Paparan Topik

Hari Pangan Sedunia 2023: Krisis Air Ancam Ketahanan Pangan

Hari Pangan Sedunia 2023 mengusung tema tentang kesadaran global mengenai pentingnya pengelolaan air secara bijaksana ditengah ancaman krisis air dunia.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Jepri hanya bisa pasrah menyaksikan tanaman padinya puso akibat kekurangan air di kawasan Dangdang, Tangerang, Banten, Jumat (8/9/2023). Kekeringan akibat fenomena iklim El Nino turut berdampak pada sawah seluas 4.000 meter persegi yang digarapnya, terancam gagal panen. Sebagai petani penggarap, Ia tak kuasa menyewa pompa air untuk mengairi sawahnya karena biaya operasional mencapai Rp250.000 per hari. Menurut Jepri, selama 40 tahun menjadi petani baru kali ini ia mengalami gagal panen akibat kekeringan seperti saat ini.

Fakta Singkat

  • Hari Pangan Sedunia diperingati setiap tanggal 16 Oktober. Prinsip utama yang dirayakan adalah peningkatan ketahanan pangan di seluruh dunia, terutama pada saat krisis.
  • Pada tahun 2023, peringatan Hari Pangan Sedunia menyoroti air sebagai fondasi kehidupan dan pangan dengan mengusung tema “Water is life, water is food. Leave no one behind” (Air adalah kehidupan, air adalah makanan. Jangan tinggalkan siapa pun).
  • World Resource Institute, pada 2020 terdapat 49 negara dengan tingkat kesulitan air tinggi. Angka tersebut diperkirakan meningkat pada 2040 menjadi 59 negara.
  • Sebagian besar total penggunaan air di dunia digunakan untuk pertanian (70 persen) dan industri (20 persen), dan sisanya untuk mencukupi kebutuhan domestik (10 persen).
  • FAO dan badan-badan PBB yang terkait menyebutkan, pada 2022 ada sekitar 735 juta orang yang menghadapi kelaparan di seluruh belahan dunia dan sedikitnya 148,1 juta bayi di bawah lima tahun mengalami 
  • Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan, pada tahun ini setidaknya telah terjadi 45 kejadian bencana kekeringan hingga 2 Agustus 2023.
  • Majalah The Economist yang merilis Indeks Ketahanan Global 2022, menempatkan Indonesia pada peringkat ke-63 dari 113 negara di dunia.
  • FAO memperkirakan sekitar 16,2 juta orang diperkirakan mengalami kelaparan di Indonesia.

Setiap tanggal 16 Oktober, masyarakat internasional memperingati Hari Pangan Sedunia atau World Food Day. Peringatan ini menjadi penting di tengah kerawanan pangan global akibat kombinasi problem yang menyebabkan kesulitan produksi dan distribusi pangan, seperti fenomena perubahan iklim, bencana alam, inflasi, hingga konflik sosial dan geopolitik, termasuk perang.

Merujuk laman resmi Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), ada 150 negara di seluruh dunia yang memperingati Hari Pangan Sedunia. Prinsip utama yang dirayakan pada Hari Pangan Sedunia adalah peningkatan ketahanan pangan di seluruh dunia, terutama pada saat krisis.

Pada tahun 2023, peringatan Hari Pangan Sedunia menyoroti air sebagai fondasi kehidupan dan pangan dengan mengusung tema “Water is life, water is food. Leave no one behind” (Air adalah kehidupan, air adalah makanan. Jangan tinggalkan siapa pun). Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran global mengenai pentingnya pengelolaan air secara bijaksana seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk, pembangunan ekonomi, urbanisasi, dan perubahan iklim yang mengancam ketersediaan air.

Kampanye ini juga bertujuan mendorong pemerintah, sektor swasta, akademisi, petani dan masyarakat sipil serta individu untuk bekerjasama mencari solusi untuk menghasilkan lebih banyak pangan dan komoditas pertanian penting lainnya dengan lebih sedikit air, sekaligus memastikan air didistribusikan secara merata, sistem pangan akuatik kita terlindungi, dan tidak ada yang tertinggal.

Krisis Air Ancam Kehidupan

Air merupakan salah satu sumber daya sangat penting bagi kehidupan di planet Bumi. Air dibutuhkan untuk semua aspek produksi pangan, mulai dari irigasi, pertumbuhan tanaman, hingga pengolahan makanan. Tanpa akses terhadap air bersih, masyarakat tidak dapat memproduksi atau mengakses makanan yang mereka perlukan untuk bertahan hidup.

Tidak dapat dimungkiri bahwa air merupakan salah satu komponen terpenting dalam kehidupan manusia. Secara historis, sejak zaman dahulu hingga sekarang, keberadaan air punya posisi vital dalam membentuk peradaban dunia. Banyak peradaban besar dunia berkembang di sekitar sumber daya yang berharga ini dengan berkembang di tepian sungai dan di tanah dataran banjir yang subur.

Dari sungai Tigris dan Eufrat yang membesarkan kerajaan Sumeria, Asiria, dan Babilonia, Sungai Nil yang membesarkan kerajaan Mesir, hingga sungai Indus, Biru, dan Kuning di India dan Tiongkok. Menjadi bukti nyata lahirnya peradaban besar dunia yang dipengaruhi oleh keberadaan air.

Namun, pertumbuhan penduduk yang pesat, urbanisasi, pembangunan ekonomi, dan perubahan iklim menjadikan sumber daya air di bumi semakin tertekan. Menurut laporan Forum Ekonomi Dunia disebutkan bahwa sejak 2012 hingga 2021, krisis air termasuk dalam lima besar risiko dunia yang patut diwaspadai. Padahal, sebelumnya, berdasarkan data 2007-2011, krisis air tidak tergolong sebagai masalah utama.

Berdasarkan data World Resource Institute, pada 2020 terdapat 49 negara dengan tingkat kesulitan air tinggi. Angka tersebut diperkirakan meningkat pada 2040 menjadi 59 negara. Tingkat kesulitan air yang dimaksud adalah perhitungan berdasarkan banyaknya penggunaan air dari sektor domestik, pertanian, dan industri yang dibandingkan dengan pasokan air permukaan serta air tanah yang tersedia. (“8 Miliar Penduduk Bumi dan Ancaman Krisis Air Bersih”, Kompas, 15 November 2022).

Sebagai informasi, 70 persen planet bumi yang kita tinggali terdiri atas air, sehingga banyak diantara kita yang beranggapan bahwa air di bumi sangat melimpah. Akan tetapi, sebagian besar (97 persen) air di bumi ini merupakan air laut yang tidak bisa dikonsumsi secara langsung baik untuk kepentingan rumah tangga maupun pertanian.

Sisanya adalah saline water (0,9 persen) dan air tawar (2,5 persen). Dari semua itu, hanya air tawar yang diperuntukkan untuk kegiatan manusia. Dari air tawar itu, hanya air permukaan (1,2 persen) dan air tanah (30,1 persen) yang dapat digunakan. Sisanya tersimpan dalam gletser dan bongkahan es (68,7 persen), sehingga tidak bisa digunakan secara langsung. Dengan kondisi ketersediaan air dunia yang demikian terbatas, mengakibatkan banyak penduduk dunia  yang tidak memiliki akses terhadap air bersih dan mengalami kelangkaan air.

Berdasarkan data FAO, saat ini saja ada  2,4 miliar orang tinggal di negara-negara yang kekurangan air. Dan, diproyeksikan akan jauh lebih buruk karena anomali atmosfer El Nino akan melanda sebagian besar wilayah di dunia sepanjang periode Juli hingga September 2023.

El Nino merupakan pola iklim yang terkait pemanasan suhu permukaan laut di tengah dan timur Samudera Pasifik. Bagi sebagian wilayah, El Nino menyebabkan kekeringan parah dan berpotensi menyebabkan krisis air yang semakin meluas.

Grafik:

Infografik: Albertus Erwin Susanto

Fenomena tersebut tentu saja sangat mengkhawatirkan dan patut dijadikan peringatan. Dalam kehidupan manusia sehari-hari, sebagian besar total penggunaan air di dunia digunakan untuk pertanian (70 persen) dan industri (20 persen). Sisanya, digunakan untuk mencukupi kebutuhan domestik (10 persen),seperti memasak, mandi, dan mencuci. Oleh sebab itu, kekeringan dan krisis air berpotensi sangat besar mengakibatkan terjadinya gagal bercocok tanam dan panen yang berdampak lanjutan terhadap kerentanan pangan global.

Sebuah studi yang berjudul “Forecasting global crop yields based on El Nino Southern Oscillation early signals” tahun 2023 menyebutkan bahwa kekeringan El Nino mampu memengaruhi masing-masing produktivitas jagung, padi, dan gandum sebesar 11,8 persen; 13,4 persen; dan 12,8 persen (“Suhu Dunia Mendidih, Mengancam Kehidupan dan Produksi Pangan”, Kompas, 4 Agustus 2023)

KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS

Olahan singkong yang dijual dalam pameran Hari Pangan Sedunia ke-39, di Kendari, Sulawesi Tenggara, Minggu (3/11/2019). Pangan lokal terus terpinggirkan dengan masifnya beras, dan belum adanya program menyeluruh terkait beragamnya pangan lokal di Indonesia. Komsumsi beras jauh berkali lipat dibanding singkong, sagu, atau jagung, yang pernah menjadi pangan utama masyarakat di Sultra.

Bencana Kelaparan

Melihat kondisi bumi saat ini, kekeringan dan krisis air tidak dapat dianggap remeh. Salah satu implikasi lanjutan yang sangat serius dari permasalahan pelik tersebut adalah bencana kelaparan.

Kelaparan adalah sensasi fisik yang tidak nyaman atau menyakitkan yang disebabkan oleh konsumsi energi makanan yang tidak mencukupi. Penyakit ini menjadi kronis ketika seseorang tidak mengonsumsi kalori (energi makanan) dalam jumlah yang cukup secara teratur untuk menjalani hidup normal, aktif dan sehat.

Dokumen berjudul “The State of Food Security and Nutrition in the World 2023” yang diterbitkan oleh FAO dan badan-badan PBB yang terkait menyebutkan, pada 2022 ada sekitar 735 juta orang yang menghadapi kelaparan di seluruh belahan dunia dan sedikitnya 148,1 juta bayi di bawah lima tahun mengalami stunting. Menurut laporan ini, kekeringan dan krisis air menjadi salah satu faktor yang berkontribusi besar terhadap kelaparan yang terjadi.

Faktor lainnya adalah masih berlanjutnya berbagai konflik geopolitik, seperti perang antara Rusia dan Ukraina yang menyebabkan guncangan perekonomian global. Apalagi, Rusia dan Ukraina termasuk produsen dan eksportir serelia penting dunia. Bahkan, selain pangan, Rusia juga berperan penting dalam tata niaga energi global. Sehingga konflik kedua negara tersebut berpotensi mengganggu rantai pasok energi dan pangan global.

Hal itu memicu harga-harga secara umum meningkat lebih mahal. Salah satunya terjadi lonjakan harga pangan secara drastis. FAO mencatat harga pangan dunia tahun 2022 naik 14,3 persen dibandingkan tahun 2021 (“Harga Pangan Dunia 2023 Diperkirakan Meningkat”, Kompas, 7 Januari 2023).

Tingginya harga pangan akan menyebabkan seseorang tidak mampu mendapatkan makanan yang cukup dan sehat, sehingga meningkatkan angka kelaparan dan malnutrisi. Negara-negara dan masyarakat yang sudah rentan akibat kemiskinan yang mengakar, kesenjangan, serta lemahnya institusi dan tata kelola pemerintahan, menanggung beban terbesar dari krisis ini.

Menurut laporan FAO, ada sejumlah negara di di dunia yang berisiko tinggi rawan kelaparan, di antaranya adalah Republik Demokratik Kongo, Somalia, Kenya, Haiti, Ethiopia, Afghanistan, Nigeria, Sudan, dan Yaman.

Sampah Makanan

Menyedihkannya, ditengah angka kelaparan yang tinggi, banyak pangan terbuang percuma. Makanan yang tidak dikonsumsi atau terbuang sia-sia, secara global, diperkirakan 1 miliar ton per tahun. Jumlah itu setara dengan sepertiga dari makanan yang diproduksi secara global. (“Sepertiga Makanan Global Terbuang Sia-Sia di Tengah Kelaparan Ekstrem”, Kompas, 19 Mei 2022).

Laporan Indeks Limbah Makanan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) 2021 menyebutkan, rumah tangga menyumbang 61 persen dari total sampah makanan tersebut, lalu 21 persen dari perusahaan katering, dan 13 persen dari warung. Per tahun, nilai limbah makanan diperkirakan mencapai 990 miliar dollar AS, dengan rincian 680 miliar dollar AS di negara-negara industri dan 310 miliar dollar AS di negara-negara berkembang.

Dilihat dari jenisnya, secara kuantitatif jenis makanan yang terbuang mencakup makanan atau bahan makanan berbasis sereal sebanyak 30 persen; umbi-umbian, buah-buahan, dan sayuran 40-50 persen; minyak sayur, daging, dan susu sebanyak 20 persen; serta ikan 30 persen.

Tidak semua sampah makanan merupakan sisa makanan. Sebagian limbah makanan terbuang karena faktor pemrosesan pascapanen, seperti pengeringan yang tidak efisien, penyimpanan yang buruk dan infrastruktur yang tidak memadai. 

Situasi Indonesia

Bagaimana dengan situasi di Indonesia? situasi Indonesia juga sedang tidak baik-baik saja. Bencana kekeringan dan krisis air di Tanah Air semakin meluas dan warga yang terdampak semakin banyak.

Merujuk data pemetaan bencana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan, pada tahun ini setidaknya telah terjadi 45 kejadian bencana kekeringan hingga 2 Agustus 2023. Kekeringan yang dimaksud ialah ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi, dan lingkungan (“Waspadai Krisis Air Kala Kemarau Memuncak”, Kompas, 10 Agustus 2023).

Dari jumlah itu, 30 kejadian atau 66,7 persen terjadi pada Juli-Agustus. Jumlah ini jauh lebih tinggi daripada tiga tahun sebelumnya, yakni 43 kejadian pada 2022, sebanyak 15 kejadian pada 2021, dan 26 kejadian pada 2020.

Musim kemarau yang dikombinasikan dengan fenomena El Nino  ditengarai menjadi penyebab utamanya. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, 63 persen wilayah di Indonesia sudah terdampak El Nino sejak akhir Juli 2023 dan memprediksi dampak titik puncak El Nino akan terjadi pada Agustus-September 2023. Lebih lanjut, BMKG juga memprediksi kemarau tahun 2023 ini akan lebih kering dari kondisi normalnya. Bahkan, tidak menutup kemungkinan berlangsung hingga tahun 2024.

Beberapa daerah yang akan terdampak cukup kuat adalah sebagian besar wilayah Sumatera seperti Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Bengkulu, Lampung. Seluruh Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara diprediksi memiliki curah hujan paling rendah dan berpotensi mengalami musim kering yang ekstrem.

Adapun sektor yang paling terdampak dari fenomena El Nino adalah sektor pertanian. Pasalnya, pertanian pangan sangat mengandalkan air. Sejumlah implikasi sudah dirasakan, salah satunya produksi pertanian pangan yang menurun secara signifikan.

Produksi pertanian pangan yang paling menjadi perhatian adalah beras, yang merupakan bahan pangan utama di Indonesia. Di Indonesia, beras menjadi sumber pangan dengan rata-rata konsumsi rumah tangga sebesar 94,9 kg per kapita per tahun pada tahun 2019.

Akibat kekeringan yang dipicu oleh El Nino, produksi beras  Indonesia sepanjang Januari-September 2023 diperkirakan 530.000 ton lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu (“Produksi Beras RI Diproyeksikan Turun 530.000 Ton Gara-gara El Nino”, Kompas, 3 Agustus 2023).

Grafik:

Infografik: Albertus Erwin Susanto

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, per Juli 2023, realisasi produksi beras Indonesia sepanjang Januari-Juni 2023 diperkirakan 18,4 juta ton. Sementara proyeksi produksi pada Juli-September 2023 berkisar 7,24 juta ton. Dengan demikian, produksi beras sepanjang Januari-September 2023 diproyeksikan 25,64 juta ton. Angka itu lebih rendah dibandingkan dengan produksi beras periode sama tahun lalu yang tercatat 26,17 juta ton.

Di sisi lain, konsumsi beras Indonesia meningkat. Sepanjang Januari-September 2023, angka proyeksi konsumsi beras nasional bisa mencapai 22,89 juta ton, sementara pada periode sama tahun lalu konsumsinya 22,62 juta ton.

Kondisi tersebut memicu dampak lanjutan, yakni kenaikan harga. Berdasarkan data Panel Harga Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), pada 5 Oktober 2023, harga rata-rata nasional beras medium di tingkat eceran Rp 13.200 per kilogram (kg). Sementara beras premium 14.900 per kilogram.

Harga tersebut telah melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah dalam Perbadan No.7/2023 sebesar Rp10.900-Rp11.800 per kilogram untuk beras medium, dan Rp13.900-Rp14.800 per kilogram untuk beras premium.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pekerja menyapu lantai di pergudangan Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Selasa (5/9/2023). Kekeringan akibat El Nino dapat menggerus produksi serta mengerek harga gabah dan beras.

Kelaparan Masih Terjadi

Kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan dan dibarengi cuaca ekstrem juga menyebabkan kelaparan terjadi Indonesia. Berdasarkan pemberitaaan Kompas, bencana kelaparan kembali terjadi di tiga distrik di Kabupaten Puncak, Papua Tengah, yakni  Agandugume, Lambewi, dan Oneri (“Masa Tanggap Darurat Kelaparan di Kabupaten Puncak Diperpanjang, Kompas, 2 Agustus 2023).

Berada di belakang pegunungan Carstensz, Kabupaten Puncak kerap mengalami kekeringan saat musim kemarau. Kekeringan yang terjadi membuat tanaman seperti umbi-umbian tidak bisa tumbuh. Padahal umbi-umbian merupakan makanan pokok masyarakat setempat sehingga saat gagal panen, mereka kesulitan memenuhi kebutuhan pangan. Sekitar 10.000 jiwa terdampak bencana tersebut dan enam warga meninggal dunia karena sakit.

Kondisi ini menjadi alarm di tengah upaya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) 2030, yang antara lain, mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan, memperbaiki nutrisi, dan mempromosikan pertanian yang berkelanjutan. Apalagi ini bukan kejadian pertama. Sejak otonomi khusus diterapkan tahun 2001, arsip Kompas mencatat kasus kelaparan terjadi di tahun 2003, 2005, 2015, 2022, dan 2023.

Kelaparan masih menjadi masalah utama yang harus dibenahi di Indonesia. Berdasarkan data FAO, pada 2022 Indonesia tercatat memiliki prevalensi kurang gizi atau ketidakcukupan konsumsi pangan (prevalence of undernourishment)  5,9 persen. Angka kelaparan Indonesia itu menjadi yang kedua tertinggi di kelompok negara ASEAN.

Grafik:

Infografik: Albertus Erwin Susanto

Namun, jika dilihat dari segi jumlah manusianya, angka kelaparan Indonesia menempati posisi paling tinggi. Berdasarkan prevalansi tersebut, diperkirakan sekitar 16,2 juta orang diperkirakan mengalami kelaparan di Indonesia.

Apabila menelaah data BPS, sebanyak 26 juta orang yang tergolong penduduk miskin di Indonesia juga turut rawan mengalami kelaparan.

Ironisnya, di sisi lain, masih banyak makanan terbuang sia-sia di Indonesia. Dari data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah  Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2020, sampah makanan mencapai 40 persen dari total sampah yang dihasilkan masyarakat di 199 kabupaten/kota.

Menurut penelitian Bappenas (2021), potensi sampah yang dihasilkan dari makanan yang terbuang sebelum diolah (food loss) dan sampah makanan (food waste) di Indonesia pada tahun 2000-2019 mencapai 23-48 juta ton per tahun atau setara dengan 115-184 kg perkapita per tahun.

Adapun hasil analisis Kompas mendapatkan, penduduk Indonesia rata-rata membuang makanan setara Rp 2,1 juta per orang per tahun. Nilai sampah makanan di Indonesia mencapai Rp 330 triliun per tahun ( “Sampah Makanan Indonesia Mencapai Rp 330 Triliun”, Kompas, 18 Mei 2022)

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Pesawat tanpa awak menyemprotkan agensia hayati yang mengandung organisme untuk mengendalikan organisme pengendali tanaman di lahan sawah saat digelar peringatan Hari Pangan Sedunia di Jagapura, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Senin (25/10/2021). Pemanfaatan teknologi dan mekanisasi pertanian diharapkan dapat memudahkan petani dan meningkatkan produktivitas.

Ketahanan Pangan

Majalah The Economist yang merilis Global Food Security Index (GFSI) atau Indeks Ketahanan Global 2022, menempatkan Indonesia pada peringkat ke-63 dari 113 negara di dunia. Dalam laporannya, Indonesia memiliki skor 60,2, membaik dibanding dua tahun awal pandemi.

Grafik:

Infografik: Albertus Erwin Susanto

Indeks ketahanan pangan GFSI 2022 diukur berdasarkan empat indikator, yakni keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi (quality and safety), serta keberlanjutan dan adaptasi (sustainability and adaptation).

Kendati membaik, ketahanan pangan Indonesia pada 2022 masih lebih rendah dibanding rata-rata global yang indeksnya 62,2, serta di bawah rata-rata Asia Pasifik yang indeksnya 63,4.

Kinerja terbaik Indonesia berada di pilar keterjangkauan pangan naik 12,4 poin dengan skor 81,4 dan menaikkan klasifikasi dari ‘sedang’ menjadi ‘sangat baik’ sejak 2012. Sementara, kinerja terlemah berada di pilar keberlanjutan dan adaptasi dengan skor 46,3.

Grafik:

Infografik: Albertus Erwin Susanto

Adapun, dua pilar lainnya yakni ketersediaan pasokan dan kualitas nutrisi dan keamanan makanan masing-masing tercatat dengan skor 50,9 dan 56,2. 

Hasil itu menunjukan kondisi ketahanan pangan Indonesia belum ideal.  Riset Nagara Institute 2023 mengungkapkan, ada beberapa tantangan menuju ketahanan pangan, antara lain kelembagaan petani, sumber daya manusia, penguatan produksi, dan kesejahteraan petani.

Pada aspek produksi pangan misalnya. Melansir data BPS, bahwa pada 2022 Indonesia masih tercatat mengimpor pangan pokok strategis seperti beras, gandum, kedelai, gula, daging, hingga bawang, guna memenuhi kebutuhan domestik. Ketergantungan impor pangan ini menunjukan bahwa produksi pangan masih rendah, serta belum berdaulat pangan. Kondisi ini menyebabkan basis ketahanan pangan Indonesia menjadi rentan.

Pada aspek kelembagaan, Nagara Institute juga menemukan sejumlah faktor menghambat ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. Di antaranya, tata kelola pangan yang masih lemah terutama pada koordinasi pengelolaan pangan lintas sektor dan antarlembaga pemerintah, manajemen data pangan yang dapat diandalkan untuk basis kebijakan, manajemen pengelolaan cadangan pangan dan posisi petani.

Sementara itu, Bapanas mencatat, berdasarkan hasil analisis Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) atau Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan tahun 2022, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, masih terdapat 74 kabupaten/kota atau 14 persen yang masih berada dalam kategori daerah rentan rawan pangan. Terdiri dari 26 kabupaten/kota Prioritas 1 (sangat rentan), 16 kabupaten/kota Prioritas 2 (rentan), dan 32 kabupaten/kota Prioritas 3 (agak rentan).

Berdasarkan provinsi, dari 34 provinsi yang disurvei, ada 2 provinsi yang memiliki Indeks Ketahanan Pangan (IKP) paling rendah dan masuk Prioritas 1, yaitu Papua dan Papua Barat. Adapun penyebab rendahnya nilai IKP antara lain produksi pangan wilayah lebih kecil dibanding kebutuhan, prevalensi balita stunting tinggi, akses air bersih terbatas, dan persentase penduduk hidup miskin tinggi.

Wilayah Indonesia bagian timur secara umum memiliki nilai IKP lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia bagian barat. Lanskap tersebut mengindikasikan belum meratanya distribusi ketahanan pangan di Tanah Air. Hal ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh pihak di Indonesia, dalam memastikan keamanan pangan di seluruh wilayah yang terdiri dari banyak pulau.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Pengunjung mengantri mendapatkan makanan gratis khas Jawa Timur saat berlangsung Pameran peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) Ke-39 tahun 2019 di JX International Convention Exhibition Surabaya, Rabu (20/11/2019). Peringatan Hari Pangan se-Dunia ke-39 Provinsi Jawa Timur tahun 2019 ini mengusung tema “Melalui Inovasi Teknologi Pertanian dan Pangan, Kita Wujudkan Nawa Bhakti Satya untuk Jawa Timur Sejahtera”.

Jalan Keluar Krisis Pangan

Melihat tantangan di atas, ada sejumlah upaya yang dapat ditempuh untuk mencapai ketahanan pangan di masa depan.

Di tengah situasi krisis air yang sedang melanda dan kebutuhan pangan nasional yang semakin meningkat seiring dengan makin meningkatnya jumlah penduduk saat ini. Masa depan pertanian pangan tidak dapat lagi hanya mengandalkan lahan basah. Guna mencapai ketahanan pangan, Indonesia juga perlu mengembangkan pertanian di lahan suboptimal berupa lahan kering masam, lahan kering iklim kering, lahan rawa pasang surut dan lebak, dan lahan gambut. Sebab, Indonesia memiliki lahan basah yang terbatas (“Basis Ketahanan Pangan Nasional”, Kompas, Maret 2023).

Menurut data Badan Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Kementan, mayoritas daratan adalah lahan suboptimal atau produktivitas rendah, yaitu seluas 157,2 juta hektar. Itu didominasi lahan kering masam 108,8 juta ha di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Selebihnya, lahan kering beriklim kering, lahan rawa pasang surut, dan gambut.

Tantangannya, penggunaan lahan suboptimal memerlukan penerapan inovasi teknologi. Lahan suboptimal membutukhan lebih banyak intervensi teknologi untuk dapat dijadikan lahan pertanian dan meningkatkan produktivitas. Misalnya penerapan teknologi pengelolaan air, pemanfaatan bahan organik untuk meningkatkan kesuburan, dan pengembangan varietas tanaman.

Selain itu, ketahanan pangan juga tidak bisa hanya semata mendorong peningkatan produksi, namun juga harus mulai mengarah pada pengembangan pangan lokal dan perubahan konsumsi pangan.

Terkait keanekaragaman hayati secara umum, Badan Pangan Nasional 2022 menunjukan bahwa Indonesia berada di peringkat ketiga di dunia. Untuk sumber pangan, setidaknya Indonesia memiliki kekayaan 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber protein, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, serta 110 jenis rempah dan bumbu, serta 40 jenis bahan minuman (“Pangan Berkelanjutan Berbasis Lokalitas”, Kompas, 19 Desember 2022).

Menciptakan sistem pangan nasional yang antisipatif dan berkelanjutan dapat dilakukan dengan mengembangkan keanekaragaman pangan lokal tersebut. Pengembangan ragam pangan lokal ini harus inovatif mulai dari pascapanen, logistik, pemrosesan, pengiriman, hingga melakukan promosi atau kampanye. Dengan mengembangkan kekayaan itu pula, mata rantai ketergantungan pada satu sumber pangan dapat terputus. 

Di tingkat individu dan keluarga, diperlukan adanya perubahan perilaku untuk lebih menghargai pangan. Makanlah secukupnya dan mulai membuat perencanaan lebih baik dalam hal persediaan makanan. Membeli dan mengonsumsi makanan sesuai kebutuhan, menyimpan secara baik sehingga tidak rusak dan terbuang (“Bersama Kendalikan Sampah Makanan”, Kompas, 21 Mei 2022).

Salah satu upaya mewujudkan ketahanan yang sangat penting lainnya adalah pemberdayaan petani. Sebagai informasi, saat ini, Indonesia mengalami regenerasi tenaga kerja sektor pertanian, khususnya petani, yang rendah.

Berdasarkan catatan Keadaan Angkatan Kerja Indonesia yang dipublikasikan secara berkala setiap tahun, generasi penerus di sektor pertanian cenderung mengalami penurunan. Struktur tenaga kerja pertanian kini didominasi kelompok usia tua (“Jalan Panjang Mewujudkan Kemandirian Pangan”, Kompas, 4 Agustus 2022). 

September 2021,  jumlah pekerja sektor pertanian kelompok usia di atas 55 tahun naik lebih dari 25 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan jumlah pekerja di sektor pertanian yang berusia di bawah 24 tahun turun 12,31 persen. Fenomena ini kemungkinan disebabkan relatif rendahnya jaminan kesejahteraan bagi para petani sehingga sebagian besar generasi muda mengurungkan niat menekuni bidang agraris itu.

Struktur pekerja sektor pertanian yang cenderung tua tersebut akan berdampak pada produksi tanaman pangan dalam negeri kurang optimal. Pasalnya, saat ini pemanfaatan teknologi cukup masif digunakan dalam bidang pertanian. Struktur pekerja yang cenderung tua berpotensi membuat pemanfaatan teknologi tidak optimal atau bahkan nihil karena masih bergantung pada metode tradisional yang kurang efisien.

Dengan mengoptimalkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat tekanan krisis pangan dapat dikurangi dan ketahanan pangan dapat segera mewujud. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Jurnal
  • Indeks Ketahanan Pangan 2022, diakses dari badanpangan.go.id
  • The State of Food Security and Nutrition in the World 2023, diakses dari fao.org
Arsip Kompas
  • “Darurat Ancaman Krisis Air Dunia”, Kompas, 19 Agustus 2021.
  • “Sepertiga Makanan Global Terbuang Sia-Sia di Tengah Kelaparan Ekstrem”, Kompas, 19 Mei 2022.
  • “Sampah Makanan Indonesia Mencapai Rp 330 Triliun”, Kompas, 18 Mei 2022.
  • “Bersama Kendalikan Sampah Makanan”, Kompas, 21 Mei 2022.
  • “Jalan Panjang Mewujudkan Kemandirian Pangan”, Kompas, 4 Agustus 2022. 
  • “”Hunger Games” dan Bola Krisis Pangan”, Kompas, 16 Noveber 2022.
  • “Pangan Berkelanjutan Berbasis Lokalitas”, Kompas, 19 Desember 2022.
  • “Harga Pangan Dunia 2023 Diperkirakan Meningkat”, Kompas, 7 Januari 2023.
  • “Basis Ketahanan Pangan Nasional”, Kompas, Maret 2023.
  • “Masa Tanggap Darurat Kelaparan di Kabupaten Puncak Diperpanjang, Kompas, 2 Agustus 2023.
  • “Produksi Beras RI Diproyeksikan Turun 530.000 Ton Gara-gara El Nino”, Kompas, 3 Agustus 2023.
  • “Suhu Dunia Mendidih, Mengancam Kehidupan dan Produksi Pangan”, Kompas, 4 Agustus 2023.
  • “Waspadai Krisis Air Kala Kemarau Memuncak”, Kompas, 10 Agustus 2023.
Internet

• badanpangan.go.id
• kemendag.go.id
• impact.economist.com
• fao.org

Artikel terkait