Fakta Singkat
Konsumsi Susu
- Berdasarkan bukti arkeologi, manusia diperkirakan sudah mengonsumsi susu hewani sejak 9.000 tahun yang lalu walaupun saat itu belum mampu untuk mencernanya dengan baik.
- Kebiasaan meminum susu secara rutin menjadi sangat populer pada abad ke-19 di Eropa dan Amerika.
- Di Indonesia, budaya minum susu diperkirakan sudah populer sejak sekitar akhir abad ke-19, diperkenalkan oleh orang-orang Eropa yang datang ke Hindia-Belanda.
- Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), susu sapi merupakan jenis susu yang paling banyak dikonsumsi di dunia, menyumbang sekitar 85 persen dari produksi susu global.
- India merupakan negara dengan konsumsi susu sapi terbesar di dunia, mencapai 87,05 juta metrik ton sepanjang 2023.
- Uni Eropa menjadi negara penghasil susu sapi terbesar di dunia yakni sebanyak 144,8 juta metrik ton susu sapi dan tercatat sebagai eksportir utama produk susu dunia.
- Rata-rata konsumsi susu nasional sebesar 16,27 per kapita per tahun pada 2021, masuk kategori rendah FAO.
- BPS mencatat produksi susu segar dalam negeri (SSDN) sebesar 968.980 ton pada tahun 2022.
- Sekitar 65-70 persen populasi dunia mengalami intoleransi laktosa yang terkandung pada susu.
Pasangan terpilih Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, berkomitmen merealisasikan program susu gratis. Selama masa kampanye, program ini menjadi salah satu program yang paling sering digaungkan, menjadi salah satu dari delapan program terbaik.
Prabowo-Gibran menargetkan program tersebut menyasar lebih dari 80 juta penerima manfaat dengan cakupan 100 persen pada tahun 2029. Melalui program susu gratis, harapannya anak-anak sekolah dan pesantren bisa terbantu dalam memenuhi kebutuhan gizi. Selain anak, ibu hamil juga akan terbantu dalam proses pemenuhan gizi perkembangan janinnya.
Namun rencana besar ini menimbulkan banyak kontroversi. Banyak pihak menilai masalah kecukupan gizi tidak akan bisa diselesaikan hanya dengan program susu gratis maupun makan gratis.
Ray Wagiu Basrowi, Peneliti Kedokteran Komunitas dan Ketua Health Collaborative Center (HCC) menyebutkan, intervensi gizi masyarakat, khususnya anak-anak, harus dicermati secara holistik dan memperhitungkan titik dampak berdasarkan kajian ilmiah mendalam, rinci, dan sistematis.
KOMPAS/WISNU AJI DEWABRATA
Para siswa SD Negeri 23 Pangkal Pinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, menerima susu sapi segar dari peternakan Bangka Botanical Garden (19/5/2010). Setiap hari, ratusan gelas susu sapi segar dibagikan kepada siswa sekolah dasar serta taman kanak-kanak di Pangkal Pinang dan sekitarnya
Sejarah Konsumsi Susu
Dalam sejarah peradaban manusia, selama berabad-abad, budaya mengonsumsi susu sudah berjalan sejak lama. Kebiasaan mengonsumsi susu yang dimaksud adalah susu hewani, khususnya susu sapi. Jenis susu ini telah dikenal lama sebagai salah satu sumber pangan sekaligus sebagai sumber gizi.
Meski demikian, mengonsumsi susu khususnya hingga dewasa pada awalnya merupakan hal yang tidak biasa, sebab manusia dewasa intoleran terhadap kandungan gula yang ada di susu atau laktosa.
Saat bayi, tubuh manusia membuat enzim khusus yang disebut laktase yang memungkinkan mencerna laktosa dalam ASI. Namun setelah dewasa atau setelah disapih pada masa kanak-kanak, produksi laktase dalam tubuh terus berkurang. Laktosa yang tidak dapat dicerna dengan baik dapat menyebabkan diare, atau gejala intoleransi laktosa lainnya akibat gas yang dihasilkan dari fermentasi bakteri usus.
Sejumlah penelitian menyebutkan, mengonsumsi susu hewani menjadi umum setelah manusia mengalami adaptasi dan mutasi genetik yang membuat laktase bertahan hingga dewasa, sehingga memungkinkan manusia mengonsumsi lebih banyak susu dan produk olahan dari susu.
KOMPAS/DUDY SUDIBYO
Ny. Soebinah Soemardjo, Kepala SD Glagah I, Umbulharjo, Kodya Yogyakarta, seraya menyerahkan susu dalam kemasan karton ke hadapan siswa-siswinya. Pembagian susu gratis untuk murid-murid SD Glagah I Yogyakarta (9/8/1984).
Menurut penelitian berjudul “Earliest date for milk use in the Near East and southeastern Europe linked to cattle herding” yang dipublikasikan di jurnal Nature, berdasarkan temuan bukti tertua berupa residu lemak susu pada pecahan tembikar kuno di wilayah Turki modern di dekat Marmara, yang merupakan rumah bagi beberapa petani pertama di dunia. Manusia diperkirakan sudah mengkonsumsi susu sapi sejak 9.000 tahun yang lalu (ada kemungkinan lebih awal), meskipun saat itu belum mampu untuk mencernanya dengan baik.
Dari penelitian pada ratusan data genomik kuno dan arkeologi, ada kemungkinan bahwa beberapa dari mereka kadang-kadang mengalami kram dan gas yang tidak nyaman, namun hal itu tidak cukup mempengaruhi kesehatan mereka. Beberapa orang mungkin juga mengurangi efek menyakitkan dari gula susu dengan memfermentasi menjadi keju atau mengubahnya menjadi mentega.
Fermentasi menjadi strategi yang digunakan untuk memecah laktosa sebelum dikonsumsi, memudahkan orang yang tidak beradaptasi untuk mengonsumsi produk susu. Selain itu, fermentasi menjadi cara untuk membuat susu lebih tahan lama, sebab susu segar sangat mudah rusak.
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
Pemerahan Susu – Sapi-sapi perah milik PT Greenfields Indonesia sedang menjalani pemerahan susu di sentra peternakan PT Greenfields Indonesia di Desa Babatan, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Selasa (9/8/2016). Sistem peternakan modern dan hawa segar pegunungan di lereng Gunung Kawi di sana, menjadikan produksi susu sapi mereka mencapai 31 liter-33 liter per ekor per hari. Adapun jumlah susu hasil peternakan sapi secara tradisional menhasilkan susu rata-rata 11 liter per ekor per hari.
Di belahan dunia lainnya, penelitian berjudul “Ancient proteins provide evidence of dairy consumption in eastern Africa” melakukan riset terhadap delapan kerangka berusia antara 2000 dan 6000 tahun yang digali di Sudan dan Kenya, tempat masyarakatnya menggembalakan sapi, domba, dan kambing peliharaan setidaknya selama 8000 tahun.
Mereka mengikis kalkulus gigi yang mengeras dari gigi mereka dan mencari protein khusus susu yang terperangkap di dalamnya. Hasilnya, ditemukan bahwa konsumsi susu hewani juga sudah muncul di Afrika Timur pada 6.000 tahun yang lalu.
Adapun demikian, persistensi laktase, berdasarkan rangkaian penelitian terhadap lebih dari 1.700 DNA manusia purba, diperkirakan baru terjadi di Eropa sekitar 5.000 tahun yang lalu, atau sekitar 4.000 tahun setelah konsumsi susu secara teratur dimulai. Presistensi laktase ini terjadi berbeda-beda di belahan dunia lainnya.
Kemampuan manusia untuk mencerna susu kemudian secara alami membuat konsumsi susu hewani menjadi hal yang semakin umum. Seiring dengan hal tersebut, minat dan budaya konsumsi susu pun menyebar semakin luas, yang juga berbarengan dengan meluasnya domestifikasi hewan ternak.
Susu berperan penting untuk mengantisipasi kelangkaan pangan, air, dan sinar matahari, terutama di wilayah Afrika, Timur Tengah, dan Eropa Utara. Bahkan, di banyak kebudayaan, susu mempunyai nilai sosial tersendiri.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Menyetor Susu Perah – Sejumlah peternak anggota Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara menyetor hasil perahan mereka di pos penjemputan Bukanegara, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Minggu (9/7/2017). Koperasi peternak hingga kini masih menjadi wadah yang mengayomi dan menguntungkan bagi para peternak untuk usahanya. Harga susu saat ini bagi peternak cukup memuaskan dengan kisaran Rp 4.700 per liter.
Debora Valenze dalam bukunya berjudul Milk: A Local and Global History berpendapat bahwa kebiasaan mengonsumsi susu menjadi sangat popular pada abad ke-19 di Eropa dan Amerika. Hal ini seiring dengan perkembangan teknik pengawetan dan pengemasan susu yang lebih baik. Salah satunya adalah pasteurisasi yang ditemukan oleh seorang ilmuwan asal Prancis, Louis Pasteur pada 1960-an.
Pasteurisasi adalah proses pemanasan untuk menghancurkan mikroorganisme patogen pada makanan dan minuman tertentu. Pada awalnya eksperimen pasteurisasi dilakukan pada anggur dan bir dengan memanaskannya 140 hingga 212°F (60 hingga 100°C) untuk melindungi dari pembusukan.
Pada tahun 1870, Profesor NJ Fjord di Denmark mengadopsi teknik pasteurisasai pertama kali pada susu. Segera setelah itu pada tahun 1886, Franz von Soxhlet, seorang ahli kimia Jerman, merancang dan membuat peralatan untuk perlakuan panas terhadap susu botolan. Ini merevolusi pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan susu.
Pasteurisasi membuat susu lebih aman, menjaga kualitasnya, dan meningkatkan umur simpan, sehingga dapat didistribusikan lebih jauh. Pada gilirannya, pasteuriasi banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan susu besar di Eropa dan Amerika. Pasteurisasi bahkan diwajibkan bagi semua produk susu segar.
Di sisi lain, secara bersamaan, tumbuh perhatian dan minat yang semakin besar terhadap kecukupan nutrisi. Susu terdiri dari air (lebih dari 85 persen) dan berbagai kandungan, seperti lemak, gula, serta protein untuk menyediakan asam amino, vitamin, dan mineral. Susu pun dipandang sebagai salah satu sumber nutrisi. Oleh karenya semakin banyak masyarakat yang kemudian mengkonsumsi susu, terutama untuk anak-anak.
Debora menyebutkan, saat itu, karena sederhana dan mengandung kandungan nutrisi yang dibutuhkan tubuh, susu juga digunakan sebagai salah satu asupan makanan untuk merawat orang sakit.
Perubahan struktur keluarga pada pertengahan abad ke-19 – yang merupakan konsekuensi lain dari industrialisasi dengan kekuatan ekonominya—juga berkontribusi. Revolusi industri menyebabkan semakin banyak perempuan yang bekerja di luar rumah, sehingga berdampak terhadap penurunan pemberian ASI. Sebagai alternatif, susu formula bayi komersial berbahan dasar susu sapi diperkenalkan. Formula ini berkembang menjadi praktik pemberian makan bayi yang terus berlanjut hingga saat ini
Sejak saat itu, susu menjadi salah satu minuman favorit di muka bumi selain air putih, teh, kopi, dan bir. Dalam layar sinema Hollywood, susu kerap muncul di atas meja makan, terutama saat sarapan, bersama dengan sereal dan roti. Anak-anak adalah yang paling sering terlihat minum susu dalam film. Namun tak sedikit juga film-film Hollywood yang menunjukkan orang dewasa yang meminum susu.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pekerja menuang susu sapi yang telah didinginkan hingga suhu 4 derajat celsius di tempat pengolahan susu Koperasi Peternakan Sarono Makmur Cangkringan, Desa Wukirsari, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (6/7/2011). Setoran susu sapi dari petani ke koperasi tersebut turun dari 4.000 liter menjadi sekitar 700 liter per hari pascaerupsi Merapi.
Di Indonesia, budaya minum susu diperkirakan sudah populer sejak sekitar akhir abad ke-19 ketika semakin banyak orang Eropa datang ke Hindia-Belanda. Kedatangan orang-orang Eropa membawa gaya hidup baru di tanah jajahan, salah satunya minum susu. Merekalah yang memperkenalkan kebiasaan minum susu pertama kali.
Seiring waktu, budaya meminum susu kemudian diadopsi kalangan pribumi, terutama kalangan bangsawan dan priyayi. Mereka mengkonsumsi susu tak hanya karena manfaatnya bagi tubuh, namun juga sebagai simbol status sosial.
Bersamaan dengan pasar yang semakin luas, peternakan sapi perah mulai berkembang di Hindia-Belanda. Di sejumlah kota besar di Hindia-Belanda muncul peternakan dan industri susu rumahan yang didirikan oleh orang Belanda, Tionghoa, maupun pribumi. Iklan-iklan susu pun semakin sering muncul di surat kabar.
Merujuk buku Hindia-Belanda 1930 karya J. Stroomberg, sapi perah di Hindia-Belanda banyak didatangkan dari Belanda dan Australia, yang dikenal memiliki kualitas susu yang baik.
Grafik:
Artikel terkait
Konsumsi dan Produksi Susu Sapi Global
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), susu sapi merupakan jenis susu yang paling banyak dikonsumsi di dunia, menyumbang sekitar 85 persen dari produksi susu global. Disusul susu kerbau (11 persen), susu kambing (3 persen), susu domba (1 persen), dan susu unta (0,5 persen).
Berdasarkan data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), selama lima tahun terakhir konsumsi susu sapi global tercatat terus mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun (year-on-year), meski tidak terlalu signifikan. Pada 2023, konsumsi susu mencapai 194,65 metrik ton. Meningkat sekitar 0,83 persen dari periode sebelumnya, yakni sebesar 193,05 juta metrik ton pada 2022.
Eropa masih memegang porsi besar konsumsi susu dunia. Namun berdasarkan negara, sejak lima tahun terakhir, India memimpin sebagai negara dengan konsumsi susu sapi terbesar di dunia. Konsumsi susu India tercatat mencapai 87,05 juta metrik ton sepanjang 2023 atau meningkat 2,41 persen dari tahun 2022.
Jumlah itu jauh melampaui konsumsi susu Uni Eropa yang berada di posisi kedua dengan konsumsi sebanyak 23,7 juta metrik ton pada 2023. Di ikuti Amerika Serikat sebesar 20,65 juta metrik ton, China 16,72 juta metrik ton, dan Brasil di peringkat kelima dengan konsumsi 11 juta metrik ton susu sapi.
Sedangkan untuk produksi susu sapi, Uni Eropa adalah produsen susu sapi terbesar di dunia. Pada 2023, 27 negara Uni Eropa secara kolektif memproduksi sebanyak 144,8 juta metrik ton susu sapi. Uni Eropa juga tercatat sebagai eksportir utama produk susu dunia.
Di urutan berikutnya ada AS dengan produksi susu sebesar 102,92 juta metrik ton. Sedangkan India berada di posisi ketiga dengan memproduksi 99 juta metrik ton susu sapi, diikuti China 41 juta metrik ton, dan Rusia dengan total 32,3 juta metrik ton.
Grafik:
Konsumsi dan Produksi Susu Sapi Nasional
Di Indonesia, Badan Pusat Statistik mencatat rata-rata konsumsi susu nasional sebesar 16,27 per kapita per tahun pada 2021. Berdasarkan standar dari FAO, jumlah konsumsi susu Indonesia masih tergolong rendah. FAO memberi batas rendah untuk konsumsi susu di bawah 30 kg per kapita per tahun. Sementara batas sedang untuk konsumsi susu mencapai 31-150 kg per kapita per tahun dan di atas itu dianggap sebagai konsumsi tinggi.
Jumlah konsumsi susu Indonesia juga masih berada di bawah rerata konsumsi susu di negara Asia Tenggara, seperti Malaysia sebesar 36,2 kilogram per kapita per tahun, Myanmar 26,7 kilogram per kapita per tahun, dan Thailand 22,2 kilogram per kapita per tahun (“Rendah, Konsumsi Susu Masyarakat Indonesia,” Kompas, 7 Juni 2021).
Dari sisi produksi, data BPS mencatat produksi susu segar dalam negeri (SSDN) sebesar 968.980 ton pada tahun 2022, naik dari periode sebelumnya yang hanya 946.388 ton. Meski mengalami kenaikan, jumlah ini masih belum bisa mengejar angka kebutuhan dalam negeri. Jumlah tersebut baru sekitar 20 persen dari kebutuhan susu nasional yang mencapai 4,4 juta ton. Sisanya, sekitar 80 persen masih dipenuhi dari impor, sebagian besar dari Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Uni Eropa (“Susu Gratis, dari Mana Susunya?,” Kompas, 19 Maret 2024).
Grafik:
INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO
Minimnya produksi susu nasional dipicu dua hal, yakni sedikitnya jumlah sapi perah dan rendahnya produktivitas sapi perah itu sendiri. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan mencatat, populasi nasional sapi perah 2020 berjumlah 584.582 ekor, sementara pada 2022, menurut data BPS, mencapai 592.897 ekor. Jumlah ini relatif stagnan dari tahun ke tahun.
Dari sisi produktivitas, sapi perah di Indonesia rata-rata hanya memproduksi 10-11 liter per ekor per hari. Jauh dari produksi susu sapi negara lain yang bisa mencapai 30 liter bahkan 60 liter per hari. Namun, sejumlah perusahaan susu nasional yang menerapkan manajemen ternak dan teknologi yang baik bisa memiliki produktivitas susu 24 liter bahkan 34 liter per hari (“Mengejar Kemandirian Industri Susu Nasional,” Kompas, 2 Juni 2023).
Sapi-sapi yang produktivitasnya rendah mayoritas dikelola oleh peternak kecil dengan pengelolaan sapi yang masih tradisional dengan skala usaha 1-3 ekor sapi perah. Skala usaha ternak ini kurang ekonomis karena keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan susu hanya cukup untuk memenuhi sebagian kebutuhan hidup peternak. Mereka juga seringkali memiliki pengetahuan terbatas.
Grafik:
INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO
Dalam jurnal berjudul “Profil Peternak Sapi Perah di Dataran Rendah Kabupaten Malang” yang ditulis oleh peneliti dari Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Malang dan Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya; Estri Pamungkasih dan Nanang Febrianto, diketahui bahwa rendahnya produktivitas sapi perah disebabkan oleh ketidaksesuaian iklim hingga manajemen usaha sapi perah di tingkat peternak yang masih tradisional. Pemberian pakan, misalnya, sapi tidak selalu mendapat makanan berkalori tinggi.
Temuan serupa juga didapati di Banyuwangi, Jawa Timur. Konsultan dari Asosiasi Ternak Genetika Kanada, Robert P Lang, pada 2014 pernah datang ke Banyuwangi untuk memberi penyuluhan kepada para peternak sapi perah. Lang menilai produksi susu sapi sebenarnya bisa mencapai 40 liter per hari per ekor. “Syaratnya, pakan yang sesuai dan pemilihan genetik sapi yang tepat,” katanya saat itu.
Menurut Lang, peternak perlu menambah protein pada pakan ternak, seperti jagung dan sorgum. Selain itu, harus pilih bibit yang baik agar bisa berproduksi susu yang banyak. Sapi perah di Banyuwangi saat itu dinilai belum termasuk sapi pilihan. Fisik belum sempurna sehingga membuat sapi-sapi itu rentan penyakit dan tak produktif.
Saat ini, jumlah produksi susu nasional terbanyak berasal dari Jawa Timur yakni sebanyak 543.687 ton. Diikuti Jawa Barat dan Jawa Tengah, masing-masing sebanyak 300.198 ton dan 103.547 ton.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Pasar Produk Peternakan – Pengunjung memilih beragam produk unggulan peternakan hasil olahan susu sapi yang dijual di sentra promosi produk pertanian dan peternakan milik Kementerian Pertanian di Pasar Minggu, Jakarta, Selasa (2/12/2014). Pasar ini menampilkan produk peternakan dan hasil olahannya untuk mendukung upaya meningkatkan konsumsi protein hewani di masyarakat.
Manfaat Susu
Secara luas, susu telah lama dikenal sebagai salah satu minuman yang memiliki beragam kandungan nutrisi penting. Di banyak penelitian, susu sudah teruji dan diketahui banyak mengandung protein, kalium, kalsium, dan sejumlah vitamin, seperti D, A, B2, dan B12, dan B2. Susu juga banyak mengandung niasin, fosfor, zat besi, karbohidrat, dan sejumlah mineral lain.
Dengan beragam nutrisi yang dikandung, minum susu secara teratur diyakini baik untuk kesehatan gigi dan tulang, memelihara jantung, mendukung kinerja otak, meningkatkan kualitas tidur, memperkuat sistem kekebalan tubuh, hingga memperbaiki sel dan jaringan yang rusak. Susu pun mendapatkan status pokok dalam dunia pangan.
Beberapa negara bahkan memiliki kebijakan terkait konsumsi susu, terutama untuk anak-anak. Di Jerman, pemerintah telah meluncurkan program “Schulmilch” atau “Susu Sekolah” pada tahun 1954. Program ini memberikan susu gratis kepada siswa sekolah dasar dan menengah di seluruh negara.
Di Jepang, sejak 1889 pemerintah mengisiasi program makan siang di sekolah di Prefektur Yamagata untuk anak-anak sekolah dasar keluarga kurang mampu. Para siswa mendapat hidangan lengkap dan susu untuk memenuhi kebutuhan gizi mereka.
Di Asia Tenggara, Malaysia meluncurkan program susu sekolah pada tahun 1983. Program ini memberikan susu gratis kepada siswa sekolah rendah dan menengah di seluruh negara. Thailand juga menerapkan hal tersebut pada 1992. Raja Rama IX meminta pemerintah Thailand untuk melaksanakan program susu sekolah. Program ini mewajibkan semua siswa SD di Thailand untuk minum susu saat istirahat siang.
INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO
Indonesia sendiri juga sudah sejak lama menempatkan susu sebagai pangan penting. Pada 1952, Bapak Gizi Indonesia, Prof. Poerwo Soedarmo, mengenalkan susu sebagai prinsip utama dari pola makan sehat masyarakat Indonesia yang mengacu pada prinsip “Basic Four” Amerika Serikat yang mulai diperkenalkan pada tahun 1940-an. Pada masa Orde Baru dikenal dengan jargon “4 sehat 5 sempurna”, terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayur dan buah-buahan, serta susu sebagai penyempurna menu tersebut.
Meski demikian, sejumlah penelitian juga menjunjukan bahwa minum susu tidak selalu dibutuhkan dan tidak selalu memberikan manfaat. Menurut penelitian berjudul “Lactase Non-persistence and Lactose Intolerance”, sekitar 65-70 persen populasi dunia mengalami intoleransi laktosa yang terkandung pada susu. Minum susu dapat menyebabkan kembung, gas, diare, dan kram perut pada orang-orang ini.
Selain itu, selama ini mayoritas susu yang beredar di pasaran dan diberikan untuk anak umumnya susu kemasan yang kaya gula dan perasa, bukan susu murni. Akibatnya, bukan manfaat susu yang mereka peroleh tetapi justru dampak buruk gula seperti obesitas, kerusakan gigi, dan diabetes (“Manusia Tidak Butuh Susu Sapi,” Kompas, 5 Februari 2024).
Di sisi lain, kandungan nutrisi yang ada pada susu sebenarnya juga banyak terdapat di jenis panganan lainnya. Kandungan kalsium, misalnya, bisa dipenuhi dari sayuran hijau, seperti bayam dan brokoli. Protein bisa ditemukan pada ikan, telur, kacang-kacangan serta olahannya (tahu dan tempe). Demikian pula nutrisi lain dalam susu bisa dipenuhi dari berbagai sayur, buah, atau kacang-kacangan lain. Yang bahkan lebih murah dan mudah diakses masyarakat.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41 Tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang, susu bukan lagi dianggap sebagai penyempurna gizi masyarakat. Dalam pedoman gizi seimbang, susu dikelompokkan dengan lauk-pauk. Keberadaannya untuk memenuhi gizi masyarakat bisa digantikan bahan pangan atau lauk lainnya (“Susu Bukan Lagi Penyempurna,” Kompas, 28 April 2018).
INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO
Apresiasi dan Tantangan Program Susu Gratis
Gagasan pemberian susu gratis yang menjadi janji pasangan Prabowo-Gibran merupakan hal positif. Program ini disebutkan bertujuan untuk peningkatan gizi bagi anak-anak sekolah agar bebas dari masalah kurang gizi akut demi menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang sehat dan cerdas menuju Indonesia Emas 2045. Niat baik ini perlu diapresiasi.
Namun, ada sejumlah tantangan dan pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan untuk dapat merealisasikan program tersebut. Pertama, persoalan pasokan susu untuk memenuhi kebutuhan program susu gratis.
Seperti telah disebutkan, sekitar 80 persen kebutuhan susu Indonesia saat ini, yaitu 4,4 juta ton, masih dipenuhi melalui impor. Dengan dilaksanakannya program susu gratis, kebutuhan susu dipastikan akan meningkat. Dari mana kebutuhan-kebutuhan tersebut akan dipenuhi?
Konsekuensi logisnya keran impor yang lebih besar bakal dibuka. Pasangan Prabowo- Gibran pun menyebutkan berencana mengimpor 1,5 juta ekor sapi dari Brasil dan India demi merealisasikan program susu gratis. Rencana ini layak dikritisi.
Rencana besar importasi ini sangat bertentangan dengan komitmen Presiden Joko Widodo untuk mengurangi barang impor. Lebih lagi, rencana impor sapi itu tidak menunjukan keberpihakan kepada peternak lokal. Kondisi itu dinilai bakal menghancurkan masa depan susu lokal akibat banjirnya susu impor.
Selama ini peternak lokal sering menghadapi ketidakpastian pasar dan harga jual susu, terutama setalah terbitnya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 33 Tahun 2018. Ketentuan baru tersebut menghilangkan ketentuan kewajiban bagi pabrik susu menyerap susu lokal. Alhasil, pabrik menggunakan ketentuan baru itu sebagai “senjata” untuk menekan harga susu peternak (“Ampas Pahit Pasar Susu,” Kompas, 10 Januari 2020).
Di sisi lain, impor sapi berpotensi memicu munculnya kasus penyakit mulut dan kuku sapi yang bisa menyerang ternak sapi lokal. Sebab, sampai saat ini, India masih menjadi salah satu negara yang belum dinyatakan bebas dari wabah PMK.
Persoalan berikutnya adalah kenyataan bahwa banyak anak Indonesia intoleran terhadap laktosa. Merujuk penelitian berjudul “Lactose Intolerance in Indonesian Children”, prevalensi malabsorbsi laktosa di Indonesia pada anak usia 3‒5 tahun sebesar 21,3 persen; usia 6‒11 tahun sebesar 57,8 persen; dan pada anak 12‒14 tahun sebesar 73 persen. Apabila mengkonusmsi susu, anak dengan alergi susu sapi bisa mengalami gejala ringan (gangguan menelan) sampai berat (diare, nyeri perut, gangguan pertumbuhan).
Oleh karena itu, program pemberian susu sebaiknya perlu untuk dipertimbangkan kembali. Untuk memenuhi kebutuhan gizi anak sebenarnya tidak harus dengan susu.
Kebutuhan gizi anak bisa dipenuhi dengan menu makanan lokal seperti sayur, buah, ikan, tempe, telur, dan lain-lainnya. Semakin beragam makanan yang dikonsumsi, maka makin banyak nutrisi yang tercakup. Upaya tersebut juga lebih sejalan dengan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2017. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Bayless, Theodore M., Elizabeth Brown, dan David M. Paige. 2017. “Lactase non-persistence and lactose intolerance.” Current gastroenterology reports19: 1-11.
- Bleasdale, Madeleine., dkk. 2021.“Ancient proteins provide evidence of dairy consumption in eastern Africa.” Nature communications1: 632.
- Evershed, Richard P., dkk. 2008. “Earliest date for milk use in the Near East and southeastern Europe linked to cattle herding.” Nature7212: 528-531.
- Hegar, Badriul, dan Ariani Widodo. 2015. “Lactose intolerance in Indonesian children.” Asia Pacific journal of clinical nutrition.
- Pamungkasih, Estri, dan Nanang Febrianto. 2021. “Profil peternak sapi perah di dataran rendah Kabupaten Malang.” Karta Rahardja: Jurnal Pembangunan dan Inovasi2: 29-35.
- Stroomberg, J., 2018, Hindia-Belanda 1930. Yogyakarta: IRCiSoD.
- “Fokus Utama pada Kesejahteraan Peternak,” Kompas, 2 Juni 2017.
- “Susu Bukan Lagi Penyempurna,” Kompas, 28 April 2018.
- “Regulasi Berubah, Peternak Sapi Perah Resah,” Kompas, 15 Agustus 2018.
- “Retorika Swasembada Susu,” Kompas, 7 Agustus 2019.
- “Ampas Pahit Pasar Susu,” Kompas, 10 Januari 2020.
- “Rendah, Konsumsi Susu Masyarakat Indonesia,” Kompas, 7 Juni 2021.
- “Mengejar Kemandirian Industri Susu Nasional,” Kompas, 2 Juni 2023.
- “Warna Abu-abu dari Susu Putih di Hollywood,” Kompas, 19 September 2023.
- “Manusia Tidak Butuh Susu Sapi,” Kompas, 5 Februari 2024.
- “Susu Gratis, dari Mana Susunya?” Kompas, 19 Maret 2024.
- “Filosofi Susu dan Kebijakan Politik Kesehatan,” Kompas, 28 Maret 2024.
- “Benarkah Pemberian Susu Gratis Baik Bagi Kesehatan Anak?” diakses dari yayasansikolamombine.org pada 9 April 2024.
- “Dairy: World Markets and Trade,” diakses dari usda.library.cornell.edu pada 9 April 2024.
- “We still don’t know why humans started drinking cow’s milk,” diakses dari nationalgeographic.com pada 9 April 2024.
- “The Surprising History of Milk,” diakses dari truthout.org pada 9 April 2024.