Paparan Topik

Metode Penentuan Awal Ramadhan di Indonesia

Penetapan awal Ramadhan di Indonesia selalu dinanti. Perbedaan metode menjadi penyebabnya. Metode hisab dipegang Muhammadiyah sementara metode rukyatul hilal dipegang Nahdlatul Ulama. Pemerintah berusaha untuk menyatukan keduanya dengan aliran imkanur rukyat.

(KOMPAS/Ferganata Indra Riatmoko)

Petugas memantau hilal dari tempat wisata Heha Sky View, Patuk, Gunung Kidul, DI Yogyakarta (11/5/2021)

Fakta Singkat

Metode rukyah fi wilayatil hukmi
Meneropong langsung hilal digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dalam menentukan awal Ramadhan.

Metode Hisab
Penentuan awal atau akhir bulan berdasarkan perhitungan astronomi atau ilmu falak. Metode ini dilakukan oleh Muhammadiyah.

Imkanur Rukyat
Imkanur rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan menteri-menteri Agama Brunei Darusssalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS). Penerapkan batas minimal hilal bisa dilihat. Metode ini diperoleh dengan memadukan data hasil rukyat jangka panjang yang didukung oleh data hisab.

Jelang memasuki bulan Ramadhan, masyarakat Indonesia selalu bertanya-tanya kapan pastinya tanggal 1 Ramadhan. Belum adanya kesepakatan (ijma’) dalam metode penetapannya sering kali membuat perbedaan dalam memulai puasa Ramadhan dan mengakhirinya.

Upaya penyatuan dalam menentukan awal bulan Hijriah sudah dilakukan oleh berbagai pihak, baik para astronom, peneliti ilmu falak, maupun tokoh-tokoh agama. Namun, upaya penyatuan itu masih sulit dilakukan karena setiap kelompok berpegang teguh pada kriteria yang dianutnya.

Organisasi Nahdlatul Ulama (NU) memahami rukyah harus dengan benar-benar melihat (aliran rukyat). Sementara, organisasi Muhammadiyah memahami bahwa rukyah cukup dengan memperhitungkan (aliran hisab). Bahkan, di Indonesia terdapat banyak aliran lain yang berbeda dalam menentukan awal Ramadhan juga akibat perbedaan pemahaman hadis hisab rukyah. Rujukan utamanya, yaitu hadits Nabi Muhammad SAW seperti diriwayatkan al-Bukhari yang berbunyi, ”Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal, bila tertutup oleh awan maka sempurnakanlah bilangan Syakban jadi 30 hari” (HR Bukhari-Muslim).

Hisab sendiri dalam arti luas dapat diterjemahkan sebagai sebuah metode atau sistem perhitungan yang diperoleh dari penalaran analitik maupun empiris. Sedangkan rukyat dapat diterjemahkan sebagai sebuah pengamatan sistematik yang didasarkan atas data yang ada.

Perhitungan bulan dalam Islam didasarkan pada posisi relatif bulan terhadap matahari jika dilihat dari bumi. Awal bulan terjadi saat posisi bulan secara relatif mulai menjauh dari matahari, sementara pertengahan bulan atau bulan purnama terjadi ketika posisi bulan secara relatif mencapai jarak terjauh dari matahari sebelum kembali lagi mendekat menuju akhir bulan.

Penentuan awal hari atau pergantian tanggal dilakukan pada saat matahari terbenam karena pada saat itulah bulan mulai dapat dilihat secara visual. Demikian juga penentuan awal atau akhir bulan. Menjelang akhir bulan, bulan sama sekali tidak terlihat secara visual karena posisinya ada di bawah matahari. Sehingga, saat bulan mulai terlihat setelah hari sebelumnya tidak terlihat, hal itu menandakan bulan sudah berganti.

Perkembangan Sejarah Hisab Rukyah di Indonesia

Pada pertengahan abad kedua puluh, Kairo, Mesir menjadi wilayah di mana kajian Islam berkembang pesat termasuk di dalamnya kajian hisab rukyah. Melalui jaringan ulama, kajian Islam dibawa masuk ke Indonesia. Sehingga segala pemikiran hisab rukyah di Jazirah Arab seperti di Mesir, sangat berpengaruh dalam pemikiran hisab rukyah di Indonesia. Begitu juga beberapa kitab hisab rukyah yang berkembang di Indonesia, banyak di antaranya merupakan hasil cangkokan dari kitab karya ulama Mesir, seperti al-Mathla’al-Said ala Rasdi al-Jadid.

Sebelum ditetapkan sebagai kalender Hijriah, masyarakat Arab dan umat Islam pada masa Nabi Muhammad telah menggunakan sistem ini, tetapi belum dibakukan.

Baru pada masa Khalifah Umar bin Khattab, sistem penanggalan itu dibakukan. Titik awal yang dipakai adalah masa hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah, bertepatan dengan tahun 622 Masehi. Sehingga, tahun kalender Islam disebut tahun Hijriah.

Pemetaan sejarah Islam di Indonesia, menurut Karel A. Steenbrink, terbagi pada dua periode yang harus mendapat perhatian khusus, yaitu periode masuknya Islam di Indonesia dan periode zaman reformisme abad keduapuluhan.

Sejarah mencatat bahwa sebelum kedatangan agama Islam di Indonesia telah tumbuh perhitungan tahun yang ditempuh menurut kalender Jawa Hindu atau tahun Saka berdasarkan peredaran matahari. Namun, sejak tahun 1043 H/1633 M, tahun Saka diasimilasikan dengan Hijriyah yang mendasarkan pada peredaran bulan, sedangkan tahunnya tetap meneruskan tahun Saka tersebut. Setelah era kolonialisme Belanda, terjadi pergeseran penggunaan kalender dari Hijriyah diubah menjadi kalender Masehi. Meskipun demikian, umat Islam tetap menggunakan kalender Hijriyah, terutama daerah kerajaan-kerajaan Islam. Tindakan ini tidak dilarang oleh pemerintah kolonial bahkan penetapannya diserahkan kepada penguasa kerajaan-kerajaan Islam yang masih ada, terutama khususnya penetapan awal Ramadhan.

Pada masa itu, kitab-kitab ilmu hisab yang banyak digunakan di pondok-pondok pesantren di Jawa dan Sumatera merupakan karangan para ahli hisab, seperti Nawawi Mahammad Yunus al-Kadiri dengan karya Risalah Qamarain atau langsung menggunakan ahli hisab dari Mesir, seperti al-Matha’ul Said fi Hisabil Kawakib ala Rasydil Jadid karya Syeh Hussain Zaid al-Misra.

Setelah Indonesia Merdeka, pemerintah membentuk Departemen Agama pada tanggal 2 Januari 1946. Akibatnya, urusan penentuan penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah diserahkan kepada Departemen Agama. Hal ini dipertegas dengan keluarnya Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1967, Nomor 148 Tahun 1968, dan Nomor 10 Tahun 1971.

Kendati penetapan hari libur telah diserahkan pada Departemen Agama, namun dalam prakteknya belum ada keseragaman karena perbedaan pemahaman dalam metode hisab rukyah. Pada musyawarah penentuan 1 Ramadahan 1391 H tepatnya tanggal  12 Oktober 1971, para ahli hisab rukyat yang hadir mendesak Departemen Agama untuk segera membentuk Lembaga Hisab dan Rukyat (BHR). Badan Hisab Rukyah akhirnya dibentuk Departemen Agama pada tanggal 16 Agustus 1972. Setelah itu, pada tahun-tahun berikutnya BHR rutin mengadakan musyawarah untuk membahas penetapan awal-awal bulan kamariah (Ramadan, Syawal, dan Zulhijah).

Pada tanggal 9–11 Juli 1974, diadakan musyawarah hisab dan rukyat antarnegara Malaysia, Singapura, dan Indonesia di Jakarta. Musyawarah ini menghasilkan keputusan penting, yaitu adanya kerja sama antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura dalam bidang hisab dan rukyat.

(KOMPAS/Fransiskus Pati Herin)

Pemantauan Hilal sebagai penanda awal Ramadhan dilakukan di Desa Hitu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku (5/6/2016). Pemantuan itu dilakukan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Geofisika Ambon bekerja sama dengan Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Maluku.

Metode Rukyatul Hilal NU

Pengertian rukyatul hilal bagi NU adalah pengamatan dengan kepala terhadap penampakan bulan sabit sesaaat setelah matahari terbenam di hari telah terjadinya ijtima’ (konjungsi). Penampakan bulan sabit pada awal bulan harus terlihat oleh mata. Penampakan bulan sabit (dzuhur al-hilāl) menjadi tanda datangnya bulan baru. Bidang sosial kemasyarakatan NU menjadi lembaga yang bertanggung jawab dalam  penetapan awal bulan Kamaraiah,

Tidak kurang dari 23 hadis tentang rukyat, yaitu hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim, Abu Daud, at-Timidzi, anNasa’i, Ibnu Majah, Imam Malik, Ahmad bin Hanbal, ad-Darimi, Ibnu Hibban, al-Hakim, ad-Daruqutni, al-Baihaqi, dan lain-lain. Semuanya dijadikan dasar oleh NU untuk penentuan awal bulan Kamariah.

Metode Hisab Muhammadiyah

Bagi Muhammadiyah, petanda datangnya bulan baru atau awal bulan Kamariah wujudnya adalah keberadaan hilal atau dapat diketahui, baik melalui rukyat maupun hisab atau melalui keduanya sekaligus.

Hisab yang dimaksud dan digunakan untuk penentuan awal bulan baru Kamariah di lingkungan Muhammadiyah adalah hisab hakiki wujūd alhilāl. Dalam hisab hakiki wujūd al-hilāl, bulan baru Kamariah dimulai apabila terpenuhi tiga kriteria, yakni telah terjadi ijtimak, ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat terbenamnya matahari piringan atas bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud).

Ketiga kriteria ini penggunaannya adalah secara kumulatif, dalam arti ketiganya harus terpenuhi sekaligus. Jika salah satu tidak terpenuhi, bulan baru belum dimulai.

Majlis Tarjih dan Tajdid menjadi badan yang memiliki otoritas dalam pengeluaran fatwa khususnya yang berkaitan dengan permasalahan puasa dan penetapan awal bulan Kamariah.

Metode Imkanur Rukyat

Metode Imkanur rukyat berarti melihat kemungkinan hilal. Imkanur rukyat sering juga disebut sebagai “visibilitas hilal”. Hingga kini kriteria imkanur rukyat di Indonesia masih mengikuti kriteria kesepakatan MABIMS (Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).

MABIMS sendiri adalah pertemuan tahunan menteri-menteri agama atau menteri yang bertanggung jawab dalam urusan masalah agama keempat negara tersebut. Bentuk kesepakatan ini untuk menjaga kemaslahatan dan kepentingan umat tanpa mencampuri hal-hal yang bersifat politik negara anggota. Pertemuan diadakan dua tahun sekali.

Kriteria MABIMS, yakni tinggi hilal minimal 2°, dan jarak sudut matahari dan bulan 3°, atau umur bulan minimal 8 jam. Menurut hisab imkanur rukyat, apabila hilal tidak mungkin terlihat, namun ada kesaksian telah melihat hilal dan mereka telah disumpah, penetapan puasa, Idul Fitri, dan Idul Adha berdasarkan kesaksian tersebut. Kriteria ini ditetapkan pertama kali pada tahun 1998.

Penyatuan

Sebelum 2000-an, NU sering mendahului penetapan Idul Fitri versi pemerintah. Hal ini disebabkan rukyat menggunakan data yang bersumber dari kitab-kitab lama dengan data posisi bulan yang belum diperbaharui.

Barulah setelah tahun 2000-an, hasil hisab dengan kriteria terbentuknya hilal mengikuti keputusan pemerintah. Model hisab ini memang tidak mensyaratkan hilal untuk bisa dilihat, tetapi jika sudah terbentuk, dianggap sudah berganti bulan.

Pemerintah mengambil jalan tengah dengan memadukan ilmu astronomi dengan metode penentuan awal bulan yang digunakan selama ini, baik hisab maupun rukyat. Kriteria awal bulan hijriah milik pemerintah pun terus diperbarui agar sesuai dengan kaidah astronomi modern. Hasilnya, mulai tahun 2022, pemerintah sepakat menggunakan kriteria MABIMS baru yang dianggap memiliki dasar astronomis lebih kuat dibandingkan dengan kriteria MABIMS lama.

Upaya penyatuan tersebut dilakukan pemerintah dibantu oleh astronom, ahli ilmu falak, dan peneliti lembaga pemerintah ataupun ormas madani di bidang hisab dan rukyat. Langkah ini mulai membuahkan hasil. NU kini menerima kriteria kemungkinan hilal terlihat MABIMS baru meski NU menerimanya dengan catatan terkait syarat jarak sudut Bulan dan Matahari.

Muhammadiyah mulai menggunakan kriteria Kalender Islam Global (KIG) Turki 2016 meski belum resmi digunakan. Ini adalah langkah maju karena KIG sudah mensyaratkan adanya ketinggian dan elongasi hilal tertentu, tidak sekadar asal hilal terbentuk.

Meski lambat, capaian upaya penyatuan sistem kalender Islam yang dilakukan pemerintah dan ormas Islam tetap perlu diapresiasi. Penyelarasan sains modern dengan kaidah keagamaan dalam penentuan kalender hijriah memang tidak mudah. Pendekatan sains saja tidak cukup karena ilmuwan tidak memiliki otoritas mengatur umat seperti yang dimiliki pemerintah atau ormas Islam.

(KOMPAS/Raditya Helabumi)

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (tengah) didampingi Ketua Komisi VIII DPR RI Ali Taher dan Ketua Bidang Kerukunan Antar Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Yusnar Yusuf (kiri ke kanan) usai menyampaikan hasil sidang isbat awal syawal 1440 H di Kantor Kementerian Agama, Jakarta (3/6/2019). 

Referensi

Buku
  • Izzuddin, Ahmad. 2003. Fiqh Hisab Rukyah di Indonesia: Upaya Penyatuan Mazhab Rukyah dengan Mazhab Hisab. Jakarta: Logung Pustaka.
  • Subhan, M. Solihat. 1994. Rukyah dengan Teknologi: Upaya Mencari Kesamaan Pandangan tentang Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal. Jakarta: Gema Insani Press.
Arsip Kompas
  • “Hilal dalam Sistem Penanggalan Hijriah” Kompas, 2 Oktober 2003. hal. 10.
  • “Hilal Prestatif, Kesepakatan atau Halusinasi?”. Kompas, 21 November 2003. hal. 10.
  • “Antara Hisab dan Rukyah ”. Kompas, 3 Oktober 2005,  hal. 4.
  • “Hisab-Rukyat sebagai media pendidikan sains publik”. Kompas, 22 September 2006. hal. 47.
  • “Hisab dan Rukyat”. Kompas, 12 September 2007. hal. 7.
  • “Hisab dan Rukyat 1 Syawal 1439 H”. Kompas, 12 Juni 2018. hal. 7.
  • “Sains Saja Tidak Cukup”, Kompas, 27 April 2022, hal. 8.