Paparan Topik

Meneropong Pers di Era Digital

Sebelum adanya media digital, tantangan terbesar surat kabar adalah tekanan rezim dan ancaman kekerasan terhadap jurnalis. Kini industri pers menghadapi belantara digital yang menyajikan miliaran berita dan informasi yang tersaji sangat cepat. Masyarakat pun semakin banyak pilihan.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Salah satu lapak dan agen media cetak yang masih bertahan memasang beberapa koran yang jumlahnya terus menyusut di Jalan Pandanaran, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (3/9/2020). Dalam beberapa tahun ini, isi lapak dan agen koran tidak lagi sebanyak lima tahun lalu ketika tren media daring belum sekuat seperti saat ini.

Fakta Singkat

  • Industri pers menyesuaikan dengan perkembangan teknologi dan kebiasaan atau perilaku pembaca
  • Perusahaan pers mengubah strategi produk di tengah era serba digital
  • Ancaman pers tidak hanya terhadap kelangsungan bisnisnya tetapi juga keamanan dan keselamatan para jurnalisnya
  • Di era digital, menjamurnya hoaks atau berita bohong harus dilawan dengan kredibilitas informasi dan berita berkualitas

Pengelolaan industri surat kabar telah berlangsung dengan menyesuaikan kondisi dan persaingan industri di tiap zaman. Tantangan yang dihadapi generasi saat ini tentu jauh lebih kompleks. Sebelum adanya media digital, tantangan terbesar surat kabar atau media konvensional adalah menjalankan institusi media di tengah kerasnya represi rezim negara pada masa Orde Baru. Tekanan rezim saat itu merupakan tantangan yang dihadapi jurnalis karena tidak bisa memberitakan fakta secara bebas.

Tantangan yang bersifat politis sering kali terancam ditutupnya penerbitan akibat adanya pemberedelan yang dilakukan oleh pemerintah. Pada zaman sekarang masalah yang harus direspons adalah tantangan bersifat sosiologis, yakni menghadirkan diri dengan personalitas yang sesuai dengan perubahan masyarakat.

Saat ini, tantangan terbesar pers adalah persoalan demografis atau kelompok usia pembaca berita. Pada akhir abad ke-20 ditandai dengan lahirnya ”generasi digital” yang lebih banyak menggunakan waktu dengan perangkat audio visual elektronik dalam serapan pembelajaran dan aktivitas komunikasi. Melalui media digital, individu dapat berperan sebagai konsumen sekaligus produsen yang sangat aktif dalam komunikasi berbasis teknologi dan produk digital.

Teknologi cetak konvensional telah membentuk budaya khas untuk media pers (buku, majalah, surat kabar) dikenal sebagai budaya tinggi (high culture) yang serius dan mengutamakan substansi. Komunikasi dengan khalayak relatif bersifat elitis. Sementara, budaya digital pada umumnya menonjolkan sensasi dan mengejar suatu informasi agar menjadi viral. Sebagian media cetak ada yang berusaha keluar dari orientasi elitis dengan berupaya menjangkau publik lebih luas melalui pola tabloid.

Persoalan perubahan peta demografis menjadi perhatian pengelola industri pers seperti surat kabar. Bagi masyarakat generasi baru, bukan mustahil surat kabar akan dipandang usang yang hanya cocok dibaca orang tua.

Agar produk dari industri pers menjadi bagian setiap lapis generasi masyarakat, pers melakukan penyesuaian strategi secara terus-menerus dengan melihat perubahan kecenderungan sosiografis dan psikografis khalayak. Upaya memanfaatkan teknologi digital untuk distribusi konten jurnalisme yang bersifat cepat dan efisien menjadi tidak terhindarkan.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Pekerja memasang koran terbitan terbaru pada papan di Jalan Sultan Agung, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (3/9/2020). Perkembangan teknologi dan media daring berpengaruh besar terhadap tren media cetak, seperti koran yang terus menurun pembacanya. Media cetak pun saat ini harus beradaptasi melalui berbagai cara untuk bertahan.

Perkembangan Pers

Perkembangan pers dan media massa di Nusantara dimulai pada tahun 1615 dengan diterbitkannya surat kabar Mermoire der Novelles oleh Gubernur Jenderal Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), Jan Pieterszoon Coen. Pada awal perkembangannya, surat kabar di Indonesia berupa kumpulan kliping informasi pemerintah yang ditulis tangan dan diperuntukan bagi pejabat warga Eropa yang menetap di Nusantara. 

Selain itu, perkembangan pers di Indonesia juga dirintis oleh para pengusaha Eropa dan pedagang Tionghoa. Kala itu, pers dimanfaatkan untuk membela kepentingan sosial dan politik mereka, walaupun mulai muncul beberapa surat kabar dengan bahasa pengantar Bahasa Melayu. Diterapkannya kebijakan politis etis di Hindia Belanda melahirkan kalangan bumiputra terpelajar. Perkembangan intelektual ini pada gilirannya merangsang orang Indonesia mendirikan pers sendiri.

Surat kabar Medan Prijaji yang terbit pada tahun 1907 dianggap sebagai pelopor pers nasional. Surat kabar ini berbeda dengan media pers berbahasa Melayu terdahulu karena telah membawa ideologi kebangsaan Indonesia sebagai sebuah cita-cita. Medan Prijaji mengambil peranan penting dalam menambah kesadaran kaum pribumi untuk terus menentang penjajahan. Hal itu mengilhami penamaan beberapa nama surat kabar di sejumlah daerah yang menggunakan istilah semangat perjuangan dan pembaharuan seperti “cahaya”, “bintang”, “merdeka”, “bergerak” dan lain-lain.

Munculnya gerakan Budi Oetomo pada tahun 1908 meningkatkan kesadaran akan pentingnya organisasi dan pers organisasi demi menyebarluaskan gagasan pemikiran kebangsaan. Dari sinilah mulai muncul pers yang dikelola oleh kaum bumiputra terpelajar di sejumlah daerah di Pulau Jawa, kemudian menyebar hingga ke luar Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Memasuki masa kolonial Hindia Belanda, media massa memiliki fungsi untuk menyampaikan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di berbagai kota. Pada abad ke-20, politik etis di Hindia Belanda mendorong ide-ide nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia. Sehingga, kelompok pers memiliki kepentingan politik untuk menyuarakan tentang ide-ide dan usaha perjuangan kemerdekaan ke seluruh nusantara. Media massa memiliki fungsi menyampaikan kritik terhadap pemerintah kolonial, menumbuhkan semangat nasionalisme, dan melaporkan tentang perkembangan usaha-usaha perjuangan kemerdekaan Indonesia. 

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 merupakan lembaran baru dalam sejarah pers dan media massa di Indonesia. Memasuki masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia tahun 1945–1949, media massa di Indonesia beralih fungsi menjadi alat komunikasi politik untuk menjaga semangat rakyat Indonesia dalam menghadapi agresi dari pemerintah kolonial.

Pada awal tahun 1950-an, media massa menjadi media komunikasi politik bagi pemerintah untuk melaporkan proyek-proyek pembangunan yang ada di Indonesia. Mendekati Pemilu 1955, media massa juga berkembang menjadi media komunikasi politik bagi partai dan kelompok kepentingan. Bahkan, hampir seluruh partai politik di Indonesia memiliki surat kabar yang digunakan untuk menyuarakan aspirasi dan kepentingan partai maupun golongan tertentu. 

Namun, Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet menyebabkan perubahan haluan politik Indonesia yang mulai condong ke arah komunis. Kondisi tersebut juga berimbang pada dunia pers. Pemerintah Orde Lama bahkan melarang penerbitan surat kabar yang dianggap antikomunis. Sementara itu, surat kabar berhaluan komunis berkembang dengan pesat. 

Masa Orde Baru yang dimulai pada tahun 1966 dicirikan dengan berkembangnya media massa sebagai bisnis, bukan lagi sebagai alat politik. Surat kabar regional dan majalah-majalah liburan mulai bermunculan di penjuru nusantara. Selain itu, di bawah kepemimpinan Soeharto, pemerintah Indonesia mewajibkan media massa untuk mengantongi serangkaian izin untuk dapat beredar di Indonesia, meliputi Surat Izin Terbit (SIT), Surat Izin Cetak (SIC), dan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). 

Berbeda dengan masa Orde Lama di mana pemerintahan Soekarno banyak melakukan pembatasan terhadap media yang dianggap antikomunis, pada awal masa Orde Baru pemerintah justru banyak memberhentikan media-media yang dianggap komunis. Jurnalis yang dianggap berhaluan kiri diasingkan dan ditangkap pada masa Orde Baru. 

Pada pertengahan hingga akhir masa pemerintahan Orde Baru, perkembangan teknologi mendorong kemunculan berbagai saluran radio dan televisi swasta. Pemerintah juga melakukan pembredelan terhadap surat kabar yang dianggap terlalu kritis terhadap pemerintah Orde Baru.

Kejatuhan Orde Baru pada 1998 memulai Era Reformasi yang menjadi titik awal keterbukaan pers yang sebelumnya terkekang oleh peraturan rezim Orde Baru. Dalam masa kebebasan pers, bisnis-bisnis dan konglomerasi media mulai berkembang di Indonesia. Munculnya media sosial juga turut mengubah peta media massa di Indonesia. 

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Siswa SD Negeri Joglo 76, Kadipiro, Solo, Jawa Tengah, membaca koran bersama dalam rangka ikut merayakan Hari Pers Nasional di halaman sekolah mereka, Selasa (9/2/2010). Kegiatan ini dinilai pihak sekolah sebagai bentuk kampanye membudayakan gemar membaca sejak dini serta menjadikan koran sebagai salah satu sumber informasi yang bermanfaat.

Pers dan audiens

Perkembangan teknologi digital mengubah wajah publik yang menjadi lebih aktif serta interaktif dalam bermedia. Penetrasi dunia digital mampu membelah minat publik dalam mengonsumsi berita digital selain dari media konvensional.

Perubahan ini kemudian menciptakan publik yang semakin kritis, terbuka, serta turut aktif memengaruhi proses jurnalisme itu sendiri. Sebelumnya jurnalisme hanya mengenal satu arah, secara perlahan telah terkikis oleh jurnalisme dua arah dan interaktif. Bisa jadi inilah yang oleh Jurgen Habermas (2001) disebut sebagai public sphere (ruang publik), komunikasi dilakukan dalam wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi.

Hal tersebut merupakan tantangan bagi para jurnalis serta kebebasan pers. Profesionalisme pers menjadi kunci utama dalam menyajikan kredibilitas dari produk jurnalistik yang disuguhkan ke publik. Tantangan dan peran produk pers di media massa pada masa mendatang, yakni media massa masih diandalkan sebagai sumber informasi yang akurat dan terpercaya.

Sebagai institusi pers, proses produksi sebuah informasi yang dilakukan oleh media konvensional dilakukan melalui pengeditan yang berlapis. Hal ini tentu sangat berbeda dengan konten media sosial yang proses produksi konten dilakukan oleh individu, yang bisa jadi tanpa proses penyuntingan sebagaimana lazimnya proses produksi berita di industri pers.

Di ranah media sosial, masih banyak beredar konten yang masuk kategori hoaks. Hal ini terjadi akibat minimnya mekanisme cek ulang oleh setiap individu yang memproduksi, meneruskan, dan bahkan menyebarkan informasi. Tanpa proses verifikasi fakta, suatu konten berpeluang menjadi informasi yang tidak akurat.

Fenomena maraknya hoaks di masyarakat, sangat terkait dengan berkembangnya jurnalisme warga di media sosial. Dalam jurnalisme warga, kendali terletak pada pengguna.

Meskipun demikian, tidak semua hal yang beredar di medsos mewakili ekspresi publik. Medsos lebih menyerupai ekspresi netizen secara real time yang boleh jadi menunjukkan kecenderungan tertentu, tetapi bukan sebagai kebenaran, karena harus diverifikasi dengan fakta yang terjadi.

Situasi saat ini merupakan situasi atau era ketika informasi paling mudah didapatkan. Perkembangan teknologi membuat berbagai informasi berseliweran dengan cepat, dalam hitungan detik. Di satu sisi, hal ini patut disyukuri karena banyak hal dapat diketahui dengan mudah dan cepat. Demokratisasi informasi terjadi di mana-mana. Namun, pada saat yang sama, kondisi ini juga sering membuat bingung, bahkan dapat memicu konflik sosial. Pasalnya, informasi yang beredar sering tak sesuai kenyataan atau dimaksudkan untuk niat tertentu yang kadang-kadang bertujuan tidak baik (Kompas, 28 Juni 2021).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2008 tidak hanya milik insan pers. Ratusan siswa sekolah dasar di Kota Solo ikut memeriahkan HPN dengan membuat kliping koran tentang berbagai peristiwa di Bale Kambang, Solo, Jawa Tengah, Sabtu (9/2/2008). Kegiatan ini diharapkan bisa menumbuhkan kesadaran bagi siswa sekolah bahwa surat kabar merupakan sumber pengetahuan.

Ancaman terhadap jurnalis

Dalam menjalankan pekerjaan jurnalistiknya, keselamatan dan keamanan wartawan menjadi faktor penting untuk menjamin penyampaian informasi yang berkualitas. Pekerjaan ini juga telah dilindungi secara hukum seperti yang tertuang dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang pers.

Namun, kenyataan di lapangan, wartawan seringkali mengalami kekerasan, baik fisik maupun psikis. Kekerasan fisik yang sering terjadi di antaranya pemukulan, penganiayaan, pengeroyokan hingga menyebabkan cedera ringan, berat, bahkan sampai meninggal dunia. Sedangkan kekerasan psikis di antaranya ancaman, intimidasi, perkataan kasar, doxing, peretasan, perampasan peralatan kerja, hingga penghapusan data dan file dokumen hasil liputan.

Data Aliansi Jurnalis Independen, selama tahun 2021, terdapat 43 kasus kekerasan terhadap wartawan. Kekerasan berdasarkan jenisnya, kasus terbanyak berupa teror dan intimidasi sebanyak 9 kasus. Selanjutnya kasus ancaman, kekerasan fisik, dan pelarangan liputan masing-masing sebanyak 7 kasus.

Serangan digital sebanyak 5 kasus, penuntutan hukum 4 kasus, penghapusan hasil liputan 3 kasus, dan penahanan 1 kasus. Kekerasan berdasar pelaku diperoleh data terbanyak dilakukan oleh polisi sebanyak 12 kasus. Selanjutnya 10 kasus dilakukan oleh orang tak dikenal, 8 kasus oleh aparat pemerintah, 4 kasus oleh pekerja profesional, 4 kasus oleh warga, dan masing-masing 1 kasus oleh birokrat, jaksa, ormas, perusahaan, dan TNI.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Jurnalis yang tergabung dalam Solidaritas Wartawan Anti Kekerasan membentangkan spanduk di depan gerbang kantor Kementerian Pertahanan di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, saat menggelar aksi, Rabu (17/10/2012). Aksi solidaritas tersebut untuk mengecam aksi kekerasan yang dilakukan oknum TNI AU terhadap wartawan saat meliput pesawat jatuh di Riau sehari sebelumnya. Aksi serupa juga dilakukan di sejumlah daerah lainnya di Indonesia.

Bisnis Pers

Keberadaan pers di Indonesia saat ini secara umum sedang menghadapi dua tekanan sekaligus, yakni melemahnya daya hidup pers setelah pandemi Covid-19 dan kekuatan platform digital dari luar negeri yang menggerus pendapatan perusahaan pers. 

Melemahnya daya hidup pers di masa pandemi dan setelah pandemi terlihat dari penurunan omzet, pemotongan gaji karyawan, penundaan gaji karyawan, merumahkan karyawan, maupun PHK karyawan sepanjang 2020. Situasi tersebut dihadapi bukan hanya oleh Serikat Perusahaan Pers (SPS), tetapi juga oleh Persatuan Radio Swasta Nasional (PRSSNI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), maupun televisi lokal.

Data Serikat Perusahaan Pers (SPS), misalnya, menyebut bahwa sebanyak 71 persen perusahaan pers cetak mengalami penurunan omzet lebih dari 40 persen (Januari-April 2020) dibandingkan tahun 2019.

Selain itu, sebesar 50 persen perusahaan pers cetak telah memotong gaji karyawan dengan besaran 2-30 persen. SPS juga melaporkan bahwa sebesar 43,2 persen perusahaan pers cetak mengambil opsi merumahkan karyawan tanpa digaji, dengan kisaran jumlah karyawan yang dirumahkan antara 25-100 orang setiap perusahaan.

Sejumlah perusahaan pers nasional bahkan harus menutup edisi cetaknya dan beralih ke platform berita daring (online) dan aplikasi berita digital.

Tidak hanya melemahnya daya hidup pers pada masa pandemi Covid-19, pers di Tanah Air juga sedang menghadapi tekanan dari platform digital yang telah merambah bisnis media.

Platform digital telah menguasai pasar iklan, mendominasi distribusi konten, tanpa regulasi yang tegas dan melindungi media nasional. Disebutkan pula, Google dan Facebook menguasai 75-80 persen dari total belanja iklan digital nasional. Media nasional hanya mendapatkan sisanya. Selain itu, readership atau tingkat keterbacaan dan oplah media terus menurun. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Memanggungkan Keindonesiaan”. Kompas, 28 Januari, 2015.
  • “Jajak Pendapat ”Kompas”: Tantangan Kebebasan Pers”. Kompas, 9 Februari, 2016.
  • “Sejarah Pers: Hari Pers Nasional Baru Diusulkan Bergeser dari 9 Februari”. Kompas, 3 Februari, 2018.
  • “Jajak Pendapat Kompas: Tantangan Pers di Era Digital”. Kompas, 10 Februari, 2020.
  • “Hari Pers Nasional : Sejarah Peringatan, Polemik, dan Tantangannya”. Kompas, 8 Februari 2021.
  • “Tsunami Informasi dan Matinya Deontologi Jurnalisme”. Kompas, 28 Juni 2021.