaan vaksin global dan sumber daya layanan kesehatan. Selama bertahun-tahun bergelut dengan Mpox, Afrika tak memiliki vaksin atau antivirus untuk melawannya. Orang yang dicurigai menderita Mpox hanya diisolasi dan dirawat secara konservatif, sementara kontak mereka hanya dipantau.

Selama ini, negara-negara penyimpan dan produsen vaksin cacar seolah tutup mata dengan penyebaran Mpox di Afrika. Akibatnya, penyakit ini meluas dan berisiko menimbulkan dampak wabah yang tidak terduga. Ketika sudah menjadi kasus global, barulah perhatian pada Mpox timbul. WHO kemudian mendistribusikan vaksin, yang menimbulkan spekulasi bahwa sumber daya untuk mengatasi penyebaran Mpox sebenarnya telah lama tersedia, hanya saja tidak untuk Afrika (“Ketidakadilan dalam Cacar Monyet”, Kompas, 15 Juni 2022). 

Masalah lain yang tak kalah penting dari wabah Mpox ini adalah timbulnya stigma seksual. Menurut data WHO, dari semua jenis penularan yang dilaporkan, sebanyak 82,5 persen jalur penularan yang dilaporkan adalah melalui hubungan seksual. Berdasarkan orientasi seksual, sekitar 83,2 persen terjadi pada kelompok laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki, sebanyak 7,4 persen kasus teridentifikasi sebagai laki-laki biseksual. Kemudian, sekitar 52,7 persen kasus memiliki status HIV positif. Sehingga kemudian penyakit ini dikaitkan dengan orientasi sesksual, Mpox dianggap hanya menginfeksi kelompok LGBT, seperti gay, homoseksual, dan biseksual.

WHO sendiri telah berulang kali menekankan bahwa Mpox bukanlah penyakit yang hanya menginfeksi kelompok LGBT. Siapa pun bisa tertular Mpox. Penularannya pun tidak hanya melalui hubungan seksual, tetapi juga bisa melalui ruam, koreng, atau cairan tubuh, dan sekresi pernapasan ketika kontak fisik dekat dalam berbagai aktivitas lain.

Menurut jurnal Science, tingginya kasus yang terjadi pada kelompok LGBT masih belum jelas. Namun, mungkin karena kelompok tersebut terhubung dalam sebuah jaringan yang mempunyai hubungan yang jauh lebih erat dibandingkan dengan orang-orang di luar, sehingga membantu mendorong penularan.

Stigmasi dan diskriminasi dikhawatirkan akan berdampak pada rendahnya pelaporan dan pemeriksaan. Sebab akan membuat para pasien atau yang bergejala menjadi enggan memeriksakan diri hingga menghambat upaya penanggulangan wabah.

Grafik:

 

Infografik: Albertus Erwin Susanto

Tindakan Pencegahan

Meski status darurat kesehatan global Mpox telah dicabut. Berdasarkan sejumlah penelitian, penyakit ini masih berpotensi menjadi epidemi yang berisifat diam-diam atau “silent epidemi”. Temuan-temuan kasus baru yang masih bermunculan menjadi penanda bahwa penyakit ini tetap harus diwaspadai.

Ketua Satuan Tugas Mpox Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Hanny Nilasari mengatakan bahwa kesadaran masyarakat yang kurang akan penularan penyakit mpox menjadi salah satu penyebab terabaikannya penanganan mpox (“Waspada, Penularan ‘Mpox’ Meluas”, Kompas, 30 Oktober 2023).

Menurutnya, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui gejala cacar monyet. Mungkin juga tidak tahu cara melindungi diri dari penyakit tersebut. Kurangnya informasi ini menyebabkan keterlambatan dalam mencari pertolongan medis, yang dapat berakibat lebih parah.

Karena sebagian besar kasus penularan Mpox terjadi melalui aktivitas seksual, PB IDI mengingatkan pentingnya mencegah penyebaran Mpox dengan melakukan aktivitas seks yang aman dan menghentikan sementara aktivitas seksual berisiko, serta melakukan vaksinasi.

Hal senada juga disampaikan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) yang mengingatkan penting pula untuk setia pada pasangan dan membatasi jumlah partner seks, menghindari ciuman, melakukan masturbasi jarak jauh tanpa saling menyentuh, serta hubungan seks virtual demi mengurangi risiko paparan cacar monyet (“Mpox, Kesehatan Seksual, dan Cuaca Panas”, Kompas, 7 November 2023).

CDC menyarankan mempertimbangkan aktivitas seksual dengan pemakaian kondom untuk melindungi organ genital dari paparan cairan yang mengandung virus Mpox. Namun, kondom tidak bisa mencegah paparan virus Mpox dari ruam tubuh yang ada di bagian tubuh selain di alat genital. Selain itu, penting pula membersihkan pakaian, seprei, handuk, dan alat bantu seks lain yang digunakan sehingga terhindar dari paparan virus Mpox.

Pencegahan penularan juga dapat dilakukan dengan cara menghindari kontak fisik dengan pasien terduga Mpox. Juga, dengan menghindari pula penggunaan barang secara bersama, seperti handuk, pakaian, alat mandi, atau pun perlengkapan tidur. Pelaku perjalanan yang baru kembali dari wilayah terjangkit harus segera memeriksakan dirinya, jika mengalami gejala dan menginformasikan riwayat perjalanannya.

Apabila muncul gejala seperti lesi kulit yang tidak khas serta demam, sebaiknya segera lakukan pemeriksaan ke fasilitas kesehatan terdekat, agar dapat segera mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat. Siapa pun yang memenuhi kriteria suspek/probable/konfirmasi harus diisolasi dan dipantau sesuai petunjuk tenaga kesehatan.

Sampai saat ini, pengobatan yang spesifik untuk Mpox masih terbatas tahap pengembangan. Namun, penyakit dapat sembuh dan gejala dapat hilang dengan sendirinya. Pengobatan lebih bersifat simptomatis dan suportif. Orang dengan Mpox harus mengikuti saran dari fasilitas layanan kesehatan. Penting bagi siapa pun yang terinfeksi Mpox untuk minum air secara cukup, makan dengan baik, dan cukup tidur.

Orang yang mengisolasi diri harus menjaga kesehatan mentalnya dengan melakukan hal-hal yang mereka anggap santai dan menyenangkan, misalnya tetap terhubung dengan orang yang dicintai menggunakan teknologi, berolahraga jika mereka merasa cukup sehat, dan meminta dukungan kesehatan mental dari fasyankes setempat jika diperlukan.

Orang dengan Mpox harus menghindari menggaruk kulit mereka dan merawat ruam mereka dengan membersihkan tangan mereka sebelum dan sesudah menyentuh lesi dan menjaga kulit tetap kering dan terbuka, kecuali jika mereka mau tidak mau berada di ruangan dengan orang lain. Dalam hal ini, mereka harus menutupinya dengan pakaian atau perban sampai mereka dapat mengisolasi diri lagi. Ruam dapat dijaga kebersihannya dengan air steril atau antiseptik.

Penting untuk diingat bahwa Mpox adalah penyakit zoonosis. Untuk pencegahan, sebaiknya menghindari kontak langsung atau provokasi hewan penular mpox yang diduga terinfeksi Mpox seperti hewan pengerat, marsupial, primata non-manusia (mati atau hidup). Serta, dapat menghindari mengonsumsi atau menangani daging yang diburu dari hewan liar dan membiasakan diri mengonsumsi daging yang sudah dimasak dengan benar.

Foto: Pixabay/CC0 Domain Publik

Virus cacar monyet.

Upaya Pemerintah

Mengingat kasus yang masih terus bertambah dan meluas di Indonesia. Kemenkes menerbitkan Surat Edaran Nomor HK.02.02/C/4408/2023 tentang Peningkatan Kewaspadaan terhadap Mpox pada 18 Oktober 2023. Kemenkes meminta pemerintah daerah, fasilitas pelayanan kesehatan, laboratorium kesehatan masyarakat, kantor kesehatan pelabuhan, dan para pemangku kepentingan terkait agar mewaspadai Mpox.

Saat ini, pemerintah melalui Kemenkes sedang bergegas melakukan upaya penanggulangan. Setidaknya ada tiga upaya yang dilakukan, di antaranya upaya surveilans, terapeutik, dan vaksinasi.

Upaya surveilans dilakukan dengan memperluas penyelidikan epidemiologi dan penyiapan laboratorium pemeriksa. Terapeutik dengan memberikan terapi simtomatis, pemenuhan logistik antivirus khusus Mpox, serta pemantauan kondisi pasien.

Terakit vaksinasi, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR mengatakan bahwa pemerintah telah menyiapkan obat dan vaksin untuk penanganan kasus MPox. Setidaknya, dibutuhkan sekitar 6.000 dosis vaksin MPox. Jumlah ini merujuk pada perkiraan jumlah kasus MPox di Indonesia yang mencapai 1.500 kasus dengan rata-rata kontak erat sebanyak dua orang. Vaksin diberikan sebanyak dua dosis untuk setiap sasaran (“Penular Cacar Monyet Berisiko Terjadi Berkepanjangan”, Kompas, 7 November 2023).

Untuk sementara, ketersediaan vaksin Mpox sekitar 1.000 dosis. Pemberian itu diprioritaskan bagi kelompok paling berisiko dan kontak erat. Kelompok risiko utama dari penularan Mpox pada laki-laki yang berhubungan seks dengan sejenis. Kemenkes mengidentifikasi 477 orang yang akan jadi sasaran imunisasi Mpox.

Secara teknis, vaksin Mpox diberikan dalam dua dosis dengan interval empat minggu. Jenis vaksin Mpox yang digunakan saat ini merupakan vaksin impor yang diproduksi oleh Bavarian Nordic Denmark. Vaksin yang diberikan tersebut telah mendapatkan sertifikat pelulusan vaksin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) (“Ketersediaan Vaksin untuk Cacar Monyet Ditambah”, Kompas, 26 Oktober 2023).

Konsultan penyakit tropik dan infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), Robert Sinto, menyampaikan bahwa vaksin Mpox memang tidak bisa 100 persen untuk mencegah penularan Mpox. Namun, vaksin ini dapat menekan risiko perburukan serta menekan jumlah atau luas lesi yang bisa muncul akibat penularan. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku dan Jurnal
  • Kementerian Kesehatan. 2023. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Mpox (Monkeypox) 2023. Jakarta: Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI.
Arsip Kompas
  • “Ketidakadilan Dalam Cacar Monyet”, Kompas, 14 Juni 2022.
  • “Bersiaga Menghadapi Wabah Cacar Monyet”, Kompas, 13 Juli 2022.
  • “Cacar Monyet Jadi Wabah Global”, Kompas, 24 Juli 2022.
  • “Waspadai Cacar Monyet Sebelum Terlambat”, Kompas, 28 Juli 2022.
  • “Tentang Cacar Monyet”, Kompas, 2 Agustus 2022.
  • “Cacar Monyet di Indonesia”, Kompas, 21 Agustus 2022.
  • “Cacar Monyet Masih Mengintai”, Kompas, 19 Oktober 2023.
  • “Pelajaran Dari Cacar Monyet”, Kompas, 30 Oktober 2023.
  • “Mpox, Kesehatan Seksual, dan Cuaca Panas”, Kompas, 7 November 2023.
  • “Penularan Mpox Berisiko Terjadi Berkepanjangan”, Kompas, 7 November 2023.
  • “Penyebaran Global Cacar Monyet”, Kompas, 9 November 2023.
Internet

• “2022-23 Mpox (Monkeypox) Outbreak: Global Trends”, diakses dari worldhealthorg.shinyapps.io
• “Human monkeypox: history, presentations, transmission, epidemiology, diagnosis, treatment, and prevention”, diakses dari frontiersin.org
• “Emergence of Monkeypox as the Most Important Orthopoxvirus Infection in Humans”, diakses dari ncbi.nlm.nih.gov
• “Monkeypox”, diakses dari nejm.org
• “What You Need to Know About the History of Monkeypox”, diakses dari smithsonianmag.com
• “Monkeypox dilemma: How to warn gay men about risk without fueling hate”, diakses dari washingtonpost.com
• “Media coverage of monkeypox paints it as an African virus. That makes me mad”, diakses dari npr.org
• “Why the monkeypox outbreak is mostly affecting men who have sex with men”, diakses dari science.org

Artikel terkait