Paparan Topik | Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman Hayati di Indonesia: Sejarah Penelitian, Potret, dan Regulasi

Indonesia termasuk salah satu negara megabiodiversitas di dunia, yaitu negara yang mempunyai tingkat keanekaragaman hayati (kehati) yang tinggi. Jejak sejarah penelitian kehati sendiri sudah berlangsung sejak era sebelum kemerdekaan. Berbagai kebijakan dan regulasi diterbitkan untuk melindungi dan melestarikan kehati di Indonesia.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Kondisi terumbu karang di salah satu sudut titik selam Bhayangkari, Desa Barat Lembongan, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, Selasa (24/10/2017). Titik selam tersebut memiliki keanekaragaman hayati yang relatif kaya.

Fakta Singkat

  • Jumlah pulau di Indonesia: 17.508 pulau
  • Luas daratan: 1.919.440 km2
  • Luas perairan: 3.257.483 km2
  • Garis pantai: 99.093 km

Tokoh peneliti kehati antara lain:

  • Georg Eberhard Rumpf
  • Reinwardt
  • Johannes Ellias Teijsmann
  • Franz Wilhem Junghuhn (1809-1864)
  • H. Korders (1900-1902)
  • Willem Marius Docters van Leeuwen (1880-1964)
  • Cornelis Gijsbert Gerrit Jan van Steenis
  • Reksodihardjo (1960)
  • Soepadmo (1961)
  • Rifai (1964)
  • Prijanto (1965)
  • Wirawan (1965)
  • Kartawinata (1965)

Potret kehati Indonesia

  • 500 jenis alga
  • 000 jenis tumbuhan berspora (seperti Kriptogam) berupa jamur
  • 595 jenis lumut kerak
  • 197 jenis paku-pakuan
  • 000-40.000 jenis flora tumbuhan berbiji
  • 157 jenis fauna vertebrata
  • 900 jenis kupu-kupu (10 persen dari jenis dunia)

Regulasi terkait kehati

  • UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
  • UU 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman
  • UU 5/1994 tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati)
  • UU 41/1999 tentang Kehutanan
  • UU 31/2004 tentang Perikanan
  • UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
  • UU 4/2006 tentang Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (Perjanjian mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian).
  • UU 26/2007 tentang Penataan Ruang
  • UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  • UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
  • Strategi dan Rencana Aksi Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Indonesia

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbentang di antara Benua Asia dan Australia serta di antara Samudera Pasifik dan Hindia. Jumlah pulau yang dimiliki Indonesia mencapai 17.508 pulau. Dari jumlah itu, yang sudah bernama sejumlah 13.466 pulau dan 11.000 pulau telah berpenghuni.

Luas daratan Indonesia mencapai 1.919.440 km2, sedangkan luas perairannya mencapai 3.257.483 km2 dengan garis pantai sepanjang 99.093 km. Indonesia termasuk daerah tropik, terletak di antara 6° Lintang Utara 11° Lintang Selatan dan 95° Bujur Timur 141° Bujur Timur. Dengan luas wilayah 1,3 persen dari luas muka bumi, Indonesia termasuk negara megabiodiversitas.

Bentang alam Indonesia membentuk bioregion yang dapat dipisahkan antara biogeografi flora-fauna Asia dan Australasia. Sehingga lebih jauh, terbentuklah Garis Wallacea, Weber, dan Lydekker.

Garis Wallace memisahkan wilayah geografi fauna Asia dan Australasia. Alfred Russell Wallace, yang bersama Charles Darwin berperan sebagai penggagas teori evolusi ini, sejak awal sudah menyadari adanya perbedaan pengelompokan fauna antara Borneo dan Sulawesi, juga antara Bali dan Lombok.

Garis Wallace ini kemudian diperbaiki oleh Antonio Pigafetta dan menggeser garis Wallace ke arah timur menjadi garis Weber. Sedangkan garis Lydekker merupakan garis biogeografi yang ditarik pada batasan Paparan Sahul, terletak di bagian timur Indonesia.

Kondisi itulah yang menyebabkan Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Indonesia menjadi hunian yang nyaman bagi berbagai flora dan fauna. Terlebih, ekosistem yang didominasi oleh hutan hujan tropis serta berbagai ekosistem perairannya menyebabkan keanekaragaman hayati di Tanah Air berlimpah.

Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah istilah untuk menggambarkan keberagaman makhluk hidup di bumi. Keberagaman itu dibagi dalam tiga tingkatan, yakni spesies, genetik, dan ekosistem. Keanekaragaman spesies mencakup semua spesies makhluk hidup di bumi termasuk bakteri dan protista, serta spesies dari kingdom bersel banyak.

Keanekaragaman genetik  yaitu variasi genetik dalam satu spesies, baik di antara populasi yang terpisah secara geografis, maupun di antara individu dalam satu populasi. Sedangkan, keanekaragaman ekosistem, yaitu komunitas biologi yang berbeda serta asosiasinya dengan lingkungan fisik ekosistem masing-masing.

Menurut Secretariat of CBD, keanekaragaman hayati adalah variabilitas di antara organisme hidup dari seluruh sumber baik yang ada di daratan maupun di perairan beserta proses ekologisnya, sehingga terbentuk keanekaragaman genetik di dalam spesies, keanekaragaman di antara spesies, dan keanekaragaman ekosistem.

Sementara dalam dokumen “Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan 2015-2020”, keanekaragaman hayati didefinisikan sebagai makhluk yang hidup di bumi, termasuk semua jenis tumbuhan, binatang, dan mikroba. Keberadaan keanekaragaman hayati saling berhubungan dan membutuhkan satu dengan yang lainnya untuk tumbuh dan berkembang biak sehingga membentuk suatu sistem kehidupan.

KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI

Pengunjung Suaka Maleo Tambun di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, bersiap melepas satu dari 20 ekor anak burung maleo (Megacephalon maleo) saat Hari Keanekaragaman Hayati Internasional, Rabu (22/5/2019). Sejak 2001 hingga Maret 2019, total 16.170 ekor anak maleo telah dilepasliarkan di area Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yang membentang dari Bolaang Mongondow, Sulut, hingga Bone Bolango, Gorontalo.

Jejak Sejarah Penelitian Kehati di Indonesia

Sejarah penelitian kehati Indonesia sudah berlangsung sejak sebelum Indonesia merdeka. Ketika itu, para peneliti asing telah memberikan sumbangan ilmiah yang besar dalam bidang taksonomi, biogeografi, dan ekologi. Jejak-jejak  kontribusi  mereka  dapat  dilihat  melalui  buku,  jurnal, dan koleksi tumbuhan yang menjadi informasi penting bagi penelitian saat ini.

Dalam buku “Status Keanekaragaman Hayati Indonesia: Kekayaan Jenis Tumbuhan dan Jamur Indonesia” yang diterbitkan oleh LIPI, disebutkan bahwa penelitian kehati Indonesia pertama kali dilakukan oleh Georg Eberhard Rumpf pada pertengahan abad ke-17. Seorang berkebangsaan Jerman yang lebih dikenal dengan nama Rumphius tersebut memberi nama dan memetakan flora yang tumbuh di Ambon dan sekitarnya.

Karya monumental Rumphius yang memuat nama jenis, pertelaan, dan kegunaan tumbuhan di Ambon adalah Herbarium Amboinense yang diterbitkan dalam enam seri. Buku yang diterbitkan pada tahun 1741-1750 tersebut memuat sekitar 1.200 jenis tumbuhan.

Setelah Herbarium Amboinense, buku-buku lain yang memuat kehati Indonesia bermunculan, khususnya kehati di pegunungan Jawa yang ditulis oleh Reinwardt, Blume, Willem Marius Docters van Leeuwen, Koorders, van Steenis, dan beberapa peneliti botani lainnya.

Reinwardt dikenal sebagai Direktur pertama Kebun Raya Bogor yang ditugasi melaksanakan penelitian botani, zoologi, dan pertanian di  Indonesia.  Kebun  Raya  Bogor  yang  berdiri  pada tanggal 18  Mei  1817  ini merupakan lembaga penting untuk mempelajari flora pegunungan di wilayah Jawa Barat, yaitu Gunung Salak, Gunung Gede Pangrango, serta dataran tinggi Papandayan.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Anggota komunitas Biodiversity Warriors-Yayasan KEHATI mengamati keanekaragaman hayati di Taman Menteng, Jakarta, Selasa (22/5/2018). Kegiatan ini diselenggarakan serentak di delapan kota ke lokasi pengamatan untuk mengenal, mendata, mendokumentasikan dan memopulerkan keanekaragaman hayati di kota masing-masing. Selain memperingati Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia yang jatuh pada tanggal 22 Mei, kegiatan ini dilaksanakan untuk membangun kesadaran masyarakat terhadap ragam hayati Indonesia yang sangat kaya.

Tiga puluh lima tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 11 April 1852, di lereng bagian utara Gunung Gede Pangrango didirikan Kebun Raya Cibodas oleh Johannes Ellias Teijsmann  yang  saat  ini  menjadi  salah  satu  bagian  dari  Kebun  Raya Bogor.

Blume yang memiliki nama Carl Ludwig Blume diangkat sebagai Wakil Direktur Kebun Raya Bogor pada tahun 1918 dan selanjutnya pada tahun 1922 menggantikan Reinwardt sebagai Direktur. Blume juga secara aktif melakukan penelitian flora di beberapa pegunungan di Jawa Barat dan hasil penelitiannya dituangkan dalam buku “Flora Javae” (1828-1851) yang terbit dalam tiga volume.

Peneliti Belanda lain yang memberikan sumbangan lengkap tentang tumbuhan, vegetasi, dan lanskap di Jawa adalah Franz Wilhem Junghuhn (1809-1864). Junghuhn  memperkenalkan  sebuah  sistem  zona  elevasi  dengan  menulis jenis-jenis khas yang ada di setiap zona, mengenalkan tipe vegetasi berbagai tempat, serta memaparkan perbedaan antara flora Jawa Timur dan Jawa Barat. Jawa dengan kekayaan tumbuhannya juga menyebabkan Heinrich Zollinger (1818-1859) tertarik untuk datang ke Jawa dan turut mendata flora di Jawa, khususnya Jawa Timur.

Setelah periode Junghuhn-Zollinger, penelitian tumbuhan di Jawa dilanjutkan oleh Melchior Treub (1851-1910) yang waktu itu menjabat sebagai Direktur Kebun Raya Bogor. Treub menghasilkan Flore  de  Buitenzorg  yang  mencakup  flora  dari  mangrove  di  Jakarta  hingga  ke puncak Gunung Gede Pangrango.

Selanjutnya, Treub digantikan oleh S. H. Korders (1900-1902) yang juga turut berkontribusi dengan menyusun sebuah kompilasi flora pegunungan Jawa yang dikembangkan menjadi Exkursions flora von Java dan Flora von Cibodas. Untuk menghasilkan Flora von Cibodas, Koorders  dengan  teliti  membuat  susunan  flora,  mencatat letak  dan  memberi  nomor  serta  nama-nama  pohon  yang  terdapat  di dalam Kebun Raya Cibodas. Flora von Cibodas yang terbit tahun 1918 mencakup jenis-jenis tumbuhan Spermatofit yang terdapat di kawasan hutan konservasi botani Cibodas dan tumbuhan liar di atas Pegunungan Jawa Barat Gede dan Pangrango.

Selain Koorders, Willem Marius Docters van Leeuwen (1880-1964) juga menghasilkan penelitian-penelitian yang sangat bermanfaat untuk Kebun Raya Cibodas, di antaranya adalah “Biology of plants and animals occuring in the higher plants of Mount Pangrango-Gede in West Java” yang terbit pada tahun 1926.

Versi  lengkap  flora  Jawa  dapat  dilihat  dalam  “Flora  of  Java”  karya  Backer dan Bakhuizen van den Brink Jr. (1963-1968). Buku ini diterbitkan dalam tiga seri yang berisikan pertelaan jenis-jenis Gimnosperma dan Angiosperma yang tumbuh di Jawa. Beberapa wilayah di Jawa yang tercantum di Flora of Java, antara lain Jawa, Madura termasuk P. Bawean, Kepulauan Karimunjawa, dan tidak termasuk Kepulauan Kangean dan Krakatau. Kekayaan flora yang tercatat di dalam Flora of Java terdiri atas 238 suku, 2.067 marga, dan 6.100 jenis.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Bunga bangkai raksasa (Amorphophallus titanun Becc.) mekar di Kebun Raya Bogor, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (4/1/2020). Bunga raksasa yang mekar ini memiliki ketinggian 194 sentimeter. Bunga Bangkai merupakan salah satu kekayaan flora Indonesia yang dilindungi melalui Peraturan Pemerintah no 7 Tahun 1999 dan masuk dalam kategori langka berdasarkan klasifikasi International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Salah satu peneliti Belanda yang sangat berjasa, tidak saja untuk kehati Indonesia, tetapi juga kawasan Malesia, adalah Cornelis Gijsbert Gerrit Jan van Steenis. Van Steenis merupakan penulis Flora Pegunungan Jawa yang lahir di Uthrech pada tahun 1901. Sejak tahun 1927  hingga  1949,  van  Steenis  bertugas  di  Kebun  Raya  Bogor  dan  Herbarium Bogoriense.

Dari pemikiran van Steenis lahirlah penerbitan  “Flora  Malesiana”  yang  merupakan  terbitan  ilmiah  tentang  spermatofit dan pteridofit di kawasan Malesia, termasuk Indonesia. Dalam perjalanan kariernya sebagai peneliti botani tropik, van Steenis mengumpulkan 24.000 nomor koleksi herbarium dan namanya diabadikan dalam lebih dari 30 nama jenis tumbuhan.

Kekosongan  penelitian  kehati Indonesia terjadi pada saat peneliti-peneliti Belanda meninggalkan  Indonesia  setelah  memburuknya  hubungan  politik  Belanda  dan  Indonesia pada pertengahan tahun 1950. Namun, tidak adanya peneliti Belanda menimbulkan semangat baru bagi akademisi Indonesia untuk melakukan penelitian kehati yang dimilikinya.

Reksodihardjo (1960), Soepadmo (1961), Rifai (1964), Prijanto (1965), Wirawan (1965), dan Kartawinata (1965) merupakan nama-nama peneliti muda Indonesia yang namanya diabadikan di beberapa jenis tumbuhan dan jamur Indo-nesia.

Selain nama-nama tersebut, terdata 52 nama peneliti taksonomi kehati Indonesia lainnya yang melekat pada beberapa nama varietas, jenis, seksi, dan marga baru tumbuhan atau jamur yang dideskripsikan dari Indonesia antara tahun 1961-2004.

Pada periode tersebut, peneliti asing mulai memasuki Indonesia kembali melalui kerja sama penelitian dengan peneliti-peneliti Indonesia, baik dengan peneliti-peneliti taksonomi Herbarium Bogoriense maupun dengan peneliti taksonomi dari universitas di seluruh Indonesia.

Lokasi penelitian kerja sama juga bergeser dengan melakukan penelitian di Kalimantan, Sulawesi, Papua, Sumatra, Kepulauan Maluku, Kepulauan Sunda Kecil (Lesser Sunda Island (LSI)), dan pulau-pulau kecil lainnya.

Whitmore  dan  beberapa  peneliti  botani  lainnya  juga  turut  berkontribusi terhadap penelitian kehati Indonesia dengan menerbitkan beberapa checklist flora Indonesia dalam bentuk buku maupun jurnal-jurnal taksonomi, seperti Kew Bulletin.

Beberapa buku daftar jenis kehati yang ditulis peneliti Indonesia,  antara  lain  oleh  Partomihardjo  dan  Ubaidillah  (2004);  Mahyar dan Sadili (2003); Sulistiarini dan Mahyar (2003); Rugayah, Sunarti, Sulistiarini, Hidayat, dan Rahayu (2015).

Potret Kehati Indonesia

Keanekaragaman hayati yang terbentang dari Indonesia bagian timur hingga barat, di laut dan di darat serta pada setiap pulau menjadikan Indonesia sangat kaya akan keanekaragaman jenis dan genetik.

Berdasarkan buku “Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia” yang diterbitkan LIPI Press disebutkan Indonesia merupakan salah satu surga biodiversitas di dunia yang memiliki 17 persen total spesies dunia.

Keanekaragaman jenis tercatat ada 1.500 jenis alga, 80.000 jenis tumbuhan berspora (seperti Kriptogam) berupa jamur, 595 jenis lumut kerak, 2.197 jenis paku-pakuan serta 30.000–40.000 jenis flora tumbuhan berbiji (15,5 persen dari total jumlah flora di dunia). Sementara itu, terdapat 8.157 jenis fauna vertebrata (mamalia, burung, herpetofauna, dan ikan) dan 1.900 jenis kupu-kupu (10 persen dari jenis dunia).

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Kehidupan kupu-kupu menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk diamati, seperti yang ditemui di atas bunga kenikir di Dusun Mandungan, Desa Margoluwih, Seyegan, SLeman, DIY, Rabu (16/4/2008). Dibalik kelembutan dan keindahannya, kupu-kupu bermanfaat untuk membantu penyerbukan bunga, sebagai bahan penelitian biologis, dan juga menjadi obyek rekreasi.

Adapun jenis fauna endemik Indonesia berjumlah masing-masing 270 jenis mamalia, 386 jenis burung, 328 jenis reptil, 204 jenis amphibia, dan 280 jenis ikan. Sedangkan tingkat endemisitas flora Indonesia tercatat antara 40-50 persen dari total jenis flora pada setiap pulau kecuali Pulau Sumatera yang endemisitasnya diperkirakan hanya 23 persen.

Sementara pada salah satu artikel mongabay.com dengan judul “The top 10 most biodiverse countries” (21/5/2016) dipaparkan, secara keseluruhan, Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara dengan tingkat biodiversitas tinggi di dunia. Sedikitnya, Indonesia menyumbangkan 16,2 persen jenis burung, 4,6 persen jenis amfibi, 12,2 persen jenis mamalia, 7,1 persen jenis reptil, 14,1 persen jenis ikan, dan 10,9 persen jenis tumbuhan berpembuluh pada tingkat kekayaan biodiversitas dunia.

Namun, dibalik status negara dengan kekayaan spesies tertinggi tersebut, Indonesia juga memiliki daftar panjang spesies yang terancam punah. Daftar tersebut meliputi 147 spesies mamalia, 114 spesies burung, 28 spesies reptil, 91 spesies ikan, dan 28 spesies invertebrata.

Spesies yang digolongkan terancam punah merupakan spesies yang beresiko tinggi punah di alam liar pada masa yang akan datang. Status keterancaman tersebut dirilis dalam IUCN (International Union for Conservation of Nature) Redlist of Threatened Species, berdasarkan hasil penilaian yang melibatkan berbagai peneliti.

Karena itu pula, pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia hingga kini masih dihadapkan pada sejumlah tantangan yang kompleks. Hilangnya keanekeragaman hayati Indonesia masih terus terjadi, terutama sebagai akibat dari perubahan tata guna lahan karena pembangunan infrastruktur untuk berbagai keperluan, seperti pembangunan fasilitas gedung perkantoran dan perumahan, jalan, pembukaan kawasan industri, dan keperluan lahan perkebunan dan pertanian baru.

KOMPAS/VINA OKTAVIA

Seekor gajah jinak menunjukkan atraksi di depan pengunjung di dalam Kawasan Taman Nasional Way Kambas, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung, Sabtu (11/11/2017). Sepanjang Januari hinggga Oktober 2017, jumlah wisatawan domestik dan asing yang berkunjung ke TNWK sebanyak 61.909 orang. Jumlah itu meningkat hampir dua kali lipat dari jumlah kunjungan wisatawan tahun sebelumnya, yakni 35.989 orang.

Menurut catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), deforestasi tahunan Indonesia pernah mencapai lebih dari 3,5 juta hektar dalam periode 1996 hingga 2000, namun telah turun tajam menjadi 0,44 juta.

Hilangnya keanekaragaman hayati juga disebabkan oleh adanya jenis asing yang merajai suatu tempat sehingga menyebabkan punahnya jenis asli, atau adanya polusi yang menyebabkan hilangnya penyerbuk flora yang penting bagi kelangsung hidup suatu flora.

Adapun penyebab laju kepunahan spesies di Indonesia juga disebebkan adanya konflik antara manusia dan satwa liar. Konflik terjadi akibat habitat satwa liar tumpang tindih dengan areal pemukiman, perkebunan dan pertanian.

Regulasi mengenai pengelolaan kehati Indonesia

Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan regulasi untuk melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati di Indonesia. Setidaknya terdapat 10 regulasi yang berkaitan dengan pengelolaan keanekaragaman hayati.

Kesepuluh regulasi atau undang-undang itu adalah: (1) UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; (2) UU 5/1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati); (3) UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; (4) UU 4/2006 tentang Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (Perjanjian mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian).

Kemudian, (5) UU 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman; (6) UU 26/2007 tentang Penataan Ruang; (7) UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; (8) UU 31/2004 tentang Perikanan jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan terhadap UU 31/2004 tentang Perikanan; (9) UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah menjadi UU 23/2014 sebagaimana diganti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 dan diganti kembali dengan UU 9/2015 tentang Perubahan Kedua atas UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah; dan (10) UU 41/1999 tentang Kehutanan.

Selain mengeluarkan sejumlah regulasi, pemerintah juga telah mengeluarkan dokumen yang berisi strategi dan rencana aksi pengelolaan keanekaragaman hayati Indonesia (Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan/IBSAP) 2015-2020.

Dalam IBSAP tersebut, disebutkan visi pengelolaan kehati Indonesia, yaitu: “Terpeliharanya kehati milik Indonesia, serta terwujudnya pengembangan kehati dalam menyumbang daya saing bangsa dan pemanfaatannya secara adil dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat saat ini dan generasi mendatang”.

KOMPAS/ANGGER PUTRANTO

Bayi Badak Sumatera Delilah bersama induk Badak Sumatera Ratu menyantap buah-buahan di Suaka Rhino Sumatera Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur, Rabu (27/6). ASEAN Center for Biodiversity resmi menetapkan Taman Nasional Way Kambas sebagai salah satu taman warisan ASEAN (Asean Heritage Park/AHP) karena kekayaan keanekaragaman hayati di dalamnya.

Adapun misinya ada tiga. Pertama, meningkatkan penguasaan kehati Indonesia menjadi milik bangsa Indonesia. Kedua, menjadikan kehati sebagai sumber kesejahteraan dan keberlanjutan kehidupan bangsa Indonesia. Ketiga, mengelola kehati secara bertanggungjawab demi keberlanjutan kehidupan dunia.

Untuk misi pengeloaan pertama, diimplementasikan dalam penyelenggaraan riset kehati, pengelolaan data dan dokumentasi kehati serta pengelolaan kepemilikan (paten/HAKI) yang mengedepankan kepentingan bangsa dan negara Indonesia.

Kemudian, pengelolaan kehati untuk menjaga keberadaannya bagi bangsa Indonesia dan mendukung pengembangan manfaat yang optimal bagi bangsa dan negara Indonesia serta pengembangan manfaat kehati secara berkelanjutan.

Untuk misi pengelolaan kedua, di dalamnya terdapat pengembangan manfaat ekonomi kehati untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, daya saing nasional, dan kesejahteraan masyarakat. Kemudian pengembangan manfaat kehati dalam kegiatan dan kehidupan masyarakat sehari-hari serta perlindungan kekayaan kehati dan ekosistemnya dari gangguan yang dapat membahayakan keberadaan kehati dan eksositem kehati Indonesia.

Sedangkan untuk misi pengelolaan ketiga, di dalamnya terdapat pengelolaan kelembagaan kehati yang bertanggung jawab dan sesuai standar global. Lalu pengembangan sistem kerjasama pengelolaan kehati yang partisipatif dan inklusif serta penerapan sistem kerjasama yang saling menguntungkan dengan tetap menjaga keberadaan dan identitas kehati Indonesia dan mengedepankan manfaat sebesar-besarnya untuk masyarakat Indonesia.

Adapun visi pengelolaan kehati nasional paska 2020 adalah “pada tahun 2050 sudah terwujudnya pengelolaan keanekaragaman hayati dalam mendukung upaya pelestarian bumi yang bisa memberikan manfaat penting bagi semua orang, melalui  keanekaragaman hayati yang sudah dihargai, dilestarikan, dipulihkan dan digunakan secara bijaksana, serta sudah dilaksanakannya pemeliharaan jasa ekosistem”. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Tahun Biodiversitas”, Kompas, 19 Januari 2010, hlm. 07
  • “Keanekaragaman Hayati: Kepunahan Semakin Niscaya”, Kompas, 23 Januari 2010, hlm. 14
  • “Keanekaragaman Hayati: Nilai Hutan Bukan Sekadar Kayu’, Kompas, 21 Mei 2010, hlm. 13
  • “Semua Terkait Semua”, Kompas, 08 Juni 2010, hlm. 07
  • “Menjaga Hutan dari Ekspansi Kebun Sawit”, Kompas, 30 Mei 2011, hlm. 06
  • “Laporan Akhir Tahun: Humaniora -Kaya Hayati Minus Terobosan”, Kompas, 20 Desember 2012, hlm. 06
  • “Keragaman Hayati, Ekowisata, dan Ekonomi Kreatif Papua”, Kompas, 29 November 2016, hlm. 07
Buku dan Jurnal
Internet
Aturan
  • UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
  • UU 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman
  • UU 5/1994 tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati)
  • UU 41/1999 tentang Kehutanan
  • UU 31/2004 tentang Perikanan
  • UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
  • UU 4/2006 tentang Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (Perjanjian mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian).
  • UU 26/2007 tentang Penataan Ruang
  • UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
  • UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup