KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Sepasang harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta, Selasa (16/3/2010). Perburuan liar dan perdagangan gelap merupakan ancaman paling serius yang dihadapi satwa dilindungi tersebut yang saat ini kian mendekati kepunahan.
Fakta Singkat
- Harimau bali punah tahun 1940-an, harimau jawa punah tahun 1980-an dan harimau sumatera hingga tahun 2018 tersisa 210 individu.
- Setiap tahun rata-rata 50 ekor harimau sumatera diburu dan diperdagangkan.
- Dalam 25 tahun terakhir terjadi eksploitasi besar-besar pada hutan di Sumatera hingga hanya tersisa 29 persen tutupan hutan primer Sumatera pada tahun 2008.
- Pemerintah memprioritaskan konservasi pada 13 titik kawasan hutan lindung dan taman nasional di Pulau Sumatera untuk menjaga keanekaragaman hayati dan melindungi satwa.
Sebagai negara beriklim tropis, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, dengan hutan hujan tropis yang memungkinkan flora dan fauna tumbuh beraneka ragam termasuk satwa liar.
Dahulu Indonesia pernah memiliki harimau yang terkenal di hutan Bali, Jawa, dan Sumatera. Namun saat ini hanya harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang masih tersisa.
Harimau jawa (Panthera tigris sondaica) dinyatakan punah pada era 1980-an dan harimau bali (Panthera tigris balica) dinyatakan punah pada era 1940-an.
Sejak 1996, harimau sumatera masuk dalam klasifikasi satwa sangat terancam kepunahan (critically endangered) dalam daftar merah (red list) International Union for Conservation of Natures (IUCN).
Menurunnya populasi harimau sumatera dipicu oleh beberapa faktor, yaitu degradasi dan fragmentasi habitat, konflik dengan manusia, eksplotasi sumberdaya alam yang berlebihan, dan kepunahan eksponensial.
Perburuan karena perdagangan ilegal masih terjadi pada harimau sumatera. Organ tubuh harimau bernilai tinggi di pasar gelap internasional. Harimau semakin sulit mencari makanan (berburu mangsa), karena habitat mereka yang terus dialihkan fungsi sehingga konflik harimau dengan manusia tidak dapat dihindarkan.
Dalam studi yang dilakukan WWF bersama dengan TRAFFIC dan lembaga konservasi IUCN tahun 2008, diketahui bahwa setiap tahun paling tidak 50 ekor harimau diburu. Harimau diburu untuk diambil bagian-bagian tubuhnya, mulai dari kulit, kumis, kuku, taring, hingga dagingnya.
Bahkan, sebagian pemburu percaya pada mitos jika harimau memiliki kekuatan magis. Harimau dipercaya sebagai hewan yang memiliki citra tangguh dan berwibawa sehingga dianggap dapat menjadi kekuatan supranatural.
Perdagangan harimau cukup marak di pasar gelap. Dalam CITES (konvensi tentang perdagangan satwa dan tumbuhan) disebutkan harimau sumatera masuk dalam kategori tidak boleh diperdagangkan termasuk bagian-bagian tubuhnya atau seluruhnya.
Usaha konservasi harimau sumatera telah dilakukan pemerintah, tapi tampaknya berbagai persoalan terus terjadi seperti konflik harimau dengan manusia. Hal ini terjadi karena habitat harimau sumatera terus menyempit. Antara tahun 1985 hingga 2007 tutupan luas hutan di Sumatera berkurang 48 persen akibat alih fungsi hutan, pembalakan liar dan kebakaran.
Berdasarkan data Kementerian Kehutanan (2008) pada periode 2003–2006 kerusakan hutan dan deforestasi hutan Sumatera paling besar daripada wilayah lain di Indonesia. Deforestasi hutan Sumatera menyumbang 22,8 persen terhadap deforestasi total di Indonesia, yaitu 1,17 juta ha pertahun.
Pada tahun 2008, tutupan hutan primer Sumatera hanya tersisa 29 persen, padahal untuk kawasan penyangga kehidupan dan konservasi sekurang-kurangnya harus 40 persen. Kawasan yang masih tersisa hanyalah di wilayah kawasan konservasi atau hutan lindung yang berada di wilayah dataran tinggi. Padahal di dataran tinggi keanekaragaman hayati dan satwa relatif lebih sedikit dibanding di wilayah dataran rendah.
Oleh karena itu, harus ada upaya terencana untuk mampu mempertahankan satwa langka tersebut. Jika tidak dilakukan upaya tersebut, dikhawatirkan harimau sumatera akan punah seperti halnya harimau bali dan harimau jawa.
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Ucok, harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) asal Nanggroe Aceh Darussalam di kandang rehabilitasi di Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) di kawasan Tambling, Lampung, Jumat (6/11/2009). Ucok dan kelima harimau sumatera lainnya akan dilepasliarkan di kawasan TWNC yang memiliki luas area 45.000 hektar.
Artikel Terkait
Harimau Sumatera
Harimau di Indonesia termasuk dalam spesies panthera tigris sondaica, mengacu pada keberadaan harimau di Pulau Jawa, Bali dan Sumatera. Harimau sumatera memiliki postur tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan sub spesies Harimau Kontingental (panthera tigris tigris).
Dengan corak warna kulit yang lebih gelap, mulai dari kuning kemerah-merahan hingga oranye tua dan memiliki garis loreng yang lebih rapat. Tinggi jantan dewasa mencapai 60 cm dan panjang dari kaki hingga kepala mencapai 250 cm dengan berat hingga 140 kg, sedangkan betina memiliki panjang rata-rata 198 cm dan berat hingga 91 kg.
Karakteristik harimau sumatera:
- Kriptif: yaitu menyamarkan dirinya dengan sekitar untuk dapat berburu mangsa
- Elusif: cenderung menghindar pertemuan dengan manusia.
- Daya jelajah luas: karakter harimau membutuhkan ruang jelajah yang sangat luas, mereka membutuhkan ruang yang tidak terfragmentasi sekitar 180-380 kilometer persegi. Sedangkan wilayah jelajah harimau betina akan berada di sekitar induknya yaitu sekitar 40-70 kilometer persegi.
- Kepadatan rendah: harimau sumatera memiliki kepadatan yang rendah, misalnya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan diperkirakan sebanyak 3,2 ekor per 100 km persegi, sedangkan di TN Kerinci Seblat diperkirakan 1,2 ekor per 100 km persegi.
- Tergantung mangsa: sebaran harimau tergantung pada limpahan mangsa utama yaitu rusa, babi hutan, dan kijang, daya jelajahnya tergantung ketersediaan mangsa mereka.
- Teritorial: harimau menguasai daerah tertentu untuk bertahan hidup dan berkembang biak. Luasan teritorinya tergantung pada lingkungan, jenis kelamin, kelas umur dan keberadaan mangsanya. Luasan teritori harimau betina yang sedang membawa anak tentunya berbeda dengan luasan harimau jantan yang biasanya mencari beberapa harimau betina.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Mery, seekor harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) berumur 16 tahun, melahirkan tiga ekor anak di kandangnya di Kebun Binatang Surabaya (KBS) Jawa Timur, 25 September 2002. Kelahiran ini merupakan yang kelima bagi Mery yang juga lahir di KBS. Beberapa kebun binatang juga mengoleksi harimau sumatera, tetapi perburuan terhadapnya terus berlangsung.
Berdasarkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang dilakukan tahun 2016 dengan metode pemodelan Population Viability Analysist (PVA), PVA adalah alat untuk mengkaji viabilitas sub-populasi di lanskap berbeda, di bawah skenario ancaman tertentu seperti harvest, deforestasi, kombinasi harvest dan deforestasi serta metapopulasi.
Dari hasil PVA tersebut diperkirakan masih ada 603 ekor harimau sumatera di tahun 2016 yang tersebar dalam 23 lanskap di Sumatera dengan jumlah masing-masing berkisar antara 1 hingga 185 individu. Kegiatan PVA tahun 2016 ini membawa kebaruan data populasi harimau, karena informasi terakhir yang rilis pemerintah adalah tahun 1994.
Data yang dikeluarkan oleh Statistik Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK 2018 menyebutkan populasi harimau sumatera hanya sekitar 210 individu. Angka 210 ini dikumpulkan dari Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Riau, Balai Besar Taman Nasional (BBTN) Bukit Barisan Selatan, Balai Taman Nasional (BTN) Bukit Tiga Puluh, BTN Berbak Sembilang, BTN Way Kambas, BKSDA Jambi dan BTN Kerinci Seblat. Angka tersebut merupakan estimasi yang diambil dari 20 situs di seluruh Sumatera.
Angka ini jauh lebih kecil jika dibandingkan hasil pengujian yang dilakukan oleh IUCN tahun 2008 dengan pengujian di 10 bentang alam dari 23 bentang alam yang masih ada. Hasil dari pengujian tersebut diperkirakan tahun 2008 masih ada sekitar 441-579 individu harimau sumatera. Dari hasil pengujian tersebut juga diketahui bahwa harimau sumatera tidak menyukai bentang alam dengan elevasi tinggi, harimau memilih alam dengan bentang alam landai sehingga konflik dengan manusia kerap terjadi.
Populasi Harimau Sumatera
Tahun |
Populasi (Individu) |
1978 | 1.000 |
1985 | 800 |
1991 | 500 |
2007 | 325 |
2015 | 517 |
2018 | 210 |
Sumber : Renstra 2015 dan BKSDA
Upaya diplomasi yang telah dilakukan:
- Tahun 2004 pemerintah telah menetapkan kawasan Tesso Nilo sebagai Taman Nasional untuk harimau sumatera
- Tahun 2010 saat KTT Harimau di St. Petersburg yang dihadiri oleh 12 negara telah berkomitmen melakukan upaya pelestarian harimau bahkan menambah jumlahnya menjadi dua kali lipat pada tahun 2022
- Pelestarian harimau sumatera telah ditetapkan sebagai tujuan global dengan Program Nasional Pemulihan Harimau Indonesia dan meliputi enam lanskap prioritas harimau sumatera yaitu: Ulumasen, Kampar-Kerumutan, Bukit Tigapuluh, Kerinci Seblat, Bukit Balai Rejang Selatan dan Bukit Barisan Selatan.
Selain menghentikan ancaman, salah satu upaya lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keamanan habitat adalah:
- Dispersal alami, melalui koridor antar lanskap yang mendukung perpindahan populasi secara alami
- Translokasi, dengan populasi besar sebagai sumbernya
- Perlindungan terhadap populasi kecil agar dapat menjadi sumber genetik
KOMPAS/ZULKARNAINI
Ahli satwa lindung drh Taing Lubis memperlihatkan kulit dan tulang belulang harimau sumatera barang bukti dalam kasus perdangangan satwa lindung yang melibatkan eks Bupati Bener Meriah, Ahmadi, Jumat (3/6/2022). Selain Ahmadi dua orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah menetapkan arahan spasial yang ditentapkan dalam Rancangan Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera tahun 2010 demi melestarikan kawasan hutan lindung bervegetasi hutan minimal 40 persen dan keanekaragaman hayati hutan tropis basah. Saat itu kawasan yang ditetapkan adalah kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata, taman wisata laut dan taman buru.
Rancangan RTR Pulau Sumatera telah ditetapkan sebanyak 8 suaka margasatwa dari total 23 suaka margasatwa yang ada di Pulau Sumatera untuk pelestarian harimau. Selain itu ditetapkan 11 taman nasional dan 11 cagar alam agar habitat harimau sumatera terjaga lebih baik.
Suaka Margasatwa yang telah ditetapkan yaitu Taman Nasional Gunung Leuser, Taman Nasional Batang Gadis, Taman Nasional Tesso Nilo, Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Taman Nasional Berbak, Taman Nasional Gunung Kerinci Seblat dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Taman Nasional Sembiling.
Penataan ruang ini akan memberikan andil besar dalam penyelamatan dan ekosistem dan keanekaragaman hayati Indonesia sehingga diperlukan sinkronisasi antara rencana tata ruang dengan lokasi kantong habitat harimau sumatera agar habitat spesies tersebut bertumbuh dengan baik.
Kantong Harimau Sumatera
Lanskap Besar (daya tampung lebih dari 70 individu)
- Leuser-Ulumasen Aceh
- Batang Gadis, Sumatera Utara
- Rimbang Baling, Riau
- Batang Hari, Jambi
- Kerinci Seblat, Jambi
Lanskap Medium (daya tampung: sekitar 70 individu)
- Dolok Surungan, Sumatera Utara
- Batang Toru, Sumatera Utara
- Barumun, Sumatera Utara
- Pasaman, Sumatera Barat
- Bukit Tiga Puluh, Riau
- Hutan Harapan, Riau
- Bukit Balai Rejang Selatan, Bengkulu
- Bukit Barisan Selatan, Lampung
Lanskap Kecil
- Senepis-Buluhala, Riau
- Giam Siak Kecil, Riau
- Teso Nillo, Riau
- Semenanjung Kampar, Riau
- Kerumutan, Riau
- Bramitan, Jambi
- Bukit Dua Belas, Jambi
- Dangku, Sumatera Selatan
- Berbak-Sembilang, Sumatera Selatan
- Way Kambas, Lampung
Dalam Strategi Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera periode 2008-2028 yang diselenggarakan pada September 2017 diungkapkan bahwa periode waktu 2014-2016 sebanyak 48 orang telah dihukum terkait dengan perdagangan harimau sumatera, 810 jerat ditemukan dan 87 kasus konflik manusia dan harimau ditangani. Penghitungan estimasi populasi harimau sumatera juga telah dilakukan dengan permodelan Population Viability Analysis (PVA) pada tahun 2016 dan diperkirakan sebanyak 600-an individu terdistribusi di seluruh Sumatera baik itu lanskap tipe kecil, sedang maupun besar.
Pada awal Mei 2019 Pemerintah melalui Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Direktorat KKH) bersama dengan BKSDA Jambi dan beberapa provinsi di Sumatera yaitu Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung serta LSM, Perguruan Tinggi, dan mitra konservasi yaitu ZSL, Harimau Kita, Fauna dan Flora Internasional, SINTAS Indonesia, WS, WWF, Sumatran Tiger, GEF dan UNDP berkumpul untuk melakukan kegiatan Strategi Rencana Aksi Konservasi harimau sumatera.
Untuk Strategi Rencana Aksi Konservasi 2019-2029 dibahas berbagai persoalan konservasi harimau sumatera dan merencanakan yang akan diimplementasikan terkait konservasi harimau sumatera.
Untuk mengetahui perkembangan jumlah populasi harimau sumatera dilakukan menggunakan kamera perangkap seperti yang dikerjakan oleh BBTNKS (Balai Taman Nasional Kerinci Seblat) dan Fauna dan Flora Internasional (FFI) dari tahun 2005 hingga 2021. Dengan kamera perangkap berhasil mengidentifikasi 93 individu harimau sumatra di kawasan TNKS (Taman Nasional Kerinci Seblat).
Kelahiran bayi harimau merupakan sebuah kegembiraan karena populasinya bertambah, pada tahun 2015 berdasarkan kamera trap BBSDA Riau diketahui kelahiran tiga ekor anak harimau dari indukan bernama Rima.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Petugas Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara dan Polda Sumut menunjukkan kulit harimau sumatera yang disita dari pedagang illegal hewan dilindungi, di Medan, Kamis (31/1/2019). Kulit satu ekor macan dahan juga disita dari pedagang itu. Di tengah kondisi terancam punah, satwa itu terus diburu di Taman Nasional Gunung Leuser.
Berikutnya tahun 2016 di Kawasan Lindung Rimbang Baling, Sumatera bagian tengah diketahui tiga ekor kelahiran anak harimau dan tahun 2017 terjadi kelahiran empat anak harimau dari indukan berma Rima dan Uma.
Pada 2018 di Barumun Nagari Wildlife Sanctuary, Sumatera Utara lahir empat anak harimau, sebuah berita yang menggembirakan dan menambah optimisme bahwa populasi harimau sumatera akan meningkat.
Ketika konflik manusia dan harimau terjadi karena satwa langka itu memasuki desa pemukiman penduduk maka yang paling mungkin dilakukan adalah evakuasi atau translokasi.
Hal ini tentu saja bukan perkara mudah karena membutuhkan dukungan dan dana yang tidak sedikit. Untuk menangkap harimau yang berkeliaran di desa salah satu upaya yang dilakukan adalah menggunakan perangkap jebak (box trap). Seperti yang pernah terjadi di Desa Pangkalan Sulampi, Kecamatan Suro Makmur, Kabupaten Aceh Singkil.
Selanjutnya Harimau Sumatera Suro dititipkan sementara ke Balai Besar KSDA Sumatera Utara di Lembaga Konservasi Barumun Nagari Wildlife Sanctuary, Kabupaten Padang Lawas Sumatera Utara untuk memberikan kenyamanan serta guna dilakukan observasi lebih jauh oleh Tim medis BKSDA Aceh, FKL, BBKSDA Sumatera Utara, dan Yayasan Persamuhan Bodhicitta Mandala Medan.
Setelah dianggap layak untuk dilepasliarkan akhirnya di bawa ke wilayah Taman Nasional Gunung Leuser dipilih berdasarkan kajian yang dilakukan oleh tim yang terdiri dari BBTNGL, WCS-IP, FKL dan masukan para pihak yang memiliki keahlian teknis tentang Harimau Sumatera. Dengan mempertimbangkan kajian populasi, keberadaan satwa mangsa, dan ancaman, dan sebelumnya dilakukan operasi sapu jerat oleh tim BBTNGL, untuk mengantisipasi dan meminimalisir ancaman khususnya jerat.
Pada tahun 2021 dan 2022 sebanyak 2 individu harimau sumatera juga sebelumnya telah dilepasliarkan ke dalam kawasan TNKS dan ditambah lagi dengan pelepasliaran harimau sumatra bernama Surya Manggala dan Citra Kartini akan menambah jumlah harimau sumatra yang berhasil teridentifikasi menjadi 97 individu pada kawasan TNKS.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Tiga bayi harimau sumatera dilahirkan Uni, induknya, Rabu (25/1/2011) di Kebun Binatang Taman Rimbo Jambi. Kelahiran mereka menjadi keberhasilan penangkaran satwa liar berstatus sangat terancam punah ini. Ketiganya masih membutuhkan tambahan asupan susu formula.
Konservasi Hutan di Pulau Sumatera
Melindungi satwa tentunya haruslah dimulai dengan melindungi habitat hidup mereka yang makin rusak oleh ulah manusia. Kehilangan hutan di Sumatera diketahui dari berkurang tutupan luas hutan antara tahun 1985 hingga tahun 2007 berkurang sebesar 48 persen akibat alih fungsi hutan, pembalakan liar dan kebakaran. Maka dari itu dibutuhkan upaya untuk merehabilitasi kembali hutan Sumatera.
Pada Renstra 2010-2015 pemerintah telah menetapkan 134 unit kawasan konservasi di wilayah Sumatera dengan total luas keseluruhan 5.742.196,17 ha dengan bagian terbesar berupa 11 taman nasional seluas 3.882.218,48 ha. Hal itu untuk menyelamatkan keanekaragaman hayati di Pulau Sumatera yang memiliki 260 spesies yang telah masuk ancaman punah, bukan hanya harimau tetapi juga Orangutan, badak sumatera, mentok rimba, bunga raflesia dan lainnya. Sumatera adalah satu dari 34 wilayah di dunia yang terkenal dengan kekayaan flora dan fauna.
Untuk melestarikan harimau, pemerintah Indonesia bekerjasama dengan bantuan Pemerintah Amerika Serikat bersama dengan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) dan Conservation International Foundation.
Beberapa pihak ini membuat kesepakatan yang mengalihkan hutang Indonesia untuk memfasilitasi pembiayaan konservasi, perlindungan, restorasi (pemulihan) dan pemanfaatan sumberdaya hutan tropis di Pulau Sumatera yang disebut dengan Program TFCA-Sumatera (Tropical Forest Conservation Action-Sumatera).
Hal itu dimaksudkan untuk program pelestarian hewan terancam punah di Sumatera seperti harimau dan badak sumatera dan Orangutan. Maka Renstra periode 2010-2015 dilanjutkan kembali dalam Renstra 2015-2020 yaitu dengan menitikberatkan pada intervensi bentang alam.
Program TFCA-Sumatera berorientasi pada pengelolaan ekosistem prioritas di tingkat bentang alam. Kawasan prioritas ini akan menjadi basis konservasi keanekaragaman hayati dalam skala bentang alam yang didukung oleh pengelolaan seluruh elemen sumberdaya alam dan sekitarnya secara berkelanjutan. Hal itu berlaku dalam lingkung kehutanan, pertanian, pesisir pantau, pembangunan infrastruktur dan perekonomian.
Salah satu upaya yang paling utama adalah konservasi hutan yang menjadi habitat asli harimau sumatera. Menurut data ada 13 kawasan konservasi hutan di Pulau Sumatera, yaitu :
- Hutan Seulawah-Ulu Masen
- Hutan Dataran Rendah Angkola
- Taman Nasional Way Kambas
- Taman Nasional Bukit Tiga Puluh
- Taman Nasional Tesso Nilo
- Taman Nasional Siberut Kepulauan Mentawai
- Ekosistem Sembilang-Taman Nasional Berbak
- Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
- Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser
- Ekosistem Kerinci Seblat
- Kerumutan-Semenanjung Kampar-Senepis
- Batang Toru
- Taman Nasional Batang Gadis
Dari hasil konservasi itu hingga 2020 capaian yang telah dihasilkan adalah 12 skema perhutanan sosial dengan membangun delapan unit prasarana mitigasi konflik dan berhasil rehabilitasi 4.725 hektar lahan kritis. Dengan harapan jika progam ini berhasil maka akan mampu mengurangi emisi karbon nasional 26 persen dari keberadaan hutan Sumatera.
Fokus program TFCA-Sumatera adalah pada bentang alam dan keanekaragaman hayati kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan dapat menghasilkan dampak yang nyata seperti:
- Terpeliharanya ekosistem-ekosistem hutan pada tingkat bentang alam melalui berbagai intervensi, termasuk mendorong terwujudnya kondisi pemungkin seperti penggunaan lahan dan tata ruang yang berkelanjutan dan perbaikan kebijakan yang mengedepankan konservasi hutan
- Terpeliharanya habitat hidupan liar melalui pelaksanaan pengelolaan secara efektif kawasan kawasan konservasi prioritas, membangun dan mengelola koridor satwa untuk menciptakan ketersinambungan habitat serta mendorong praktek-praktek pengelolaan terbaik sumberdaya alam di daerah penyangga kawasan konservasi dan kawasan-kawasan dengan nilai konservasi tinggi
- Meningkatnya populasi spesies kunci yang terancam punah dan terkendalinya populasi spesies yang bernilai komersial melalui kegiatan-kegiatan pemulihan dan penyelamatan populasi dan habitat jenis terancam punah dan pengaturan pemanfaatan jenis-jenis komersial;
- Terciptanya pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan baik di tingkat ekosistem, spesies maupun genetik yang berdampak pada kelestarian hutan
- Meningkatnya taraf hidup masyarakat sekitar hutan sebagai bagian dari insentif yang pada gilirannya berpengaruh pada kelestarian hutan;
- Meningkatnya peran pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dalam konservasi hutan sehingga mendorong terciptanya kebijakan-kebijakan daerah yang memberikan insentif bagi konservasi hutan.
Dalam Laporan Tahunan KEHATI 2020, intervensi TFCA-Sumatera diarahkan pada empat tingkat yaitu: intervensi kebijakan dan kelembagaan, intervensi bentang alam (landscape), intervensi spesies terancam punah (harimau, badak, gajah dan Orangutan) dan intervensi pengembangan sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Dukungan KEHATI untuk TFCA-Sumatera merupakan progam hibah dengan beberapa bentuk
- Penguatan Kelembagaan dan Kebijakan, yaitu berbagai progam yang terkait dengan pelestarian hutan baik aksi untuk hutan lindung maupun Dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) yang meliputi: SRAK Orangutan 2019-2027, SRAK Gajah 2019-2029, serta SRAK Harimau 2019-2029.
- Pengembangan Sistem Informasi Desa, konservasi taman nasional, penegakan hukum untuk kejahatan perambahan taman nasional dan satwa langka serta membentuk kemitraan untuk mengawal kasus kejahatan.
- Kegiatan pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan di tingkat bentang alam. Dengan mengembangkan berbagai modep pengelolaan ekosistem seperto restorasi lahan gambut, dan mengembangkan model re-forestasi lahan rakyat serta re-forestasi habitat Orangutan. Memperkuat batas dan memperjelas batas untuk menghindari konflik tenurial.Konflik tenurial adalah berbagai bentuk perselisihan atau pertentangan klaim penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan dan lahan serta sumberdaya alam lainnya.
- Kegiatan konservasi dan pemulihan populasi spesies terancam punah.
Dalam hal ini adalah habitat spesies kunci yaitau gajah, harimau, badak, dan Orangutan) di enam kantong spesies utama yaitu TN Gunung Leuser, TN Bukit Tiga Puluh, TN Tesso Nilo, TN Way Kambas, TN Kerinci Seblat dan Suaka Margasatwa Kerumutan.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Anggota Kepolisian Daerah Sumatera Barat memperlihatkan kulit harimau sumatera (Phantera tigris sumatrae) dan offset harimau (kulit harimau sumatera yang sudah diawetkan), Selasa (23/4/2019). Kulit dan offset harimau sumatera tersebut merupakan barang bukti yang disita dari penangkapan dua tersangka yakni S (39) dan A (43) di Kota Bukittinggi, Jumat (19/4/2019).
Perlindungan Harimau
Selain konservasi hutan, mencegah perburuan harimau sumatera juga dilakukan pihak terkait dengan membentuk tim patroli perlindungan hutan habitat harimau sumatera, perdagangan ilegal harimau mengakibatkan kerugian negara lebih dari sembilan triliun per tahun.
Pangkal dari perdagangan ilegal harimau sumatera adalah para pemburu di dalam hutan kemudian dibawa pada sindikat yang terorganisir, yang menempati urutan ke-empat setelah perdagangan narkoba, senjata dan perdagangan manusia.
Perdagangan organ tubuh harimau sangat rapi dan tertutup serta memiliki jalur perdagangan yang panjang dan berlapis-lapis sehingga sangat sulit terbongkar. Hal itu sulit terdeteksi karena harimau dibunuh di tempat dalam hutan kemudian di bongkar dan langsung dimutilasi dan dikuliti dalam hutan. Sehingga para pemburu bisa langsung keluar hutan hanya dengan potongan-potongan tubuh harimau dan tidak terdeteksi oleh penjaga hutan.
Untuk menjebak harimau pun mudah, cukup dengan meletakkan sling baja yang kecil di jalur jejak hewan yang biasa menjadi makanan harimau. Tidak membutuhkan modal besar untuk memburu harimau dan dapat dikerjakan sedikit orang, tetapi harga cukup menggiurkan yaitu 35 juta rupiah untuk satu tubuh harimau di tingkat penerima pertama.
Bagian tubuh harimau memiliki harga yang sangat menggiurkan, satu taring harimau dewasa bisa dihargai belasan juta rupiah, apalagi jika ukurannya mencapai 1,6 meter. Pembeli pertama biasanya orang Indonesia setelah itu beralih ke kurir atau pembeli berikutnya, pasar akhir perdagangan harimau adalah Vietnam dan Cina.
BKSDA membentuk Tim Pelestarian Harimau Sumatera, yang bertugas melakukan patroli, pemantauan pembalakan liar dan membersihkan jerat (sling baja) harimau serta memerangi perburuan dan pejualan harimau sumatera. Tim PHS ini seringkali melakukan patroli di kawasan TN Kerinci Seblat (TNKS).
Selama lebih dari dua dekade pemerintah melalui pemerintah daerah membentuk unit pelaksana teknis di Sumatera untuk memantau populasi harimau dengan pencatatan keberadaan, pendugaan dan dinamika populasinya. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi
- Undang-undang no. 41/1999 tentang Kehutanan
- Undang-undang No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
- Convention on Biological Diversity , United Nations, 1992
- Convention Concerning the Protection World Cultural and Natural Heritage (World Heritage Convention-UNESCO)
- ASEAN Agreement on the Coservation of Nature and Natural Resources 1985
- Laman Harimau Kita
- Laman WWF Indonesia: Species Harimau Sumatera
- Laman PPID Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
- Laman Kementerian Agraria dan Tata Ruang
- Laman Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan: Harimau Sumatera dan Habitat
- Laman Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-Sumatera)