Paparan Topik | Ekonomi Global

Ekonomi Dunia pada Masa Pandemi Covid-19: dari Dampak hingga Proyeksi Pertumbuhan 2021-2022

Pandemi Covid-19 berdampak luas terhadap krisis kesehatan maupun ekonomi global sepanjang tahun 2020 lalu hingga tahun ini. Pemerintah negara-negara di dunia melakukan berbagai langkah mitigasi dan kerja sama untuk menekan penyebaran Covid-19 sekaligus mempercepat pemulihan ekonomi. Tahun ini, kinerja ekonomi global diharapkan tumbuh positif seiring program stimulus ekonomi dan percepatan vaksinasi.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Panorama Kota Bandar Lampung, Lampung, dengan latar belakang sejumlah kapal yang berada di Teluk Lampung, Kamis (17/6/2021). Krisis kesehatan dan pandemi Covid-19 yang masih berlanjut menjadi hambatan utama dalam percepatan pemulihan perekonomian Indonesia. Di tengah ketidakpastian global, Bank Dunia memperkirakan pada tahun 2021 pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 4,4 persen.

Fakta Singkat

Dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian global:

  • Sebagian besar negara-negara di dunia tumbuh negatif, bahkan resesi
  • Negara-negara yang tumbuh positif di tahun 2020: China (2,3 persen), Vietnam (2,9 persen), Taiwan (2,98 persen)
  • Tingkat volatilitas naik ke level tertinggi
  • Perpindahan aliran modal ke safe haven assets
  • Harga komoditas turun tajam.
  • Kontraksi PMI Manufaktur dan Jasa di titik terendah sejak GFC 2008–2009
  • Pengangguran meningkat

Respons kebijakan menghadapi pandemi Covid-19:

  • Kebijakan fiskal: stimulus ekonomi
  • Kebijakan moneter: penurunan tingkat suku bunga

Potret pemulihan ekonomi hingga semester I/2021:

  • Indikator manufaktur global di level ekspansif
  • Harga komoditas naik
  • Negara-negara tumbuh positif

Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global 2021–2022:

  • IMF: 2021 tumbuh 6 persen, 2022 tumbuh 4,9 persen
  • Bank Dunia: 2021 tumbuh 5,6 persen, 2022 tumbuh 3,8 persen
  • OECD: 2021 tumbuh 5,8 persen, 2022 tumbuh 4,4 persen
  • WTO: 2021 volume perdagangan barang global 8 persen, 2022 volume perdagangan barang global

Sejak ditetapkan sebagai pandemi Covid-19 pada tanggal 11 Maret 2020 oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), virus corona telah menyebar luas ke seluruh dunia. Menurut data dari Worldometers, hingga 17 Agustus 2021, lebih dari 200 negara di dunia telah terjangkit Covid-19 dengan total kasus mencapai 200,09 juta dan korban meninggal dunia sebanyak 4,39 juta jiwa.

Tak hanya berdampak pada krisis kesehatan, pandemi Covid-19 juga menyebabkan perekonomian sebagian besar negara-negara di dunia tumbuh negatif bahkan resesi. Hanya sebagian kecil negara di dunia yang masih bertahan dan tumbuh ekonominya pada tahun 2020, seperti China, Vietnam, dan Taiwan

Setelah terpuruk akibat pembatasan mobilitas/wilayah untuk menekan penyebaran Covid-19, tahun 2021 ini, negara-negara di dunia berharap bisa bangkit kembali. Untuk itu, beragam kebijakan dikeluarkan dan kerja sama antarnegara diselenggarakan agar kinerja ekonomi bisa kembali pulih dan tumbuh positif mulai tahun ini.

Sepanjang tahun 2020 lalu, pandemi Covid-19 telah menyebabkan krisis ekonomi di seantero penjuru dunia. Tidak hanya dialami negara-negara berkembang dan negara-negara yang dikategorikan miskin, negara-negara maju juga merasakan dampak negatif merebaknya Covid-19.

Sebagian besar negara maju bahkan terperangkap dalam resesi ekonomi yang cukup dalam. Begitu pula negara berkembang, apalagi negara miskin. Hanya segelintir negara di dunia yang masih mampu bertahan dan tumbuh positif menghadapi dampak pandemi Covid-19 di tahun 2020, yaitu China (2,3 persen), Vietnam (2,9 persen), dan Taiwan (2,98 persen).

Di luar ketiga negara tersebut, pandemi Covid-19 telah memporak-porandakan perekonomian negara-negara di dunia, tak terkecuali negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), Jerman, Inggris, dan Jepang.

Ekonomi Amerika Serikat (AS) tercatat menyusut hingga minus 3,5 persen pada 2020. Jerman tumbuh negatif 5 persen. Inggris terkontraksi 9,9 persen. Jepang menyusut 4,8 persen. Sedangkan Perancis dan Italia menutup tahun 2020 dengan kontraksi masing-masing 8,2 persen dan 8,9 persen.

Di kawasan Asia Tenggara, hanya Vietnam yang tumbuh positif sebesar 2,91 persen pada tahun 2020. Sedangkan, negara-negara lain di kawasan ASEAN, tumbuh negatif.

Singapura tercatat terkontraksi 5,4 persen, Malaysia minus 5,6 persen, dan Thailand minus 6,1 persen. Sementara, Filipina menjadi yang paling buruk lantaran perekonomiannya terkontraksi hingga 9,5 persen pada 2020. Adapun Indonesia terkontraksi 2,07 persen pada tahun lalu.

DOKUMENTASI KEMENTERIAN PERDAGANGAN

Menteri Perdagangan RI, Muhammad Lutfi menghadiri diskusi panel di Forum Ekonomi Internasional St Petersburg (St Petersburg International Economic Forum/SPIEF) yang berlangsung di St Petersburg, Rusia, Kamis (3/6/2021). Diskusi panel tersebut mengangkat tema “World Expos and International Cooperation as a Driver of Sustainable Global Development”.

Dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian global

Sejumlah lembaga internasional memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2020 diprediksi akan turun lebih dalam dari tahun-tahun sebelumnya. Pada Januari 2021, IMF mengestimasi pertumbuhan ekonomi global di angka minus 3,5 persen. Sementara Bank Dunia pada Januari 2021 dan OECD pada Desember 2020 masing-masing memprediksi penurunan pertumbuhan ekonomi global lebih dalam menjadi minus 5,2 persen dan minus 4,2 persen.

Lesunya perekonomian global tersebut tak lepas dari efek pandemi Covid-19 yang menjalar hingga ke persoalan ekonomi dan keuangan dunia. Kedatangannya yang tiba-tiba memberikan tekanan yang besar dari sisi penawaran dan permintaan.

Rantai produksi dunia bukan hanya terganggu, bahkan terputus, karena banyak negara memilih karantina wilayah (lockdown) untuk menahan laju penyebaran Covid-19. Gangguan suplai/produksi juga menjalar ke sisi permintaan, konsumsi turun signifikan, investasi merosot drastis, dan perdagangan dunia (ekspor dan impor) sangat lesu.

Dari sisi perdagangan barang, Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) memperkirakan penurunan perdagangan global sebesar minus 5,3 persen.

Turunnya aktivitas perekonomian dan terbatasnya mobilitas barang dan jasa, serta pembatasan ruang gerak penduduk, pada akhirnya memukul pula pendapatan perusahaan dan masyarakat. Akibatnya, pemutusan hubungan kerja dan merumahkan karyawan terjadi di mana-mana di dunia.

Penerapan kebijakan pembatasan mobilitas untuk menekan penyebaran Covid-19 menimbulkan pula goncangan baik di pasar keuangan maupun sektor riil. Hal itu tecermin setidaknya dalam lima hal.

Pertama, tingkat volatilitas yang tecermin dari VIX Index, naik ke level tertinggi sepanjang sejarah. VIX Index menggambarkan tingkat kecemasan investor.

Kedua, perpindahan aliran modal ke safe haven assets, arus modal keluar dari negara berkembang sekitar 100 miliar dollar AS. Safe haven adalah investasi yang diharapkan dapat dipertahankan atau meningkat nilainya saat pasar bergejolak. Safe haven menjadi tempat berlindung yang aman dicari oleh investor untuk membatasi risiko kerugian jika terjadi penurunan pasar.

Ketiga, penurunan tajam harga-harga komoditas.

Keempat, kontraksi PMI Manufaktur dan Jasa di titik terendah sejak krisis keuangan global (Global Financial Crisis/GFC) 2008–2009.

Kelima, pengangguran meroket di berbagai belahan dunia, mencapai dua digit. Di AS, selama 2020 menghapus 22,4 juta penyerapan tenaga kerja yang telah dilakukanya sejak depresi besar (great depression) tahun 1929. Di Italia, pengangguran mencapai 12,7 persen dan Perancis sekitar 10,4 persen.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Pengunjung berbelanja di hypermarket di kawasan BSD, Kabupaten Tangerang, Banten, Sabtu (27/3/2021). Bank Dunia memproyeksi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia di sepanjang tahun 2021 akan mencapai 4,4 persen setelah tahun sebelumnnya terkontraksi 2,1 persen. Pemulihan ekonomi ini bergantung pada efektivitas program pengendalian Covid-19 dan kemampuan pemerintah memanfaatkan momentum kebangkitan pasar global.

Respons kebijakan menghadapi pandemi Covid-19

Ketika wabah Covid-19 menjalar ke seluruh dunia, sejumlah negara berjibaku untuk menahan penyebaran dan penanggulangan wabah. Pemerintah di seluruh dunia berupaya menerapkan langkah-langkah kebijakan luar biasa untuk menyelamatkan nyawa dan melindungi mata pencarian masyarakat yang terhantam pandemi Covid-19.

Di sisi penanganan pandemi, pemerintah negara-negara umumnya melakukan kombinasi 3M (menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan) dan 3T (testing, tracing, treatment) serta kebijakan jaga jarak sosial hingga penutupan wilayah.

Di sisi penanganan dampak ekonomi, berbagai kebijakan diarahkan pada tiga prioritas, yaitu menyediakan dana untuk penanganan kesehatan, menyalurkan bantuan jaringan pengaman sosial, dan memberikan stimulus/dukungan ekonomi kepada dunia usaha.

Pemerintah negara-negara di dunia umumnya memberikan stimulus, baik melalui kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal. Di bidang moneter, kebijakan penurunan tingkat suku bunga dilakukan oleh hampir seluruh dunia. Hal ini dilakukan dengan tujuan mendorong aktivitas perekonomian, baik di sisi konsumsi maupun investasi, melalui penurunan bunga kredit perbankan.

Kebijakan tersebut diperkirakan akan terus berlanjut pada 2021. Bank sentral akan cenderung menurunkan atau mempertahankan tingkat suku bunga karena periode pemulihan ekonomi yang masih berlangsung.

Di bidang fiskal, pada awal penyebaran pandemi Covid-19, pemerintah di berbagai negara memberikan stimulus dalam jumlah besar untuk menyelamatkan penduduk serta perekonomiannya. IMF Policy Responses to Covid-19 mencatat sebanyak 196 negara di dunia sudah mengeluarkan bantuan untuk perekonomiannya, dengan total nilainya yang mencapai 11,7 triliun dollar AS (setara dengan 12 persen PDB global). Hal ini mengindikasikan bahwa seluruh negara menyadari langkah luar biasa perlu dilakukan agar perekonomian tidak jatuh terjerebab lebih dalam akibat pandemi Covid-19.

Berkaitan dengan besaran stimulus fiskal untuk Covid-19, Jepang tercatat sebagai negara terbesar yang mengeluarkan dana dari anggaran negaranya. Terdapat tiga paket stimulus masif dengan nilai 3 triliun dollar AS yang dikucurkan dengan fokus pemulihan bisnis terdampak serta investasi infrastruktur.

Amerika Serikat juga memiliki program CARES dengan nilai sebesar 2,3 triliun dolar AS untuk penyediaan cash transfer, insentif bagi perusahaan, serta pendanaan bagi rumah sakit dan alat kesehatan. Sedangkan Jerman menyediakan dana senilai 1 triliun dollar AS melalui perluasan akses dan jaminan kredit bagi perusahaan melalui KfW (bank milik negara Jerman).

Memasuki tahun 2021, pemberian stimulus secara perlahan mulai melambat dibandingkan tahun 2020 lalu. Hal ini tidak terlepas dengan keterbatasan ruang fiskal yang dihadapi oleh setiap negara pasca stimulus masif pada tahun 2020. Meski demikian, sejumlah negara di dunia, terutama negara-negara maju masih memberikan dukungan secara masif, terutama kepada dunia usaha agar mampu kembali pulih secara cepat.

Pemerintah AS pada Maret 2021 lalu, secara resmi menyetujui stimulus ekonomi senilai 1,9 triliun dollar AS atau setara Rp27.196 triliun untuk membantu orang Amerika yang terkena dampak pandemi Covid-19. Bantuan ini merupakan salah satu yang terbesar dalam sejarah Amerika. Fokus utama dari paket stimulus AS ini, yaitu perpanjangan periode pemberian unemployment benefits serta penguatan sektor kesehatan dalam penanganan pandemi.

Komisi Eropa pada tanggal 24 Juni 2021 juga menyepakati program stimulus ekonomi sebesar 750 miliar Euro dengan skema investasi untuk berbagai negara Eropa. Dana itu diagendakan untuk dikucurkan sampai enam tahun mendatang.

Hal yang sama juga dilakukan Jepang dengan mengeluarkan stimulus sebesar 708 miliar dolar AS guna mempersiapkan pemulihan ekonomi di tahun 2021. Dari jumlah itu, sebesar 384,2 dollar AS akan dialokasikan guna memberi subsidi maupun insentif guna mendorong perusahaan dalam mengimplementasikan investasi hijau dan proses digitalisasi.

Sementara itu, pemerintah Jepang juga meningkatkan bantuan finansial kepada perusahaan yang terpaksa merumahkan karyawannya serta memberikan subsidi bagi restoran dan bar yang terpaksa mengurangi jam operasional akibat pandemi.

Di kawasan Asia Tenggara, sejumlah negara juga mengucurkan stimulus untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi. Pemerintah Singapura pada Februari 2021 lalu menyebut akan mengucurkan stimulus sebesar 11 miliar dollar Singapura atau setara 8,3 miliar dollar AS untuk membantu rumah tangga dan pebisnis kembali pulih dari pandemi Covid-19.

Stimulus tersebut mencakup perpanjangan subsidi gaji untuk beberapa sektor terdampak, termasuk  penerbangan dan pariwisata senilai 700 juta dollar Singapura. Tak hanya itu, ada juga stimulus senilai 4,8 miliar dollar Singapura untuk bidang kesehatan dan upaya pembukaan kembali ekonomi.

Pemerintah Malaysia secara resmi meluncurkan paket stimulus ekonomi baru senilai 150 miliar ringgit atau setara 36,2 miliar dollar AS pada 28 Juni 2021 lalu. Paket ini diberikan untuk mengurangi dampak penguncian atau lockdown total kembali diperpanjang.

Pemerintah Thailand menyetujui paket stimulus ekonomi senilai 140 miliar baht atau setara 4,5 miliar dollar AS untuk melawan dampak dari wabah virus Corona di negara itu. Paket yang terdiri dari pemberian uang tunai kepada pemegang kartu kesejahteraan dan kelompok khusus serta tunjangan itu dilaksanakan mulai Juli lalu.

Adapun Indonesia pada tahun 2021 ini mengalokasikan dana anggaran penanganan Covid-19 dan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebesar Rp744,75 triliun, naik dari tahun 2020 lalu sebesar Rp699,43 triliun.

Dengan dikeluarkan aneka kebijakan fiskal dan moneter tersebut, pemerintah negara-negara di dunia berharap bisa menangani pandemi Covid-19 sekaligus memutar kembali roda ekonomi negaranya.

Kerja sama internasional dalam pemulihan ekonomi

Mitigasi dampak pandemi tak hanya dilakukan oleh masing-masing negara saja. Antarnegara di dunia juga membangun kerja sama untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19 baik dari sisi kesehatan maupun ekonomi. Salah satunya adalah pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 yang telah dilakukan dua kali sepanjang tahun 2020.

Setelah WHO mengumumkan Covid-19 sebagai pandemi pada 11 Maret 2020, kelompok G-20 mengadakan KTT Luar Biasa, diikuti serangkaian pertemuan tingkat menteri terkait. Pada KTT Luar Biasa tersebut, disepakati sejumlah hal terkait dengan upaya penanggulangan pandemi dan pemulihan ekonomi global.

Di sektor kesehatan, G-20 mendukung WHO untuk mengimplementasikan Regulasi Kesehatan Internasional 2005, Dana Solidaritas untuk Respons Covid-19, serta mendukung inisiatif global untuk coalition for epidemic preparedness innovations (CEPI) dan inisiatif akselerator akses peralatan Covid-19 (access to Covid-19 tools) untuk menjamin akses terhadap vaksin, pengobatan, dan peralatan lain bagi semua negara.

Di sektor keuangan, negara-negara G-20 mengeluarkan stimulus hingga 11 triliun dollar AS untuk penanganan Covid-19 yang membantu menggerakkan perekonomian. Salah satu program G-20 yang berdampak signifikan terhadap upaya penanggulangan pandemi dan pemulihan ekonomi global adalah debt service suspension initiative (DSSI) yang telah diperpanjang hingga pertengahan 2021.

Inisiatif ini merupakan penangguhan pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri bagi negara-negara paling miskin di dunia yang membutuhkan. Dalam jangka pendek, skema DSSI sangat membantu perekonomian negara-negara miskin melalui penyediaan likuiditas untuk penanggulangan pandemi Covid-19.

Selain itu, G-20 juga membuat common framework di luar fasilitas DSSI untuk membantu restrukturisasi utang bagi negara yang paling membutuhkan, serta mendorong keterlibatan kreditor sektor swasta.

Di samping memberikan keringanan pembayaran utang luar negeri, G-20 bekerja sama dengan Bank Dunia menyediakan fasilitas pembiayaan jalur cepat bagi negara-negara berkembang. Fasilitas ini disediakan untuk mendukung pengadaan berbagai peralatan kesehatan yang dibutuhkan untuk penanganan Covid-19.

Pemulihan ekonomi di sektor riil juga menjadi perhatian G-20, di antaranya terkait dukungan digitalisasi bisnis UMKM, upaya memperlancar perdagangan internasional di tengah meningkatnya proteksionisme global, dan membangun ketahanan rantai nilai global di tengah pandemi.

Pada sektor energi, G-20 memberi perhatian pentingnya pasokan yang mencukupi, stabil, dan terjangkau untuk layanan kesehatan. Pada sektor pertanian dan pangan, G-20 berkomitmen untuk tidak menerapkan pembatasan ekspor atau bea tambahan bagi produk-produk untuk bantuan kemanusiaan. Sedangkan pada sektor pariwisata, G-20 mengeluarkan Pedoman Aksi Perjalanan yang Aman dan Lancar sebagai bagian dari pemulihan krisis.

Kemudian pada pertemuan tingkat tinggi kedua G-20 yang diselenggarakan secara virtual pada 21–22 November 2020, pemimpin G-20 mengeluarkan Deklarasi KTT Riyadh berisi kesepakatan 20 pemimpin negara yang menguasai 80 persen kekayaan dunia itu.

Deklarasi dituangkan dalam 38 poin, dengan fokus utama pada penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya. Dibahas pula isu lain, seperti perdagangan, investasi, keuangan, ekonomi digital, dan iklim. Namun, mengingat dunia masih dilanda pandemi, isu pandemi menjadi sorotan utama.

Pertemuan ini juga fokus pada beberapa hal. G-20 sepakat untuk memobilisasi sumber daya untuk menangani kebutuhan pembiayaan secara segera dalam penanganan kesehatan global. Selain itu, G20 mendukung Research and Development (R&D), pembuatan, serta distribusi alat diagnosis, terapi, dan vaksin Covid-19 yang aman dan efektif.

G-20 juga mendukung upaya kolaboratif, terutama inisiatif ACT-A dan fasilitas COVAX, serta pemberian lisensi sukarela atas kekayaan intelektual. Kemudian, mengakui extensive immunization sebagai global public goods.

Negara-negara anggota G-20 bersama lembaga internasional akan melanjutkan kerja sama global dalam penanganan dampak Covid-19, termasuk melalui pelaksanaan G20 Action Plan.

Dukungan fiskal secara keseluruhan negara G-20 difokuskan pada peningkatan sistem kesehatan, perlindungan sosial, peningkatan lapangan kerja, serta dukungan bagi dunia usaha.

Pertemuan ini juga membahas bahwa The G20 Debt Service Suspension Initiative (DSSI) memberikan penundaan pembayaran sementara untuk kreditur bilateral official untuk negara negara termiskin sampai dengan Juni 2021.

Per 13 November 2020, 46 negara telah mengajukan permohonan untuk memanfaatkan DSSI dengan nilai yang diestimasikan sebesar 5,7 miliar dollar AS dari tagihan 2020. DSSI juga didukung oleh Multilateral Development Banks (MDBs) untuk meningkatkan penyaluran pinjaman melalui skema pencairan cepat.

BPMI SEKRETARIAT PRESIDEN

Presiden Joko Widodo mengikuti pertemuan hari kedua KTT G-20 secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor, Minggu (22/11/2020).

Potret pemulihan ekonomi global hingga semester pertama 2021

Sinyal pemulihan ekonomi global mulai terlihat sejak kuartal ketiga 2020 setelah mengalami dampak terparahnya di kuartal II/2020 dan terus bergerak dinamis hingga semester I/2021. Peningkatan ekonomi global itu didorong oleh vaksinasi yang mulai dilakukan di lebih banyak negara serta penurunan tajam kasus Covid-19.

Kenormalan baru diperkenalkan pada berbagai aspek dengan menciptakan keseimbangan antara bergeraknya kegiatan ekonomi yang disesuaikan dengan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19. Di samping itu, kebijakan akomodatif terus diimplementasikan oleh berbagai negara untuk mendukung pemulihan ekonomi.

Berbagai indikator menunjukkan aktivitas ekonomi termasuk aktivitas produksi terus berangsur membaik.

Indikator manufaktur global (Purchasing Manager Index Manufaktur/PMI) telah berada di level ekspansif (di atas 50) sejak Juli 2020. Bahkan capaian PMI Manufaktur global pada Mei 2021 telah mencapai 56,0. Penguatan PMI terjadi secara luas, khususnya di negara maju dan manufaktur besar, seperti AS, Jerman, dan Inggris.

Pembukaan kembali aktivitas industri tersebut mendorong kenaikan output, perbaikan permintaan domestik dan pemulihan perdagangan internasional. Namun demikian, konsistensinya belum merata, khususnya di negara-negara berkembang. Filipina dan Thailand, misalnya, masih kesulitan menjaga kesinambungan ekspansi manufaktur, di tengah tekanan penyebaran Covid dan dampak ekonomi yang cukup dalam.

Kebangkitan ekonomi global juga terlihat dengan adanya kenaikan harga beberapa komoditas. Harga minyak mentah mencapai level tertinggi selama 22 bulan pada pertengahan April 2021, berkisar 63–67 dollar AS per barel. Kenaikan harga minyak tersebut menjadi indikator bahwa permintaan mulai meningkat guna menggerakkan mesin-mesin pabrik di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia sendiri.

Seiring penanganan Covid-19, stimulus ekonomi, dan vaksinasi massal, kinerja ekonomi global mulai menggeliat lagi tahun ini. Hal itu terlihat dari pertumbuhan ekonomi berbagai negara di dunia sepanjang semester I/2021.

Pertumbuhan AS sebagai negara dengan perekonomian terbesar di dunia tercatat tumbuh 6,3 persen di kuartal I/2021 dan 6,5 persen di kuartal II/2021 secara tahunan. Sebelumnya, tahun 2020 ekonomi AS menyusut hingga minus 3,5 persen.

Pertumbuhan ekonomi China, negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, tercatat sebesar 18,3 persen di kuartal I/2021, namun turun di kuartal II/2021 menjadi 7,9 persen. Sebelumnya, ekonomi China di tahun 2020 tercatat tumbuh positif 2,3 persen.

Ekonomi Jepang pulih lebih dari yang diharapkan pada kuartal II/2021 setelah merosot dalam tiga bulan pertama tahun ini. Data pemerintah menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Jepang di kuartal II/2021 capai 1,3 persen secara tahunan. Sebelumnya, pada kuartal I/2021, ekonomi Jepang masih terkontraksi 1 persen.

Ekonomi Uni Eropa juga mencatatkan pertumbuhan sebesar 2 persen pada kuartal II/2021. Pertumbuhan tersebut membawa kawasan Uni Eropa keluar dari resesi. Di Italia dan Spanyol, dua negara yang ekonominya rusak parah akibat pandemi, pertumbuhan keduanya mendekati 3 persen. Kemudian, Austria dan Portugal tumbuh sebesar 4,9 persen. Adapun dua ekonomi terbesar Uni Eropa mengalami pertumbuhan yang lebih moderat, yaitu 1,5 persen di Jerman dan 0,9 persen di Prancis.

Australia mencatat pertumbuhan positif di angka 3,3 persen pada kuartal III/2020. Capaian ini sekaligus membawa “Negeri Kanguru”  itu keluar dari jeratan resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Di kawasan ASEAN, Singapura tercatat tumbuh 1,3 persen di kuartal I/2021 dan melesat 14,3 persen di kuartal II/2021. Indonesia tumbuh 7,07 secara tahunan di kuartal II/2021. Ekonomi Malaysia tumbuh 16,1 persen secara tahunan pada kuartal II/2021. Thailand di kuartal II/2021 naik 7,5 persen. Sedangkan Filipina tumbuh sebesar 11,8 persen di kuartal II/2021.

Proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2021-2022

Berbagai lembaga internasional memproyeksikan tahun 2021 ini akan menjadi tahun pemulihan. Selain dari basis perkembangan ekonomi 2020 yang sangat rendah sehingga menghasilkan technical rebound, pemulihan pada 2021 juga didukung oleh berbagai faktor seperti vaksinasi yang dilakukan secara global serta kebijakan akomodatif yang masih dijalankan secara luas.

Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan World Economic Outlook Update, July 2021: Fault Lines Widen in the Global Recovery, memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi global di kisaran 6 persen untuk tahun 2021. Angka tersebut tidak berubah dibandingkan dengan proyeksi April lalu dan 4,9 persen pada 2022 (naik 0,5 percentage point atau pp).

Meskipun demikian, pemulihan ekonomi global terjadi secara tidak merata (uneven recovery) yang, antara lain, disebabkan oleh perbedaan situasi pandemi Covid-19, kecepatan vaksinasi, dan dukungan stimulus ekonomi.

Pertumbuhan PDB Dunia

Negara 2018 2019 2020 2021*
Dunia 3,6 2,8 -3,3 5,8
Negara Maju 2,3 1,6 -4,7 5,4
Amerika Serikat 3,0 2,2 -3,5 6,8
Kawasan Eropa 1,9 1,3 -6,8 4,5
Jepang 0,6 0,3 -4,7 2,8
Negara Berkembang 4,5 3,6 -2,2 6,0
Tiongkok 6,7 5,8 2,3 8,4
India 6,5 4,7 -7,1 8,8
ASEAN-5 5,3 4,8 -3,4 4,8
Amerika Latin 1,2 0,2 -7,0 3,6
Negara Berkembang Eropa 3,4 2,4 -2,0 3,7
Timur Tengah & Asia Tengah 2,0 1,4 -2,9 3,7

* Proyeksi Bank Indonesia
Sumber: IMF WEO

Secara garis besar, kelompok negara maju mengalami kenaikan proyeksi didukung perluasan reopening, jangkauan vaksinasi yang tinggi, serta stimulus yang masif, seperti yang terjadi pada AS (proyeksi pertumbuhan ekonomi 2021 naik 0,6 pp); Zona Euro (naik 0,2 pp); dan Korea Selatan (naik 0,7 pp).

Sementara itu, banyak negara berkembang yang mengalami penurunan proyeksi, utamanya akibat pemberlakuan restriksi lebih ketat di tengah penyebaran varian Delta. Tingkat vaksinasi yang relatif rendah di negara berkembang juga dianggap memberikan risiko kerentanan terhadap kesinambungan pemulihan ekonomi ke depan. Beberapa negara yang mendapat revisi ke bawah, antara lain, India (-3,0 pp); Malaysia (-1,8 pp); Filipina (-1,5 pp); Thailand (-0,5 pp); dan Indonesia (-0,4 pp).

Bank Dunia (World Bank) dalam laporannya Global Economic Prospect Juni 2021 memproyeksi secara keseluruhan, ekonomi dunia diprediksi tumbuh 5,6 persen pada tahun 2021, sebuah laju pascaresesi tercepat dalam 80 tahun terakhir. Sedangkan pada tahun 2022 mendatang diperkirakan akan melambat, yakni menjadi sebesar 3,8 persen.

Namun demikian, pemulihan ekonomi di berbagai negara tidak merata di tengah akses vaksin Covid-19 yang berbeda-beda tiap negara. Di sisi lain, pemulihan ekonomi tajam terjadi di beberapa ekonomi utama seperti AS, karena adanya dukungan fiskal yang besar.

Di China, Bank Dunia menilai negeri Tirai Bambu itu meningkat jadi 8,5 persen tahun ini. Pertumbuhan didukung oleh ekspor yang kuat dan permintaan bantuan di tengah pengendalian wabah. Kemudian pada tahun 2022, ekonomi China diproyeksi moderat menjadi 5,4 persen. Hal ini mencerminkan berkurangnya dukungan fiskal dan moneter yang lebih ketat.

Pertumbuhan ekonomi di negara-negara kawasan Asia diproyeksikan menguat jadi 7,7 persen pada tahun 2021. Pertumbuhan didukung oleh pemulihan yang kuat di China.

Indonesia diproyeksi tumbuh 4,4 persen tahun ini. Sementara Thailand tumbuh 2,2 persen pada tahun 2021 dan 5,1 persen pada tahun 2022. Pertumbuhan ekonomi Thailand dibanding oleh pulihnya sektor pariwisata pada tahun mendatang.

Adapun Filipina diproyeksikan sebesar 4,7 persen pada tahun 2021 dan 5,9 persen pada tahun 2022, sedangkan Malaysia diperkirakan akan pulih menjadi 6 persen pada tahun 2021. Vietnam diproyeksikan akan meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 6,6 persen tahun ini dan tahun depan.

Adapun Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dalam laporannya OECD Economic Outlook, pada Mei 2021 lalu memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global 2021 berada di angka 5,8 persen dan 2022 di 4,4 persen, naik masing-masing dari 5,6 persen dan 4,0 persen dalam perkiraan terakhir pada Maret.

OECD mengatakan ekonomi global kini telah kembali ke tingkat aktivitas sebelum pandemi. Tetapi belum mencapai pertumbuhan yang diharapkan sebelum krisis kesehatan global yang dipicu Covid-19.

Adapun dari sisi perdagangan barang, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam rilisnya dengan judul World trade primed for strong but uneven recovery after COVID-19 pandemic shock akhir Maret 2021 memprediksi pertumbuhan volume perdagangan barang pada tahun 2021 sebesar 8 persen setelah mencatat penurunan 5,3 persen tahun lalu di tengah pandemi Covid-19.

WTO menilai, prospek pemulihan yang cepat dalam perdagangan dunia telah membaik karena perdagangan barang dagangan berkembang lebih cepat dari yang diharapkan pada paruh kedua tahun lalu.

Sedangkan pada tahun 2022, WTO memperkirakan pertumbuhan perdagangan akan melambat menjadi 4 persen. Perlambatan tersebut disebabkan efek pandemi yang akan terus dirasakan sehingga laju ekspansi masih akan membuat perdagangan di bawah tren prapandemi.

Namun demikian, kendati outlook ekonomi global dinilai masih solid, risiko dan ketidakpastian masih sangat tinggi. Kehadiran varian Delta yang sangat menular membayangi upaya pengendalian pandemi dan pemulihan ekonomi di banyak negara. (LITBANG KOMPAS)

Penjelasan soal Forum G-20. Sumber: Kanal Youtube Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, 24 Februari 2020.

Referensi

Arsip Kompas
  • “Analisis Ekonomi: Pandemi dan Siklus Ekonomi”, Kompas, 17 Maret 2020, hlm. 01, 11
  • “Pandemi, Resesi, dan Mitigasi”, Kompas, 31 Maret 2020, hlm. 06
  • “Menyelamatkan Ekonomi Dunia * Sorotan Manca”, Kompas, 06 April 2020, hlm. 04
  • “Dampak Covid-19: Resesi Terburuk, Baru Pulih Tahun Depan”, Kompas, 16 April 2020, hlm. 04
  • “Menakar Imbas Ekonomi Covid-19”, Kompas, 29 April 2020, hlm. A
  • “Kerja Sama Asia Atasi Korona”, Kompas, 12 Juni 2020, hlm. 06
  • “Jalan Pelan Pemulihan Ekonomi * Sorotan Manca”, Kompas, 22 Juni 2020, hlm 04
  • “China-Uni Eropa: Sepakat Lanjutkan Kerja Sama Pulihkan Ekonomi”, Kompas, 23 Juni 2020, hlm. 04
  • “Dampak Covid-19: Ekonomi Global Tumbuh Negatif”, Kompas, 26 Juni 2020, hlm. 04
  • “Diplomasi RI di Masa Pandemi”, Kompas, 09 Juli 2020, hlm. 07
  • “Pandemi dan Ujian Ekonomi ASEAN”, Kompas, 09 Agustus 2020, hlm. 03
  • “Jalan Tengah Redam Pandemi * Sorotan Manca”, Kompas, 21 September 2020, hlm. 04
  • “Perdagangan Global: Pemulihan Bergantung pada Penanganan Pandemi”, Kompas, 13 Oktober 2020, hlm. 10
  • Peran G-20 Atasi Pandemi Global, Kompas, 21 November 2020, hlm. 06
  • “Krisis Covid Vs Ekonomi Hijau * Sorotan Manca”, Kompas, 29 Juni 2021, hlm. 04