ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Sukarelawan membawa poster bahaya rokok dalam kegiatan “Plogging Cigarette Butt” di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (28/5/2023). World Cleanup Day (WCD) Indonesia dan Yayasan Lentera Anak mengampanyekan dampak buruk rokok terhadap kesehatan dan lingkungan.
Fakta Singkat
- Prevalensi perokok anak di Indonesia mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.
- Angka perokok anak di Indonesia adalah paling tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya
- Lentera Anak Foundation menemukan bahwa 85 persen sekolah di Indonesia dikelilingi iklan rokok.
- Kandungan nikotin dalam rokok sangat menghancurkan perkembangan otak yang berdampak pada fungsi kecerdasan kognitif, eksekutif, memori, pengambilan keputusan, dan pengendalian emosi.
- Tingginya tingkat perokok anak di Indonesia memunculkan julukan “Baby Smoker Country”
Undang-undang Kesehatan atau Omnibus Law Kesehatan yang telah disahkan DPR sejatinya menjadi kesempatan besar untuk pemerintah dalam mengontrol dampak buruk industri dan produk tembakau terhadap anak-anak Indoensia.
Pengesahan Omnibus Law UU Kesehatan dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023 di Jakarta, Selasa (11/7/2023).
UU Kesehatan yang telah disahkan tersebut menggantikan sejumlah produk regulasi lama yang dinilai telah usang, seperti Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
Sebelumnya, pada 14 Februari 2023, Rapat Paripurna DPR telah menyetujui RUU Kesehatan sebagai inisiatif DPR dan selanjutnya akan dibahas bersama dengan pemerintah.
Meski begitu, perjalanan UU Kesehatan menuju pengesahan rupaya tidak berlangsung dengan baik. Kehadirannya menimbulkan banyak polemik dalam berbagai bidang, termasuk salah satunya dalam perlindungan anak-anak terhadap rokok sebagai zat adiktif.
Hal ini disuarakan oleh Koalisi Perlindungan Masyarakat dari Produk Zat Adiktif Tembakau, yang terdiri dari sejumlah organisasi pada Kamis (15/6/2023). Lewat siaran pers, mereka menyatakan ketegasan menolak yang pada saat itu masih berupa RUU dan mendesak agar pengesahannya ditunda.
Salah satu alasan yang disampaikan adalah minimnya pelibatan partisipasi publik dalam tahap penyusunan dan pembahasan. Jaringan pengendalian tembakau telah memberikan masukan terkait pengendalian tembakau melalui Rapat Dengar Pendapat Umum.
Meski begitu, terindikasi masukan-masukan dari jaringan masyarakat sipil untuk upaya perlindungan masyarakat dari produk zat adiktif tembakau tidak menjadi bagian dalam RUU.
Bahkan, pembicaraan Omnibus Kesehatan di tingkat pemerintahan justru mengindikasikan bahwa Kementerian Kesehatan sendiri yang rela menurunkan pasal-pasal penting untuk perlindungan kesehatan masyarakat karena dianggap menghambat fokus pembuatan RUU Omnibus Kesehatan pada investasi. Dampaknya, ada risiko hilangnya kewajiban negara dalam perlindungan dan pemenuhan hak atas kesehatan publik.
Sebelum adanya pengesahan UU Kesehatan, sebagaimana masih dikutip dalam siaran pers, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, “Proses pembahasan yang berjalan sekarang ini harusnya dihentikan, apalagi dengan adanya upaya-upaya yang menuju penghilangan pasal zat adiktif yang menjadi upaya penghapusan regulasi mengenai produk zat adiktif ini. Ada campur tangan industri dalam hal ini.”
Situasi aktual demikian memberikan gambaran besar pada situasi industri rokok di Indonesia yang pada akhirnya berdampak pada masyarakat secara umum dan anak-anak secara khusus.
Ketidaktegasan pemerintah sebagai legulator utama memungkinkan gerak industri rokok begitu lincah dalam ekosistem harian masyarakat, bahkan telah menjadi kultur tersendiri. Persentuhannya yang konstan dan intim akhirnya berujung pada anak-anak Indonesia yang terdampak dan akhirnya ikut menjadi konsumen rokok.
Relawan Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (WITT) Jawa Timur memberikan penjelasan mengenai bahaya merokok pada Hari Anti tembakau Sedunia kepada pedagang Pasar Keputran di Surabaya, Selasa (31/5/2016). Melalui brosur yang dibagikan dijelaskan mengnai bahaya merokok serta cara praktis untuk berhenti merokok bagi perokok.
Artikel terkait
Perokok anak
Bagi industri rokok, Indonesia adalah pasar yang begitu empuk dan luas, apalagi dengan anak-anak di dalamnya yang juga menjadi target.
Situasi demikian berdampak pada tingginya angka perokok anak di Indonesia yang ditunjukkan oleh berbagai hasil riset dari beragam lembaga dari swasta hingga pemerintah. Berangkat dari keprihatinan situasi yang terjadi, Indonesia Institute for Social Development (IISD) melakukan riset kolaborasi dengan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan Peneliti Universitas Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) yang menghasilkan laporan Outlook Perokok Pelajar Indonesia 2022.
Dari riset tersebut, tim peneliti melaporkan bahwa lebih dari seperempat responden yang terdiri atas anak usia 11-19 tahun dari seluruh Indonesia pernah merokok. Secara lebih detail 27,76 persen anak pernah merokok sementara 72,24 persennya tidak pernah. Selain itu, dari total responden juga ditemukan bahwa terdapat 10,67 persen anak yang telah menjadi perokok harian.
Mengejutkannya, kebanyakkan dari kelompok anak yang pernah merokok menyebutkan bahwa mereka pertama kali merokok pada usia 15 tahun. Periode usia mengenal rokok pertama kali ini disampaikan oleh 22,25 persen kelompok anak yang pernah merokok. Usia 15 tahun sendiri merupakan masa peralihan anak-anak duduk pertama kali di bangku SMA. Sementara usia 13 tahun menjadi kedua terbanyak yang dipilih oleh anak-anak, yakni hingga 7,61 persen.
Selain itu, perlu menjadi perhatian pula bahwa rasio anak yang telah mencoba rokok sejak berusia sebelum 10 tahun juga berada di angka yang memprihatinkan, yakni mencapai 7,6 persen. Bahkan ada rasio sebesar 1,12 persen anak usia PAUD sampai dengan 6 tahun yang telah mencicipi rokok setidaknya satu kali.
Mirisnya situasi ini tidak hanya persoalan terkait giat merokok itu sendiri, melainkan paparan asap yang juga dialami bahkan oleh pelajar yang tidak merokok. Totalnya, sebanyak 78,43 persen responden mengakui pernah terpapar asap rokok. Bahkan sejumlah besar dari mereka mengalami paparan di ruang yang seharusnya bersahabat bagi kesehatan anak, yakni tempat bermain (54,98 persen), rumah (49,33 persen), dan sekolah (29,8 persen). Selain kedua tempat tersebut, ruang publik seperti angkutan umum (53,65 persen) dan tempat umum (34,82 persen) juga menjadi lokasi yang rentan.
Data-data demikian diperkuat juga dengan publikasi dari lembaga publik internasional World Health Organization (WHO) melalui laporan Global Youth Tobacco Survey (GYTS) Indonesia 2019. Survei tersebut dilakukan dengan melibatkan 9.992 responden pelajar kelas 7-12 dengan usia mayoritas 13-15 tahun. Dari sampel yang digunakan, GYTS 2019 menemukan bahwa 40,6 persen pelajar Indonesia pernah merokok atau menggunakan tembakau. Selain itu, 19,2 persen tengah dan masih menggunakan produk tembakau, baik itu tembakau hisap (18,8 persen), rokok (19,2 persen), maupun tembakau kunyah (1,0 persen).
Secara keseluruhan, para pelajar ini menyadari bahwa rokok adalah produk yang bermanfaat buruk bagi diri mereka sendiri maupun orang lain. Oleh karenanya, 81,1 persen pelajar yang menjadi perokok aktif telah mencoba berhenti dalam rentang waktu satu tahun terakhir. Sebesar 87,7 persen bahkan merasa sesungguhnya mereka dapat berhenti jika mau.
Sementara terkait paparan asap rokok, ruang publik menjadi zona yang paling rentan bagi para pelajar. Sebanyak 66,2 persen responden pernah terpapar asap rokok di ruang publik terbuka dan 67,2 persen persen mengaku pernah terpapar di ruang publik terbuka. Lagi-lagi rumah dan sekolah juga menjadi ruang yang rentan memberikan paparan, dimana 57,8 persen terpapar asap rokok di rumah dan 56 persen mengaku pernah melihat giat merokok di lingkungan sekolah.
Melalui Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang terakhir dilakukan pada 2018 oleh Kementerian Kesehatan juga diperoleh angka prevalensi perokok anak sebesar 9,1 persen. Selain itu, juga ditemukan jumlah fantastis anak Indonesia usia 10-18 tahun yang merupakan perokok aktif, yakni mencapai jumlah 3,2 juta anak.
Grafik:
Ketika berbicara dalam konteks waktu, maka dapat turut diketahui pula bahwa situasi perokok anak di Indonesia hanya mengalami krisis yang semakin parah. Faktanya, prevalensi perokok anak Indonesia terus mengalami kenaikkan dari waktu ke waktu, terutama sejak tahun 2013 hingga 2019.
Hal ini dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan dengan mengkolaborasikan data perokok anak dari GYTS, laporan Riskesdas, dan Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas). Lewat laman resminya (kemkes.go.id), dilaporkan bahwa prevalensi perokok anak mencapai 7,2 persen.
Pada 2019, angka ini telah meningkat hingga 3,5 persen dimana tingkat prevalensi mencapai 10,7 persen – padahal RPJMN 2019 menargetkan prevalensi di 2019 turun menjadi 5,4 persen. Jika tidak ada intervensi yang berarti, jumlah perokok anak diperkirakan akan terus meningkat menjadi 16 persen pada 2030.
Tingkat ASEAN
Tingkat perokok anak di Indonesia telah begitu tinggi hingga memperoleh perhatian luas dari dunia internasional. Penyebutan Indonesia sebagai “Baby Smoker Country” dan “Marlboro Country” menjadi manifestasinya. Rupanya, penyebutan demikian juga tidaklah salah – terbukti dari data tingkat perokok anak Indonesia yang mencolok dan lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain.
Di tingkat regional, dalam lingkup Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), Indonesia menjadi negara dengan persentase perokok anak tertinggi. Data ini diperoleh dari laporan The ASEAN Tobacco Control Atlas: ASEAN Region yang dipublikasikan oleh Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) pada Desember 2021. Riset dilakukan terhadap anak-anak muda berusia 13-15 tahun, kecuali Malaysia dan Vietnam yang mencakup orang muda usia 13-17 tahun serta Singapura dengan sampel anak-anak usia 13-20 tahun.
Laporan oleh SEATCA tersebut menunjukkan bahwa persentase perokok anak di Indonesia berada di level 19,2 persen. Angka ini menjadi yang tertinggi dibandingkan dengan sembilan negara Asia Tenggara lainnya (mengecualikan Timor Leste yang pada 2021 masih belum resmi bergabung dalam ASEAN).
Angka ini bahkan menjadi semakin tinggi ketika dilihat dalam konteks anak laki-laki yang merokok. Di Indonesia, 38,3 persen anak laki-laki usia 13-15 tahun merupakan perokok aktif ketika survei tersebut dijalankan. Angka ini bahkan begitu jauh dibandingkan Malaysia yang berada di peringkat kedua dengan 20,6 persen.
Grafik:
Dokumen terkait
Kebebasan Industri Rokok
Dekatnya anak Indonesia dengan ragam produk rokok dan kebiasaan merokok adalah sebuah konsekuensi struktural dan kultural dari . Di Indonesia, industri rokok mampu bergerak secara dinamis dan merasuki berbagai cakupan kehidupan yang luas. Kuatnya pengaruh industri rokk dan kemampuan menggapai masyarakat dengan sangat dekat menyebabkan anak-anak dengan mudahnya ikut terdoktrin sebagai pangsa pasar baru yang prospektif bagi industri rokok.
Dikutip oleh Kompas.id (3/6/2023, Kepulan Asap yang Merenggut Napas ”Malaikat-malaikat Kecil”), Direktur Program Indonesia Institute for Social Development (IISD) Ahmad Fanani menyebutkan bahwa telah terjadi fenomena normalisasi merokok yang begitu masif dalam tubuh masyarakat di Indonesia. Merokok telah menjadi hal yang begitu biasa untuk dilakukan di rumah serta di tempat umum. Tanpa malu, para perokok mempertontonkan aktivitas mereka di hadapan umum. Berikut adalah sejumlah unsur yang memengaruhi industri rokok untuk kian menancapkan pengaruhnya pada anak-anak Tanah Air:
Kampanye Rokok Yang Masif
Kampanye rokok tidak dapat dipahami semata soal iklan belaka. Dalam persentuhannya pada publik, industri rokok juga menegaskan kehadirannya melalui bentuk-bentuk tidak langsung seperti promosi, sponsor, bahkan beasiswa – hal-hal yang tidak memiliki hubungan dengan produk tembakau itu sendiri dan dilaksanakan dalam selubung lain yang lebih bersahabat.
WHO, sebagaimana dikutip laporan Info Brief Perokok Anak Terus Meningkat oleh Lentera Anak Foundation, menyebutkan bahwa iklan, promosi, sponsor adalah bentuk terdepan yang dilakukan industri rokok untuk mempertahankan dan meningkatkan konsumen mereka, terutama dengan menormalisasi produk rokok. WHO menyebutkan bahwa iklan, promosi, dan sponsor rokok bisa secara langsung dan tidak langsung – termasuk mensponsori kegiatan yang bertujuan untuk promosi, komunikasi komersil, dan iklan dengan menggunakan nama yang berasosiasi dengan merek rokok.
Dengan proses kampanye yang masif, industri rokok berupaya untuk menormalkan rokok dan mengaburkan bahaya yang ditimbulkannya lewat citra yang dibangun. Menurut Lentera Anak Foundation, penanaman citra akan rokok ini dilakukan begitu halus, bahkan masuk ke alam bawah sadar dengan tanpa terasa. Strategi demikian disebut sebagai “subliminal advertising”. Subliminal sendiri adalah pesan atau stimulus yang diserap oleh alam otak bawah sadar lewat medium gambar yang diulang secara terus-menerus.
Subliminal marketing sendiri terbukti berhasil meningkatkan penjualan komoditas. Jika seseorang terpapar oleh suatu produk maupun citra produk secara berulang-ulang, tanpa disadari akhirnya mendorong kecenderungan untuk mengonsumsi komoditas terkait. Dalam konteks rokok, kampanye demikian turut memanipulasi anak-anak yang melihat kampanye rokok dengan citra yang positif – sehingga akhirnya menormalisasi bahkan mencapai persepsi bahwa rokok adalah produk yang baik dan aman.
Iklan sendiri, sebagai bentuk kampanye paling eksplisit, menjadi masalah di Indonesia. Lentera Anak Foundation menyebutkan bahwa 85 persen sekolah di Indonesia dikelilingi oleh iklan-iklan rokok. Temuan ini juga sejalan dengan laporan penelitian yang dilakukan Tobacco Control Support Center-IAKMI pada 2017, bahwa mayoritas anak Indonesia di bawah 18 tahun telah secara konstan terpapar oleh iklan rokok.
Lebih detail, Tobacco Control Support Center-IAKMI melaporkan bahwa media kampanye rokok yang memberikan paparan kepada anak-anak tersebut adalah televisi (85 persen), banner (76,3 persen), papan iklan/billboard (70,9 persen), poster (67,7 persen), dan tembok publik (57,4 persen).
Antisipasi terhadap kehadiran berbagai bentuk iklan atau kampanye industri rokok diperlukan. Indonesia pun juga menjadi satu-satunya negara ASEAN yang sama sekali belum memberikan pelarangan total terhadap semua bentuk kampanye rokok. Sebagai perbandingan, Thailand telah melarang total seluruh bentuk kampanye rokok.
Diikuti juga oleh Myanmar, Laos, dan Brunei Darrusalam, industri rokok juga dilarang untuk melakukan program corporate social responsibility (CSR) – apapun itu bentuknya, bahkan yang tampak menguntungkan seperti pemberian beasiswa sekalipun. Sementara di Indonesia, berbagai bentuk kampanye industri rokok masih begitu dilanggengkan tanpa adanya pembatasan yang mengikat.
Mengutip artikel akademik Sri Handayani, Lentera Anak Foundation juga mengemukakan adanya hubungan signifikan antara kepadatan dan kedekatan iklan rokok di sekitar sekolah dengan perilaku merokok anak-anak. Mereka yang hidup di lingkungan yang padat iklan rokok memiliki risiko 2,8 kali lebih besar untuk menjadi perokok.
Artikel terkait
Status Pelarangan Kampanye Rokok di ASEAN per 2019 (Sumber: SEATCA, 2019)
Akses Rokok yang Terlalu Mudah
Dalam hegemoni industri rokok tersebut, rupanya tidak hanya kampanye dan kultur rokok itu sendiri yang dekat dengan anak-anak. Setelah sedemikian rupa mengalami repetisi dan persuasi untuk giat merokok, anak-anak akhirnya dihadapkan langsung pada akses membeli komoditas rokok secara langsung dengan begitu mudahnya.
Di Indonesia, anak-anak juga dikelilingi oleh akses-akses yang memudahkan untuk membeli rokok. Survei Lentera Anak Foundation pada Maret-April 2020 menemukan bahwa 93,8 persen warung yang berada di sekitar sekolah memajang rokok di etalasenya. Selain itu, 69,8 persen warung di sekitar sekolah terlibat kerjasama dengan industri rokok dan 89,6 persen menggantungkan spanduk iklan rokok.
Bahkan, hampir seluruh penjaga warung tersebut (96 persen) mengaku pernah menjual rokok kepada anak-anak berseragam sekolah. Lebih detail, 59,1 persen penjaga warung mengaku pernah menjual rokok kepada anak berseragam SMA, 36,6 persen menjual ke anak berseragam SMP, dan 4,3 persen kepada anak SD. Dari jumlah ini, 67,4 persen dari mereka mengaku tidak menolak anak membeli rokok karena anak dianggap mampu membayar dan tidak mau menolak pembeli.
Survei tersebut dilakukan di tiga kota, yakni Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta), Padang (Sumatera Barat), dan Lombok (Nusa Tenggara Barat). Ketiganya merupakan kota utama yang masuk dalam 10 provinsi dengan prevalensi tertinggi atas anak usia 10-14 tahun yang mulai merokok. Artinya, mudahnya akses untuk membeli rokok berdampak nyata pada dorongan untuk anak-anak mulai merokok.
Hal ini memperoleh perhatian khusus dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), untuk kemudian melakukan penelitian yang melahirkan laporan Densitas dan Aksesibilitas Rokok Batangan Anak-Anak Usia Sekolah di DKI Jakarta: Gambaran dan Kebijakan Pengendalian. Dari penelitian tersebut, PKJS UI menemukan bahwa densitas persebaran warung rokok eceran di seluruh Provinsi Jakarta begitu tinggi.
Dengan total jumlah mencapai 8.371 warung rokok eceran, maka terdapat setidaknya satu warung rokok di setiap 1.000 penduduk Jakarta atau juga setara dengan setidaknya 15 warung rokok eceran per 1 kilometer persegi wilayah Jakarta. Warung-warung ini memberikan akses untuk membeli rokok secara ecer dengan harga hanya Rp 1.500 per batangnya.
Radius densitas semakin buruk ketika dilihat dalam konteks area sekolah di Jakarta. Secara rata-rata keseluruhan, terdapat warung rokok eceran dalam radius 57,75 meter di setiap area SD, 64,56 meter di setiap area SMP, dan 63,94 meter di setiap area SMA/SMK. Bahkan, 61,2 persen warung rokok eceran yang di survei berada dekat dengan lingkungan sekolah. Artinya, aksesibilitas anak-anak Indonesia terhadap produk rokok begitu mudah dan murah, apalagi dengan dimungkinannya pembelian secara ecer.
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Sukarelawan menyosialisasikan bahaya rokok kepada anak-anak di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (28/5/2023). World Cleanup Day (WCD) Indonesia dan Yayasan Lentera Anak mengampanyekan dampak buruk rokok terhadap kesehatan dan lingkungan.
Industri Rokok
Kehadiran bebagai unsur pengaruh dapat terjadi dan dimungkinkan atas satu hal utama yang lebih makro, yakni kelonggaran dan ketidaktegasan regulasi pemerintah Indonesia terhadap industri rokok.
Melalui data dan realita yang tampak, pemerintah justru cenderung “kalah” dengan melahirkan produk regulasi yang tidak mengikat gerak industri rokok – salah satunya ditunjukkan begitu nyata dalam proses penyusunan RUU Kesehatan, sebelum pada akhirnya disahkan menjadi UU Kesehatan. Hal tersebut disoroti oleh Koalisi Perlindungan Masyarakat dari Produk Zat Adiktif Tembakau.
Di mata para pembuat kebijakan, industri rokok dengan kekuatan modalnya tampak menguntungkan. Adapun, pelaksanaan regulasi yang telah dibuat untuk mengikat industri rokok cenderung dilaksanakan setengah-setengah, atau bahkan tidak dilaksanakan sama sekali.
Lentera Anak Foundation mengambil dua contoh ketidaktegasan pemerintah dalam masalah ini. Yang pertama adalah kehadiran regulasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 yang melarang iklan rokok pada jam-jam tayang tertentu. Pelarangan iklan rokok di televisi sangat penting karena merupakan perwujudan dari subliminal marketing dengan daya tarik yang memikat.
Meski begitu, pada kenyataannya, iklan-iklan rokok masih kerap berseliweran dalam jam-jam yang terlarang. Tak hanya itu, pembatasan jam tayang juga tidak menjamin anak untuk tidak menonton TV pada jam tersebut.
PP Nomor 109 Tahun 2012 juga melarang sponsor rokok menggunakan brand image, namun dalam prakteknya tidak dipatuhi. Industri rokok tetap berkampanye dan mempublikasikan diri menggunakan logo atau tulisan rokok lewat bentuk-bentuk sponsor dan kegiatan lainnya.
Hanya saja, penulisan logo dan tulisan rokok tersebut dilakukan secara lebih implisit. Penyempilan identitas industri rokok ini biasa dilakukan lewat permainan warna dan font tulisan, nama kegiatan yang disisipi nama produk, hingga penggunaan tagline yang sama.
Contoh kedua adalah kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Kehadiran ruang aman ini diharapkan menjadi salah satu cara agar masyarakat tidak merokok secara bebas di berbagai ruangan, sehingga anak-anak pun dapat terlindungi dari paparan asap rokok. Pada 2019, Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa peraturan KTR telah dimiliki oleh 346 kabupaten/kota dari total 514 kabupaten/kota. Meski begitu, implementasinya baru dilaporkan oleh 248 kabupaten/kota.
Pada 2020, Universitas Udayana melakukan survei tingkat kepatuhan KTR di 41 kabupaten/kota dengan menggunakan delapan indikator. Hasilnya, tingkat kepatuhan masyarakat hanya mencapai level 40 persen. Hal ini dimungkinkan karena tidak adanya pengawasan serta sanksi tegas terhadap pelanggaran atas KTR.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Pedagang membaca brosur yang dibagikan Relawan Wanita Indonesia Tanpa Tembakau (WITT) Jawa Timur saat peringatan Hari Anti tembakau Sedunia di Pasar Keputran di Surabaya, Selasa (31/5/2016). Melalui brosur yang dibagikan dijelaskan mengnai bahaya merokok serta cara praktis untuk berhenti merokok bagi perokok.
Dampak Kesehatan dan Lingkungan
Indonesia telah menetapkan arah gerak nasional dalam RPJMN 2020-2024. Salah satu poin di dalamnya adalah menuju sumber daya manusia yang unggul, yakni manusia dengan ciri sehat, cerdas, terampil, berkemampuan analitis, pengendalian emosi, dan berkarakter. Untuk mencapai kondisi produktif tersebut, maka masyarakat Indonesia memerlukan dukungan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Di tahun 2023 ini, bangsa Indonesia hanya tinggal memiliki waktu kurang dari satu tahun untuk mewujudkan target RPJMN tersebut.
Mirisnya, kehadiran industri rokok dan gempurannya yang masif terhadap berbagai lini kehidupan justru menghadirkan anti-tesis dari berbagai target positif tersebut. Tidak hanya mengancam gerak bangsa masa kini, jeratan industri rokok juga menarik anak-anak Indonesia – sebagai sumber daya manusia andalan dan terdepan menuju Indonesia Emas 2045 – ke dalam pusaran racun dan adiksi yang menurunkan kualitas hidup mereka sendiri.
Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) dalam buku Fakta Tembakau Indonesia 2020: Data Empirik untuk Pengendalian Tembakau menuliskan bagaimana rokok adalah komoditas yang sungguh merusak, bahkan mencerabut pencapaian menuju pembangunan berkelanjutan. Ada tiga alasan yang disebutkan, yakni:
- Rokok merendahkan martabat manusia karena meningkatkan kemiskinan dan kelaparan, serta memperparah ketimpangan ekonomi dan sosial.
- Rokok menghambat pembangunan manusia karena menjerumuskan pada situasi adiktif dan menyebabkan sakit, menggadaikan kualitas pendidikan; serta membahayakan kesetaraan gender.
- Rokok menghancurkan lingkungan karena mengakibatkan kotornya pemukiman dan perkotaan; meracuni air tawar dan laut, dan menjadi salah satu alasan masifnya deforestasi.
IAKMI juga secara khusus menyoroti dampak rokok pada anak-anak. Konsumsi nikotin, terutama pada anak di bawah 20 tahun, akan berdampak pada penurunan fungsi kognitif, eksekutif, memori, dan pengendalian emosi. Ini disebabkan oleh otak bagian depan (prefrontal cortex/PFC) yang masih dalam tahap perkembangan mengalami kerusakan dan hambatan perkembangan akibat efek nikotin. Dampaknya, semakin lama anak merokok maka semakin rendah fungsi PFC-nya – menimbulkan kerentanan dalam pengambilan keputusan dan kurangnya kemampuan otak.
Adiksi rokok pada anak bisa menghadirkan ancaman serius untuk mewujudkan agenda pembangunan bangsa, terutama menuju arah Indonesia Emas 2045. Ketua Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI Turro S Wongkaren, menyampaikan bahwa rokok akan memengaruhi bonus demografi secara negatif, terutama lewat pendidikan, ketenagakerjaan, dan ekonomi.
Pengeluaran untuk rokok yang besar menurunkan kemampuan orang tua untuk membiayai pendidikan anaknya. Di saat bersamaan, kapasitas otak anak yang merokok akan menjadi tidak maksimal ketika mengeyam pendidikan. Konsumsi rokok yang adiktif juga berdampak pada kesehatan dan menurunkan produktivitas anak yang seharusnya berada pada fase produktif – ditunjukkan dari laporan statistik Pemuda tahun 2022 bahwa 23,38 persen pemuda telah memiliki keluhan kesehatan. Pada kelanjutannya, hal-hal ini memengaruhi pengeluaran negara untuk biaya kesehatan yang seharusnya bisa dialokasikan pada hal lain (Kompas.id, 16/5/2017, Rokok Ancam Pembangunan).
Menyadari hal ini, pemerintah telah menetapkan target untuk menurunkan prevalensi perokok anak dari menjadi 8,7 persen pada 2024. Meski begitu, melihat tren kebebasan industri rokok saat ini, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) memperkirakan jika bahwa prevalensi perokok anak justru akan terus meningkat mencapai 15,95 persen atau setaraa dengan 15 juta anak pada tahun 2030 anak – jumlah yang tidak sedikit terkait ancaman kualitas sumber daya manusia muda sebagai andalan persaingan global di 2045.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Peringatan Bahaya Merokok. Tulisan peringatan bahaya merokok kendaraan di lingkungan kantor Kementerian Kesehatan RI, Jakarta, Jumat (30/11/2018). Hasil studi beban penyakit di Indonesia 1990-2016 yang sudah dipublikasikan dalam jurnal the Lancet Juni 2018, menunjukkan, terdapat beberapa penyakit terkait rokok yang dalam satu dekade terakhir menempati 10 besar penyebab kematian di Indonesia, yakni stroke, penyakit jantung, dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
Iklan Rokok
Koordinator Forum Remaja Indonesian Conference on Tobacco or Health ICTOH Ke-4 Hasna Pradityas mengatakan, anak muda jadi sasaran pemasaran industri rokok. Mereka ditargetkan jadi perokok pemula yang nantinya kecanduan rokok dan menghasilkan untung bagi perusahaan rokok. “Rantai regenerasi perokok harus diputus,” ujar Hasna (Kompas.id, 16/5/2017, Rokok Ancam Pembangunan). Untuk melakukan pemutusan tersebut, pemerintah harus tegas dan berani melakukan langkah-langkah konkret dan signifikan. Berikut adalah beberapa di antaranya:
Larangan Kampanye Rokok
Mengutip hasil studi oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak tahun 2012, Hasna mengatakan bahwa perusahaan rokok begitu aktif dalam mensponsori berbagai acara. Yang paling banyak mendapat sponsor adalah acara musik, disusul olahraga, film, keagamaan, dan seni. Bersamaan dengan statusnya sebagai sponsor tersebut, industri rokok juga akan menjual rokok di acara tersebut atau bahkan membagikan rokok gratis. Pada titik inilah keamanan anak menjadi begitu rentan.
Sebagaimana juga telah dideskripsikan sebelumnya terkait kampanye rokok, maka masalah ini menjadi salah satu hal pertama yang harus dihentikan untuk memutus regenerasi perokok. Kampanye rokok harus dihentikan, bagaimanapun bentuk dan manfaatnya.
Hal ini sendiri terbukti telah dilakukan oleh negara-negara seperti Thailand, Brunei Darussalam, dan Myanmar. Bahkan tidak hanya itu, data WHO sebagaimana dikutip Kementerian Kesehatan dalam publikasi Kertas Kebijakan: Revisi PP 109/2012 menyatakan bahwa setidaknya 144 negara di seluruh dunia telah melarang total bentuk-bentuk kampanye rokok, baik berupa iklan, promosi, dan sponsor rokok. Di ASEAN, hanya Indonesia yang masih mengizinkan kampanye produk tembakau secara luas.
Dalam Bab Zat Adiktif pada UU Kesehatan, pelarangan ini sendiri sejatinya telah mulai dinisiasi. Pemerintah berniat untuk melarang iklan rokok dalam bentuk apapun. Meski begitu, hal ini segera mendapat penolakan dari industri rokok dan pihak-pihak yang diuntungkan olehnya. Salah satu penolakan disampaikan oleh Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Syafril Nasution, dimana menurutnya iklan rokok merupakan salah satu penyumbang pendapatan iklan terbesar bagi televisi.
Meski begitu, faktanya iklan rokok hanyalah sebagian kecil dari total pendapatan industri periklanan. Televisi tidak hanya menyiarkan iklan rokok, tetapi juga produk-produk lainnya seperti makanan, minuman, hingga otomotif. Bahkan survei yang dilakukan oleh AC Nielsen pada 2021 menunjukkan bahwa belanja iklan rokok terhadap pendapatan industri televisi berada di urutan keenam setelah online service, perawatan wajah, perawatan rambut, minuman, minuman, dan makanan.
Artinya, hambatan dalam membatasi keleluasaan industri rokok terhadap promosi dan pengiklanan pastilah terjadi. Apalagi hal ini merupakan langkah penting untuk industri rokok menjaga pasar sekaligus menjaring konsumen-konsumen baru yang potensial. Oleh karenanya, pemerintah sebagai lembaga berkuasa dan berlegitimasi tidak dapat tunduk dan kalah terhadap kekuasaan korporasi demikian.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Sejumlah aktivis dari Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau (Sapta Indonesia) dan Forum Warga Kota jakarta menggelar aksi di kawasan hari bebas hambatan bermotor Bunderan Hotel Indonesia (HI), Thamrin, Jakarta, Minggu (21/5/2017). Aksi ini untuk menginggatkan dan melindungi serta menyelamatkan Indonesia bahkan Dunia dari bahaya asap rokok.
Larangan Penyediaan Rokok Eceran
Ketika biaya cukai rokok dinaikkan pada 2022, pihak-pihak pendukung industri rokok bermunculan dan menyatakan bahwa kebijakan tersebut tidak berpihak pada rakyat. Kenyataannya, kenaikan cukai tersebut tidaklah begitu berdampak di lapangan. Cukai rokok hanya dikenakan untuk pembelian per bungkus, bukan secara eceran. Sementara di Indonesia, pembelian secara eceran masih sangat dimungkinkan lewat persebaran warung-warung rokok eceran yang begitu masif.
Terkait situasi tersebut, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kementerian Kesehatan Benget Suragih mengatakan bahwa sangat penting untuk menghentikan penjualan rokok eceran. Apalagi, berdasarkan berdasarkan data Sistem Produksi Terintegrasi (IPS) pada 2018, 107 negara telah melarang penjualan rokok eceran untuk menekan angka perokok.
Di Indonesia, larangan pengecer rokok ini sesungguhnya telah diatur melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023. Salah satu poin dalam Keppres tersebut terkait perubahan PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang akan mengatur penjualan rokok batangan.
Meski begitu, revisi atas PP masih belum dapat dilakukan karena merupakan merupakan turunan dari UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Setelah UU Kesehatan disahkan, PP turunan ini diharapkan dapat kembali dibahas.
Meski begitu, pemerintah harus secara tegas bersedia untuk bekerja secara multisektor. Sebagaimana juga disampaikan Benget, pelarang penjualan rokok eceran ini pasti akan menimbulkan pertentangan besar, terutama dari industri rokok dan bahkan dari tubuh pemerintah sendiri melalui Kementerian Perdagangan. Selain kerja sama secara multisektor, Benget juga menekankan perlunya penegakan dan pengawasan yang kuat di lapangan (Kompas.id, 14/6/2023, Perkuat RUU Kesehatan untuk Menekan Prevalensi Perokok Anak).
Pemutusan rantai perokok anak lewat pelarangan rokok eceran juga disampaikan oleh Ketua Umum Komite Nasional Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany pada Desember 2022. Hal serupa juga diungkapkan oleh Koordinator Koalisi Nasional Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau (KNMSPT), Ifdhal Kasim.
Keduanya berpendapat jika regulasi ini dapat sungguh terealisasi, maka akan secara nyata menunjukkan keberpihakan pemerintah pada kepentingan kesehatan publik dan perlindungan kelompok rentan, khususnya anak-anak, perempuan, hingga kelompok rumah tangga miskin. “Regulasi tersebut juga akan membuat harga rokok mahal dan sulit diakses oleh kelompok rentan. Semua pihak harus mengawal agar wacana tersebut bisa sampai dalam bentuk regulasi konkret,” ujar Ifdhal.
Selain itu, turut diperlukan pengawasan yang sangat ketat, termasuk kepada penjual eceran dalam skala bisnis mikro yang dapat dengan mudah bermunculan tanpa terdeteksi pemerintah. Sebagaimana juga disampaikan Benget, praktik di lapangan perlu memperoleh perhatian dan strategi tersendiri, termasuk melibatkan berbagai stakeholder pengawasan (Kompas.id, 27/12/2022, Larangan Penjualan Rokok Ketengan Akan Bantu Tekan Jumlah Perokok Muda).
Selain itu, regulasi ini dapat lebih dilengkapi dengan larangan mutlak bagi anak-anak untuk mengonsumsi nikotin dalam bentuk apapun. Kebijakan ini telah diterapkan di banyak negara lain, termasuk di Singapura yang menetapkan batas usia minimum perokok legal adalah 21 tahun. Penjual rokok yang terbukti menjual pada anak-anak akan dikenakan denda hingga 5.000-10.000 dolar AS serta dicabut izin berdagangnya. Sementara anak-anak yang terbukti merokok dapat dikenakan denda maksimal 300 dolar AS.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Para pengunjung warung kopi di Banda Aceh, Aceh sedang merokok, Sabtu (20/7/2019). Perokok pasif yang terpapar asap rokok dalam waktu yang lama berpotensi mengalami kanker paru, penyakit jantung, dan gangguan kehamilan. Meski telah dibuat aturan kawasan tanpa rokok, namun di area publik masih mudah ditemukan perokok.
Lembaga Independen
Solusi yang dapat diwujudkan namun masih belum populer dalam penanganan perokok anak adalah membentuk lembaga independen tersendiri.
Hal ini berangkat dari lemahnya fungsi pengawasan pengendalian konsumsi produk tembakau serta tidak adanya alur koordinasi yang jelas antar kementerian/lembaga terkait pengendalian, pengawasan, dan penegakan konsumsi rokok. Kehadiran satu lembaga khusus dan terdepan dalam sebagai benteng dari komoditas rokok dapat memangkas alur koordinasi yang tidak jelas tersebut dan membangun sistem yang lebih komprehensif.
Praktik kelembagaan demikian telah diwujudkan oleh banyak negara lain dan dapat digunakan sebagai referensi. Negara-negara yang melakukan ini juga terbukti mampu menekan angka perokok anak. Sebagai contoh, dengan mengacu kembali pada Kertas Kebijakan dari Kementerian Kesehatan, fungsi pengawasan tembakau di Singapura dilakukan oleh lembaga khusus bernama Health Sciences Authority di bawah Kementerian Kesehatan Singapura dengan juga menggandeng kepolisian.
Di Australia, pengawasan dilakukan oleh tim khusus terpadu pengendalian tembakau bernama Tobacco Control Officer bersama kepolisian. Di Thailand, hal ini secara khusus dilakukan oleh satuan tugas khusus National Tobacco Products Control Board. Selain itu, Nepal juga memiliki satuan tugas Committee for Control and Regulation of Tobacco Product dan Bangladesh memiliki satuan tugas National Tobacco Control Cell.
Saat ini yang terjadi di Indonesia, terdapat tumpang-tindih fungsi pengawasan industri rokok dan perlindungan bahaya tembakau. Sebagai contoh, lembaga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) diberikan fungsi pengawasan kebenaran kandungan kadar nikotin dan tar, pemerintah daerah menginisiasi dan menegakkan KTR, Kementerian Kesehatan mempromosikan kehidupan sehat tanpa rokok, Kementerian Keuangan memutuskan perihal cukai rokok, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan fungsi penegakkan regulasi lapangan dan operasi pasar rokok ilegal.
Pada akhirnya, permasalahan industri rokok yang mengorbankan anak-anak Indonesia telah begitu pelik sekaligus masif. Sejauh mana pemerintah bertindak dan bersikap tegas menunjukkan sejauh mana pemerintah berpihak pada masa depan bangsa dan kelompok rentan, yang terejawantahkan dalam tubuh anak-anak.
Di saat bersamaan, usaha pemerintah sangat pasti akan mendapat tantangan juga penolakan. Apalagi lewat narasi-narasi glorifikasi industri rokok, seperti sumbangan cukai terhadap pendapatan negara dan nasib petani tembakau – peredaran narasi yang sesungguhnya dikontrol dan tidak mempertimbangkan nafas kematian anak-anak kecil. Ditambah pula dengan normalisasi sistemik rokok melalui iklan dan sponsor yang liar. Pada titik ini, kehadiran masyarakat sipil menunjukkan fungsinya untuk melawan narasi tersebut dan mengingatkan pemerintah untuk menjaga idealitas Indonesia Emas 2045. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
• Kompas.id. (2023, Juli 3). Kepulan Asap yang Merenggut Napas ”Malaikat-malaikat Kecil”. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/07/02/kepulan-asap-yang-merenggut-napas-malaikat-malaikat-kecil?open_from=Tagar_Page&utm_source=medsos_twitter&utm_medium=link&utm_campaign=humaniora
• Kompas.id. (2017, Mei 16). Rokok Ancam Pembangunan. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2017/05/16/rokok-ancam-pembangunan
• Kompas.id. (2022, Desember 27). Larangan Penjualan Rokok Ketengan Akan Bantu Tekan Jumlah Perokok Muda. Diambil kembali dari Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2022/12/27/rencana-pelarangan-rokok-batangan-bantu-tekan-jumlah-perokok-muda
• Kompas.id. (2023, Juni 14). Perkuat RUU Kesehatan untuk Menekan Prevalensi Perokok Anak. Diambil kembali dari Kompas.id:
https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/06/14/momentum-ruu-kesehatan-untuk-menekan-prevalensi-perokok-anak
- Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia. (2020). Fakta Tembakau Indonesia 2020: Data Empirik untuk Pengendalian Tembakau. Jakarta Timur: Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia.
- IISD, IPM, dan UHAMKA. (2023). Outlook Perokok Pelajar Indonesia 2022 (Preliminary Report). Jakarta: IISD, IPM, dan UHAMKA.
- Kementerian Kesehatan. (2022). Kertas Kebijakan: Revisi PP 109/2012. Kementerian Kesehatan.
- Koalisi Perlindungan Masyarakat dari Produk Zat Adiktif Tembakau. (2023, Juni 15). Siaran Pers: Serukan Penolakan RUU Kesehatan, Jaringan Pengendalian Tembakau Minta Penundaan Pengesahan di DPR. Jakarta: Koalisi Perlindungan Masyarakat dari Produk Zat Adiktif Tembakau.
- Lentera Anak Foundation. (2020). Info Brief Perokok Anak Terus Meningkat. Lentera Anak Foundation.
- Lentera Anak Foundation; Emancipate Indonesia; SEATCA. (2021). Survei Merek Rokok Yang Dipilih Anak. Jakarta: Lentera Anak Foundation.
- PKJS-SKSG Universitas Indonesia. (2021). Densitas dan Aksesibilitas Rokok Batangan Anak-Anak Usia Sekolah di DKI Jakarta: Gambaran dan Kebijakan Pengendalian. PKJS-SKSG Universitas Indonesia.
- Southeast Asia Tobacco Control Alliance. (2021, December). The ASEAN Tobacco Control Atlas: ASEAN Region. Diambil kembali dari seatca.org: https://seatca.org/tobacco-control-atlas/
- Southeast Asia Tobacco Control Alliance. (2019). SEATCA Tobacco Advertising, Promotion and Sponsorship Index. Bangkok: Southeast Asia Tobacco Control Alliance. Diambil kembali dari seatca.org: https://seatca.org/dmdocuments/SEATCA-Tobacco-advertising-promotion-sponsorship-index.pdf
- Kementerian Kesehatan. (2022, Juli 29). Perokok Anak Masih Banyak, Revisi PP Tembakau Diperlukan. Diambil kembali dari kemkes.go.id: https://www.kemkes.go.id/article/view/22073000001/perokok-anak-masih-banyak-revisi-pp-tembakau-diperlukan.html
- Ministry of Health Singapore. (2020, December 30). Minimum Legal Age For Tobacco Raised To 21 Years Old From 1 January 2021. Diambil kembali dari moh.gov.sg: https://www.moh.gov.sg/news-highlights/details/minimum-legal-age-for-tobacco-raised-to-21-years-old-from-1-january-2021
- World Health Organization. (2020, Mei 26). Global Youth Tobacco Survey 2019. Diambil kembali dari who.int: https://www.who.int/southeastasia/health-topics/tobacco/global-youth-tobacco-survey