KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Acara adopsi hewan telantar, khususnya anjing dan kucing, di sebuah toko hewan di Kota Denpasar, Minggu (9/7/2023), menarik minat warga. Memelihara anjing atau hewan lainnya masih diminati meskipun Bali belum terbebas dari rabies.
Fakta Singkat
- Penyakit rabies disebabkan oleh virus rabies dengan genus Lyssavirus, dari keluarga Rhabdoviridae.
- Virus rabies bersifat neurotropic, menyerang sel-sel saraf dan memengaruhi struktur sistem saraf pusat hewan ataupun manusia.
- Rabies adalah penyakit kuno, sudah ada sejak sekitar abad ke-2 sebelum masehi.
- Di Indonesia, kasus rabies pada hewan pertama kali dilaporkan tahun 1884 pada seekor kuda di Bekasi, Jawa Barat. Sementara, kasus rabies pada manusia dilaporkan pertama kali pada tahun 1894 oleh dokter Eilerts de Haan, terdeteksi pada seorang anak di Desa Palimanan, Cirebon.
- Secara global, setiap tahun ada jutaan orang terpapar kasus rabies dan sekitar 59.000 orang meninggal akibat rabies, di mana sekitar 40 persen terjadi pada anak-anak berusia 15 tahun ke bawah.
- Di Indonesia, setiap tahun rata-rata ada lebih dari 80.000 kasus gigitan hewan rabies dan 68 kasus kematian akibat rabies.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, setidaknya enam dari sepuluh penyakit menular yang ada saat ini merupakan zoonosis. Bahkan, tiga perempat penyakit infeksi baru pada manusia bersumber dari patogen pada hewan yang menginfeksi manusia. Patogen yang ditularkan bisa berupa bakteri, virus, parasit, dan jamur.
Zoonosis adalah penyakit yang ditularkan dari hewan, baik hewan liar, hewan ternak, maupun domestik (hewan peliharaan), ke manusia. Di seluruh dunia, ada lebih dari 250 jenis hewan berpotensi menularkan penyakitnya ke manusia. Sementara di Indonesia, terdapat 132 spesies mikro-organisme patogen yang bersifat zoonotik.
Penularan zoonosis bisa melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan hewan tersebut. Kontak langsung misalnya, akibat paparan langsung dengan darah, saliva atau air liur, tinja, atau cairan tubuh lainnya dari hewan yang terinfeksi. Sedangkan penularan tidak langsung dapat terjadi akibat kontak dengan tanah, air, dan lumpur yang sudah terkontaminasi patogen. Patogen dapat masuk ke dalam tubuh melalui selaput lendir, mata, atau bekas luka.
Sebagian penyakit itu telah beredar secara alami di lingkungan selama bertahun-tahun. Akan tetapi sebagian besar penyakit zoonosis muncul karena disebabkan oleh faktor lingkungan. Pembentukannya dipicu oleh aktivitas manusia dan interaksi dengan alam, seperti perambahan hutan, perubahan tata guna lahan untuk pertanian, industri, dan pemukiman akibat tekanan penduduk, konsumsi satwa liar, dan urbanisasi.
Di Indonesia, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan pada tahun 2019 menyebut ada 15 zoonosis prioritas, yakni: flu burung, rabies, antraks, brucellosis, leptospirosis, JE, bovine tuberculosis, salmonellosis, schistosomiasis, Q fever, campylobateriosis, trichinellosis, paratuberculosis, toksoplasmosis, dan cysticercosis (Kompas, 27/8/2020).
Dalam beberapa bulan terakhir, salah satu dari zoonosis prioritas tersebut, yakni rabies kembali menjadi sorotan di Indonesia. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, pada Jumat (2/6/2023) mengumumkan, sepanjang bulan Januari-April 2023 sudah ada 31.113 kasus gigitan hewan penular rabies. Sekitar 95 persen kasus gigitan tersebut disebabkan oleh gigitan anjing. Kasus ini diperkirakan akan terus meningkat.
Kasus gigitan hewan rabies tidak bisa dipandang sebelah mata, dampaknya bisa fatal, menyebabkan kematian. Kompas, (29/6/2023), memberitakan selama periode Januari-Juni 2023, sebanyak 13 warga Nusa Tenggara Timur meninggal digigit anjing rabies. Sebanyak 6 orang di Timor Tengah Selatan (TTS), Ende dan Manggarai Timur masing-masing 2 orang, dan Kabupaten Sikka 1 orang. Kebanyakan korban gigitan anjing adalah anak-anak dan warga usia produktif.
Kasus kematian akibat rabies juga terjadi Kalimantan Tengah dan Bali. Di Kalimantan Tengah, hingga Juni terdapat 3 kasus meninggal, yakni 2 di Barito Selatan dan 1 orang di Barito Timur (Kompas, 27/6/2023). Sementara di Bali, sampai dengan awal Juli tercatat 4 kasus meninggal. Empat kasus meninggal akibat infeksi rabies tahun ini terjadi di Kabupaten Jembrana sebanyak 2 kasus, di Kabupaten Buleleng terdapat 1 kasus, dan di Kabupaten Badung sebanyak 1 kasus (Kompas, 1/7/2023).
Penyakit rabies harus diwaspadai. Penyebaran virus rabies harus segera dihentikan sebelum meluas dan semakin banyak menimbulkan korban.
STEPHANUS ARANDITIO
Seorang dokter hewan dari Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (DKPKP) DKI Jakarta, menunjukkan vaksin rabies tunggal inaktif saat berlangsung kegiatan vaksinasi rabies bagi hewan yang diselenggarakan di Taman Pasar Ciplak, Karet Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (30/5/2023).
Apa itu Rabies?
Asal-usul kata rabies adalah dari bahasa Latin “rabere” yang artinya “mengamuk” atau bahasa Sansekerta “rabhas”, artinya “melakukan kekerasan”. Orang Yunani kuno menyebut rabies “lyssa” atau “kekerasan”.
Merujuk Buku Saku Rabies: Petunjuk Teknis Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies di Indonesia, penyakit ini disebabkan oleh virus rabies dengan genus Lyssavirus, dari keluarga Rhabdoviridae. Virus ini bersifat neurotropic, menyerang sel-sel saraf dan memengaruhi struktur sistem saraf pusat hewan ataupun manusia.
Rabies dapat menyerang semua mamalia dan hewan berdarah panas. Hewan dapat terinfeksi rabies melalui paparan lingkungan yang terkontaminasi oleh lendir atau air liur hewan yang terinfeksi. Pada hewan yang terinfeksi rabies gejala klinis yang dapat diamati biasanya terlihat dari adanya perubahan perilaku, seperti tidak menurut, tidak mampu menelan, mulut terbuka dan air liur keluar secara berlebihan.
Hewan juga dapat berubah menjadi agresif dan menyerang tanpa provokasi (rabies ganas) atau berubah menjadi lumpuh dan kesulitan berjalan karena paralisis sebagian maupun total (rabies paralisis). Namun, ada pula beberapa hewan terinfeksi yang tidak memperlihatkan gejala sakit dan tiba-tiba mati.
Virus rabies biasanya terdapat dalam air liur dan saraf otak hewan yang terinfeksi rabies. Virus rabies dapat dipindahkan ke manusia. Penularannya pada manusia terjadi melalui gigitan dan non gigitan, seperti goresan cakaran atau jilatan pada kulit terbuka atau mukosa oleh hewan yang terinfeksi. Gigitan dari hewan yang terinfeksi adalah rute yang paling umum dan sering terjadi dalam penularan rabies terhadap manusia.
Hewan yang berisiko tinggi tinggi untuk menularkan rabies umumnya adalah hewan liar, seperti rubah, musang, kera, kelelawar, dan anjing liar. Tetapi, hewan peliharaan seperti anjing dan kucing juga bisa membawa virus rabies apabila kontak dengan hewan liar yang terinfeksi.
Pada manusia, virus yang masuk ke dalam tubuh akan berjalan menuju susunan saraf pusat melalui saraf perifer tanpa ada gejala klinis. Gejala klinis biasanya baru muncul setelah virus mencapai otak, menyebar ke seluruh sel-sel saraf otak. Virus ini akan menyerang hampir tiap organ dan jaringan di dalam tubuh.
Masa inkubasi rabies sangat bervariasi mulai dari 2 minggu sampai 2 tahun, tetapi pada umumnya 3-8 minggu. Menurut WHO, masa inkubasi rata-rata adalah 30-90 hari. Perbedaan lama inkubasi tersebut bisa tergantung pada jumlah virus yang masuk, luasnya kerusakan jaringan tempat gigitan, jauh dekatnya lokasi gigitan dengan sistem saraf pusat, hingga sistem kekebalan tubuh yang dimiliki.
Gejala awal rabies yang timbul pada manusia adalah demam, lemas, lesu, tidak napsu makan, insomnia, sakit kepala hebat, sakit tenggorokan, dan sering mengalami nyeri. Gejala lanjutannya, berupa rasa kesemutan dan rasa panas di lokasi gigitan, cemas, serta mulai timbul fobia, yaitu hidrofobia (takut pada air) dan fotofobia (takut pada cahaya).
Saat virus menyebar ke sistem saraf pusat, akan terjadi peradangan cepat dan fatal pada otak dan sumsum tulang belakang. Di otak, virus bereplikasi lebih lanjut menghasilkan gejala klinis. Merujuk WHO, ada dua manifestasi klinis rabies, yakni rabies ganas dan rabies paralitik. Rabies ganas merupakan kasus yang paling umum. Menyebabkan hiperaktif, perilaku bersemangat, halusinasi, kurangnya koordinasi, hidrofobia (takut air) dan aerofobia (takut angin atau udara segar). Kematian terjadi setelah beberapa hari karena henti jantung-pernapasan.
Sedangkan rabies paralitik menyumbang sekitar 20 persen dari jumlah total kasus manusia. Bentuk rabies ini tidak terlalu dramatis dan biasanya lebih lama daripada bentuk ganasnya. Otot berangsur-angsur menjadi lumpuh, mulai dari lokasi luka. Koma perlahan berkembang dan akhirnya kematian terjadi.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Warga menggendong anjing peliharaannya untuk mendapatkan vaksin Rabies di Kelurahan Petukangan Selatan, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Rabu (12/10/2022).
Situasi Dunia
Rabies merupakan penyakit kuno. Catatan tertulis pertama tentang rabies ada dalam Mesopotamia Codex of Eshnunna, sekitar abad ke-2 sebelum masehi. Penyakit ini dikenal menakutkan karena menyebabkan penderita tersiksa dan berakhir dengan kematian. Aturan di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Irak itu menyatakan, jika ada anjing yang memperlihatkan gejala rabies, pemiliknya harus mengambil tindakan pencegahan. Jika ada orang digigit anjing gila dan meninggal, pemiliknya didenda berat.
Menurut WHO, hingga saat ini rabies masih menjadi masalah kesehatan global dan bersifat endemis hampir di seluruh benua di dunia, kecuali Antartika. Penyakit ini telah menjangkiti lebih dari 150 negara, terutama di negara berkembang. Bahkan, rabies tercatat sebagai penyebab kematian kelima terbesar setelah AIDS, tuberkolosis (TB), hepatitis A dan B.
Setiap tahun ada jutaan orang terpapar kasus rabies dan sekitar 59.000 orang meninggal akibat rabies. Lebih dari 99 persen kematian disebabkan oleh virus rabies yang ditularkan oleh anjing yang terinfeksi atau dikenal sebagai anjing gila. Angka ini pun diperkirakan belum menunjukan jumlah sebenarnya. Baik angka insidensi maupun angka mortalitas, diperkirakan lebih besar dari data yang terlaporkan karena data terkait rabies sangat minim, tidak terlaporkannya kasus, dan berbagai faktor lainnya.
Rabies termasuk salah satu dari penyakit tropik yang terabaikan (neglected tropical diseases/NTD). Konsentrasi kasus rabies banyak terjadi pada populasi rentan, tingkat ekonomi rendah, dan daerah pedalaman. Beban terbesar jatuh pada orang termiskin yang juga sering bergantung pada hewan pekerja dan ternak untuk makanan dan pendapatan. Pada tahun 2020, rabies terutama menyerang masyarakat miskin dan terpinggirkan di Afrika dan Asia, memikul 95 persen dari kematian, di mana sekitar 40 persen terjadi pada anak-anak berusia 15 tahun ke bawah.
Situasi Indonesia
Rabies juga masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Pada 2023, Kementerian kesehatan RI resmi mengumumkan bahwa dua daerah telah melaporkan kejadian luar biasa (KLB) rabies, yakni Kabupaten Sikka dan Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.
Merujuk Buku Ajar Zoonosis: Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia, kejadian luar biasa rabies bukan hal baru di Indonesia. Sebelumnya, rabies diketahui sudah beberapa kali menyebabkan kejadian luar biasa (KLB). Pada tahun 1997, KLB terjadi di Nusat Tenggara Timur. Kemudian pada 2005, KLB terjadi di provinsi Maluku, Maluku Utara, dan Kalimantan Barat. Selanjutnya, di Banten pada tahun 2007, Pulau Bali pada tahun 2008, Nias pada 2010, Pulau Larat, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, serta Pulau Kisar dan Daweloor, Kabupaten Maluku Barat Daya pada tahun 2012, Kalimantan Barat pada tahun 2014, dan Nusa Tenggara Barat pada 2019.
Di sejumlah wilayah seperti Pulau Bali dan Flores, rabies bahkan menjadi masalah klasik yang tak kunjung tuntas. Di Bali, hingga hari ini rabies sudah berjangkit selama 15 tahun sejak kasus pertama dikonfirmasi pada tahun 2008. Sedangkan di Flores, rabies sudah berjangkit selama 26 tahun sejak kasus pertama dilaporkan pada 1997.
Grafik:
Penyakit rabies sudah terdeksi di Indonesia sejak masa Hindia Belanda. Kasus rabies pertama kali dilaporkan oleh Schrol tahun 1884 pada seekor kuda di Bekasi, Jawa Barat. Di wilayah yang sama, kasus rabies pada kerbau dilaporkan tahun 1889 oleh Esser. Setahun kemudian, rabies pada anjing dilaporkan oleh Penning di Tangerang.
Adapaun kasus rabies pada manusia dilaporkan pertama kali pada tahun 1894 oleh dokter Eilerts de Haan, terdeteksi pada seorang anak di Desa Palimanan, Cirebon. Selanjutnya, rabies dilaporkan menyebar ke beberapa daerah lainnya.
Saat itu, rabies merupakan penyakit yang cukup meresahkan masyarakat. Budi Gustaman dalam artikel jurnal berjudul “Kesejahteraan Anjing Dalam Pemberantasan Wabah Rabies di Hindia Belanda” mengungkapkan, untuk mencegah rabies pemerintah kolonial membuat regulasi terkait legalitas kepemilikan anjing yang disertai pemenuhan kebersihannya.
Setiap ekor anjing dipungut pajak sekitar f 1 per tahun dan diharuskan menggunakan medali di lehernya sebagai penanda bagi anjing-anjing yang terpantau kebersihannya. Sementara itu, anjing-anjing yang berkeliaran tanpa medali akan ditangkap oleh polisi ataupun dibunuh apabila susah dalam menangkapnya.
Hingga hari ini, rabies belum berhasil dieliminasi dari Indonesia. Penyakit ini pun masih menjadi persoalan di beberapa daerah. Menurut Kemenkes, saat ini ada 26 provinsi yang menjadi endemis rabies. Artinya, sudah 129 tahun rabies berjangkit di Indonesia sejak kasus rabies pada manusia pertama kali dilaporkan.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Imran Pambudi, saat konferensi pers daring melalui kanal YouTube Kementerian Kesehatan, Jumat (2/6/2023), menyebutkan bahwa rabies merupakan tantangan besar di Indonesia, setiap tahun rata-rata ada lebih dari 80.000 kasus gigitan hewan rabies dan 68 kasus kematian akibat rabies.
Grafik:
Dalam tiga tahun terakhir, kasus gigitan hewan penular rabies terbilang cukup tinggi, yakni 82.634 kasus pada 2020, kemudian 57.257 kasus pada 2021, dan 104.229 kasus pada 2022. Sementara itu, kasus kematian karena rabies tercatat terus mengalami peningkatan. Pada 2020, tercatat 40 kasus, pada 2021 sebanyak 62, dan pada 2022 terdapat 102 kasus. Sedangkan pada 2023, hingga April, tercatat sudah terdapat 31.113 kasus gigitan hewan penular rabies dan 11 kasus kematian karena rabies. Sebanyak 95 persen kasus rabies tersebut disebabkan oleh gigitan anjing.
Peningkatan kasus tersebut diperkirakan ada hubungannya dengan situasi pandemi Covid-19. Pada awal pandemi, sebagian besar pelaksanaan vaksinasi rabies pada hewan berhenti. Namun, mobilitas manusia yang juga terbatas membuat risiko paparan dari hewan yang terinfeksi kepada manusia menjadi kecil.
Akan tetapi, setelah kasus penularan Covid-19 mulai melandai. Berbagai aktivitas sudah dilakukan seperti biasa. Potensi manusia bersinggungan dengan hewan liar yang tidak tervaksinasi dan terinfeksi rabies pun menjadi tinggi. Akibatnya, risiko penularan menjadi tinggi.
Grafik:
Provinsi yang tercatat dengan kasus rabies tertinggi adalah Bali dengan jumlah 14.827 kasus rabies. Diikuti Nusa Tenggara Timur dengan 3.437 laporan kasus rabies, Sulawesi Selatan 2.338 kasus rabies Kalimantan Barat, dan Sumatera Barat 1.171 kasus.
Di sisi lain, ada 11 provinsi bebas rabies, yakni Kepulauan Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Papua Barat, Papua, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan. Dan, 8 pulau bebas rabies, antara lain Pulau Tabuan dan Pulau Pisang di Lampung, Pulau Meranti di Riau, Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat, Kepulauan Sintaro di Sulawesi Selatan, Pulau Nunukan, Pulau Batik, dan Pulau Tarakan di Kalimantan Utara.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Seekor kucing ras campuran disuntik rabies dalam kegiatan vaksinasi rabies gratis yang dilaksanakan oleh Suku Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian Kota Administasi Jakarta Barat (27/7/2022).
Dampak merugikan
Rabies tidak hanya menimbulkan kematian, namun secara ekonomi juga dapat menimbulkan kerugian. Menurut dokumen Masterplan Nasional Pemberantasan Rabies di Indonesia, secara global, beban ekonomi rabies diperkirakan mencapai 8,6 miliar dollar AS per tahun atau setara dengan Rp 129 triliun.
Perkiraan ini dihitung berdasarkan beban dari penyakit tersebut, yakni kematian, biaya perawatan rumah sakit, obat-obatan (terutama vaksin antirabies), serta kerugian ekonomi akibat tidak bisa berkegiatan. Kerugian ekonomi lain adalah biaya pengendalian dan pemberantasan rabies.
Sementara di Indonesia, sejauh ini belum ada studi yang mendokumentasikan kerugian ekonomi rabies secara menyeluruh. Studi ilmiah tentang kerugian ekonomi yang disebabkan wabah rabies hanya terdapat di beberapa wilayah, yaitu di Nusa Tenggara Timur dan Bali. Dari hasil studi yang dilakukan di Nusa Tenggara Timur (NTT), kerugian ekonomi secara langsung berdasarkan data yang diperoleh pada tahun 1998-2007 diperkirakan mencapai 14,2 miliar rupiah per tahun.
Sedangkan di Bali sejak tahun 2008-2011 dari hasil studi yang dilakukan oleh Royal Veterinary College (RVC) dan Universitas Glasgow, diperkirakan kerugian ekonomi yang disebabkan mencapai 17 juta dollar AS atau setara dengan 230 miliar rupiah.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Pencegahan Penyakit Rabies Petugas satuan polisi pamong praja mengamankan anak anjing dan kucing dari pedagang di Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat, Kamis (9/4/2015). Razia oleh Suku Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan Jakarta Pusat terhadap anjing dan kucing yang diperdagangkan itu bertujuan mencegah penularan penyakit rabies.
Pencegahan dan Pengendalian
Walaupun rabies merupakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian ketika gejalanya sudah muncul, namun rabies adalah penyakit yang dapat disembuhkan jika mendapatkan penanganan dengan cepat, rabies juga bisa dicegah. Korban meninggal akibat rabies terus terjadi karena penyakit ini masih belum ditangani dengan baik, kesadaran masyarakat yang masih rendah, pengendalian rabies pada anjing yang belum optimal, dan keterbatasan akses terhadap penanganan pasca gigitan, seperti vaksin antirabies (VAR) dan serum antirabies (SAR).
Merujuk kembali Buku Saku Rabies: Petunjuk Teknis Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies di Indonesia, tindakan awal yang harus dilakukan setelah mendapat gigitan atau terkena air liur hewan yang terinfeksi, yaitu segera membilas dan mencuci luka gigitan atau cakaran secara menyeluruh minimal 15 menit dengan sabun dan air, kemudian diberi antiseptik seperti alkohol 70 persen, povidone iodine, atau zat lain untuk menghilangkan dan membunuh virus rabies.
Setelah itu, segera bawa ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk dilakukan vaksinasi antirabies yang memenuhi standar WHO serta serum antirabies atau imunoglobulin rabies sesuai dengan kategori luka gigitan. Pada luka risiko rendah hanya diberikan VAR. Sedangkan pada luka risiko tinggi harus diberikan VAR dan SAR. SAR adalah fraksi plasma imunoglobulin G (IgG) dari donor manusia yang telah mendapat beberapa dosis vaksin rabies dan memiliki antibodi antirabies yang tinggi.
Adapun untuk pencegahan, upaya paling efektif untuk mencegah penyakit rabies pada manusia ialah mencegah dari sumber penularan pada hewan yang berisiko. Setiap hewan yang berisiko menularkan rabies harus divaksinasi, terutama anjing-anjing liar. Tujuan utama dari vaksinasi adalah melakukan pengebalan pada hewan rentan di suatu populasi sehingga terbentuk kekebaan kelompok dengan maksud untuk mengurangi laju infeksi di dalam populasi rentan tersebut.
Vaksinasi massal hewan dinilai menjadi cara yang paling efektif mengendalikan rabies. Vaksinasi pada hewan pun lebih murah daripada mengobati manusia untuk rabies. Merujuk laman United Against Rabies, biaya rata-rata untuk pengobatan rabies pada manusia secara penuh adalah sekitar 108 dolar AS atau setara 1,6 juta rupiah, sedangkan vaksinasi anjing rata-rata hanya sekitar 4 dolar AS atau sekitar 60 ribu rupiah.
Secara umum, cakupan vaksinasi yang direkomendasikan minimal 70 persen dari populasi dan menggunakan vaksin dengan kualitas tinggi dan menimbulkan kekebalan jangka panjang. Melalui vaksinasi massal, rabies yang disebabkan oleh hewan, terutama oleh anjing telah dieliminasi dari Eropa Barat, Kanada, Amerika Serikat, Jepang, dan beberapa negara Amerika Latin (Kompas, 28/9/2023).
Grafik:
Sedangkan di Indonesia, menurut Kemenkes rata-rata cakupan vaksinasi masih sekitar 40 persen. Cakupan vaksin yang masih rendah itu disebabkan oleh berbagai kendala, seperti populasi anjing yang dinamis, lalu lintas hewan antar provinsi atau antar negara masih tinggi, serta konsumsi daging anjing.
Vaksinasi juga terkendala ketiadaan data pasti populasi anjing maupun hewan penular rabies. Selain itu, keberadaan anjing yang dilepasliarkan juga menyulitkan vaksinasi. Kondisi itu juga menghambat pengawasan lalu lintas hewan hingga pengendalian populasi.
Pada 2023, Kementerian Kesehatan telah menyediakan 241.700 vial vaksin rabies dan 1.650 vial serum antirabies. Dari jumlah tersebut, sebanyak 227.000 vial vaksin dan 1.550 vial serum di antaranya sudah didistribusikan ke provinsi.
Tiga organisasi global, yaitu Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) sejak tahun 2016 membuat kesepakatan membuat dunia bebas rabies tahun 2030. Rabies pun masuk dalam peta jalan WHO 2021-2030. Indonesia juga ikut dalam upaya bebas rabies tersebut.
Menurut dokumen Masterplan Nasional Pemberantasan Rabies di Indonesia yang disusun Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian bersama Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID), dan Perlindungan Hewan Dunia (WAP), rabies menjadi salah satu penyakit prioritas nasional. Targetnya, Indonesia bebas rabies pada 2030 melalui Program Pemberantasan Rabies Bertahap Seluruh Indonesia (PrestasIndonesia).
Pelaksanaan program pengendalian dan penanggulangan rabies menuju Indonesia bebas rabies 2030 dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan situasi dan kondisi rabies di daerah (pendekatan zona) serta bagaimana sumber daya yang ada di daerah tersebut (pendekatan tahapan). Adapun strategi yang digunakan ada dua, yakni strategi umum dan strategi teknis.
Strategi umum meliputi Tata Laksana Gigitan Terpadu, Komunikasi, Informasi, Edukasi, Dukungan Regulasi, serta Keterlibatan Masyarakat.
Sementara strategi teknis diantaranya vaksinasi, surveilans dan analisa epidemiologi, evaluasi diagnostik, respon cepat dan penanganan hewan suspek, pengawasan lalu lintas hewan, dan manajemen populasi hewan anjing.
Memberantas rabies bukan hal mustahil apabila ada komitmen yang berkelanjutan secara multipihak untuk menanggulangi rabies. Beberapa negara telah menunjukan keberhasilan mengurangi jumlah kasus penyakit ini secara signifikan dan berhasil mengeliminasi virus rabies dari wilayahnya. (LITBANG KOMPAS)
Artikel terkait
Referensi
- I Wayan Suardana. 2015. Buku Ajar Zoonosis: Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
- Budi Gustaman. “Kesejahteraan anjing dalam pemberantasan wabah rabies di Hindia Belanda.” Metahumaniora9, no. 3: hlm. 357-365.
- Master Plan Pemberantasan Rabies di Indonesia. Diakses dari Pertanian.go.id
- Buku Saku Rabies: Petunjuk Teknis Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies di Indonesia. Diakses dari Kemenkes.go.id
- “Memberantas Rabies”, Kompas, 10 September 2018.
- “Vaksinasi Menjadi Kunci Penyelamatan”, Kompas, 28 September 2020.
- “Kasus Kematian Masih Terjadi, NTT Disebut Darurat Rabies”, Kompas, 31 Mei 2023.
- “Gigitan Anjing Gila yang Mengancam Jiwa”, Kompas, 7 Juni 2023.
- “Penanganan Cepat Tingkatkan Keselamatan Pasien Rabies”, Kompas, 17 Juni 2023.
- “Risiko Gigitan Anjing Meningkat Saat Cuaca Panas”, Kompas, 18 Juni 2023.
- “Kader Siaga Rabies Dibentuk”, Kompas, 26 Juni 2023.
- “Lagi, Satu Kasus Kematian Diduga karena Rabies di Kalimantan Tengah”, Kompas, 27 Juni 2023.
- “13 Warga NTT Meninggal Digigit Anjing Rabies Periode Januari-Juni 2023”, Kompas, 29 Juni 2023.
- “Empat Orang Tewas akibat Rabies di Bali”, Kompas, 1 Juli 2023.
• Endrabiesnow.org
• Rabiesalliance.org
• Unitedagainstrabies.org