Paparan Topik | Kesehatan

Fenomena Penyakit Jantung Bawaan pada Bayi

Deteksi dini penyakit jantung bawaan pada bayi dapat meningkatkan kualitas hidup anak dan mengurangi angka kematian bayi.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Seorang tenaga kesehatan tengah mengamati foto thorax di ruang perawatan anak di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta (3/3/2005).

Fakta Singkat

  • Data Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa terdapat 12.500–15.000 bayi baru lahir mengalami penyakit jantung bawaan per tahun.
  • Kapasitas layanan operasi penyakit jantung bawaan hanya mampu menangani 6.000 pasien.
  • Saat ini rasio dokter jantung dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar 1:200.000 penduduk. Di DKI Jakarta rasio dokter jantung sebesar 1:38.000 penduduk
  • Indonesia masih membutuhkan 1.282 dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, serta spesialis untuk memberikan layanan jantung dan kardiovaskuler.

Diperkirakan delapan dari sepuluh bayi mengalami keterlambatan diagnosis penyakit jantung bawaan kritis, akibatnya bayi terlambat mendapatkan penanganan hingga resiko kematian semakin tinggi.

Diperkirakan, proporsi bayi lahir dengan jantung tidak normal sekitar 8–10 per 1000 kelahiran hidup. Sementara, sekitar 30 persen di antaranya memperlihatkan gejala jantung tidak normal pada pekan pertama sejak lahir.

Menurut Unit Kardiologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), 1 dari 100 bayi lahir mengalami penyakit jantung bawaan (PJB). Dari proporsi itu, 25 persen diantaranya merupakan penyakit jantung bawaan kritis.

Bahkan, diperkirakan setiap tahun ada 2.000 anak mengalami penyakit jantung bawaan (PJB) kritis dan sebagian besar meninggal karena tetralogi terlambat. Tetralogi terlambat, yaitu terlambat terdeteksi, terlambat terdiagnosis, terlambat dirujuk,, dan terlambat ditangani.

Upaya deteksi dini sangat penting, karena pasien dengan PJB dapat bertahan dengan baik hingga dewasa, apalagi deteksinya sangat mudah dilakukan. Pemeriksaan saturasi oksigen dilakukan menggunakan pulse oksimeter pada bayi usia 24–48 jam atau sebelum dipulangkan dari fasilitas kesehatan.

Pada bayi yang menggunakan alat bantu oksigen di rumah sakit juga perlu dilakukan skrining atau penapisan ulang setelah 24 – 48 jam alat bantu tidak digunakan. Hal ini dapat dilakukan oleh dokter, bidan, atau perawat yang telah terlatih.

Menurut Kementerian Kesehatan, dalam setahun terdapat 12.500–15.000 bayi baru lahir mengalami penyakit jantung bawaan, sedangkan kapasitas layanan operasi hanya mampu menangani 6.000 pasien. Hal itu disebabkan alat dan fasilitas serta dokter spesialis jantung belum memadai. Diagnosa dan penanganan yang tepat pada bayi dengan PJB akan membuat pertumbuhan bayi menjadi lebih baik hingga dewasa.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Anak balita penderita kelainan jantung bawaan di ruang perawatan anak Rumah Sakit Jantung Harapan Kita (3/3/2005).

Apa itu penyakit jantung bawaan?

Penyakit Jantung Bawaan (PJB) atau congenital heart disease merupakan penyakit jantung yang dibawa sejak lahir akibat pembentukan jantung yang tidak sempurna pada fase awal perkembangan janin dalam kandungan.

Pada kasus PJB, terjadi kelainan pada struktur dan fungsi jantung sejak bayi dilahirkan, bisa jadi kelainan ini terjadi ketika bayi masih dalam kandungan. Kasus PJB yang paling banyak ditemukan adalah kelainan pada septum bilik jantung atau disebut ventricular septal defect (VSD) dan septum serambi jantung atau atrail septal defect (ASD). Kedua kelainan tersebut seringkali disebut dengan jantung bocor. Jenis kelainan jantung lainnya adalah patent ductus arteriosus transposition of great arteries dan kelainan katup jantung. Seringkali muncul dalam bentuk tetralogi fallot, mencakup 4 kelainan jantung.

Penyakit jantung bawaan memiliki dua jenis, yaitu PJB sianotik atau penyakit jantung bawaan biru dan PJB nonsianotik (tidak biru).

Penyakit jantung bawaan sianotik ini dapat langsung dilihat  ika bayi baru lahir terlihat biru terutama pada bibir dan kuku dan semakin biru jika si bayi menangis. Hal itu terjadi karena percampuran darah bersih dan darah kotor melalui kelainan struktur jantung. Tubuh bayi tidak mendapat oksigen dan sangat berbahaya, jika tidak segera ditangani.

Pada kasus PJB sianotik ada yang disebut dengan Tetralogy of fallot (TOF) yang merupakan gabungan 4 kelainan, yaitu ventricular septal defect (VSD), Pulmonic stenosis (PS), aorta overriding dan penebalan dinding bilik kanan. Kemudian, ada yang disebut dengan Transposition of the great arteries (TGA), yaitu tertukarnya letak pembuluh darah utama (aorta dan arteri pulmoner). Aorta yang harusnya keluar dari bilik kiri tetapi ternyata dari bilik kanan.

Sedangkan pada kasus PJB non-sianotik, tidak ada gejala yang nyata sehingga sering tidak disadari dan tidak terdiagnosa oleh dokter dan orang tua. Gejala yang tampak hanya mudah lelah saat menyusui dan menyusui hanya sebentar-sebentar. Tindakan operasi dan kateterisasi pada penyakit jantung tipe ini dapat dilakukan pada anak usia satu tahun.

Jenis PJB non-sianotik atau tidak biru, pada kelompok ini anak terlihat tidak biru dan tergantung pada berat kelainnya. Kadangkala baru terlihat setelah usia membesar. Ada beberapa tipe pada kelainan ini:

  • Paten ductusarteriosus (PDA): kebocoran antara kedua pembuluh darah utama karena pembuluh (ductusarteriosus) tetap terbuka dan tidak menutup segera setelah lahir.
  • Ventricular Septal defect (VSD): kebocoran darah antara kedua bilik jantung yang disebabkan adanya lubang pada sekat bilik jantung
  • Atrial septal defect (ASD): kebocoran darah antara kedua serambi jantung karena adanya lubang pada sekat serambi jantung
  • Pulmonary stenosis (PS): penyempitan pada pembuluh darah utama dari bilik jantung kanan ke paru
  • Aortic stenosis (AS): penyempitan katup pada pembuluh darah utama dari bilik jantung kiri ke seluruh tubuh.

Penyakit jantung bawaan dapat disebabkan oleh berbagai faktor genetis dan lingkungan. Namun, hampir 90 persen kasus PJB terjadi tanpa sebab yang mendasarinya dengan kata lain belum diketahui secara pasti.

Hanya saja, berbagai dugaan penyebabnya seperti: infeksi virus rubella yang disebut TORCH saat kehamilan, bayi lahir dengan down syndrome, ibu mengandung dengan diabetes, kebiasaan merokok dan minuman keras saat hamil, mengkonsumsi obat tertentu seperti asam retinoat untuk pengobatan jerawat. Selain itu, yang sangat berpengaruh adalah faktor genetis orang tua bayi.

Orang tua harus mewaspadai gejala yang tampak pada bayi baru lahir, yaitu penurunan toleransi fisik seperti bayi tidak mampu mengisap susu dengan baik, antara lain, terlihat capek, nafas memburu dan berkeringat. Perlu dicermati kondisi fisik seperti: bibir, kulit, jari tangan dan kaki berwarna kebiruan, sesak nafas atau kesulitan bernafas. Ketika bayi sudah lebih besar, maka akan terlihat  kesulitan makan, berat badan lahir rendah, sakit dada, dan pertumbuhan tertunda.

Ada pula bayi terlahir tanpa terlihat kelainan jantung, tetapi perlu diwaspadai jika bayi memiliki gejala berikut, yaitu irama jantung tidak normal, kesulitan bernapas dan mudah pingsan, adanya pembengkakan, serta mudah merasa lelah.

Pada usia lebih besar akan muncul gejala sering pusing, cepat lelah dan sesak nafas saat bermain, berjalan, atau berlari jauh. Kadang terjadi infeksi saluran pernafasan berulang, ataupun infeksi paru akibat aliran darah ke paru yang berlebihan. Bayi akan mengalami episode serangan biru akut (spelhipoksia), yaitu anak tiba-tiba terlihat bertambah biru, gelisah, pernafasan cepat dan tubuh menjadi lemas, kesadaran menurun kadang disertai kejang dan kadang bisa berakibat fatal.

Jika bayi makin bertambah umur, terlihat pertambahan berat badan sangat lambat atau tidak ada peningkatan berat badan, akibat tidak ada asupan susu atau makanan.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Tindakan medis terhadap seorang anak balita yang mengalami penyakit jantung bawaan di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta (3/3/2005).

Mendeteksi Penyakit Jantung Bawaan

Orang tua dan paramedis harus selalu mengecek kondisi bayi baru lahir, meskipun pada beberapa jenis tertentu kadang tidak tampak. Upaya lain untuk mendeteksi PJB adalah pemeriksaan oksimetri di jari karena mudah dan murah. Pemeriksaan dilakukan di kedua tangan dan kaki bayi setelah berusia lebih dari 24 jam atau pun sebelum dipulangkan dari fasilitas kesehatan.

Idealnya hasil oksimetri saturasi oksigennya 95 persen, tetapi hasil saturasi oksigen tangan dan kaki hanya ditolerir jika berbeda maksimal 3 persen. Jika terdapat perbedaan yang jauh antara tangan dan kaki, harus diulang pemeriksaan oksimeter hingga 3 kali. Jika setelah diulang tiga kali hasilnya hanya 90 persen atau kurang dari 90 persen, harus dilakukan pemeriksaan lanjutan.

Namun, jika terlihat agak mencurigakan, harus segera dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan oksimetri, elektrokardiografi (EKG), roentgen (X-Ray) dada, ekokardiografi atau USG jantung, sampai tahap kateterisasi atau angiografi.

Ekokardiografi berguna untuk melihat anatomi dan kelainan jantung yang terjadi  pada rongga dan dinding serambi serta bilik jantung sekat serambi dan bilik jantung, katup-katup jantung, pembuluh darah baik yang masuk ke dalam jantung maupun keluar dari jantung. Adanya lubang pada sekat jantung atau penyempitan dan kebocoran katup dapat terdeteksi dengan jelas.

Perlu dilakukan tes treadmill (uji latih jantung dengan beban) seperti berjalan di ban berjalan yang diberi beban untuk menilai secara obyektif kemampuan fisik, ada tidaknya gangguan otot, dan ada tidaknya gangguan jantung yang timbul saat aktifitas fisik.

Selain itu, dilakukan tes Multi-Sliced Computed Tomography (MSCT) scan jantung dan pembuluh darah untuk melihat kelainan jantung yang tidak tervisualisasi dengan pemeriksaan ekokardiografi. Kemudian, dilakukan pula tes Magnetic Resonance Imaging (MRI) pemeriksaan tanpa paparan radiasi untuk melihat atau menilai anatomi jantung dan fungsi pompa jantung.

Kateterisasi jantung dan angiografi merupakan pemeriksaan invasif dengan cara memasukkan kateter ke dalam jantung dan pembuluh darah untuk melengkapi diagnosis yang belum atau tidak terdeteksi oleh pemeriksaan di atas, mengukur tekanan dalam rongga-rongga jantung dan pembuluh darah paru.

Jika hasil diagnosa ditemukan positif PJB, harus dilakukan terapi dengan kateterisasi, lalu tindakan operasi, kemudian terapi medikamentosa melalui pemberian obat-obatan tertentu yang ditujukan untuk meredakan gejala dan meminimalkan efek samping operasi.

Selain tiga tindakan tersebut, harus pula diperhatikan asupan bayi. Pemberian nutrisi yang tepat  pada bayi diplakukan untuk mencegah gangguan pertumbuhan.

Upaya lainnya, yakni meningkatkan kualitas ASI ibu menyusui melalui suplemen dan penambahan susu formula yang tepat untuk bayi baru lahir. Harus diingat bahwa bayi dengan PJB tidak mampu berlama-lama mengisap puting ibu karena bayi akan mudah merasa lelah serta nafas tidak teratur.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Dokter Jusuf Rachmat, ahli bedah jantung anak pada Pusat Jantung Nasional Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, tengah memeriksa Pingkan Ayu (7), penderita penyakit jantung bawaan yang baru dioperasi (4/3/2005). Pingkan ditemani ibunya, Sulistianingsih.

Upaya Pencegahan

Upaya pencegahan PJB dapat dilakukan sejak dalam kandungan dengan pemeriksaan Ekokardiografi janin atau Fetal Echocardiography.

Selain itu, pemeriksaan ultrasonografi (USG) antenatal untuk melihat adanya malformasi jantung pada janin, dapat dilakukan sejak usia kandungan 18 minggu.

Melalui pemeriksaan riwayat kesehatan ibu misalnya punya riwayat PJBM mengkonsumsi obat-obatan NSAID, ibu yang terpapar zat teratogen seperti litium atau antikejang dan ibu yang terinfeksi TORCH. Pemeriksaan ekokardiografi janin ini masih jarang karena prasananya masih sulit di Indonesia sehingga dilakukan pada wanita beresiko.

Obat NSAID adalah sekelompok obat yang meredakan rasa sakit dan demam, serta mengurangi peradangan.

Sedangkan TORCH adalah singkatan untuk kumpulan beberapa penyakit infeksi yang terkait dengan meningkatnya risiko terjadinya abortus atau kelainan/cacat bawaan pada janin akibat infeksi yang terjadi pada masa kehamilan. Kepanjangan TORCH adalah Toxoplasmosis, Rubella (campak Jerman), Cytomegalovirus (CMV), dan Herpes simpleks.

Ibu hamil dengan penyakit gula atau dibetes harus selalu mengontrol kadar gula normal selama kehamilan. Penting bagi ibu hamil untuk mencegah infeksi virus rubela karena virus ini dapat mengakibatkan bayi mengalami  cacat bawaan seperti jantung, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, dan retaradasi mental.

Sebaiknya ibu hamil menghindari kontak erat binatang berbulu yang belum diimunisasi dan menghindari konsumsi makanan mentah ataupun belum matang. Ibu hamil juga dilarang mengkonsumsi obat-obatan yang berbahaya bagi janin yang dikandungnya dengan selalu berkonsultasi pada dokter. Ibu hamil sangat disarankan tidak melakukan foto rontgen atau radiasi agar tidak beresiko bagi janin. Selain itu, kekurangan vitamin D dan Kalsium dapat menyebabkan gagal jantung karena terjadi pelemahan otot pada jantung yang secara anatomis normal.

Oleh karena itu, ibu hamil sebaiknya melakukan diet sehat dengan mengkonsumsi buah dan sayuran, ikan segar, dan kacang-kacangan. Selain itu, ibu hamil harus mengkonsumsi asam folat untuk mengurangi resiko cacat bawaan dan vitamin D untuk pertumbuhan gigi dan tulang. Tentu saja ibu hamil dilarang merokok dan mengkonsumsi minuman keras.

KOMPAS/LASTI KURNIA

Penyakit jantung bawaan tak kenal usia. Hadiyan (5 tahun) pada Januari lalu harus menjalani operasi karena sebagian darah bersihnya bercampur dengan darah kotor. Kini dia bisa beraktivitas tak beda dengan anak sehat lainnya (3/3/2005). Meski pada waktu-waktu tertentu Hadiyan harus kontrol ke dokter diantar orangtuanya, Herman Syah dan Eka Suriani (kiri).

Penanganan penyakit jantung bawaan

Jika bayi sudah terlihat memiliki gejala PJB,  biasanya sebagian besar harus diperbaiki dengan cara bedah. Tindakan bedah dilakukan untuk menutup lubang di sekat jantung, mereparasi  katup yang bocor, mengembalikan letak pembuluh darah utama yang salah.

Pada beberapa kasus tertentu, membutuhkan operasi beberapa tahap, tetapi ada pula kasus PJB yang tidak membutuhkan tindakan operasi. Misalnya, tindakan menutup lubang di sekat jantung dengan device/coccluder (alat penutup) melalui kateter, melebarkan katup yang sempit dengan kateter balon, melebarkan dan memasang stent pada pembuluh darah yang sempit.

Kementrian Kesehatan sedang mempersiapkan pelayanan kateterisasi dan radiologi intervensi (Catch Lab) di 514kKabupaten/kota untuk pemasangan ring jantung. Hal itu merupakan upaya mencegah anak-anak meninggal karena tidak tertangani akibat tidak ada alat dan dokter spesialisnya. Keberadaan Cacth Lab sangat penting karena penyakit jantung merupakan penyebab kematian paling tinggi di Indonesia dengan pembiayaan paling tinggi.

Catheterization Laboratory (Cath Lab) atau disebut juga kateterisasi jantung dan angiografi merupakan tindakan atau prosedur medis kardiologi diagnostic invasive. Prosedur ini dilakukan dengan menggunakan sinar-X untuk membantu menampilkan gambaran pembuluh darah di berbagai organ tubuh.

Menurut Kementerian Keseharan, orang meninggal akibat sakit jantung setiap tahunnya mencapai 200 ribu orang dan menghabiskan biaya negara lebih dari Rp 9 triliun. Sementara itu, kapasitas operasi jantung di Indonesia hanya 1.600 per tahun. Kematian yang disebabkan penyakit jantung bawaan terjadi sekitar 8 dari 1.000 kelahiran hidup setiap tahunnya.

Angka kematian terjadi dalam enam bulan pertama kehidupan, dan 80 persen kematian terjadi di usia satu tahun. Meskipun pada beberapa kasus PJB tidak terlihat hingga dewasa, tetapi dapat menyebabkan kematian.

Dengan keberadaan Cacth Lab, maka bayi baru lahir bisa langsung melakukan kateterisasi pada usia 7 hari sehingga hasilnya lebih baik dan lebih cepat, waktu perawatan lebih singkat. Di RS Pusat Kesehatan Ibu dan Anak Nasional (PKIAN) RS Anak serta Bunda Harapan Kita, Cacth Lab sudah beroperasi sejak Januari 2023.

Hingga Maret 2023 baru ada 40 rumah sakit yang mampu memberikan layanan Cacthlab dan 10 RS yang mampu melakukan bedah jantung terbuka.

Indonesia masih membutuhkan 1.282 spesialis Jantung dan Pembuluh Darah serta spesialis untuk memberikan layanan Jantung dan Kardiovaskuler. Keberadaan Cacthlab harus diiringi dengan pemenuhan dokter spesialis termasuk layanan kateterisasi dapat mempercepat diagnosis dan intervensi dengan lebih baik.

Untuk meningkatkan pelayanan, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Perhimpunan Kardiolog Indonesia (Perki) bersama Kolegium Kesehatan Anak Indonesia (IKAI) dan Kolegium Jantung Pembuluh Darah Indonesia (JPDI) menjalin kerjasama tentang pelayanan dan Pendidikan  pada bidang kardiologi anak dan penyakit jantung bawaan.

Selama ini, pasien anak dengan penyakit jantung bawaan belum tertangani dengan baik, sehingga setelah adanya kerja sama ini diharapkan ada kemajuan dalam pengobatan penyakit jantung bawaan.

Saat ini, dunia medis Indonesia telah memiliki teknologi untuk mengatasi penyakit jantung bawaan, yaitu Teknik Intervensi Non-bedah dan teknik RVOT (Right Ventricular Outflow Tract).

Teknik ini dinilai  lebih baik karena minim bekas luka, biaya lebih rendah dan menurunkan resiko kematian. Keunggulan intervensi non-bedah ini waktu perawatan menjadi lebih singkat dibandingkan dengan intervensi bedah dan biaya lebih ringan serta menurunkan resiko kematian dan kesakitan.

Dengan teknik zero fluoroscopy, yaitu intervensi non-bedah yang dilakukan dengan bantuan ekokardiografi mampu mengeliminasi  penggunaan fluoroskopi atau radiasi sehingga lebih aman untuk anak-anak.

Sementara itu, teknik RVOT adalah membesarkan dinding pembuluh darah dan pemasangan stent (cincin jantung) pada alur keluar bilik kanan jantung. Teknik RVOT ini dapat dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi untuk operasi bedah jantung terbuka.

KOMPAS/KENEDI NURHAN

Rindhi (6 tahun), penderita jantung bawaan, dalam pelukan orang tuanya di pemondokan sementara, tak jauh dari RSCM (7/3/2006).

Merawat Anak dengan Penyakit Jantung Bawaan

Setelah seorang bayi terdekteksi memiliki PJB maka harus segera diatasi dengan tindakan operatif ataupun kateterisasi. Namun, anak harus tetap berada di bawah pengawasan medis maka ia harus rutin kontrol ke dokter untuk menghindari kasus gagal jantung.

Umumnya tubuh mereka rentan terserang penyakit sehingga harus mendapat vaksin untuk mencegah terserang penyakit. Anak dengan PJB dapat aktif bermain bahkan didorong untuk aktif secara fisik dengan durasi aman sesuai anjuran dokter.

Beberapa kegiatan yang aman untuk PJB adalah renang, bersepeda, lompat tali. Anak-anak juga harus menghindari aktivitas yang memaksa anak menahan nafas seperti sit up, push up, menyelam dan angkat beban, serta menghindari aktifitas fisik dengan intensitas tinggi dan olahraga kompetitif.

Anak-anak dengan PJB harus mendapat istirahat tidur yang cukup dan berkualitas, serta menghindari kegiatan yang dapat mengurangi istirahat pada malam hari. Selain itu, dibutuhkan nutrisi dan gizi yang tepat selain makanan penunjang kesehatannya.

Umumnya anak-anak dengan PJB membutuhkan diet khusus untuk tumbuh kembangnya dan menghindari makanan tinggi garam, gula, lemak, serta makanan beku.

Kurangnya Tenaga Ahli

Dalam hal teknologi medis, di Indonesia telah memiliki kemampuan untuk mendeteksi dan mengatasi PJB, bahkan ibu hamil telah mendapatkan perhatian vitamin yang cukup dari pemerintah.

Namun, tenaga ahli jantung masih sangat terbatas sehingga banyak pasien PJB lambat mendapatkan bantuan bahkan hingga 85,1 persen pasien terlambat terdiagnosis.

Saat ini, rasio dokter jantung dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar 1:200.000 penduduk. Namun, di DKI Jakarta rasio dokter jantung adalah 1:38.000 penduduk, sedangkan di wilayah Papua, Sulawesi Barat, dan Maluku Utara belum memiliki satu pun dokter jantung.

Hal itu cukup mengkhawatirkan mengingat di Indonesia ada 80.000 bayi lahir dengan PJB. Satu dari empat bayi PJB itu merupakan pasien dengan PJB kritis dan harus segera mendapatkan pertolongan. Semakin cepat bayi terdeteksi tentu saja penanganan akan lebih cepat dan menurunkan risiko berat bagi bayi.

RSAB Harapan Kita, misalnya, setiap tahun mendapat 1.900 pasien PJB rawat jalan dan 400 pasien PJB rawat tetap, dengan 30 kasus bayi lahir pembawa PJB. Dengan hadirnya teknologi kateterisasi jantung, masa perawatan dan penggunaan ruang Unit Perawatan Intensif neonatal (NICU) dapat dipersingkat. Jika sebelumnya butuh waktu dua bulan di ruangan NICU, kini hanya perlu waktu 10 hari saja. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Deteksi Dini Penyakit Jantung Bawaan Kritis”. Kompas, Selasa 14 Desember 2021.
  • “Layanan Masih Terbatas”. Kompas, 30 Desember 2022.
  • “Semua Berawal dari Kandungan”. Kompas, Rabu, 13 Oktober 2010.
  • “Cacat Jantung Bawaan Bayi Dipengaruhi Diet Ibu”. Kompas, 28 Agustus 2015.