Paparan Topik

Hari Anak Jalanan Sedunia: Suara dan Hak yang Terabaikan

Fenomena anak jalanan merupakan persoalan sosial yang kompleks. Setiap 12 April, dunia internasional memperingati Hari Anak Jalanan Internasional atau International Day for Street Children untuk memberikan suara kepada anak jalanan agar hak-hak mereka tidak diabaikan.

KOMPAS/AGUIDO ADRI

Demi memenuhi kebutuhan harian dan membeli susu anak, Riko Pratama (21), manusia silver, rela bekerja dari pukul 13.00 hingga pukul 22.00, Senin (18/5/2020).

Fakta Singkat

  • Hari Anak Jalanan Internasional atau International Day for Street Children diperingati setiap tahunnya pada 12 April.
  • Diperingatinya Hari Anak Jalan Internasional bertujuan untuk memberikan suara kepada anak jalanan agar hak-hak mereka tidak diabaikan.
  • Dari data Kemensos RI, jumlah anak jalanan di Indonesia terus mengalami penurunan setiap tahun, pada 2015 terdapat 33.400 anak, pada 2016 terdapat 20.719 anak. Pada 2017 terdapat 16.416, dan pada 2018 terdapat 12.000.
  • Pada tahun 2016 Kemensos RI telah mencanangkan Gerakan Sosial Indonesia Bebas Anak Jalanan yang bertujuan mendorong pemerintah daerah membuat regulasi di tingkat daerah untuk menangani anak jalanan
  • Hingga 2019, sudah ada 13 kabupaten atau kota yang menerbitkan sejumlah regulasi tentang anak jalanan, dalam bentuk peraturan daerah, peraturan gubernur, peraturan bupati/wali kota.

Fenomena anak jalanan merupakan fenomena global. Keberadaan anak jalanan menjadi persoalan sosial yang cukup kompleks dan dapat ditemui di setiap negara, terutama di kota-kota besar negara berkembang. Anak jalanan adalah warga negara yang perlu diperhatikan dan dilindungi hak-haknya, namun terabaikan.

Persoalan mengenai hak-hak dan perlindungan terhadap anak jalanan telah menjadi perhatian dunia internasional. Salah satu wujud dari perhatian itu nampak dari adanya peringatan Hari Anak Jalanan yang diadakan secara internasional. Peringatan tersebut disebut sebagai Hari Anak Jalanan Internasional atau International Day for Street Children (IDSC) yang diperingati setiap tahunnya pada tanggal 12 April.

IDSC sendiri telah diperingati secara internasional sejak 2011. Consortium for Street Children, salah satu penggagas IDSC dan juga organisasi internasional yang menyuarakan hak-hak anak jalanan, menyebutkan bahwa tujuan dari diselenggarakannya IDSC adalah untuk memberikan suara kepada anak jalanan agar hak-hak mereka tidak diabaikan. Terutama dalam mendapatkan hak asasi manusia dan hak sebagai anak yang sama seperti anak-anak lainnya.

Hak-hak anak tersebut, antara lain: hak mendapat pengasuhan yang layak, dilindungi dari kekerasan, penganiayaan, dan pengabaian; hak mendapatkan standar hidup yang cukup baik sehingga semua kebutuhan mereka terpenuhi; hak mendapatkan pendidikan yang berkualitas; hak dilindungi dari kerja-kerja yang merugikan kesehatan atau pertumbuhan mereka; hak dilindungi dari eksploitasi dan penganiayaan seksual, termasuk prostitusi dan keterlibatan dalam pornografi.

Pada 2017, Persatuan Bangsa-Bangsa juga telah secara khusus mengeluarkan sebuah dokumen terkait anak jalanan, yang disebut General Comment on Childern in Street Situation. Secara garis besar, dokumen tersebut menegaskan bahwa anak jalanan memiliki hak yang sama dengan anak-anak lainnya seperti yang telah diabadikan dalam Konvensi Hak Anak.

KOMPAS/AGUIDO ADRI

Seorang pejalan kaki yang melintas Jalan Asia Afrika, memasukan uang ke kotak milik Rizal Saputra (24), manusia silver, Senin (18/5/2020).

Memahami Anak Jalanan

Merujuk Herlina Astiri dalam artikel berjudul “Kehidupan Anak Jalanan di Indonesia: Faktor Penyebab, Tatanan Hidup, dan Kerentanan Berpelilaku Menyimpang”, istilah anak jalanan pertama kali dikenal di Amerika Latin, tepatnya di Brazilia, dengan sebutan Meninos de Rua, untuk menyebut kelompok anak-anak yang hidup di jalan dan tidak memiliki ikatan keluarga.

Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk anak-anak UNICEF, mendefinisikan anak jalanan sebagai anak-anak yang berumur di bawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat terdekat yang larut dalam kehidupan berpindah-pindah di jalan raya.

Namun, pada kenyataannya anak jalanan bukanlah populasi yang homogen dan terdefinisi dengan jelas. Setiap negara memiliki definisi sendiri mengenai anak jalanan.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan anak jalanan sebagai anak yang menggunakan sebagian besar waktunya di jalanan. Sementara itu, menurut Departemen Sosial RI, anak jalanan adalah anak-anak yang meghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan, baik untuk mencari nafkah atau bekeliaran di jalan atau di tempat-tempat umum lainnya.

Dari definisi tersebut, pada dasarnya anak jalanan merupakan anak-anak dalam usia yang relatif dini, tetapi sudah harus berhadapan dengan lingkungan yang keras dan tidak bersahabat untuk mereka. Anak jalanan sesungguhnya adalah anak-anak yang marginal, rentan, dan mengalami dehumanisasi. Bertahan hidup dalam suasana yang tidak kondusif untuk tumbuh kembang anak

Bagong Suyanto dalam buku Masalah Sosial Anak, menyebutkan bahwa anak jalanan secara garis besar dapat dibedakan dalam tiga kelompok:

  1. Children on the street, yakni anak-anak yang merupakan kelompok yang heterogen. Terdiri dari latar belakang, etnis, ras beragam, serta mempunyai kegiatan ekonomi di jalan, namun masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka.
  2. Children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalan, baik secara sosial, maupun ekonomi.
  3. Children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalan.

Jumlah anak jalanan tidak pernah diketahui secara pasti. Angka yang sering dikutip adalah 100 sampai 150 juta anak jalanan di seluruh dunia. Consortium for Street Children memberikan beberapa alasan mengapa jumlah anak jalanan tidak diketahui secara pasti. Pertama, adalah definisi dan terminologi anak jalanan yang masih menjadi perdebatan dan berbeda-beda setiap negara.

Kedua, karakteristik populasi anak jalanan yang dinamis dan berpindah-pindah. Dapat berfluktuasi secara signifikan tergantung pada konteks sosial-ekonomi dan budaya-politik pada waktu tertentu, sehingga memerlukan metodologi khusus selain survei dan sensus yang biasa digunakan.

Terakhir, masih banyak anak jalanan yang tidak terlihat dan terdata. Anak jalanan mengalami stigmatisasi dan sering curiga terhadap upaya untuk menghitungnya. Mereka memilih untuk tetap di bawah radar ketika ada upaya untuk menghitungnya.

Meski anak jalanan merupakan fenomena dunia, ada banyak faktor yang berbeda-beda yang mendorong anak-anak turun ke jalanan di setiap negara. Faktor ekonomi kerap dianggap sebagai pemeran utama yang mendorong anak-anak turun ke jalan. Namun, faktor-faktor lain seperti masalah keluarga, diskriminasi, kekerasan dan pelecehan dalam rumah atau komunitas, bencana alam, dan konflik perang, juga menjadi jalur penting yang mendorong anak ke jalanan.

Adapun faktor penariknya, merujuk laporan tahunan PBB untuk Dewan Hak Asasi Manusia, faktor penarik tersebut meliputi kebebasan spasial, kemandirian finansial, petualangan, dan pertemanan atau geng berbasis jalanan.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Sekumpulan manusia silver menumpang truk tronton untuk berpindah lokasi mengamen di kawasan Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (16/1/2021). Pandemi Covid-19 yang belum juga berakhir menyebabkan jumlah pengangguran meningkat. Warga miskin memutar otak untuk dapat bertahan hidup, termasuk mengamen dengan menjadi manusia silver.

Potret di Indonesia

Di Indonesia, fenomena anak jalanan merupakan persoalan klasik. Anak jalanan merupakan salah satu elemen penghuni kota yang sudah ada sejak masa kolonial Hindia-Belanda. Reza Hudiyanto dalam tulisan berjudul “Yang Tersisa di Tengah Kemajuan, Kaum Miskin di Kota Malang 1916-1950”, menyebutkan bahwa sejak awal abad ke-20 sudah terdapat gelandangan yang berkeliaran di Malang.

Galandangan tersebut terdiri dari banyak usia, dari dewasa hingga anak-anak. Mereka umumnya memanfaatkan los-los pasar, stasiun, dan makam sebagai tempat tidur. Beberapa anak-anak yang hidup sebagai gelandangan bahkan diketahui tidak memiliki orang tua atau hidup sebatang kara. Hidup mereka bergantung pada sisa-sisa makanan dari warung makan.

Hingga kini, fenomena anak jalanan masih menjadi persoalan yang belum mampu terselesaikan. Berdasarkan data dari Kementerian Sosial pada tahun 2015 terdapat 33.400 anak jalanan di Indonesia. Pada 2016, jumlah anak jalanan mengalami penurunan menjadi 20.719 anak. Penurunan kembali terjadi pada dua tahun berikutnya menjadi 16.416 pada 2017 dan 12.000 pada 2018.

Meski mengalami penurunan, angkanya masih tetap besar, dan belum menunjukan jumlah sebenarnya. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, jumlah pasti anak jalan merupakan hal yang sangat sulit untuk diketahui. Karena sifatnya yang tersembunyi dan terisolasi, banyak anak jalanan yang tidak diketahui oleh pemerintah.  

Pada 2017, sebanyak 13 provinsi masih belum memiliki data mengenai anak jalanan. Pada tahun tersebut Jawa Barat menjadi provinsi dengan dengan jumlah anak jalanan terbanyak, yakni dengan 2.953 anak. Diikuti DKI Jakarta dengan 2.750 anak dan Jawa Timur dengan 2.701.  

KOMPAS/RIZA FATHONI

Anak-anak di bawah umur mengamen di persimpangan lampu merah di kawasan Gelora, Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2019). Sejumlah anak-anak telah lama menjadi korban eksploitasi kaum dewasa untuk bekerja hingga larut malam dengan mengamen hingga berjualan di pinggir jalan. Perlu penanganan secara menyeluruh dari sejumlah pemangku kepentingan untuk mengatasi fenomena ini.

Di Indonesia, masalah ekonomi menjadi salah satu pendorong hadirnya anak jalanan. Dalam buku Analisis Kemiskinan Anak dan Deprivasi Hak Dasar Anak Indonesia terbitan Badan Pusat Statistik dan UNICEF pada 2017, disebutkan bahwa pada 2016 terdapat 28,01 juta atau 10,86 persen penduduk miskin di Indonesia. Dari jumlah itu 40,22 persen adalah anak-anak.

Faktor kemiskinan ini sering ditengarai sebagai penyebab utama anak-anak harus hidup atau bekerja di jalanan. Anak terpaksa mencari uang untuk membantu keluarga atau mencari sumber penghidupan. Bahkan, dalam sejumlah kasus tidak sedikit di antara mereka yang memulai hidup di jalan sejak usia bayi.

Meski demikian, faktor lain seperti tidak harmonisnya rumah tangga orang tua atau masalah khusus hubungan anak dengan orang tua juga menjadi faktor yang sering kali menyebabkan anak mengambil inisiatif untuk keluar dari rumah. Jalanan kerap menjadi alternatif bagi anak untuk keluar dari masalah dalam keluarga.

Selain faktor pendorong, terdapat juga faktor penarik dari jalanan itu sendiri. Misalnya keinginan anak untuk berkumpul dengan teman-teman mereka atau menyalurkan minat di jalanan. Bagi anak-anak, subkultur urban yang menawarkan kebebasan kepada mereka menjadi daya tarik yang cukup kuat untuk manarik anak-anak turun ke jalan.

Nilla Sari Dewi, peneliti persoalan anak, menyatakan bahwa faktor pendorong untuk turun ke jalan dan faktor penarik dari jalanan itu sendiri sama kuatnya. Di lapangan, ditemukan sejumlah kasus anak dari keluarga mampu menjadi anak jalanan karena pengaruh pertemanan (“Memahami Anak Jalanan”, Kompas, 25 Februari 2019).

Berdasarkan hasil jajak pendapat Kompas pada 2019 yang melibatkan 519 responden dari 16 kota besar, separuh responden menyatakan persimpangan lampu merah sebagai lokasi di mana mereka paling sering melihat anak jalanan. Lokasi lainnya yang sering terdapat anak jalanan adalah terminal atau stasiun, pusat belanja atau pasar, alun-alun kota, serta kolong jembatan (“Mencipta Ruang untuk Anak Jalanan”, Kompas, 27 November 2019).

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Anak jalanan terlelap di tengah keramaian kawasan Kota Tua di Taman Fatahillah, Jakarta Barat (8/3/2014). Anak jalanan yang sering kali ditemui di area publik, seperti di depan museum, taman, pasar, dan di perempatan jalan di Ibu Kota, ini dipaksa mengemis oleh mereka yang menguasainya. 

Untuk bertahan hidup, beberapa pekerjaan informal masih menjadi opsi bagi anak-anak jalanan. Seperti mengamen, berdagang asongan, menjajakan koran, menyemir sepatu, hingga mencari dan mengumpulkan barang bekas atau sampah. Tidak jarang pula di antara mereka yang terlibat pada jenis pekerjaan ilegal seperti menjadi bagian komplotan pencopet, kurir narkoba, dan bahkan pelacur.

Pekerjaan-pekerjaan tersebut dilakukan baik secara sendiri, bersama orang tua, atau juga bekerja di bawah “bos”, orang dewasa yang mengoordinasi dan menagih setoran mereka. 

Anak-anak dalam situasi jalanan ini termasuk anak-anak yang terpinggirkan. Mereka telah mengalami pelanggaran hak-hak sebelum turun ke jalan. Ketika berada di jalan, mereka dihadapkan pada segudang persoalan hidup sehari-hari yang menjerat, seperti eksploitasi, kekerasan, pelecehan, dan tekanan psikologis, dikarenakan tidak terlindungi secara semestinya.

Anak-anak jalanan yang kecil sering dipalak oleh anak yang sudah besar. Selain itu, para preman disekitarnya juga tak segan merampas barang da­gangan atau meminta uang.

Bagi anak jalanan perempuan, pelecehan seksual menjadi resiko yang paling sering dihadapi, misalnya digerayangi tubuh dan alat vitalnya hingga pemerkosaan. Ironisnya, ketika mereka mengalami pelecehan seksual hal itu kerap dianggap lumrah karena mereka ada di jalan.

Di sisi lain, anak jalanan juga rentan terkena masalah kesehatan karena aktivitas yang mereka lakukan di jalan menyebabkan mereka banyak terpapar polusi dan terkena kontaminasi karena kondisi lingkungan yang tidak bersih. Mereka juga rentan mengidap penyakit menular seksual akibat pergaulan bebas dengan lawan jenis.

Paparan gaya hidup yang keras dan sulit tersebut turut membuat anak jalanan dengan mudah terjerumus dalam penggunaan dan penyalahgunaan zat terlarang atau narkotika. Yang paling jamak dijumpai adalah ngelem. Merujuk laman bnn.go.id, berbagai penelitian yang dilakukan mengemukakan berbagai alasan penggunaan zat-zat tersebut, seperti membantu melupakan masalah, menghilangkan rasa lapar, mendapatkan penerimaan dari teman sebaya, merasa lebih hangat, dan membantu untuk bertahan dalam pekerjaan yang sulit.

Terlepas dari berbagai alasan tersebut, penggunaan zat tersebut terus menerus tentu dapat menyebabkan berbagai komplikasi pada tubuh mereka, seperti kerusakan otak dan hati. Kematian akibat miras oplosan dan narkoba, cukup sering ditemukan di kehidupan anak jalanan.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Seorang anak menjual tisu di perempatan Blok M, Jakarta Selatan (30/5/2019). Anak-anak yang banyak beraktivitas di jalanan seperti itu rawan terkena tindak pidana kekerasan pada anak. Menurut survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dua dari tiga anak pernah mengalami kekerasan salah satu atau lebih kekerasan sepanjang hidupnya. 

Upaya Pemerintah

Menangani persoalan anak jalanan bukan persoalan yang mudah. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi persoalan anak jalanan. Di tingkat pusat, pada tahun 2016 Kemensos RI telah mencanangkan Gerakan Sosial Indonesia Bebas Anak Jalanan.

Tujuan dari gerakan tersebut adalah mendorong pemerintah daerah membuat regulasi di tingkat daerah untuk menangani anak jalanan, mengalokasikan anggaran guna menangani anak jalanan, mengoptimalkan peran masyarakat dan perusahaan (CSR) untuk anak jalanan, dan meningkatkan koordinasi antar-instansi untuk menyelesaikan persoalan anak jalanan.

Di tingkat daerah, sejumlah daerah tercatat sudah memiliki peraturan daerah setingkat provinsi maupun kota terkait perlindungan anak, baik secara khusus mengenai anak jalanan maupun kesejahteraan sosial secara umum.

Hingga 2019, sudah ada 13 kabupaten atau kota yang menerbitkan sejumlah regulasi tentang anak jalanan, dalam bentuk peraturan daerah, peraturan gubernur, peraturan bupati/wali kota. Ke-13 daerah tersebut adalah Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Bali, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat,  Nusa Tenggara Timur, DIY, dan Banten (“Kemensos: Pemda Kunci Keberhasilan Gerakan Sosial Indonesia Bebas Anak Jalanan”, Kompas, 25 November 2019).

Di DKI Jakarta misalnya, sudah ada tiga peraturan yang secara tidak langsung berkaitan dengan anak jalanan. Pertama adalah Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Kedua, Peraturan Gubernur Nomor 19 Tahun 2014 tentang Satgas P3S (Pelayanan, Pengawasan, dan Pengendalian Sosial). Ketiga, Peraturan Gubernur Nomor 169 Tahun 2014 tentang Pola Penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial.

Namun, hingga hari ini berbagai upaya yang dilakukan masih belum mampu untuk menyelesaikan persoalan terkait anak jalanan. Bagong Suyanto dalam buku Masalah Sosial Anak, menilai bahwa hal tersebut disebabkan oleh penanganan anak jalanan yang dilakukan pemerintah masih berupa tindakan penertiban berupa penangkapan.

Alih-alih menempatkan anak jalanan sebagai korban situasi, tindakan penertiban cenderung menempatkan anak jalanan sebagai terdakwa yang disalah-salahkan, sehingga tak jarang tindakan penertiban tersebut dilakukan dengan kekerasan.

KOMPAS/RIZA FATHONI 

Remaja menggendong balita sembari mengamen mengenakan baju badut berkelana di jalan di kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan di tengah arus kemacetan lalu lintas pada jam pulang kerja, Kamis (7/4/2022). Kemiskinan membawa anak-anak turun ke jalan mencari tambahan penghasilan untuk menopang hidup mereka sehari-hari.

Metode penanganan anak jalanan dengan penangkapan dan pembersihan dari jalan, memasukannya ke rumah singgah atau tempat-tempat pelatihan untuk sementara waktu terbukti juga belum mampu menyelesaikan masalah anak jalanan. Anak-anak yang terbiasa hidup di jalanan tidak serta-merta dapat hidup dalam lingkungan yang mengajarkan ketertiban dan disiplin. Ketika waktu penitipan berakhir, anak-anak tersebut kembali lagi ke jalan berikut siklus kekerasan yang mengikutinya.

Adapun bantuan karitatif berupa paket-paket bantuan langsung kepada anak jalanan yang biasa dilakukan pemerintah sering kali tidak kontekstual. Melalui tindakan karitatif ini pemerintah cenderung memperlakukan anak jalanan sebagai “objek amal”. Hal tersebut tidak mustahil akan menimbulkan ketergantungan dari anak jalanan terhadap belas kasihan, dan menggerus keberdayaan dan tekad self help anak jalanan sendiri.

Menurut Bagong Suyanto, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan pemerintah, lembaga sosial, maupun komunitas untuk menangani permasalahan anak jalanan. Pertama, adalah program penangan anak jalan yang terpadu dari tingkat pusat dan daerah, serta swasta. Program penanganan ini tidak hanya dalam bentuk penertiban yang membatasi ruang anak jalanan, tetapi mengembangkan program preventif yang berbasis pada akar persoalan, seperti kemiskinan, kekerasan, masalah keluarga, dan penelantaran.

Kedua, pengembangan program penanganan yang kontekstual. Persoalan anak jalanan tidak bisa digeneralisasi, sebab latar belakang anak jalanan yang beragam dan berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Program penanganan anak jalanan akan gagal jika mengesampingkan hak anak dan kebebasan anak untuk memilih yang terbaik menurut mereka sendiri.

Ketiga, program penanganan anak jalanan harus benar-benar memahami anak jalanan sebagai bagian dari anak-anak yang juga membutuhkan perlindungan dan kebutuhan yang berkualitas.

Agar penanganan anak jalanan dapat memberikan hasil yang lebih baik, dibutuhkan pula dukungan dari seluruh masyararakat. Dalam hal ini, anak jalanan juga membutuhkan kesempatan dan kepercayaan dari masyarakat bahwa mereka berhak untuk tumbuh secara wajar dan dengan lebih baik. Penanganan anak jalanan yang masih dibayangi oleh stigma atau persepsi negatif tidak akan pernah berhasil. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Astri, Herlina. 2014. “Kehidupan anak jalanan di Indonesia: faktor penyebab, tatanan hidup dan kerentanan berperilaku menyimpang.” Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial 5, no. 2: 145-155.
  • Egalita, Nadia, Rahma Sugihartati, dan Bagong Suyanto. 2016. Efek Samping Pembangunan: Masalah Sosial dan Perubahan Masyarakat Informasi. Yogyakarta: Calpulis.
  • Suyanto, Bagong. 2013. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana.
Arsip Kompas
  • “Pelaku Kekerasan Seksual pada Anak Incar Anak-Anak Jalanan”, Kompas, 9 Juli 2020. Diakses dari Kompas.id
  • “Anak Jalanan Masih Terabaikan”, Kompas, 25 November. Diakes dari Kompas.id
  • “Memahami Anak Jalanan”, Kompas, 25 November 2019. Diakses dari Kompas.id
  • “Anak Jalanan Tersandera Masalah Keluarga”, Kompas, 25 November 2019. Diakses dari Kompas.id
  • “Komitmen Mengurangi Anak Jalanan” Kompas, 26 November 2019. Diakses dari Kompas.id
  • “Penanganan Anak Jalanan Belum Menyentuh Akar Persoalan”, Kompas, 26 November 2019. Diakses dari Kompas.id
  • “Mencipta Ruang Untuk Anak Jalanan”, Kompas, 27 November 2019. Diakses dari Kompas.id
  • “Anak Jalanan Juga Warga Negara”, Kompas, 28 November 2019. Diakses dari Kompas.id
Internet

• laman bnn.go.id
• laman streetchildren.org
• laman unicef.org

 

Artikel terkait