Paparan Topik | Keanekaragaman Hayati

Konservasi Orang Utan di Indonesia

Orang utan menjadi salah satu ikon Indonesia yang mendunia, sayangnya keberadaannya makin langka, bahkan dalam kondisi kritis. Dalam sebuah penelitian, disebutkan kurang dari 20.000 tahun lalu orang utan dapat dijumpai di seluruh Asia Tenggara, dari Pulau Jawa hingga utara Pegunungan Himalaya dan Cina bagian selatan.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Aktivitas orang utan di salah satu pulau kompleks Pusat Rehabilitasi Orang Utan Samboja Lestari yang dikelola oleh Yayasan Borneo Orangutan Survival di Kelurahan Margo Mulyo, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Jumat (30/8/2019). Saat ini terdapat sebanyak 127 ekor orang utan yang direhabilitasi di lokasi tersebut sebelum nantinya dilepasliarkan.

Fakta Singkat

  • Habitat orang utan terdapat di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan
  • Undang-undang sebagai payung hukum konservasi yang pertama kali dibuat pemerintah adalah UU No.5 Tahun 1990 dan tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, beserta PP No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
  • Dalam 50 tahun terakhir, populasi orang utan sudah berkurang 80 persen di Indonesia.
  • Habitat orang utan rusak secara masif karena alih fungsi hutan hujan tropis menjadi hutan tanaman industri seperti kelapa sawit dan pengambilan hasil hutan.

Orang utan merupakan jenis satwa langka di Asia, sementara satwa langka kerabatnya, yaitu gorila, simpanse, dan bonobo hidup di Afrika. Sejak awal 1980-an ketika Indonesia memulai kebijakan pembukaan lahan kelapa sawit maka pada saat itu merupakan awal perburuan orang utan tersingkir, baik karena dimusnahkan maupun kehilangan habitatnya.

Habitat orang utan kian sempit akibat dirusak oleh manusia secara masif untuk hutan tanaman industri, seperti kelapa sawit, juga untuk perkebunan dan hunian. Di dunia, negara yang memiliki orang utan hanyalah Indonesia. Oleh sebab itu, habitat orang utan juga menjadi perhatian dunia. Sayangnya, primata ini banyak diburu oleh masyarakat di sekitar habitatnya, bahkan bayi orang utan banyak diperjualbelikan secara illegal.

Dalam IUCN Red List  tahun 2002, orang utan sumatera termasuk dalam critically endagered, sudah terancam kepunahan. Sedangkan orang utan kalimantan dikategorikan endagered, atau langka.

Situasi tersebut tentu tidak dapat dibiarkan karena itu dibutuhkan upaya khusus untuk mempertahankan keberaan orangutan di Indonesia, antara lain, konservasi orang utan.

Orang utan sangat berguna bagi keberlangsungan hutan hujan tropis di Indonesia khususnya Kalimantan dan Sumatera. Orang utan adalah umbrella species, sebab keberadaannya menyokong keberlangsungan spesies lainnya di hutan. Salah satunya adalah menebarkan bibit tanaman dari satu tempat ke tempat lainnya.

Habitat asli orang utan hanya ada di dua pulau, yaitu di Pulau Sumatera tepatnya Sumatera Utara serta di Pulau Borneo (Kalimantan dan Sabah Malaysia). Ada tiga spesies orang utan di Indonesia: orang utan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), orang utan Sumatera (Pongo abelii), dan orang utan Kalimantan (Pongo pygmaeus).

Orang utan di Sumatera menempati daerah Timang Gajah di Aceh Tengah hingga Sitinjak di Tapanuli Selatan, sedangkan orang utan Borneo ditemukan di Sabah, Serawak, daratan rendah Kalimantan, kecuali Kalimantan Selatan dan Brunei Darussalam.

Orang utan Borneo dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu Pongo Pygmaeus pygmaeus yang berada di bagian utara Sungai Kapuas sampai Timur Serawak, Pongo pygmaeus wurmbii yang ditemukan mulai dari selatan Sungai Kapuas hingga bagian barat Barito, dan Pongo Pmaeus morio yang tersebar dari Sabah sampai ke selatan di Sungai Mahakam Kalimantan Timur.

Definisi Konservasi

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pengertian konservasi adalah “Upaya, langkah dan metode pengelolaan dan penggunaan biosfer secara bijaksana agar memperoleh keuntungan terbesar secara lestari untuk generasi sekarang dengan tetap terpelihara potensi untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi yang akan datang.”

Sementara, menurut International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), konservasi merupakan tindakan yang meliputi manajemen udara, air, tanah, mineral ke organisme hidup termasuk manusia. Tujuan utama konservasi, yaitu terciptanya kualitas kehidupan manusia yang meningkat.

Langkah-langkah termasuk dalam kegiatan manajemen konservasi, yaitu survei, penelitian, administrasi, preservasi, pendidikan, pemanfaatan, dan latihan. Secara ekologi, salah satu manfaat konservasi adalah menjaga keberlanjutan sumber daya berupa flora dan fauna saat ini hingga masa mendatang.

Regulasi Perlindungan Hewan diatur dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, orang utan termasuk primata yang dilindungi, dan dalam Convention on International Trades on Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES), ketiga spesies orangutan ini berstatus Appendix I, artinya spesies ini tidak boleh diperdagangkan.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Konservasi Orangutan di Pulat Salat Kalimatan Tengah (22/05/2021).

Ciri Orang Utan

Ciri orang utan jantan Sumatera mempunyai kantung pipi yang panjang dan bulunya berwarna coklat kemerahan, sedangkan orang utan Kalimantan berwarna gelap kecoklatan. Sebagian orang utan Borneo yang jantan dewasa memiliki pelipis tebal seperti bantal, tetapi tidak semua jantan dewasa seperti itu. Mereka memiliki jakun yang dapat digelembungkan untuk menghasilkan suara keras, yang digunakan untuk memanggil dan memberitahu keberadaan mereka.

Orang utan memiliki kekerabatan genetik sebesar 97 persen dengan manusia. Oleh karena itu, dari aspek ekologi, orang utan sangat potensial untuk dipelajari dalam hal pengembangan penelitian farmasi dan kesehatan, hingga diketahui bahwa orang utan dapat menyembuhkan diri sendiri dari makanan hutan.

Orang utan disebut sebagai kera besar dan satu-satunya yang hidup liar di Benua Asia, yaitu di Pulau Sumatera dan Pulau Borneo (Kalimantan, Sabah, Serawak). Mereka disebut sebagai salah satu satwa liar tercerdas di hutan hujan tropis. Mereka beraktifitas di siang hari mulai pukul 06.00 – 18.00 untuk mencari makan, minum dengan terus bergerak antara satu hingga dua kilometer tergantung persediaan makan.

Orang utan bersifat semisoliter, bergerak sendiri-sendiri dalam mencari makan, kecuali betina yang memiliki anak, dan daya jelajah jantan tergantung pada sebaran betina.

Dilihat dari pola jelajahnya, secara umum ada tiga tipe orang utan, yaitu:

  1. Individu penetap, yaitu sebagian besar waktunya dalam setiap musim dihabiskan di suatu wilayah jelajah seluas 2–10 km persegi. Umumnya adalah individu betina dewasa yang sedang mengasuh anak dan jantan dewasa
  2. Individu pelaju, yakni individu menetap di suatu kawasan untuk kemudian pindah ke kawasan lain (nomadis) secara teratur selama beberapa minggu atau beberapa bulan. Umumnya jantan dewasa dan muda.
  3. Individu pengembara, yaitu individu yang tidak pernah, atau sangat jarang kembali ke tempat yang sama dalam waktu paling sedikit 3 tahun, biasanya jantan dewasa muda.

Orang utan liar lebih menyukai habitat hutan hujan tropis dataran rendah, baik yang kering maupun berawa, dibandingkan hutan dataran tinggi dan pegunungan, karena makin tinggi dataran produksi buah hutan makin berkurang.

Pada tahun 2004, para peneliti beranggapan bahwa orang utan hanya dapat dijumpai pada ketinggian di bawah 500 mdpl, tapi pada tahun 2017 sudah dapat ditemukan pada ketinggian hingga 1.500 mdpl karena hutan dataran rendah di Pulau Sumatera dan Kalimantan makin berkurang.

Makanan utama orang utan adalah buah-buahan, daun, liana, kulit kayu, serangga, dan terkadang vertebrata kecil, serta madu hutan. Sifat orang utan yang memakan buah-buahan hutan, bahkan hingga lebih dari seribu jenis, membuat kotoran orang utan berperan sangat penting dalam penyebaran jenis pohon.

Tumbuhan yang berasal dari kotoran orang utan lebih cepat tumbuh dibanding dengan penanaman yang dilakukan manusia. Dalam hal ini, orang utan menempati posisi tertinggi dalam keanekaragaman hayati sehingga keberadaannya menjadi spesies payung (umbrella species) dalam konservasi hutan hujan tropis.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Konservasi Orangutan di Pulat Salat Kalimatan Tengah (22/05/2021).

Populasi dan Habitat Orang Utan

Pada tahun 2004, ilmuwan memperkirakan total populasi orang utan di Pulau Kalimantan (Borneo), baik di wilayah Indonesia maupun Malaysia, berjumlah sekitar 54 ribu individu.

Di antara ketiga sub-spesies orang utan Borneo, Pongo pygmaeus merupakan sub-spesies yang paling sedikit dan terancam kepunahan, dengan estimasi jumlah populasi sebesar 3,000 hingga 4,500 individu di Kalimantan Barat dan sedikit di Sarawak, atau kurang dari 8 persen dari jumlah total populasi orang utan Borneo.

Menurut BOS Foundation, populasi orang utan Kalimantan sebanyak 57.350 dibandingkan estimasi tahun 1973 sebanyak 288.500, maka dalam kurun waktu 50 tahun populasi orang utan Kalimantan berkurang 80 persen.

Sementara itu, menurut Forum Kawasan Ekosistem Esensial Wehea-Kelay, pada tahun 2017, terdapat 57.176 individu orang utan di Kalimantan dan dalam sepuluh tahun terakhir telah berkurang sebanyak sepuluh persen.

Di Pulau Sumatera masih terdapat 13 kantong populasi orang utan, tetapi hanya tiga kantong populasi yang memiliki sekitar 500 individu dan tujuh kantong populasi terdiri dari 250 lebih individu.

Enam dari tujuh populasi tersebut diperkirakan akan kehilangan 10–15 persen habitat mereka akibat penebangan hutan sehingga populasi ini akan berkurang dengan cepat.

Dalam Renstra tahun 2007, disebutkan bahwa bencana ekologis telah mengakibatkan habitat orang utan menurun 1,5 persen setiap tahun di Sumatera, dan 2 persen setiap tahun di Kalimantan.

Data hasil riset Population and Habitat Viability Assessment (PHVA) tahun 2004 menemukan bahwa populasi orang utan Sumatera dijumpai di Leuser Barat sebanyak 2.508 individu dan Leuser Timur 1.052 individu dan di Batang Toru 400 individu. Sedangkan, di Kalimantan masih terdapat 32.000 individu di sebelah utara Sungai Kapuas.

Hidup dan pergerakan orang utan lebih banyak di atas pohon (arboreal), mereka membutuhkan satu atau lebih pohon untuk membuat sarang, bahkan untuk aktifitas sehari-hari. Mereka sangat sensitif dengan kehadiran manusia hingga cenderung menghindar, kecuali orang utan betina dewasa yang memiliki anak. Beberapa jenis tertentu sangat tertarik dengan aktifitas manusia sehingga terkadang mereka mau mendekat dan mengamati manusia.

Tantangan terberat bagi upaya konservasi orang utan adalah pembangunan negara yang membuat alih fungsi hutan terus berlangsung bahkan sejak tahun 1980-an. Alih fungsi hutan ini membuat hutan hujan tropis Indonesia berubah menjadi hutan industri, perkebunan, industri agrikultur, lalu perkayuan kelapa sawit, dan penambangan batubara. Bahkan, produksi minyak sawit telah berkembang 15 kali lipat dari 1980 hingga 2014.

Orang utan dapat hidup di berbagai tipe hutan, mulai dari hutan dipterokarpa perbukitan dan daratan rendah, daerah aliran sungai, hutan rawa air tawar, rawa gambut, tanah kering di atas rawa bakau dan nipah, hingga pegunungan. Di Borneo, orang utan ditemukan pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut, sedangkan di Sumatera berada di hutan pegunungan 1.000 mdpl.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Koordinator Teknisi Pulau dan Sekolah Hutan Imam Ghazali (kiri) memberi makan Orangutan di Pusat Rehabilitasi Orangutan Samboja Lestari yang dikelola Yayasan Borneo Orangutan Survival di kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai kartanegara, Kalimantan Timur, Jumat (12/3/2021). Sebanyak 121 individu orangutan dan 71 beruang madu (Helarctos Malayanus) menjalani perawatan dan rehabilitasi di tempat tersebut. Selama masa pandemi Covid-19, tempat tersebut menutup kunjungan bagi wisatawan.

Upaya Perlindungan

Renstra 2007–2017

Untuk meningkatkan pelestarian orang utan di habitatnya, Pemerintah Indonesia bersama dengan membuat Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orang Utan Indonesia 2007–2017. Renstra ini kerja sama antara Departemen Kehutanan dengan LSM pemerhati dan pelindung konservasi orang utan.

Renstra 2007 ini dibuat setelah melihat hasil riset Orangutan Population and Habitat Viability Asessment (PHVA) pada 15–18 Januari 2004 di Jakarta. Renstra ini dibuat untuk menjadi pegangan/pedoman dalam melakukan konservasi orang utan dan akan diperbaharui setiap lima tahun.

Populasi Orang Utan

Hasil analisis kajian Population and Habitat Viability Analysis/PHVA pada 23–27 Mei 2016, memperkirakan terdapat 71.820 individu orang utan yang tersisa di Pulau Sumatera dan Borneo (Kalimantan, Sabah dan Serawak). Namun, khusus di Pulau Sumatera, pongo tapaluniensis hingga tahun 2017 hanya ada 800 individu orang utan.

Jika dilihat dari kepadatan populasi, terjadi penurunan dari 0,45–0,76 individu/kilometer persegi menjadi 0,13–1,47 individu/kilometer persegi. Dari hasil itu pula, terlihat bahwa ada populasi orang utan Borneo yang hidup dalam satu bentang alam yang menghubungkan habitat Indonesia-Malaysia, yaitu sub-jenis Pongo Pygmaeus pygmaeus di Betung Kerihun dan Batang Ai-Lanjak Entimau, Taman Nasional Klingkang Range-Sintang Utara, serta Taman Naiona Bungih dan Hutan Lindung Penrisen.

Jika dilihat dari analisis kelangsungan hidup populasi, orang utan Kalimantan mengalami ancaman kelestarian karena konversi hutan menjadi fungsi lain. Karenanya, dibutuhkan upaya serius untuk keberhasilan konservasi dan diperlukan penerapan praktek-praktek pengelolaan terbaik.

Hasil PHVA Orangutan 2016 digunakan sebagai landasan ilmiah untuk menyusun dokumen Strategis dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan 2017–2027 bersama dengan hasil evaluasi lainnya.

Secara global, Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) mengkategorikan kritis (critically endangered) dalam daftar merah satwa terancam punah dan konvensi internasional perdagangan satwa liar dan tumbuhan terancam punah (CITES) memasukkannya ke dalam daftar yang tidak boleh diperdagangkan dalam bentuk apapun/Appendix I.

Di Indonesia, orang utan dilindungi melalui UU No.5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 yang lampirannya diperbaharui berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 106 Tahun 2018.

Selain itu, dilakukan pula Program TFCA-Sumatera yang merupakan program kerja sama antara Pemerintah Indonesia, Pemerintah Amerika Serikat, Conservation International, dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia  yang memfokuskan pada upaya-upaya terintegrasi konservasi hutan tropis Sumatera.

Kegiatan yang dilakukan mencakup restorasi habitat dan konservasi jenis-jenis terancam punah pada skala bentang alam, dan penguatan partisipasi dan pengembangan ekonomi konservasi berbasis potensi lokal, serta kegiatan pengembangan kebijakan dan kelembagaan pengelolaan kawasan konservasi.

Proyek Wehea-Kelay

Upaya perlindungan pada Orangutan di Kalimantan telah dilakukan oleh Forum Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Wehea-Kelay yang menerbitkan panduan pengelolaan bentang alam sehingga dapat terwujud dalam komitmen implementasi dari para pengelola kawasan.

Keberadaan sebuah panduan pengelolaaan habitat orang utan skala bentang alam menjadi sebuah kebutuhan. Namun, yang paling penting adalah adanya komitmen implementasi dari para pengelola kawasan di dalam KEE Wehea-Kelay dan masukan-masukan bagi pengembangannya secara berkala.

Di Pulau Kalimantan, dengan bentang alam seluas 532.143 hektare ini, forum KEE Wehea-Kelay mengelola habitat orang utan kalimantan (Pongo pygmaeus morio) dalam skala bentang alam dengan melibatkan berbagai pihak.

Upaya ini sangat kritikal mengingat bentang alam tersebut dikelola oleh konsesi masyarakat, terdapat sejumlah pengelola kawasan yang bergabung ke dalam forum, yaitu lima konsesi IUPHHK-HA, satu IUPHHK-HTI, dua IUP Perkebunan Kelapa Sawit, dan sebuah hutan lindung yang dikelola oleh masyarakat adat Wehea.

Pusat rehabilitasi orang utan di Kalimantan ada di tiga tempat ,yaitu Wanariset-Samboja di Kalimantan Timur, Nyaru Menteng (Palangkaraya) dan Pasir Panjang (Pangkalan Bun).

Sementara itu, di Sumatera pusat rehabilitasi orang utan ada di Batu Mbelin Sibolangit Sumatera Utara. Upaya yang dilakukan untuk menghindari konflik dengan manusia adalah dengan pengelolaan yang tepat melalui sistem zonasi yang dibatasi penghalang alami, embuatan koridor, dan pengayaan habitat.

Strategi yang dilakukan oleh Forum KEE Wehea-Kelay di Kalimantan adalah berdasarkan bentang alam dengan didasarkan pada beberapa prinsip, yaitu:

  1. Habitat orang utan Kalimantan sebagian besar (78 persen) berada di luar kawasan konservasi dan kawasan pelestarian alam, sehingga perlu pengelolaan yang melibatkan para pihak yang berkepentingan.
  2. Perlunya proses pengelolaan yang terintegrasi antara masyarakat dan hukum negara.
  3. Pengelolaan habitat orang utan harus mempertimbangkan faktor ekologi (populasi, distribusi, ketersediaan tumbuhan pakan dan pohon sarang), perilaku dan keamanan dari berbagai ancaman alam dan manusia.
  4. Pengelolaan habitat orang utan harus mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat lokal, status lahan dan Rencana Tata Ruang (RTRW) dan tata kelola wilayah.
  5. Keberadaan satu areal hutan yang utuh (tidak terfragmentasi) akan lebih baik daripada hutan yang terfragmentasi.
  6. Potensi konlik dengan manusia harus menjadi pertimbangan penting.
  7. Mempertahankan orang utan di habitat asli merupakan pilihan terbaik, dan translokasi adalah pilihan terakhir.
  8. Pemegang izin konsesi hutan harus bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan, dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

KOMPAS/NIKSON SINAGA

Dua bayi orangutan berusia 1 dan 2 tahun ditempatkan di kandang besi di kantor Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, di Medan, Sumatera Utara, Jumat (10/1/2020). Orangutan itu disita dari seorang warga Desa Empus, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, yang diduga merupakan pemburu sekaligus pedagang satwa dilindungi. Orangutan terus mengalami tekanan perburuan dan kerusakan habitat.

Kementrian Lingkungan Hidup telah melakukan upaya untuk membalikkan keadaan dari status terancam suatu spesies dan memperbaiki habitatnya atau dengan istilah reverse the red. Selama tahun 2022, beberapa upaya telah dilakukan, yaitu:

  1. Selama pandemi Covid-19, Indonesia telah melepasliarkan 335.047 individu satwa liar ke habitat aslinya sebagai upaya meningkatkan populasi dan variasi genetik di alam
  2. Memperbaiki habitat Jalak Bali di Taman Nasional Bali Barat melalui kerja sama dengan berbagai elemen masyarakat dan stakeholder terkait. Penangkaran Jalak Bali serta pelepasliaran ke alam hingga menaikkan populasi Jalak Bali meningkat dari hanya 15 pada tahun 2000 menjadi 452 pada tahun 2022.
  3. Penangkaran Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di Suaka Badak Sumatera (SRS) Taman Nasional Way Kambas telah menghasilkan tiga ekor anak badak.
  4. Pemantauan satwa liar agar tidak terjadi konflik dengan manusia yaitu GPS Collar pada gajah dan harimau sumatera (Pantera tigris sumatrae), serta pemasangan radio telemetri pada orang utan (Pongon pygmaeus dan Pongo abelii).
  5. Melakukan inseminasi buatan pada populasi satwa liar seperti banteng (Bos javanicus) di Taman Nasional Baluran dan Badak Sumatera di Taman Nasional Way Kambas.

KOMPAS/NIKSON SINAGA

Bayi orangutan jantan berumur tiga tahun, Kaka, tiba di Bandara Kualanamu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Selasa (31/5/2022). Kaka merupakan korban perburuan dan perdagangan ilegal yang sempat dipelihara warga di Bogor dan kini mendapat harapan untuk kembali ke habitat.

Pusat Konservasi Orang Utan

Sejak pembukaan atau alih hutan menjadi hutan industri dan tempat pemukiman warga, orang utan makin tergusur hingga kehilangan tempat tinggal. Yang paling miris adalah pembunuhan orang utan karena dianggap hama pengganggu perkebunan yang mengakibatkan banyak bayi atau anak-anak orang utan kehilangan induknya. Padahal, bayi orang utan sangat tergantung pada induknya sejak lahir hingga berumur 7–8 tahun untuk mendapatkan makanan dan belajar cara bertahan hidup di hutan. Oleh karena itu, bayi orang utan tidak dapat bertahan hidup jika dilepas sendirian dihutan. Mereka harus diajari mencari makan, minum, berteduh, membuat sarang, hingga bertahan dari serangan binatang buas khususnya ular.

Sama halnya dengan orang utan yang diperdagangkan menjadi hewan peliharaan, mereka kehilangan kemampuan bertahan hidup di hutan. Sebagai hewan yang dilindungi, seluruh orang utan harus dikembalikan ke habitat asli di dalam hutan. Hal tersebut membutuhkan upaya besar agar orang utan memiliki keterampilan bertahan hidup di hutan. Di sinilah dibutuhkan tempat menampung orang utan dan melatih mereka kembali pada kemampuan asli sebagai orang utan.

Oleh karena itu, dibuat tempat untuk merehabilitasi orang utan dan menyiapkan mereka agar siap untuk dilepasliarkan ke habitat aslinya di hutan. Ada beberapa tempat rehabilitasi yang dibangun pemerinrah maupun stakeholder internasional, di antaranya:

  • Balai Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP), di Camp Leakey
    Pusat rehabilitasi orang utan pertama di Indonesia yang dibangun tahun 1971. Tempat ini juga dibuka sebagai tempat wisata dan tentunya penelitian. Banyak riset tentang orang utan yang telah dihasilkan dari TNTP. Luas TNTP 415.000 km persegi, membentang dari Kota Pangkan Bun, Kabupaten Kota Wariangin Barat dan Kecamatan Hanau hingga Seruyan Hilir di Kabupaten Seruyan.
  • Borneo Orangutan Survival Foundation
    Lembaga nirlaba milik internasional dan memiliki pusat rehabilitasi di Indonesia, dengan nama Pusat Rehabilitasi Orangutan Nyaru Menteng di Kalimantan Tengah, dan Pusat Rehabilitasi Orangutan Samboja Lestari di Kalimantan Timur. Tentu saja BOS Foundation bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur dan PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia.
  • Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia atau International Animal Rescue (IAR)
    Merupakan lembaga nirlaba lingkungan hidup yang memiliki nota kesepahaman bersama Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Terletak di Sungai Awan Kiri, Kecamatan Muara Pawan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
  • BORA (Bornean Orangutan Rescue Alliance)
    Merupakan lembaga nirlaba gabungan dari Care Orangutan for Protection (COP) dan The Orangutan Project memiliki lokasi di Berau Kalimantan Timur.
  • Taman Nasional Gunung Leuser, adalah hutan lindung yang merupakan tempat habitat orang utan di Sumatera Utara.
  • Pusat Karantina dan Rehabilitasi Orangutan Sibolangit di Desa Batu Mbelin Kecamatan Sibolangit Kebupaten Deli Serdang, Sumatera Utara
  • Lembaga Sumeco dan Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) berlokasi di Kawasan Ekosistem Leuser, Sumatera Utara.

(LITBANG KOMPAS)

Perundangan Kebijakan Konservasi Orangutan dalam Renstra 2007-2017:
  • UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan ekosistemnya, beserta PP No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
  • UU no 24/1992 tentang Penataan Rung Beserta Keppres No. 32/1990 tentang Kawasan lindung yang diperbaharui dengan UU No. 26/2007 tentang Penataan ruang.
  • UU No.5/1994 tentang Pengesahan United Nation Convention on Biological Diversity
  • UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
  • UU NO. 25/2000 tentang Progam Pembangunan Nasional (PROPENAS 2000-2004)
  • Tap MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumbedaya Alam
  • UU 32/2004 tentang Pemerintahan daerah dan UU No. 33/2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Daerah
  • UU No. 14/2000 tentang Paten
  • Agenda 21 Nasional, 1997 KLH melalui proses konsultasi terbatas
  • Inisiatif perumusan RUU Pengelolaan Sumberdaya Alam (RUU PSDA)
  • UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, sudah diperbaharui dengan Perpu No 1 Tahun 2004 dan ditetapkan menjadi UU No. 19/2004 tentang Kehutanan
  • Keppres No. 43/1978 Ratifikasi CITES dengan Dephut sebagai pengelola, LIPI sebagai otoritas ilmiah
  • Keppres No.48/1991 tentang pengesahan Konvensi Lahan Basah (Ramsar); institusi Dephut dan KLH
  • Inisiatif Perumusan RUU Pelestarian dan Pemanfaatan Sumberdaya Genetis
  • RUU Pembalakan liar
  • Inpres No.4/2005 tentang Percepatan pemberantasan pembalakan liar
Regulasi pengelolaan habitat orangutan di Bentang Alam Wehea-Kelay:
  • Undang Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
  • Undang Undang No. 5 Tahun 1994: Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati.
  • Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999: Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004: Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004: Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang
  • Undang Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007: Penataan Ruang
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009: Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
  • Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013: Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
  • PP No. 68 Tahun 1998: Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
  • PP No. 7 Tahun 1999: Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa
  • PP No. 8 Tahun 1999: Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar
  • PP No. 24 Tahun 2010: Penggunaan Kawasan Hutan
  • Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
  • PerMenhut No. P.19/MENHUT-II/2004: Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. N. PerMenhut No. 53 Tahun 2007 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007–2017.
  • PerMenhut No. P.48/Menhut-II/2008 : Pedoman Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa liar sebagaimana telah diubah dengan PerMenhut No. 53/Menhut-II/2014 tentang Perubahan Atas PerMenhut No. P.48/Menhut-II/2008: Pedoman Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa liar
  • PerMen LH No. 29 Tahun 2009: Pedoman Konservasi Keanekaragaman Hayati di Daerah
  • PerMenLHK No. P.12/Menlhk-II/2015: Pembangunan Hutan Tanaman Industri
  • PerMen LHK No. P.26/Menlhk-II/2017: Penanganan Barang Bukti Tindak Pidana Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
  • PerMenLHK No. P.106/Menlhk/Setjen/Kum.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
  • KepMenhut No. 280/Kpts-II/1995: Pedoman Rehabilitasi Orangutan (Pongo pygmaeus) ke habitat alamnya atau ke dalam kawasan hutan.
  • KepMenhut No. 519/Kpts-II/1997: Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan Pembangunan Kehutanan
  • KepMenhut No. 447/Kpts-II/2003: Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar 23
  • PerDirJen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari No.P.14/PHPL/ SET/4/2016: Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (Phpl) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK)
  • PerDirJen KSDAE No. P.5/KSDAE/SET/KUM.1/9/2017: Petunjuk Teknis Penentuan Areal Bernilai Konservasi Tinggi di Luar Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Buru
  • Surat Edaran Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SE.5/KSDAE/KKH/KSA.2/1/2018 tentang Kerja Bersama Perlindungan dan Penyelamatan Orangutan (Pongo pygmaeus) di Kalimantan
  • Perjanjian internasional yang terkait dengan perlindungan orang utan tersebut, antara lain: 1. Konvensi Keanekaragaman Hayati (telah diratifikasi melalui UU No. 5 Tahun 1994). 2. Daftar Merah International Union for Conservation Nature (IUCN) 3. Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) (diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978)