Paparan Topik | Kecerdasan Buatan

Kecerdasan Buatan: Sejarah, Perkembangan, dan Potensinya

Teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence terus berkembang pesat dan pemakaiannya kian meluas. Kemampuannya dalam menjalankan sejumlah pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan manusia merupakan peluang yang terus dimanfaatkan.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Sophia, robot yang didukung dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang diaktifkan pada 2016 dan diciptakan oleh perusahaan Hanson Robotics yang berbasis di Hong Kong, saat melakukan wawancara khusus dengan media pada CSIS Global DIalogue 2019 di Jakarta, Senin (16/9/2019). Sophia diperkenalkan sebagai wujud masa depan teknologi AI, yaitu saat manusia dan robot dapat kerja sama di berbagai bidang. Menurut International Federation of Robotics (IFR), penggunaan robot pada 2020 diperkirakan mencapai tiga juta unit atau meningkat tiga kali lipat dalam 10 tahun terakhir.

Fakta Singkat

Kronologi Perkembangan AI:

  • 1950, Alan Turing, ahli matematika asal Inggris, menerbitkan jurnal Computing Machinery and Intelligence dan memperkenalkan Tes Turing.
  • 1955, Allen Newell, Herbert A. Simon, dan Cliff Shaf berhasil menciptakan program “Logic Theorist” yang dapat membuktikan teori-teori dalam Principia Mathematica.
  • 1956, sejumlah ilmuwan komputer mengadakan konferensi di Dartmouth College, New Hampshire, Amerika Serikat. John McCharty memperkenalkan istilah “artificial intelligence”.
  • 1980, Edward Feigenbaum mengenalkan expert system, yang mampu meniru keputusan seorang ahli.
  • 1982, Kementerian Perdagangan dan Industri Jepang mengumumkan proyek Fifth Generation Computer Project (FGCP), dengan total investasi 400 juta dollar AS.
  • 1987, diselenggarakannya Seminar Kecerdasan buatan di Universitas Trisakti.
  • 1997, Deep Blue, program AI yang dikembangkan perusahan teknologi IBM, berhasil memenangkan pertandingan melawan juara dunia catur, Grandmaster Garry Kasparov.
  • 2010–2014, produsen smartphone mulai memperkenalkan AI dalam produk-produk mereka.

Potensi Penerapan AI:

  • Mendorong peningkatan ekonomi
  • Menciptakan pekerjaan baru
  • Mengurangi biaya operasional
  • Meningkatkan produktivitas

Tantangan AI:

  • Masih sulitnya menemukan SDM yang memiliki keahlian teknis mengerjakan aktivitas terkait AI.
  • Ekosistem AI yang belum matang.
  • Tata kelola data dan infrastruktur yang ada masih kurang memadai.
  • Belum adanya regulasi yang komprehensif, seperti perlindungan privasi, pembatasan berbagai data, transparansi model AI, dan lainnya.
  • Adanya resistensi terhadap AI oleh sebagian orang.

Strategi Nasional

Lima sektor prioritas pengembangan kecerdasan artifisial:

  • layanan kesehatan
  • reformasi birokrasi
  • pendidikan dan riset
  • ketahanan pangan
  • mobilitas dan kota pintar

Empat area fokus Stranas:

  • etika dan kebijakan
  • pengembangan talenta
  • infrastruktur dan data
  • riset dan inovasi industri

Beberapa waktu lalu media sosial kembali ramai dengan perbincangan warganet terkait artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Hal tersebut dipicu oleh kemunculan aplikasi berbasis AI bernama ChatGPT yang mampu menjawab pertanyaan dengan memberikan jawaban yang cukup baik dan cepat.

ChatGPT yang merupakan singkatan dari Chat Generative Pre-trained Transformer, secara harafiah dapat diartikan sebagai Transformer Generatif Chat Terlatih.

Terkesan dengan kemampuan ChatGPT, warganet di media sosial pun banyak yang membagikan pengalaman interaksi mereka dengan ChatGPT. Dari unggahan warganet, ChatGPT diketahui mampu menjawab sejumlah pertanyaan, dari pengetahuan umum hingga soal matematika, sehingga tak sedikit pula pelajar yang mencoba menggunakan ChatGPT untuk menjawab soal-soal tugas, bahkan soal ujian.

ChatGPT sendiri merupakan alat pemrosesan bahasa alami yang didukung oleh basis data besar atau big data untuk mereplikasi percakapan manusia. Aplikasi ini dilatih menggunakan metode pembelajaran Reinforcement Learning from Human Feedback (RLHF), menggunakan umpan balik manusia untuk membantu mempelajari arahan dan menghasilkan tanggapan.

Dengan metode tersebut memungkinkan ChatGPT menjawab pertanyaan dan membantu dalam menyelesaikan tugas-tugas, seperti menulis email, esai hingga kode hanya dengan perintah berupa teks.

Oleh karena kemampuannya, pencarian dan penggunaan aplikasi yang dikembangan oleh perusahan teknologi Open AI yang berbasis di San Fransisco, Amerika Serikat ini meningkat pesat. Laporan UBS menunjukan, penggunan ChatGPT telah mencapai 100 juta dalam waktu dua bulan.

Sebelum tren ChatGPT, media sosial juga sempat dihebohkan dengan postingan warganet yang membagikan gambar animasi atau avatar dari foto dirinya. Dari penelusuran, gambar-gambar tersebut ternyata hasil suntingan dari aplikasi bernama Lensa AI. Aplikasi berbasis AI yang dikembangkan Prisma Labs yang dapat menyulap foto selfie menjadi berbagai karakter animasi.

Lensa AI sudah ada di Google Playstore sejak 2018, namun baru viral pada akhir tahun 2022 karena adanya fitur baru, yaitu Magic Avatar. Melalui fitur tersebut pengguna dapat mengubah foto diri menjadi gambar animasi yang tampak realistis dan artistik dalam hitungan menit.

Meski berbayar, pada Desember 2022, aplikasi ini menduduki posisi teratas kategori foto dan video di Playstore. Beberapa tokoh publik pun kedapatan menggunakannya dan mengunggah gambar avatar dirinya ke sosial media seperti Twitter dan Instagram.

 KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Siswa`Sekolah Dasar Pluit, Jakarta merakit ulang robot untuk diikutsertakan dalam kompetisi robot pada kategori Legged Robot Obstacle Race di Mal Taman Palem, Jakarta, Sabtu (21/3/2009). Kompetisi robot yang diselenggarakan lembaga pendidikan robotik Simulated Artificial Robot Intelligence tersebut diperuntukan khusus bagi siswa SD dan SMP.

Apa itu AI atau Kecerdasan Buatan?

Pada 2004, melalui sebuah artikel berjudul “What is Artificial Intelligence”, John McCharty yang pertama kali memperkenalkan istilah tersebut pada tahun 1956, mendefiniskan AI sebagai suatu ilmu dan teknik pembuatan mesin cerdas, khususnya program komputer cerdas.

Sedangkan menurut Encyclopedia Britannica, artificial intelligance adalah kemampuan komputer digital atau robot yang dikendalikan oleh komputer untuk melakukan tugas-tugas yang umumnya terkait manusia karena membutuhkan kecerdasan dan kearifan manusia. Meskipun tidak ada AI yang dapat melakukan berbagai macam tugas yang dilakukan manusia biasa, beberapa AI dapat menandingi manusia dalam tugas tertentu. 

Sementara artificial intelligence yang padanan katanya dalam bahasa Indonesia adalah kecerdasan buatan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai program komputer yang meniru kecerdasan manusia, seperti mengambil keputusan, menyediakan dasar penalaran, dan karakteristik manusia lainnya.

Dari ketiga definisi tersebut, secara umum artificial intelligence atau kecerdasan buatan merupakan teknologi yang dirancang untuk mampu meniru kecerdasan manusia dan mengerjakan tugas manusia. Oleh karenanya, AI memiliki keterampilan seperti manusia, yaitu kognitif, pembelajaran, dan penalaran.

AI mencakup banyak disiplin ilmu seperti ilmu komputer, psikologi, matematika, dan robotika, serta membutuhkan kumpulan data untuk memahami dan menyimpulkan informasi. Selain itu, AI memiliki beberapa subbidang utama, di antaranya adalah jaringan saraf (neural network), pembelajaran mesin (machine learning), pembelajaran mendalam (deep learning), pemrosesan bahasa alami (natural language processing/ NLP), dan visi komputer.

Adapun kategorinya, AI dibagi menjadi dua, yaitu weak AI dan strong AI. Weak AI adalah sistem AI yang dirancang untuk mengerjakan tugas tertentu, sifatnya terbatas. Sedangkan strong AI dirancang dengan kemampuan kognitif setara manusia secara umum untuk mengerjakan masalah yang lebih kompleks.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Pemanfaatan aplikasi berbasis kecerdasan buatan (Artificial intelligence/AI), ChatGPT, di sebuah kantor di Jakarta, Selasa (7/3/2023). ChatGPT adalah chatbot AI berupa model bahasa generatif yang menggunakan teknologi transformer untuk memprediksi probabilitas kalimat atau kata berikutnya dalam suatu percakapan ataupun perintah teks.

Sejarah Perkembangan Artificial Intelligence

Artificial Intelligence baru hadir dengan wujudnya nyata pada pertengahan abad ke-20, seiring dengan berkembangnya ilmu komputer. Namun, secara konsep, akar pemikiran terkait AI dapat ditelusuri sejak zaman Yunani Kuno atau sekitar 2.700 tahun yang lalu, dalam ranah fiksi.

Imajinasi manusia terkait AI sudah didapati dalam salah satu kisah mitologi Yunani, yang menceritakan Dewa Hephaestus membuat patung perunggu manusia raksasa bernama Talos yang kemudian diberi kecerdasan dan jiwa (Kompas, 8/3/2023, “Perkembangan Kecerdasan Buatan, Tonggak Bersejarah hingga Capaian Terkini”).

Imajinasi tentang makhluk artifisial pun terus berlanjut dalam karya-karya fiksi. Bruce G. Buchanan dalam “A (Very) Brief History of Artificial Intelligence menyebutkan, sepanjang abad ke-20, tidak sedikit penulis yang menciptakan karya-karya fiksi dengan cerita robot dan makhluk artifisial lainnya. The Wonderfull Wizard of Oz (1900) dan Tiktok of Oz (1914) karya L. Frank Baum, dan Runaround (1942) karya Isaac Asimov menjadi beberapa dari karya fiksi yang menceritakan adanya makhluk artifisial yang dapat berbicara, berpikir, dan bertindak layaknya manusia.

Isaac Asimov dalam Runaround, misalnya, bercerita tentang Robot yang diciptakan oleh Gregory Powell dan Mike Donovan berkembang dalam tiga hukum robotika. Pertama, robot tidak boleh melukai manusia atau, karena tidak bertindak, mengizinkan manusia untuk datang menyakiti. Kedua, robot harus mematuhi perintah yang diberikan oleh manusia kecuali jika perintah tersebut akan bertentangan dengan hukum pertama. Ketiga, robot harus melindungi keberadaannya sendiri selama perlindungan tersebut tidak bertentangan dengan hukum pertama atau kedua.

Bermula dari imajinasi dalam karya fiksi, memasuki pertengahan abad ke-20 gagasan terkait makhluk artifisial mulai dialihwahanakan ke dalam bentuk yang nyata. Pada tahun 1950, Alan Turing, matematikawan asal Inggris, menerbitkan sebuah tulisan ilmiah berjudul “Computing Machinery and Intelligence”, dengan pertanyaan mendasar “dapatkah mesin berfikir?” Setelah sebelumnya ia dibuat takjub oleh mesin pemecah sandi buatannya yang disebut “The Bombe mampu memecahkan sandi Enigma yang digunakan tentara Jerman pada Perang Dunia II.

Pertanyaan Turing mengkristalkan gagasan tentang kemungkinan memrogram komputer cerdas dan membawanya pada eksperimen menguji kemampuan mesin dalam meniru kecerdasan manusia, yang kemudian dikenal sebagai Tes Turing.

Pada 1955, Allen Newell, Herbert A. Simon, dan Cliff Shaf berhasil menciptakan program “Logic Theorist” yang dapat membuktikan teori-teori dalam Principia Mathematica. Program tersebut kemudian dianggap sebagai program AI pertama di dunia.

Tak berselang lama, pada 1956, sejumlah ilmuwan komputer mengadakan konferensi di Dartmouth College, New Hampshire, Amerika Serikat, yang bertujuan menyatukan para peneliti dari berbagai bidang untuk memulai bidang penelitian baru terkait mesin yang dapat mensimulasikan kecerdasan manusia.

Dalam pertemuan selama sekitar dua bulan itu, John McCharty memperkenalkan istilah “artificial intelligence” sebagai nama bidang ilmu baru tersebut. Konferensi Dartmouth pun lantas dianggap sebagai tonggak kelahiran AI, di mana ilmu baru tersebut mendapatkan nama dan misinya.

Pasca-konferensi, penelitian terkait AI semakin berkembang. Meski masih dibatasi ukuran serta kecepatan memori dan prosesor, tidak sedikit program yang diciptakan memberikan hasil yang mengesankan pada masa itu, seperti program General Problem Solver (GPS) yang diciptakan Herbert Simon, Cliff Shaw dan Allen Newel pada 1957, dan program SAINT oleh James Slagle pada 1963 yang mampu menyelesaikan masalah integrasi kalkulus.

Selain itu, ada pula ELIZA, chatbot pertama yang mampu merespon percakapan dengan manusia yang dibuat Joseph Weizenbaum pada 1965. Serta Tom Evans dengan program ANALOGY yang dikembangkannya pada 1968 yang dapat memecahkan masalah analogi geometri.

Periode 1980-an menjadi babak baru dalam perkembangan AI, sejalan dengan evolusi perangkat komputer dan juga dana penelitian yang meningkat. John Hopfield dan David Rumelhart berhasil mengenalkan teknik deep learning yang memungkinkan komputer belajar dari pengalaman, yang kemudian oleh Edward Fingenbaum diaplikasikan pada expert system atau sistem pakar.

Expert system diprogram untuk meniru kemampuan manusia dalam mengambil sebuah keputusan dalam bidang tertentu, dengan mempelajari keputusan yang dilakukan oleh seorang ahli di bidang tersebut. Karena kepandaiannya memecahkan sejumlah masalah, teknologi ini digunakan dalam bidang kesehatan, keuangan, dan militer (Kompas, 8/3/2023, “Perkembangan Kecerdasan Buatan, Tonggak Bersejarah hingga Capaian Masa Kini”).

Di Asia, pada tahun 1982, Kementerian Perdagangan dan Industri Jepang mengumumkan proyek Fifth Generation Computer Project (FGCP). Proyek tersebut bertujuan merevolusi pemrosesan komputer, menerapkan pemrograman logika, dan mengembangkan AI dengan total investasi 400 juta dollar AS.

Adapun di Indonesia minat terdahap AI sudah mulai muncul pada tahun 1980-an. Hal itu dibuktikan dengan diselenggarakannya Seminar Kecerdasan buatan di Universitas Trisakti pada 19 November 1987. Pada seminar tersebut, persoalan untung rugi dari pengembangan dan penerapan AI menjadi perhatian (Kompas, 7/3/2023, “Analisis Litbang “Kompas”: Sejarah Kecerdasan Buatan dan Fiksi yang Mewujud”).

Pada tahun 1997, dunia dihebohkan dengan kemenangan mesin melawan manusia dalam suatu pertandingan catur. Pada saat itu, Deep Blue, program AI yang dikembangangkan perusahan teknologi IBM, berhasil memenangkan pertandingan melawan juara dunia catur, Grandmaster Garry Kasparov, dalam sebuah pertandingan catur mesin vs manusia. Hal tersebut menjadi salah satu sejarah dalam perkembangan AI, dan sejak saat itu AI semakin diminati sebagai teknologi komersial.

Teknologi AI terus berkembang pesat dan pemakaiannya kian meluas pada abad ke-21. AI sudah diterapkan di berbagai bidang seperti industri, perbankan, kesehatan, olahraga, otomotif, manufaktur hingga hiburan. Pada periode ini perkembangannya pun juga didukung dengan penetrasi internet yang semakin tinggi, yang memungkinkan teknologi digital dapat berkembang semakin pesat. 

Beragam aplikasi berbasis AI kini juga telah tersedia di smartphone dan dengan mudah diunduh oleh penggunannya. Contohnya adalah Google Maps aplikasi navigasi yang dapat memberikan saran rute tercepat untuk penggunanya sampai di tempat tujuan. Untuk mendengarkan musik ada Spotify yang bisa memprediksi dan merekomendasikan musik yang disukai penggunannya. Hingga yang terbaru ChatGPT dengan kempuannya menjawab soal, menyusun kalimat, serta menulis kode hanya dengan perintah teks.

KOMPAS/PRASETYO EKO PRIHANANTO

Fei-Fei Li, Kepala Ilmuwan Artificial Intelligence dan Machine Learning Google, saat berbicara di acara Google Cloud Next 2017 di Moscone Center, San Francisco, Amerika Serikat (4/3/2017).

Potensi dan Tantangan

Perkembangan AI terus terjadi setiap detik. Kemampuannya dalam menjalankan sejumlah pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan manusia merupakan peluang yang perlu dimanfaatkan.

Dari sejumlah hasil riset, penggunaan AI berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi. Laporan hasil kajian “Sizing the Prize” oleh PwC menunjukan, PDB global diproyeksikan akan mengalami peningkatan hingga 14 persen atau setara 15,7 trilliun dollar AS pada 2030 melalui penggunaan AI. Sementara, di kawasan Asia Tenggara, laporan riset EDBI dan Kearney memprediksi penerapan AI dapat meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) regional sebesar 10 hingga 18 persen atau setara hampir 1 trilliun dollar AS pada 2030.

Dari riset “Racing towards the Future: Artificial Intelligence in Southeast Asia” yang dilakukan EDBI dan Kearney tersebut, Indonesia sendiri berpotensi akan mampu meningkatkan PDB sekitar 12% atau 366 miliar dollar AS pada 2030. Kesehatan, manufaktur, konstruksi, dan ritel menjadi sektor teratas yang berpeluang mendapatkan keuntungan besar dari penggunaan AI.

Merujuk survei yang dilakukan McKinsey terhadap 2.395 pelaku bisnis di dunia pada tahun 2020, sebanyak 1.151 responden mengungkapkan bahwa perusahaannya telah menggunakan setidaknya satu fungsi AI dalam menjalankan bisnis. Peningkatan pendapatan menjadi alasan bagi perusahaan menggunakan AI. Dari survei tersebut, peningkatan paling signifikan setelah menggunakan AI terjadi pada divisi pemasaran dan penjualan, serta perencanaan keuangan (Kompas, 17/2/2021, “Membaca Peluang pada Era Kecerdasan Buatan”).

Di sektor ritel, penerapan AI diperkirakan dapat mendorong pertumbuhan top line sebesar 20 hingga 25 persen. Tokopedia menjadi salah satu contoh keberhasilan penerapan AI dalam bidang ritel. Aplikasi e-commerce tersebut mampu meningkatkan transaksi sebesar 202 persen dan meningkatkan pendapatan 179 persen dari bulan ke bulan setelah menerapakan rekomendasi berbasis AI.

Sistem rekomendasi berbasis AI digunakan untuk membaca karakteristik setiap pengguna. Ketika pengguna tersebut sering membeli atau melihat suatu produk, maka sistem akan merekomendasikan produk lain yang berkaitan dengan apa yang sebelumnya sudah dilihat atau dicari oleh pengguna.

Pada bidang kesehatan, selama badai pandemi Covid-19 penerapan AI berperan penting dalam mengindentifikasi klaster, pelacakan kontak, identifikasi gejala, dan pengembangan obat. Selain itu, penerapan AI dalam pelayanan kesehatan juga mampu mengatasi kekuarangan dokter. Melalui fitur chatbot, misalnya, seseorang dapat berkomunikasi layaknya dengan seorang dokter, serta mendapatkan deteksi atau diagnosis awal.

Di Indonesia, pelayanan kesehatan melalaui chatbot salah satunya dilakukan oleh aplikasi Halodoc. Dengan menerapkan teknologi motion learning untuk mengukur, memberikan peringkat, dan memberikan informasi kepada dokter yang dapat digunakan saat membuat keputusan terhadap pasien dengan menggunakan data dari ribuan konsultasi (Kompas, 16/2/2021, “Kecerdasan Buatan Mitra Peradaban Modern Manusia”).

Untuk masyarakat, riset “The Future Jobs 2020” yang dilakukan World Economic Forum (WEC) mendapati penggunaan teknologi berpotensi menciptakan banyak lapangan kerja baru yang sesuai dengan era kecerdasan buatan. Tentunya, pekerjaan-pekerjaan tersebut membutuhkan keterampilan yang terkait dengan teknologi, seperti desain teknologi dan programming. Juga kemampuan berpikir kritis dan analisis, kreatif, serta kecerdasan emosional (Kompas, 17/2/2021, “Membaca Peluang pada Era Kecerdasan Buatan”).

Namun, selain ada banyaknya harapan seputar penggunaan AI, ada pula tantangan serta kewaspadaan yang perlu dihadapi. Melihat kembali hasil riset EDBI dan Kearney, negara-negara di kawasan Asia Tenggara, masih dalam tahap awal adopsi AI. Di lingkup regional, Singapura menjadi negara di Asia Tenggara yang paling menonjol dalam penerapan dan investasi terkait AI.

Menurut EDBI dan Kearney, tantangan pertama dalam adopsi AI adalah terkait Sumber Daya Manusia (SDM). Dalam riset “Racing towards the Future: Artificial Intelligence in Southeast Asia” disebutkan lebih dari 85 persen responden menyebutkan bahwa masih terdapat kesulitan dalam menemukan SDM yang memiliki keahlian teknis mengerjakan aktivias terkait AI. Kedua, ekosistem AI yang belum matang, yang menyulitkan sebagian besar perusahaan untuk bekerja sama dengan penyedia AI.

Ketiga, terkait masalah tata kelola dan infrastruktur. Sebanyak 50 persen responden survei merasa bahwa tata kelola data dan infrastruktur yang ada masih kurang memadai. Hal ini berhubungan dengan masih minimnya infrastruktur kecerdasan buatan mumpuni yang dimiliki, sebab harga perangkat kecerdasan yang canggih masih cukup mahal.

Keempat, kendala regulasi, seperti perlindungan privasi, pembatasan berbagai data, transparansi model AI dan lainnya.

Berdasarkan kajian CIPG, di Indonesia sendiri belum ada panduan yang komprehensif bagi pemrosesan data dan penggunaan data, sehingga perlindungan dan mekanisme tata kelola data masih menjadi tantangan. Meski sebenarnya sudah ada UU No.22 tentang Perlindungan Data Pribadi, masih terdapat sejumlah kasus kebocoran data.

Terakhir, adalah adanya resistensi terhadap AI, terutama kekhawatiran sebagian orang mengenai pengaruh AI yang akan merubah tatanan kehidupan, terutama hilangnya peran para pekerja. Hal tersebut cukup beralasan sebab kehadiran AI memunculkan pekerjaan-pekerjaan baru yang akan menggantikan pekerjaan lama.

MIDJOURNEY/KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Artificial Intelligence dalam dunia fotografi. Visual ini dihasilkan Midjourney dengan memasukkan perintah “Mount Merapi eruption in Yogyakarta, Indonesia in 2006, village on fire, covered with volcanic ash, villagers running, trees collapsed, white dust flying, incandescent lava flowing down from the top of the mountain, real image” (27/2/2023).

Strategi Nasional

Artificial Intelligence (AI) kini hadir dalam keseharian kehidupan manusia. Penolakan terhadap kehadirannya pada akhirnya hanya akan menyebabkan ketertinggalan. Meski demikian, perlu strategi agar penggunaan AI dapat menghasilkan hal-hal baik yang menguntungkan, dan menghindari dampak buruk yang mungkin terjadi.

Terkait hal tersebut, sejumlah negara diketahui sudah mengeluarkan kebijakan terkait AI. Dari laporan Kompas (5/3/2023), hingga saat ini sudah terdapat 60 negara yang mengeluarkan kebijakan dalam berbagai jenis terkait AI, mulai dari strategi nasional hingga undang-undang. Bahkan, beberapa negara juga telah membentuk AI security council, juga strategi berbasis resiko (Kompas, 5/3/2023, “Merintis Perlindungan Masyarakat di Tengah Akselerasi Penggunaan AI).

Di Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), sudah menerbitkan Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial (Starnas KA) Indonesia 2020–2045 pada Agustus 2020. Starnas KA merupakan referensi bagi pemangku kepentingan dalam menerapkan dan memahami arah kebijakan teknologi kecerdasan artifisial agar selaras dengan kepentingan nasional dan memiliki etika yang bertanggung jawab sesuai nilai-nilai Pancasila.

Dokumen Stranas terdiri dari 8 bab yang berisi Visi dan Misi, Etika dan Kebijakan, Pengambangan Talenta Kecerdasan Artifisial Indonesia, Infrastruktur dan Data, Riset dan Inovasi Industri, Bidang Prioritas, Program Percepatan, serta Peta Jalan.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjelaskan, Starnas disusun sebagai jawaban atas tantangan pengembangan kecerdasan artifisial di Indonesia, meliputi kesiapan regulasi yang mengatur etika penggunaan, kesiapan sumber daya manusia, kesiapan infrastruktur dan data pendukung, serta kesiapan industri dan sektor publik dalam penggunaan kecerdasan artifisial.

Oleh karena itu, ada empat area fokus dalam Stranas, meliputi etika dan kebijakan, pengembangan talenta, infrastruktur dan data, serta riset dan inovasi industri. Adapun pengembangan kecerdasan atifisial Indonesia harus memprioritaskan empat pilar dari visi Indonesia 2045, yakni pembangunan manusia dan penguasaan IPTEK, pembangunan ekonomi berkelanjutan, pemerataan pembangunan, serta pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola pemerintahan.

Selain itu, pemerintah Indonesia menetapkan lima sektor prioritas pengembangan artifisial di Indonesia, yaitu layanan kesehatan, reformasi birokrasi, pendidikan dan riset, ketahanan pangan, serta mobilitas dan kota pintar. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Jurnal
  • Haenlein, M. & A. Kaplan. (2019). “A Brief History of Artificial Intelligence: On the Past, Present, and Future of Artificial Intelligence”. California Management Review, 61(4), 5–14. https://doi.org/10.1177/0008125619864925
Arsip Kompas