KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Nana Sudjana di Polda Metro Jaya, Jakarta (22/1/2020), memperlihatkan narkotika jenis ganja hasil operasi yang dilakukan jajarannya pada Desember 2019-Januari 2020. Dalam kurun waktu itu, ditangkap 19 tersangka pelaku peredaran ganja dengan barang bukti 1,343 ton ganja. Satu tersangka tewas.
Ganja masih menjadi Pro dan Kontra untuk digunakan dalam dunia medis di Indonesia. Desakan ganja untuk keperluan medis semakin riuh saat media sosial twitter milik pesohor Andien Aisyah pada 26 Juni 2022 yang mengunggah pertemuannya dengan seorang ibu pada saat car free day atau hari bebas kendaraan bermotor di Jakarta.
Unggahan tersebut memperlihatkan seorang ibu bernama Santi Warastuti yang ditemui Andien membawa poster bertuliskan ”Tolong, Anakku Butuh Ganja Medis”. Tak hanya itu, dalam poster tersebut ibu sang anak berharap agar terapi dengan minyak CBD (cannabidiol) yang merupakan senyawa dari ganja dapat digunakan secara legal. Minyak CBD ini diperlukan untuk terapi anaknya yang mengidap cerebralpalsy (Kompas, 2 Juli 2022).
Pada tahun 2020, Santi Warastuti bersama dua ibu lainnya, Dwi Pertiwi dan Nafiah Murhayanti, mengajukan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 6 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Isi pasal 8 dituliskan, narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan, dan ganja beserta turunannya merupakan bagian dalam narkotika golongan I.
Pada 1 Juli 2022, Guru Besar bidang Farmakologi dan Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Zullies Ikawati mengatakan bahwa ganja mengandung banyak senyawa. Senyawa paling utama yang terkandung dalam ganja ialah THC atau tetrahydrocannabinol, bersifat psikoaktif sehingga dapat menyebabkan ketergantungan dan kecanduan.
Ganja terdapat turunan dari THC lain yang minim efek psikoaktif, tetapi memiliki aktivitas farmakologi, yakni CBD (cannabidiol) sebagai anti kejang. CBD diolah dan diproduksi sebagai produk obat Epidiolex.
Obat tersebut mengandung 100 miligram per mililiter (mg/mL) CBD dalam bentuk sirup. Obat ini telah mendapatkan izin edar dari Food and Drug Administration (FDA) di AS.
Epidiolex diindikasikan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada pasien Lennox-Gastaut Syndrome (LGS) ataupun Dravet Syndrome (DS) yang sudah tidak dapat merespons obat lainnya. Terapi ini juga digunakan untuk antiepilepsi atau antikejang pada pasien lain, seperti pasien cerebral palsy (Kompas, 2 Juli 2022).
Zullies juga menambahkan bahwa obat ini bukan satu-satunya yang dapat digunakan untuk antikejang. Obat dengan senyawa CBD ini merupakan alternatif apabila obat konvensional tidak lagi mempan.
Terlepas dari penjelasan tersebut, saat ini pemakaian ganja untuk medis di seluruh dunia masih terhambat oleh kekhawatiran kemungkinan meluasnya penyalahgunaan ganja. Berdasarkan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), pada tahun 2019 pengguna ganja nonmedis sekitar 200 juta atau setara 4,0 per persen dari populasi global, dengan rentang usia 15–64 tahun. Dalam jumlah global pengguna ganja meningkat sebesar 18 persen antara tahun 2010 dan 2019.
Pada tahun 2010 penggunaan ganja nonmedis, khususnya di kalangan anak muda, dilaporkan stabil atau menurun di berbagai negara seperti di Eropa Barat dan Tengah, Amerika Utara, dan sebagian Oseania (Australia dan Selandia Baru). Namun, tren itu berbalik setelah 2010 dan diimbangi dengan peningkatan konsumsi di banyak negara di Afrika dan Asia.
Banyak negara mengategorikan ganja sebagai barang terlarang. Di Mesir, pada tahun 1251 pemakaian ganja mempunyai implikasi hukum, dianggap perbuatan dosa, dan dapat merongrong penguasa. Kemudian tahun 1868 disahkanlah undang-undang pelarangan produksi, ekspor-impor, dan kepemilikan ganja.
Di Amerika, pelarangan ganja dipicu perubahan kebijakan politik, hukum, dan ekonomi, terutama rasisme. Pertambahan populasi warga kulit hitam dianggap membebani anggaran negara. Salah satu solusinya melalui pencitraan negatif dengan menyebarkan isu bahwa ganja membuat warga kulit hitam merasa sederajat dengan orang kulit putih, satu hal yang meresahkan orang kulit putih. Amerika lalu menerbitkan Marijuana Tax Act pada 1937 yang memosisikan pemakaian ganja sebagai tindakan kriminal (Kompas, 26 Februari 2012).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Barang bukti berupa 160 kilogram ganja dan 131 kilogram sabu diperlihatkan saat rilis pengungkapan kasus narkoba di Markas Polres Jakarta Selatan (3/8/2020). Empat kurir narkoba ditetapkan sebagai tersangka.
Sejarah Ganja
Buku Dunia Dalam Ganja Dari Aceh Hingga Bob Marley (Pinus, 2007) menjelaskan bahwa ganja pertama kali ditemukan pada tahun 2737 sebelum masehi (SM) di China. Ganja digunakan sebagai kehidupan sehari-hari dan untuk upacara keagamaan. Pada saat itu, masyrakat di China memanfaatkan minyak olahan, minyak untuk bahan bakar lampu. Minyak tersebut disebut Hashis yang berguna untuk penerangan.
Istilah “ganja” dipopulerkan oleh kaum Rastafari, kaum penganut sekte Rasta di Jamaika yang berakar dari Yahudi dan Mesir. Kaum Rastafari menjadikan ganja sebagai bagian dari upacara sakramen, sedangkan kaum ilmuan menyebutnya sebagai Cannabis.
Pendapat lain dikemukakan dalam buku Hikayat Pohon Ganja: 12000 Tahun Menyuburkan Peradaban Manusia (Gramedia Pustaka Utama, 2011), yang menjelaskan bahwa catatan pertama adanya tanaman ganja terdapat dalam lempengan tanah liat dan ditulis dengan huruf paku oleh bangsa Sumeria pada masa 3000 SM.
Bahasa Sumeria merujuk tanaman ganja dalam kata-kata seperti, “A-Za-La” (tanaman yang memintal), “Sa-mi-ni-is-sa-ti,” “Har-Mu-Um”, “Har-Gud”, “Gur-Fu-Rum” (tali tambang) dan “Gan-Zi-Gun-Na” (pencuri jiwa yang terpintal). “Gan-Zi” dan “Gun-Na” diperkirakan oleh berbagai ahli bahasa sebagai arti “Ganja” yang digunakan dalam bahasa Sanskerta. “Qaneh” dan “Qunubu” dipakai dalam bahasa Ibrani yang memiliki maksud ganja.
Sejarah penyebutan ganja di beberapa Negara juga berbeda-beda. Ganja dari bahasa Prancis Kuno, “Canape” diadaptasi menjadi “Canevaz” atau “Chaneve” yang kemudian bertahan dalam bahasa Prancis modern sebagai “Chanvre”. Ada pula bahasa Proto-Jerman (cikal bakal bahasa Jerman) disebut Kanab mengikuti Hukum Grimm menjadi Hanap. Hukum Grimm adalah konsonan “k”,”n”,”b” pada bahasa proto-Indo-Eropa biasanya berubah menjadi “h”,”m”,”p”.
Ganja baru resmi dicatat sebagai keraajaan tanaman dengan nama ilmiah Cannabis Sativa oleh Carolus Linnaeus pada tahun 1753. Seiring dengan munculnya fakta sejarah pada akhirnya terungkap bahwa “Cannabis” atau “Ganja” adalah salah satu kata dengan akar bahasa yang tertua di dunia.
Penyebaran ganja dilakukan melalui jalur-jalur perdagangan di Asia Kecil dan diedarkan oleh orang-orang Semit. Semakin berkembangnya dunia medis dan industri, kegunaan ganja bertambah meluas. Serat ganja digunakan sebagai bahan minyak bakar karena proses pembuatan mudah dan aman dari kebakaran. Keunggulan dalam proses pembuatan minyak serat ganja ini adalah kandungan minyak tersebut sama dengan minyak kelapa dari minyak sawit. Dari tanaman ini juga dapat diproduksi bahan tekstil, kertas, lapisan rem, kopling, hingga tali. Pada Perang Dunia II, Amerika menggunakan serat tanaman ganja ini sebagai tali armada laut.
KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA
Sebanyak 26 kilogram daun ganja kering disita Reserse Narkotika Polda Metro Jaya dari 10 orang tersangka pengedar ganja. Tiga diantara para tersangka adalah wanita. Petugas menunjukkan sebagian barang bukti yang disita (24/09/1991).
Efek Ganja dalam Tubuh
Ganja mempunyai sifat toksik, yang artinya sifat racun yang dapat menyebabkan pusing. Sifat toksik ini sebagian besar ada dalam bagian tangkai dan bunga tanaman ganja. Pada bagian ganja yang lain seperti biji dan batang juga terdapat sifat toksik, namun tidak terlalu banyak.
Akibat sifat toksik dalam ganja ini adalah pusing, mual, muntah, kehilangan konsentrasi, susah berjalan, mulut kering, kebingungan, paranoid, penglihatan kabur, dan inkoordinasi otot. Jika berlebihan dalam mengonsumsi ganja berakibat fatal seperti induksi koma, gagal jantung, kanker, hingga kehilangan sebagian fungsi otak (kelainan jiwa dan bertingkah laku aneh).
Ganja sendiri menyerap perlahan menyerap dalam aliran darah dan dapat bertahan untuk dua sampai enam jam. Ketahanan zak aktif ganja tersebut tergantung pada jumlah dosis yang dimakan. Penggunaan dosis kecil dapat memicu gelisah, melamun, mata merah, dan nafsu makan meningkat. Efek penggunaan dosis rendah dalam tubuh dimulai dengan perasaan tentram dan relaksasi melamun, kemudian indra penglihatan, penciuman, pengecap, dan pendengaran lebih jelas. Hal itu juga menimbulkan perubahan pola pikir dan ekspresi.
Penggunaan dosis banyak dapat memperkuat reaksi dengan efek penglihatan kabur, perubahan emosi, perubahan perasaaan, fanatsi, halusinasi, dan kerusakan daya ingat. Saat depresi, pengguna dapat merasakan panik dan ketakutan yang berlebihan.
Efek dari pemakaian ganja adalah nafsu makan yang berlebihan. Pemakai ganja akan sangat sering makan, namun tubuh tidak kunjung mengalami kegemukan. Hal itu disebabkan, pemakai merasa gelisah sehingga energi habis dari makanan yang tercerna.
Bagi pengguna aktif, ganja dapat merubah fisik dan mental secara perlahan. Walaupun pengguna aktif berhenti, impian maupun halusinasi yang ada dalam hati dan otak akan membekas dalam jangka waktu yang lama.
Pada umumnya mengonsumsi ganja tidak menimbulkan ketagihan yang berlebih, tapi halusinasi dan fantasi dari pengaruh ganja tidak mudah menghilang. Ganja mendorong kejadian fatal karena merusak konsentrasi pengguna seperti kecelakaan di rumah, tempat kerja, maupun sedang mengemudikan kendaraan bermotor. Cara untuk menghilangkan hal tersebut adalah melakukan kegiatan, sehingga aktivitas dapat memicu otak berpikir tentang kesibukan yang nyata.
KOMPAS, 16 April 2016.
Penyalahgunaan Ganja di Indonesia
Berdasarkan Survei Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Tahun 2018 oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), pengguna Narkoba terbagi dalam dua kelompok yakni kelompok pelajar dan mahasiswa, serta kelompok pekerja.
Jumlah pelajar dan mahasiswa yang menggunakan narkoba tahun 2018 setara dengan 2.297.492 orang, dengan angka prevalensi pelajar dan mahasiswa setahun terakhir pakai narkoba sebesar 3,2 persen. Jenis narkoba yang paling banyak dikonsumsi atau popular di kalangan responden pelajar dan mahasiswa, adalah ganja (9,6 persen).
Sesuai dengan survei yang dilakukan BNN bahwa adanya penyalahgunaan narkoba rawan terjadi pada masa transisi pelajar sekolah ke mahasiswa. Awalnya pengenalan narkoba hanya ingin tahu alias coba-coba. Hal tersebut sesuai dengan hasil survei yang mengkonsumsi narkoba tahun 2018 diawali dari coba-coba pakai {1,4 persen), kemudian ada penggunaan secara teratur (0,44 persen), dan kecanduan {0,17 persen) kalangan pelajar dan mahasiswa.
Kaitan ganja dan rokok juga begitu erat, sebab jumlah pelajar dan mahasiswa yang memiliki kebiasan merokok sangat beresiko untuk menyalahgunakan narkoba. Hasil survei mengatakan bahwa 50,5 persen yang memiliki kebiasaan merokok pernah memakai narkoba.
Perilaku beresiko di kalangan pelajar dan mahasiswa adalah kebiasaan merokok, di mana pelajar SMP (12,3 persen), SMA (22,2 persen), dan mahasiswa (24,4 persen). Umumnya responden mengaku pertama kali merokok pada umur 14 tahun.
Ganja juga bisa dipakai selayaknya rokok dengan tanaman berupa daun, ranting, bunga, buah, dan biji-bijian yang harus dikeringkan diatas seng. Campuran dari daun dengan ranting, bunga dan biji-bijian biasanya dilinting seperti rokok. Ganja dilinting dengan kertas tipis dan berkualitas. Lintingan isi hasil ganja ini disebut mariyuana. Narkotik dalam mariyuana bisa mendatangkan efek halusinasi bagi pengisapnya. Kalau bunga betinanya diekstrak, akan dihasilkan damar pekat yang disebut hasyis. Hasyis ini juga bisa diisap seperti halnya mariyuana dengan efek halusinasi yang lebih hebat (Kompas, 7 Mei 2005).
Penyalahgunaan ganja juga semakin meluas dengan munculnya ganja cair atau ganja sintetik. Ganja cair dibuat dengan menyampurkan ganja dan cairan kimia. Campuran tersebut kemudian didiamkan beberapa saat sebelum diracik dan disaring. Hasil racikan ini kemudian dicampurkan ke dalam cairan untuk rokok elektrik. Dengan bentuk yang sama-sama cair, ganja berwarna bening ini menyaru di antara cairan rokok elektrik. Selain itu, ganja cair juga memiliki berbagai aroma buah untuk menyamarkan aroma ganja, sama seperti cairan rokok elektrik (Kompas, 22 Maret 2017).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Barang bukti ganja sitaan dari para tersangka di Pelabuhan Bakauheni, Lampung, ditunjukkan kepada wartawan di Mapolres Jakarta Barat (4/1/2018). Penyitaan 1,3 ton ganja tersebut merupakan hasil dari pengembangan kasus di Stasiun Gambir, Jakarta.
Ganja Medis di Berbagai Negara
Berdasarkan buku Hikayat Pohon Ganja: 12000 Tahun Menyuburkan Peradaban Manusia, ganja disebut sebagai tanaman obat yang memiliki fungsi medis paling banyak dibanding tanaman obat lainnya. Tak hanya itu, buku ini juga menyebutkan pemakaian ganja untuk medis dapat memperlambat penyakit yang diderita seperti:
- Alzheimer
- Amyotrophic Lateral Sclerosis
- Fibromyalga
- Glaukoma
- Gangguan Saluran Pencernaan
- HIV/AIDS
- Kesulitan Buang Air
- Rehumatoid Arthritis
- Asma
- Depresi
- Insomnia
- Kanker dan Leukimia
- Diabetes
- Gangguan Perkembangan Menyeluruh (Persvasive Development Disorder/Pdd)
- Distonia
- Epilepsi
- Migrain/Sakit kepala
- Multiple Sclerosis
- Perlindungan Sel Saraf
- Pertumbuhan Sel Saraf
- Osteoporosis
- Kardiovaskular
- Penyakit Sapi Gila
- Pruritus
- Post Traumatic Stress Disorder
- Sindrom Tourette
- Tuberkulosis
Berbagai negara yang melegalisasi ganja semakin meningkat setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan rekomendasi untuk mengklasifikasi ulang ganja dan turunannya. Dalam rekomendasi WHO disebutkan adanya peran terapeutik dari obat-obatan berbasis ganja (Kompas, 2 Juli 2022).
Berikut ini adalah beberapa negara yang melegalkan ganja untuk medis.
- Inggris
Pada November 2018, Inggris melegalkan ganja medis dengan akses dan persetujuan pasien. Penggunaan narkoba bukanlah pelanggaran di Inggris Raya, tetapi kepemilikan obat-obatan kelas B (termasuk ganja) dapat dihukum hingga tiga bulan penjara dan/atau denda. Pada tahun 2004, ganja telah direklasifikasi dari obat Kelas B ke Kelas C, tetapi ini diubah kembali pada tahun 2009.
- Finlandia
Ganja medis dilegalkan di Finlandia pada tahun 2008, tetapi tetap berdasarkan pasien per pasien dan aksesnya masih dianggap sangat jarang.
- Jerman
Jerman pertama kali mulai secara legal mengizinkan mariyuana medis pada tahun 1998, ketika Dronabinol pertama kali tersedia untuk resep. Program ini telah berkembang secara signifikan sejak saat itu, dan pada tahun 2017, resep ganja medis menjadi legal di negara tersebut.
- Kroasia
Pada tahun 2015, Kroasia melegalkan penggunaan ganja untuk tujuan medis, dan telah mengimpor ganja medis tanpa adanya industri dalam negeri. Pada 2019, negara itu menyetujui penanaman rami untuk tujuan medis.
- Israel
Pemerintah Israel secara resmi melegalkan ganja medis pada tahun 1999, dan pada tahun 2020 jumlah pasien yang terdaftar mencapai rekor tertinggi lebih dari 70.000. Pada tahun 2020, Israel melampaui Jerman sebagai pengimpor bunga ganja medis terbesar di dunia.
- Prancis
Prancis pertama kali menyetujui undang-undang ganja medis pada tahun 2013, meskipun hanya obat-obatan turunan ganja yang legal dan sangat sulit diperoleh. Pada Januari 2021, negara itu memulai program uji coba dua tahun yang menyediakan pengobatan ganja gratis untuk 3.000 pasien.
- Italia
Italia telah memiliki program ganja medis legal sejak 2013. Italia dianggap sebagai konsumen ganja medis berlisensi terbesar kedua di Eropa, setelah Jerman.
- Thailand
Sejak 2018 Thailand melegalkan penggunaan ganja untuk keperluan medis. Namun, jika kepemilikan dan penanaman hingga 10 kilogram akan dikenakan denda atau penjara hingga lima tahun
Rencana Ganja Medis di Indonesia
Ganja atau mariyuana (Cannabis sativa) adalah keluarga rami. Tanaman semusim ini bisa setinggi dua meter. Ganja hanya tumbuh di pegunungan tropis dengan elevasi di atas 1.000 meter di atas permukaan laut. Di Indonesia ganja dibudidayakan secara ilegal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Biasanya ganja ditanam pada awal musim penghujan, menjelang kemarau sudah bisa dipanen hasilnya (Kompas, 7 Mei 2005).
Berdasarkan informasi dari Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang dirilis 27 April 2022 bahwa tanaman ganja yang mulai dari biji, buah, hingga jerami serta hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja dilarang untuk digunakan sebagai terapi dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Dalam lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, ganja masuk ke dalam narkotika golongan I sebab memiliki potensi ketergantungan yang tinggi. Pengaturan narkotika golongan I tertuang dalam Pasal 8 UU tersebut, yaitu dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan dalam jumlah yang terbatas dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi (Asmoro, 2021).
Dalam judul artikel “Kebijakan Pemerintah Indonesia Menghadapi Polemik Ganja” yang dirilis BNN DIY tersebut juga menjelaskan bahwa Indonesia sendiri memiliki aturan perundang-undangan tentang narkotika, yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Selain narkotika, UU tersebut juga mengatur tentang prekusor narkotika yang merupakan zat/bahan pemula/bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan narkotika. Penelitian ini fokus pada opini yang berkembang tentang isu legalisasi ganja yang dipicu usulan uji materil sekelompok orang terkait Pasal 6 Ayat (1) dalam Undang-undang ini, yaitu: “Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam: a) Narkotika Golongan I; b) Narkotika Golongan II; dan c) Narkotika Golongan III.”
Narkotika Golongan I memiliki ketentuan hanya untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Dalam lampiran undang-undang tersebut, ganja dan senyawa turunnya masuk ke dalam Narkotika golongan I, antara lain,
- Tanaman ganja, semua tanaman genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis
- Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.
- Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya
Ganja sendiri memiliki regulasi berbeda-beda setiap negara, ada yang hanya untuk medis, rekresional, maupun keduanya. Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa yang melegalkan ganja baik medis dan rekresional, yaitu Kanada dan Uruguai. Sebanyak 18 negara bagian Amerika melegalkan ganja, 37 negara bagian lainnya melegalkan hanya untuk kepentingan medis (medical use).
Meskipun beberapa negara memperbolehkan pemanfaatan ganja untuk kepentingan medis, namun The Commission on Narcotic Drugs (CND) mempersilahkan kepada masing-masing negara mengatur pemanfaatan ganja sendiri.
Di Indonesia, regulasi ganja untuk medis masih ditolak untuk dilegalkan. Melalui Humas serta Deputi Hukum dan Kerjasama Badan Narkotika Nasional, pemerintah Indonesia menyatakan tetap menolak adanya ganja untuk dilegalkan, baik sebagai kepentingan medis maupun rekreasional. Karena situasi dan kondisi pernyalahgunaan dan peredaran gelap ganja yang masih sangat tinggi di Indonesia, upaya tindakan melegalisasi ganja adalah perbuatan melawan hukum yang dapat dikenakan sanksi sesuai UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 (Humas BNN, 2021).
Berdasarkan informasi yang dirilis dalam laman Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 10 Agustus 2021, bahwa “Proses legalisasi ganja pun membutuhkan penelitian secara ilmiah yang jelas; ilmu pengetahuan yang pasti; dan membutuhkan waktu untuk melakukan penelitian tersebut. Sehingga, tidak dapat langsung serta merta dipersamakan karakteristik beberapa negara dengan negara Indonesia dalam melakukan pelegalisasian terhadap minyak ganja untuk pelayanan Kesehatan,” ucap Taufik, Anggota Komisi III DPR ,dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Pada 26 Juni 2022, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan perihal adanya pengkajian seputar legalisasi ganja. Pihaknya segera mengkaji wacana legalisasi ganja untuk kebutuhan medis. Meski di beberapa negara ganja sudah bisa digunakan untuk kebutuhan pengobatan atau medis, kata Dasco, di Indonesia hal itu masih belum diatur dalam undang-undang.
“Sehingga nanti kami akan coba buat kajiannya apakah itu kemudian dimungkinkan untuk ganja sebagai salah satu obat medis yang memang bisa dipergunakan,” kata Pimpinan Koordinator Ekonomi dan Keuangan (Korekku) itu saat diwawancarai awak media di Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta (26/6/2022).
Berdasarkan data BNN sepanjang tahun 2021, sebanyak 115 ton ganja yang berhasil disita BNN merupakan hasil penyelundupan. Jumlah tersebut menandakan kasus sitaan ganja masih tinggi dan disalahgunakan untuk penggunaan yang bersifat rekreasional sehingga angka kematian akibatnya lebih tinggi. Ganja untuk medis butuh kajian mendalam baik secara penelitian kesehatan maupun regulasi, sebab apabila salah langkah, besar risiko yang akan ditanggung di masa depan. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- “Bahasa: Ganja, Opium, dan Koka”, Kompas, 7 Mei 2021, hlm 12.
- “Menimbang Legalisasi Ganja Medis”, Kompas, 28Juli 2022, hlm. 8.
- “Jutaan Warga Akan Makin Terjerat Narkoba * BNN: Kementerian sampai Masyarakat Perlu Mencegah”, Kompas, 18 Desember 2012, hlm. 01,15.
- “Zat Psikoaktif, Dulu dan Kini”, Kompas, 2 Agustus 2017, hlm.01,13..
- “Narkotika: Setelah Tembakau Gorila, Muncul Lagi Ganja Cair”, Kompas, 22 Maret 2017, hlm. 28.
- “Narkotika di Rokok Elektronik * Cairan Mengandung Ganja Sintetis Didatangkan dari Belanda”, Kompas, 2 November 2017, hlm.30.
- Narayana, Dhira. Tim LGN. Hikayat Pohon Ganja : 12.000 Tahun Menyuburkan
Peradaban Manusia. PT Gramedia Nusantara. 2011. - Khaliq, Abdul. 2007. Dunia Dalam Ganja Dari Aceh Hingga Bob Marley.
Yogyakarta : Penerbit Pinus
DPR Sebut Proses Legalisasi Ganja untuk Kepentingan Medis Berbeda di Setiap Negara
Kebijakan Pemerintah Indonesia Menghadapi Polemik Ganja
United Nation Office On Drugs and Crime
Survei Penyalahgunaan dan Peredaran Narkoba
Legalisasi Ganja di Berbagai Negara
DPR akan Kaji Legalisasi Ganja untuk Kebutuhan Medis di Indonesia