Kompas/riza fathoni
Sejumlah ibu menyusui bayinya serentak saat acara Peringatan Pekan ASI Sedunia di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) di Jakarta, Rabu (3/8/2016). KPPPA akan mendorong seluruh kementerian dan instansi pemerintah daerah untuk memiliki ruang laktasi dan penitipan anak. Hal ini bertujuan agar para ibu yang bekerja dapat tetap memberikan ASI eksklusif kepada bayinya.
Fakta Singkat
- Praktik dayah atau budak yang dibayar untuk menyusui anak majikannya dimulai sejak 2000 sebelum masehi hingga akhir abad ke-20.
- The Treatise on Children yang diterbitkan pada tahun 1577 dan ditulis oleh Italian Omnibonus Ferrarious menekankan air susu dari ibu kandung adalah yang terbaik kecuali sang ibu sakit atau tidak dapat menyusui.
- Pada abad ke-18, analisis kimia pertama tentang susu manusia dan susu hewan mulai muncul.
- Pada awal abad ke-19, penggunaan alat makan kotor serta kurangnya pengetahuan dalam menyimpan susu dan melakukan sterilisasi yang tepat, menyebabkan kematian sepertiga dari semua bayi yang diberi makan.
- Pada tahun 1929, American Medical Association (AMA) membentuk Komite Makanan untuk memeriksa keamanan dan kualitas komposisi formula, serta mengharuskan perusahaan makanan bayi untuk meminta persetujuan AMA atau “Seal of Acceptance”.
ASI adalah Air Susu Ibu yang merupakan sumber gizi utama bagi bayi yang belum bisa mengonsumsi makanan padat. Selama puluhan tahun terakhir, ASI diganti dengan susu formula untuk bayi. Kehadiran susu formula untuk bayi ternyata tidak dapat menggantikan kebutuhan bayi akan ASI.
Sebelum ditemukannya botol dan susu formula, kehadiran budak yang diperkerjakan untuk menyusui anak banyak dipilih oleh kalangan aristokrat. Pandangan negatif masyarakat tentang menyusui oleh inang pengasuh (di Indonesia dikenal dengan sebutan “dayah”) diiringi dengan kehadiran botol susu, ketersediaan susu hewan, dan kemajuan dalam pengembangan susu formula. Hal-hal tersebut secara bertahap menggantikan posisi dayah.
Iklan dan keamanan susu formula meningkatkan popularitas dan penggunaannya di kalangan masyarakat. Namun, sayangnya penggunaan produk susu formula ditengarai berkontribusi pada perkembangan beberapa penyakit anak yang umum, termasuk atopi, diabetes mellitus, dan obesitas pada masa kanak-kanak.
Baca juga: Stunting di Indonesia: Data, Penyebab, dan Langkah Intervensinya
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Putri Tambunan (24) memeriksa kondisi ASI perahnya yang tersimpan dalam lemari freezer di kediamannya di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (17/3/2011). Saat ini setidaknya ia memiliki cadangan ASI yang tersimpan dalam 350 botol ukuran 170 ml. Ia sering kali menjadi donor bagi para ibu yang kesulitan memproduksi ASI.
Eksistensi Dayah
Wet nursing di Indonesia dikenal dengan dayah atau inang pengasuh. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata “dayah” adalah perempuan (ibu) yang diserahi mengasuh serta menyusui anak orang lain.
Keberadaan dayah menjadi praktik umum di dunia sebelum pengenalan botol susu dan susu formula. Praktik ini dimulai sejak 2000 sebelum masehi (SM) hingga akhir abad ke-20. Kehadiran dayah berkembang dari alternatif kebutuhan menjadi alternatif pilihan (950 sebelum masehi sampai 1800 masehi).
Profesi dayah menjadi terorganisir dengan kontrak dan undang-undang yang dirancang untuk mengatur praktiknya. Selama Abad Pertengahan dan Renaisans, dayah berlanjut hingga masa botol susu diperkenalkan pada abad ke-19.
Di Israel, sejak 2000 SM, anak-anak merupakan berkah, dan menyusui dianggap sebagai kewajiban agama. Namun, menyusui tidak selalu memungkinkan karena kegagalan laktasi atau ibu meninggal karena melahirkan. Kegagalan laktasi disebutkan dalam ensiklopedia medis paling awal, The Papyrus Ebers, yang berasal dari Mesir (1550 sebelum masehi) berisi bagian pediatrik kecil yang mencakup resep jika ASI sulit keluar. Resep yang tercatat salah satunya tulang ikan pedang yang dihangatkan dalam minyak dan digosok ke punggung si ibu.
Resep tersebut ternyata menyebabkan kegagalan laktasi selama zaman Mesir kuno. Sehingga, kehadiran dayah untuk menyusui bayi adalah metode pemberian makan alternatif utama. Di Yunani sekitar 950 SM, wanita dari status sosial yang lebih tinggi menuntut kehadiran dayah untuk menyusui bayinya. Akhirnya, dayah memperoleh posisi akuntabilitas yang besar dan memiliki otoritas atas budak. Alkitab juga mencatat beberapa contoh dayah, salah satunya wanita yang disewa oleh putri Firaun untuk menyusui Musa, yang ditemukan di rumput gajah.
Pada puncak Kekaisaran Romawi, antara 300 sebelum masehi dan 400 masehi, kontrak tertulis juga dilakukan dengan dayah untuk memberi makan bayi terlantar. Bayi-bayi tersebut biasanya berjenis kelamin perempuan yang tidak diinginkan dan dibuang ke tumpukan sampah. Orang kaya membeli bayi tersebut untuk dijadikan sebagai budak di masa depan. Dayah yang juga budak memberi makan bayi tersebut hingga 3 tahun. Kontrak memuat penjelasan rinci tentang tugas menyusui, termasuk durasi menyusui, persediaan pakaian, minyak lampu, dan pembayaran untuk layanan tersebut.
Namun, kualifikasi seorang dayah sangat rinci, seperti tes kuku yang digunakan untuk menilai kualitas dan konsistensi ASI. Ketika setetes ASI ditaruh di kuku dan jari bergerak, ASI seharusnya tidak terlalu encer sehingga mengalir ke seluruh permukaan kuku. Saat kuku ditekuk ke bawah, susu tidak cukup kental untuk menempel di kuku. Konsistensi susu harus berkisar antara dua ekstrem. Selain itu, seorang dayah harus sehat serta berusia 25 sampai 35 tahun.
Keberatan pertama terhadap keberadaan dayah juga muncul pada era yang sama. Selama Abad Pertengahan, masyarakat menganggap masa kanak-kanak sebagai masa yang rapuh dan rentan. ASI dinilai memiliki kualitas magis, dan diyakini dapat menularkan karakteristik fisik dan psikologis dayah. Keyakinan itu mendorong protes terhadap perekrutan wanita untuk menjadi dayah. Seorang ibu yang merawat anaknya sendiri lebih dihargai karena melakukan tugas suci.
Selanjutnya, sepanjang periode Renaissance keberadaan dayah tetap menjadi alternatif yang dipilih untuk bayi yang ibunya tidak bisa menyusui. Meskipun demikian, seperti pada Abad Pertengahan, masyarakat selama periode Renaisans menunjukkan ketidaksetujuan yang meluas terhadap keberadaan dayah dan lebih memilih untuk ibu menyusui anak mereka sendiri.
Selama pertengahan abad ke-16, kekhawatiran meningkat terhadap keberadaan dayah bersamaan dengan pernyataan yang mengungkapkan pentingnya menyusui oleh ibu kandung. The Treatise on Children, yang diterbitkan pada tahun 1577 dan ditulis oleh Italian Omnibonus Ferrarious, menekankan bahwa air susu dari ibu kandung yang terbaik kecuali sang ibu sakit atau tidak dapat menyusui. Pernyataan ini juga didorong kekhawatiran di mana bayi akan memiliki sifat orang yang menyusuinya. Bahkan, bayi dikhawatirkan akan lebih mencintai dayah karena mengasuh dan merawat mereka lebih daripada ibu mereka sendiri.
Baca juga:Keajaiban Air Susu Ibu
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Ratusan peserta mengikuti gerak jalan massal dalam rangka Pekan ASI (Air Susu Ibu) se-Dunia 2005 di Lapangan Monas Jakarta Pusat, Sabtu (6/8/2005).
ASI dari Ibu Kandung
Pada awal abad ke-17, dokter kandungan Prancis Jacques Guillemeau mendukung premis bahwa ibu kandung harus menyusui anaknya. Karyanya, The Nursing of Children menyatakan alasan keberatannya akan kehadiran dayah. Beberapa alasannya, yakni kasih sayang yang dirasakan antara anak dan ibu akan berkurang; kondisi yang buruk dapat diwarisi anak yang disusui; serta dapat menularkan ketidaksempurnaan tubuhnya kepada anak yang diasuh. Namun, jika keadaan mengharuskan kehadiran dayah, Guillemeau merekomendasikan wanita yang bahagia, sehat, teliti, berperilaku baik, jeli, dan sadar—yang bersedia menyusui. Selain itu, dayah tidak berambut pirang karena dinilai memiliki temperamen panas yang berbahaya bagi ASI.
Kehadiran dayah tetap menjadi profesi yang populer dan sangat terorganisir selama periode Renaissance. Bahkan, pekerjaan tersebut menjadi pilihan utama bagi banyak perempuan miskin. Selama periode waktu yang sama, kelas masyarakat cenderung mendikte praktik menyusui. Tidak lazim bagi wanita bangsawan untuk menyusui karena praktik tersebut dianggap ketinggalan zaman dan karena para wanita khawatir hal itu akan merusak sosok mereka. Menyusui juga mencegah banyak wanita mengenakan pakaian yang dapat diterima secara sosial saat itu, juga dapat mengganggu aktivitas sosial, seperti bermain kartu dan menghadiri pertunjukan teater. Para istri saudagar, pengacara, bahkan dokter juga tidak menyusui karena lebih murah mempekerjakan seorang dayah daripada mempekerjakan seorang perempuan untuk menjalankan bisnis suaminya atau mengurus rumah tangga.
Sejak abad ke-18 hingga abad ke-19, praktik menyusui bayi bergeser dari keluarga kaya ke keluarga pekerja yang berpenghasilan rendah. Dengan dimulainya Revolusi Industri, seluruh keluarga pindah dari pedesaan ke daerah yang lebih perkotaan. Meningkatnya biaya hidup dan upah yang buruk memaksa banyak perempuan untuk mencari pekerjaan dan berkontribusi secara finansial kepada keluarga mereka, yang membuat hampir tidak mungkin bagi banyak ibu untuk menyusui dan merawat anak-anak mereka. Akibatnya, banyak dari anak-anak ini diasuh perempuan petani miskin. Dayah yang juga petani harus berlisensi dari otoritas lokal dan melaporkan jika ada kematian bayi yang dirawat mereka. Sayangnya, undang-undang tersebut diabaikan yang berakibat pada meningkatnya angka kematian bayi. Meskipun dayah masih terus ada di akhir abad ke-18, praktik menyusui oleh ibu kandung semakin populer.
Baca juga: Pastikan Proses Menyusui Dilakukan Secara Optimal
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Orangtua mengantarkan anak mereka yang masih balita untuk mengikuti porgam Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di Desa Kemiri, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Senin (17/9/2018).Dari kegiatan posyandu tersebut petugas memantau perkembangan pertumbuhan, kesehatan, gizi anak-anak serta memperoleh imunisasi.
Baca juga: Pedas Lada Dalam Air Susu Ibu
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Susu Formula
Makanan Buatan
Pada abad ke-19, pemberian makanan buatan menjadi pengganti keberadaan dayah. Kehadiran botol susu dan ketersediaan susu hewani perlahan menggantikan posisi dayah. Pada tahun 1900, profesi dayah yang sebelumnya sangat terorganisir telah punah.
Meskipun dayah adalah metode pemberian makan alternatif pilihan, bukti menunjukkan bahwa pemberian makanan buatan juga digunakan pada zaman kuno. Kapal dari segala bentuk dan ukuran telah ditemukan, berasal dari ribuan tahun sebelum masih. Botol susu yang belum higenis ditulis selama era Romawi, Abad Pertengahan, dan Renaisans. Tidak sampai Revolusi Industri, botol susu yang higienis dan halus sudah tersedia.
Alat makan lain yang digunakan dari abad ke-16 hingga ke-18 di Eropa adalah bejana khusus berisi makanan tambahan pap dan panada. Pap terdiri dari roti yang direndam dalam air atau susu, dan panada terdiri dari sereal yang dimasak dalam kaldu. Kedua zat tersebut digunakan sebagai suplemen susu hewani, terutama ketika bayi menunjukkan dalam tumbuh kembang.
Pada awal abad ke-19, penggunaan alat makan yang kotor serta kurangnya pengetahuan dalam menyimpan susu serta melakukan sterilisasi yang tepat, menyebabkan kematian sepertiga dari semua bayi yang diberi makan selama tahun pertama kehidupan mereka.
Selama pertengahan abad ke-19, langkah besar dilakukan dalam pengembangan botol susu. Botol kaca mulai digunakan, dan evolusi botol modern dimulai. Botol makan pertama dibuat pada tahun 1851 di Perancis, namun bentuknya masih rumit. Botol memiliki puting gabus dan pin gading di saluran masuk udara untuk mengatur aliran. Sementara di Perancis, lebih populer untuk memberi makan bayi atau meminta anak menyusu langsung dari dot yang memiliki kaki dan berbentuk seperti binatang khayalan.
Baca juga: Susu Formula Diberi Tanpa Indikasi Medis
KOMPAS/ANDY RIZA HIDAYAT
Seorang agen penjualan susu formula memeriksa produknya yang terpajang di sebuah ritel di Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat, Jumat (16/9/2022). Tahun lalu, belanja warga untuk membeli susu formula di Provinsi Jawa Barat nilainya terbersar dibanding dengan provinsi lain di Indonesia.
KOMPAS/IRENE SARWINDANING
Rumah Sakit Umum Islam, Klaten, Jawa Tengah, memasang pengumuman yang tidak menerima promosi produk susu formula (03/9/2022)
Susu Formula
Penggunaan susu hewan untuk makanan bayi tercatat sejak 2000 SM. Sejak itu, sumber susu alternatif telah berevolusi untuk memasukkan formula sintetis saat ini. Penggunaan zat makanan buatan tumbuh pesat dan dipengaruhi secara signifikan oleh kampanye iklan. Ini memiliki efek negatif yang mendalam pada tren menyusui, meskipun penelitian yang mengungkapkan banyak perbedaan antara bayi yang disusui dan diberi makan buatan. Meskipun pemberian makanan buatan atau susu formula pada bayi saat ini jauh lebih aman daripada beberapa dekade yang lalu, ASI masih dianggap sebagai sumber nutrisi bayi terbaik
Selama berabad-abad dan sampai akhir abad ke-19, susu hewan adalah sumber makanan buatan yang paling umum. Seperti disebutkan sebelumnya, pap dan panda hanya digunakan sebagai suplemen susu hewani ketika bayi gagal tumbuh. Jenis susu hewan yang digunakan tergantung pada jenis hewan yang tersedia—kambing, domba, keledai, unta, babi, atau kuda. Namun, susu yang paling umum dan universal digunakan untuk pemberian makanan buatan adalah susu sapi.
Pada abad ke-18, analisis kimia pertama susu manusia dan susu hewan mulai muncul. Jean Charles Des-Essartz menerbitkan Treatise of Physical Upbringing of Children pada tahun 1760, yang membahas dan membandingkan komposisi susu manusia dengan susu sapi, domba, keledai, kuda betina, dan kambing. Berdasarkan karakteristik kimianya, Des-Essartz membenarkan ASI sebagai sumber nutrisi bayi terbaik.
Kemudian, banyak ilmuwan mencoba membuat susu formula yang menyerupai ASI. Pada tahun 1865, ahli kimia Justus von Liebig mengembangkan, mematenkan, dan memasarkan makanan bayi, pertama dalam bentuk cair dan kemudian dalam bentuk bubuk supaya lebih awet. Formula Liebig yang terdiri dari susu sapi, gandum dan tepung malt, serta kalium bikarbonat dianggap sebagai makanan bayi yang sempurna.
Kemajuan ilmiah penting lainnya pada abad ke-19 adalah pengawetan makanan. Pada tahun 1810, Nicholas Appert mengembangkan teknik untuk mensterilkan makanan dalam wadah tertutup. Selanjutnya diikuti dengan penemuan susu evaporasi, yang dipatenkan pada tahun 1835 oleh William Newton. Pada tahun 1853, Texas Gale Borden menambahkan gula ke dalam susu evaporasi, mengalengkan zat tersebut, dan menjualnya sebagai Susu Kental Merek Eagle, yang menjadi makanan bayi yang populer. Pada tahun 1885, John B. Myerling mengembangkan susu kental tanpa pemanis, dengan label sebagai “susu evaporasi.” Produk Myerling juga merupakan pilihan populer untuk makanan bayi dan sangat direkomendasikan oleh dokter anak dari tahun 1930-an hingga 1940-an.
Artikel terkait
KOMPAS/PRIYOMBODO
Deretan rak berisi susu formula berbagai merek di sebuah supermarket di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (29/9/2022).
Banyak produk dan susu formula komersial lainnya diperkenalkan setelah pemasaran makanan bayi Liebig dan penemuan susu evaporasi. Pada tahun 1883, ada 27 merek makanan bayi yang dipatenkan. Produk komersial ini datang dalam bentuk bubuk dan terdiri dari karbohidrat seperti gula, pati, dan dekstrin yang akan ditambahkan ke susu. Sebagain besar produk menggemukkan, tetapi kekurangan nutrisi berharga seperti protein, vitamin, dan mineral. Seiring waktu, nutrisi lain ikut ditambahkan.
Namun demikian, penggunaan susu formula banyak dikaitkan dengan bertambahnya kematian bayi pada musim panas karena adanya pembusukan susu yang tertinggal dalam botol. Tahun 1890 dan 1910, penekanan diberikan pada kebersihan dan peningkatan kualitas persediaan susu. Perbaikan termasuk memberikan perawatan yang lebih baik untuk sapi perah dan membentuk klinik susu bayi untuk menyalurkan susu bersih ke publik. Pada tahun 1912, dot karet yang mudah mulai tersedia, dan banyak keluarga menyimpan susu di lemari es.
Pada 1920-an, para ilmuwan juga mengembangkan formula berbasis non-susu untuk bayi yang alergi susu sapi. Formula non-susu pertama didasarkan pada tepung kedelai dan tersedia untuk umum pada tahun 1929. Seperti formula pertama yang diperkenalkan pada akhir abad ke-19, formula kedelai kekurangan nutrisi penting, terutama vitamin. Akhirnya, masalah diselesaikan dengan fortifikasi vitamin.
Ketika formula berkembang dan penelitian mendukung kemanjurannya, produsen mulai beriklan langsung ke dokter. Pada tahun 1929, American Medical Association (AMA) membentuk Komite Makanan untuk memeriksa keamanan dan kualitas komposisi formula, serta mengharuskan perusahaan makanan bayi untuk meminta persetujuan AMA atau “Seal of Acceptance”. Tiga tahun kemudian, iklan diatur sehingga produsen tidak dapat langsung melakukan promosi lewat dokter. Sayangnya, pada 1940–1950, dokter dan konsumen menganggap penggunaan susu formula sebagai pengganti ASI merupakan hal yang populer dan aman. Akibatnya, aktifitas menyusui dan pemberian ASI mengalami penurunan sampai tahun 1970-an.
Pemasaran susu formula yang agresif di negara-negara berkembang berkontribusi pada penurunan dalam pemberian ASI. Penurunan tersebut mendorong gerakan perlawanan terhadap produsen susu formula. Bahkan, pada 1970-an, muncul gerakan yang mempromosikan pemberian ASI. Di Amerika Serikat, kelompok-kelompok seperti National Council of Churches’ Interfaith Center on Corporate Responsibility dan Infant Formula Action Coalition memprakarsai kampanye kesadaran publik akan pentingnya menyusui. Selama 30 tahun berikutnya, upaya tersebut berbuah manis, tidak hanya dalam persentase bayi yang disusui di Amerika Serikat, tetapi juga pada durasi menyusui.
Pada tahun 1988, industri formula mulai beriklan langsung ke publik. Akibatnya, tercipta ketegangan antara profesi medis dan produsen formula. Pada tahun 1990, American Academy of Pediatrics (AAP) merilis pernyataan daftar alasan penolakan organisasi untuk mengiklankan susu formula kepada masyarakat umum. AAP percaya iklan menciptakan efek negatif pada menyusui, mengganggu nasihat dokter tentang nutrisi bayi, menyebabkan kebingungan di antara konsumen, dan meningkatkan biaya susu formula.
Saat ini, banyak yang percaya bahwa perkembangan dan iklan susu formula masih berdampak negatif pada praktik menyusui. Tingkat menyusui yang berada di angka 90 persen pada abad ke-20 telah menurun menjadi sekitar 42 persen pada abad ke-21. Meskipun nutrisi dalam formula sintetis tampak hampir identik dengan nutrisi dalam ASI, jumlah setiap nutrisi formula sangat bervariasi dibandingkan dengan ASI. Selain itu, susu formula tidak berubah komposisinya seiring bertambahnya usia bayi. Sehingga, susu formula tidak responsif terhadap kebutuhan nutrisi bayi yang sedang tumbuh, serta mempersulit proses pencernaan. Bahkan, susu formula belakangan disebut-sebut menjadi penyebab atopi, diabetes mellitus, dan obesitas masa kanak-kanak. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- The Journal of Perinatal Education | Spring 2009, Volume 18, Number 2
- Global Journal of Health Science Vol. 12, No. 9; 2020
Penulis:
Susanti Agustina Simanjuntak
Editor:
Topan Yuniarto