KOMPAS/RIANA AFIFAH
Seorang ibu sedang menjalani tes deteksi dini demensia alzheimer di pelayanan kesehatan yang berada di acara Jalan Sehat Peduli Alzheimer, di Jakarta, Minggu (21/9/2014)
Fakta Singkat
- Satu dari sepuluh orang yang berusia di atas 65 tahun mengidap alzheimer.
- Setiap 3 detik satu penduduk dunia mengalami alzheimer.
- Sekitar 10 juta kasus baru penduduk dengan demensia terjadi setiap tahun
- Sekitar 60 persen penduduk dengan demensia tinggal di negara-negara beprenghasilan rendah (low income) dan menengah (middle income).
- Biaya penanganan demensia di dunia mencapai 818 miliar Dollar AS (2015), dan sekarang diperkirakan sekitar 1 biliun Dollar AS.
- Total populasi penduduk dengan demensia di dunia mencapai sekitar 46 juta orang (2015), dan diprediksi melonjak sampai sekitar 131,5 juta orang (2050).
- Di Indonesia, diperkirakan ada sekitar 1,2 juta penduduk dengan demensia pada tahun 2016, dan akan bertambah menjadi sekitar 2 juta orang (2030) dan 4 juta orang (2050).
Penerimaan masyarakat terhadap pengidap demensia dan alzheimer di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, terbilang tinggi meskipun mereka kurang memahami penyakit ini. Selama ini, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya memahami alzheimer. Sebagian besar orang selalu mengaitkan alzheimer dengan orang yang pikun. Hal tersebut juga kerap dianggap lumrah seiring menuanya usia.
Ternyata persepsi masyarakat selama ini kurang tepat. Sebetulnya, yang terjadi adalah demensia, atau gejala ketika otak mengalami gangguan dalam fungsi lainnya seperti membuat keputusan, komunikasi, perilaku dan emosi.
Pada 21 September 2021 menjadi tahun peringatan kesepuluh Hari Alzheimer Sedunia. Tema peringatan kali ini adalah “Know Dementia, Know Alzheimer’s”.
Pesan tema itu, masyarakat perlu selalu diingatkan akan tanda-tanda demensia. Hal ini juga sebetulnya menggugah agar setiap keluarga mencari informasi yang tepat (tentang alzheimer), agar mendapat saran dan dukungan yang benar dari sarana kesehatan maupun organisasi yang menangani masalah ini.
Tema itu juga tak lepas dari kondisi pandemi yang masih berkecamuk hingga kini. Kita semua berisiko tertular Covid-19. Namun, lansia dan mereka yang memiliki masalah kesehatan seperti hipertensi, jantung, maupun diabetes melitus cenderung mengalami gejala berat dari Covid-19. Pandemi juga rentan membuat lansia depresi dan kecemasan. Itu sebabnya lansia berisiko tinggi meninggal karena Covid-19.
Banyak yang menganggap wajar kalau seseorang bertambah tua berarti gampang lupa, dan kerap mengulang-ulang pertanyaan yang sama. Padahal semua ini adalah tanda-tanda dari demensia, yang salah satunya adalah alzheimer.
Sebanyak lebih kurang 70 persen kasus demensia adalah penyakit alzheimer (Kompas, 6/11/2017). Menurut Paola Barbarino, CEO Alzheimer’s Disease International (ADI), demensia tak terkait usia. Pada intinya, demensia terjadi jika terjadi penurunan fungsi otak secara progresif, dengan gejala seperti gangguan daya ingat, sulit fokus, disorientasi waktu dan tempat, serta perubahan sifat.
Meski demikian, demensia, khususnya demensia alzheimer, umumnya dialami lansia. Demensia kebanyakan dialami orang dengan rata-rata usia di atas 65 tahun.
KOMPAS/RIANA AFIFAH
Ibu dengan demensia alzheimer, Tien Suharya, mengikuti kegiatan Jalan Sehat Peduli Alzheimer di Jakarta, Minggu (21/9/2014). Tien ditemani suaminya, Yaya Suharya.
Apa itu Demensia dan Alzheimer?
Demensia merupakan istilah umum untuk menggambarkan kumpulan gejala penurunan fungsi kognitif seperti daya ingat, emosi, pengambilan keputusan, dan fungsi otak lainnya. Dalam kondisi yang sedemikian parah mengganggu kemampuan seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-hari, Activity Daily Living (ADL).
Sedangkan alzheimer adalah salah satu bentuk demensia yang paling sering terjadi. Penyakit ini secara perlahan menggerogoti memori dan kemampuan berpikir. Biasanya ini dimulai dari kehilangan daya ingat.
Alzheimer juga didefinisikan sebagai ganggunan penurunan fungsi otak yang mempengaruhi daya ingat, emosi, dan perilaku lainnya seperti pengambilan keputusan dan komunikasi. Satu dari sepuluh orang yang berusia di atas 65 tahun mengidap alzheimer. Setiap tiga detik, satu orang terdiagnosa alzheimer. Penyakit alzheimer adalah jenis demensia yang terbanyak, sekitar 60–70%.
Penyebab pasti penyakit alzheimer belum diketahui. Akan tetapi, alzheimer diduga terjadi karena pengendapan protein di dalam otak, sehingga menghalangi asupan nutrisi ke sel-sel otak.
Pada tahap awal, penderita penyakit alzheimer akan mengalami gangguan daya ingat yang sifatnya ringan atau pikun, seperti lupa nama benda atau tempat, serta lupa kejadian atau isi percakapan yang belum lama terjadi. Seiring waktu, gejala tersebut akan bertambah parah.
Pada tahap lanjut, penderita penyakit alzheimer sulit bicara atau menjelaskan suatu hal, sulit untuk merencanakan sesuatu, sulit membuat keputusan, kerap terlihat bingung, serta mengalami perubahan kepribadian. Pasien penyakit alzheimer juga biasanya akan kesulitan mengenal wajah orang lain.
Perlahan-lahan, semakin banyak bagian otak yang rusak, dan gejala yang timbul pun menjadi lebih parah. Semakin tua usia, semakin rentan untuk terkena penyakit ini. Demensia juga dapat biasanya disertai dengan gangguan perilaku dan kepribadian. Seperti depresi, halusinasi, agitasi, dan lainnya, sehingga memperberat perawatan dan pendampingannya.
Sumber: Kanal Youtube Alzheimer Indonesia, 19 Agustus 2019, Sepuluh Gejala Awal Alzheimer.
Faktor risiko Alzheimer
Terdapat sejumlah faktor risiko yang memicu demensia dan alzheimer, di antaranya penuaan, genetik, gender, dan etnis.
Penuaan (ageing)
Penuaan merupakan faktor utama dalam demensia. Satu dari 20 orang dengan demensia bisa muncul sebelum usia 65 tahun. Kemungkinan-kemungkinan seperti ini selalu berlangsung secara signifikan, terutama jika bertambah tua. Di atas usia 65 tahun, risiko terkena alzheimer dan lainnya semakin tinggi, dan biasanya rata-rata terjadi setiap umur bertambah lima tahun.
Sejumlah faktor terkait dengan hal ini adalah:
- Naiknya tekanan darah
- Risiko terkena penyakit kardiovaskular
- Perubahan pada sel-sel saraf, DNA dan struktur sel
- Menurunnya hormon seks setelah usia paruh baya
- Melambatnya proses tubuh dalam pertumbuhan sel baru
- Perubahan pada sistem imun
Genetik
Sejumlah ahli meyakini ada faktor keturunan (dari orangtua) yang berperan dalam sejumla penyakit yang diidap. Walaupun tidak secara langsung, ada sekitar 20 gen yang bisa mempengaruhi tubuh mengalami gangguan seperti demensia. Contohnya adalah beberapa varian dari gen apolipoprotein E (APOE) yang bisa meningkatkan risiko menderita alzheimer.
Gender
Perempuan lebih rentan terkena alzheimer dibandingkan laki-laki. Sejumlah penelitian menunjukkan alzheimer pada wanita terkait dengan menurunnya hormon estrogen setelah menopause. Di luar alzheimer, sebetulnya laki-laki dan perempuan punya risiko sama terhadap demensia yang lain seperti demensia vaskular.
Etnis
Penduduk di Asia Selatan mempunyai kecenderungan lebih besar terkena demensia dibandingkan negara lain di Eropa. Penduduk di Asia Selatan juga dikenal lebih banyak mengalami stroke, penyakit jantung dan diabetes melitus.
Demensia: Faktor pemicu dan penyebab
Penyebab demensia bisa sangat kompleks. Umumnya ada kombinasi antara usia, faktor genetis, dan lingkungan. Kondisi kesehatan seperti obesitas, kolesterol, diabetes, dan hipertensi juga bisa menjadi faktor munculnya demensia.
Hal lainnya, demensia bisa disebabkan faktor gaya hidup seperti kebiasaan mengonsumsi rokok dan minuman beralkohol, atau jarang berolahraga. Ada juga faktor lain, seperti cedera berat pada kepala atau leher atau down syndrome.
Pada alzheimer, biasanya terjadi penumpukan zat abnormal yang mengganggu sistem persinyalan antarsel saraf. Hal ini selanjutnya menyebabkan turunnya produksi sejumlah zat kimia penting dalam otak.
Zat kimia tersebut berfungsi sebagai saluran komunikasi antarsel saraf atau neurotransmitter. Penurunan neurotransmitter inilah yang sering membuat sel-sel saraf tidak bisa menyampaikan sinyal dengan baik.
Otak yang sehat terdiri dari miliaran neuron atau kumpulan sel yang mengantarkan impuls (rangsangan) dari reseptor panca indera ke otak dan sebaliknya. Sebagai pembentuk sistem saraf, neuron juga berperan penting dalam gerak refleks.
Menurut Yuliarni Syafrita, dalam Neurona (Juli 2010) penderita demensia umumnya butuh banyak bantuan, bahkan hampir seluruh aktivitasnya harus dibantu. Masalahnya, penyakit ini tidak bisa disembuhkan, dan pengobatan lebih bersifat penambahan (substitusi) zat (neurotransmitter) yang produksinya tidak memenuhi kebutuhan.
Ada juga faktor lain seperti cedera berat pada kepala atau leher, down syndrome, maupun dampak HIV. Walaupun usia menjadi faktor utama, penyakit ini juga bisa menyerang mereka yang kurang dari 60 tahun (Kompas, 2 Oktober 2017).
Mengacu pada laman Alzint.org, setiap tiga detik terjadi penambahan penduduk yang mengalami demensia. Sampai tahun 2020, sekitar 55 juta penduduk dunia mengalaminya. Angka itu akan menjadi dua kali lipat setiap 20 tahun. Jadi, pada tahun 2030 diperkirakan ada sekitar 78 juta penderita demensia, dan 139 juta di tahun 2050.
Populasi Penduduk Lanjut Usia 65 Tahun ke Atas 1990-2050 di Asia*
1990 | 2000 | 2010 | 2020 | 2030 | 2040 | 2040 | |
China | 5,5 | 6,8 | 8,2 | 11,7 | 15,9 | 21,8 | 23,3 |
Indonesia | 3,8 | 4,9 | 6,1 | 7,5 | 10,7 | 14,7 | 18,6 |
Korea | 5,0 | 7,3 | 11,0 | 15,4 | 23,2 | 30,2 | 34,2 |
Malaysia | 3,7 | 3,9 | 4,9 | 7,1 | 10,4 | 13,2 | 16,3 |
Filipina | 3,2 | 3,5 | 4,3 | 5,7 | 7,6 | 9,8 | 12,7 |
Singapura | 5,6 | 7,2 | 10,2 | 17,9 | 27,5 | 32,5 | 32,6 |
Thailand | 4,6 | 6,3 | 7,7 | 10,6 | 15,3 | 18,7 | 20,2 |
Vietnam | 4,7 | 5,6 | 6,3 | 7,8 | 12,4 | 17,3 | 20,0 |
*persen dari total populasi
Sumber : adb.org, dikutip oleh Litbang Kompas/KPP
Indonesia pun sudah mulai memasuki periode populasi menua (aging population) di mana umur harapan hidup meningkat, sementara jumlah lansia terus bertambah. Pada tahun 2010 jumlahnya masih sekitar 18 juta, lalu tahun 2019 mencapai 25,9 juta, dan hingga 2035 diprediksi sekitar 48 juta.
Kondisi demikian umumnya terjadi di negara-negara dengan ekonomi rendah dan menengah (60 persen), dan akan melonjak 71 persen pada tahun 2050. Pertumbuhan tercepat diprediksi akan terjadi di China, India, Asia Selatan, dan Pasifik Barat.
Artikel Terkait
Jenis-jenis Demensia
Jenis-jenis demensia yang dipaparkan National Institute on Aging, antara lain, demensia vaskuler, penyakit lewy body, dan demensia frontotemporal.
Demensia vaskuler, merupakan kerusakan daya kognitif (atau daya mengenali) yang disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah di otak. Biasanya ini dipicu oleh satu atau beberapa stroke (serangan otak) yang terjadi selama beberapa waktu. Gejala demensia ini kadang tampak sama seperti alzheimer.
Diagnosa dari demensia ini memperlihatkan penyakit pembuluh darah di otak dan fungsi kognitif yang terganggu dan menyulitkan hidup sehari-hari. Gejalanya bisa berupa tiba-tiba setelah suatu serangan otak, atau perlahan-lahan ketika penyakit pembuluh darah itu semakin serius. Gejala-gejalanya berbeda-beda, tergantung pada lokasi dan ukuran kerusakan otak. Bisa hanya mengenai satu, atau beberapa fungsi kognitif yang khusus.
Penyakit Lewy body
Penyakit ini biasanya mengacu pada gumpalan protein alpha-synuclein yang abnormal dan berkembang di dalam sel-sel saraf. Ketidaknormalan ini bisa terjadi di tempat-tempat tertentu di otak.
Penderita lewy body bisa merasakan naik-turunnya perhatian dan pemikiran. Contohnya, pada satu saat merasa semua normal-normal saja, namun kemudian merasa sangat bingung dalam waktu pendek. Tak jarang penderitanya juga kerap mengalami halusinasi visual.
Ada tiga penyakit yang mirip dan bisa digolongkan ke dalam Lewy Body, yaitu
- Demensia dengan Lewy body
- Penyakit Parkinson
- Demensia dengan Parkinson
Pada saat gejala-gejala pada pergerakan timbul lebih dulu, biasanya didiagnosa sebagai Parkinson. Ketika Parkinson berlanjut, umumnya penderita mengalami demensia. Penyakit Lewy body pun kerap terjadi bersamaan dengan alzheimer dan/atau demensia vaskuler.
Demensia Frontotemporal. Ini merupakan gangguan berupa kerusakan yang berangsur-angsur terjadi di bagian depan (frontal), dan/atau temporal dari lobus (caping) otak. Gejala-gejala yang sering muncul saat orang berusia 50-an, 60-an, bahkan kadang lebih awal.
Dalam demensia ini, perubahan yang terjadi adalah gejala dalam berkelakuan maupun kepribadian, serta kemampuan berbahasa. Namun, keduanya sering tumpang tindih, sehingga berkesan berkelakuan yang tidak bisa diterima masyarakat. Contohnya, tidak sopan, mengabaikan pekerjaan sehari-hari, tidak bisa mengendalikan keinginan atau mengulang-ulang, agresif, tidak bisa mengontrol diri atau bertindak ceroboh. Selain tingkah laku, penderitanya juga mengalami kesulitan mencari kata-kata, mengingat nama orang, dan kesukaran mengerti orang berbicara.
Artikel Terkait
Orang dengan Demensia
Masalah alzheimer di Indonesia cukup serius. Ada tiga aspek tentang hal ini, yaitu data prevalensi, miskonsepsi, dan rendahnya pendidikan pelaku rawat (carer). Basis data nasional prevalensi alzheimer hingga kini belum ada. Ini disebabkan oleh pelaporan kasus-kasus demensia umumnya tidak berbasis fasilitas kesehatan seperti puskesmas atau rumah sakit.
Yang banyak terjadi adalah orang dengan demensia (ODD) dianggap cukup tinggal di rumah bersama keluarga. Kondisi ini semakin diperparah jika ada lansia yang mengalami gangguan. Banyak keluarga yang merasa malu jika hal ini diketahui masyarakat. Itu sebabnya banyak yang tak mau melapor karena malu.
Kendala lainnya adalah registrasi. Menurut dr. Yuda Taruna, dokter spesialis saraf yang juga pembina Alzheimer Indonesia (ALZI), upaya ini pernah dicoba melalui Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), tetapi kerap terbentur kesulitan. Teknis pendataannya memerlukan daftar pertanyaan yang panjang, dan belum lagi pengukuran yang butuh waktu lama.
Aspek berikutnya adalah miskonsepsi. Hasil “World Alzheimer Report 2019”, yang mencakup pandangan ODD, tenaga kesehatan, dan pelaku rawat (carer, atau caregiver), memperlihatkan sejumlah kesalahpahaman maupun keengganan dalam menangani penyakit itu. Misalnya, sekitar 62 persen tenaga kesehatan (nakes) masih menganggap demensia wajar terjadi di usia tua. Begitu pula pandangan para ODD, sekitar 40 persen merasa para nakes kurang peduli pada mereka, bahkan suka dijadikan bahan olok-olok.
Riset Demensia yang melibatkan 70 ribu responden di 155 negara (termasuk Indonesia), ini juga menunjukkan, sekitar 35 persen carer enggan mengungkapkan kondisi ODD. Lebih dari 60 persen carer menyatakan kehidupan sosialnya jadi berantakan karena tugas berat mengurusi lansia dengan demensia.
Populasi Penduduk dengan Demensia di Negara Berpenghasilan Rendah dan Menengah dan Negara Penghasilan Tinggi (dalam juta)
Tahun | Berpenghasilan Rendah dan Menengah | Penghasilan Tinggi |
2015 | 29,83 | 20,09 |
2020 | 35,89 | 22,78 |
2025 | 43,43 | 25,77 |
2030 | 52,88 | 29,17 |
2035 | 64,28 | 33,16 |
2040 | 77,42 | 37,41 |
2045 | 92,22 | 41,06 |
2050 | 107,94 | 44,30 |
Sumber : alzint.org, dikutip oleh Litbang Kompas/KPP
Dalam konteks perawatan Alzheimer, istilah carer menjadi kata kunci. Ini berbeda dengan perawat (medis) maupun pengasuh (bayaran) yang lazim untuk anak-anak atau bayi. “Kita mau menghindari stigma bahwa lansia sama dengan anak-anak,” ungkap dr. Tara P Sani, M.Sc., peneliti, dosen Unika Atma Jaya.
Yang banyak terjadi di Indonesia adalah ODD tinggal (atau dirawat) bersama keluarga. Artinya, bersama carer informal yang tidak mendapat pendidikan formal atau sertifikasi. Mereka ini bisa berupa anggota keluarga inti, tetangga, keluarga lain yang membantu tanpa bayaran, atau asisten rumah tangga yang tak punya background training tentang lansia. Ini juga bisa dilhat dari persentase penduduk lansia menurut status tinggal, yaitu tinggal sendiri (9,38 persen), bersama pasangan (20,03 persen), bersama keluarga (27,30 persen), tiga generasi (40,64 persen), dan lainnya (2,66 persen) (Statistik Penduduk Lanjut Usia 2019, BPS).
Disadari atau tidak, kehidupan kita dikelilingi oleh penduduk usia tua. Indonesia mulai memasuki periode populasi menua (aging population), yakni umur harapan hidup meningkat, dan jumlah lansia terus bertambah.
Pada 2010, populasi lansia masih sekitar 18 juta, lalu tahun 2019 mencapai 25,9 juta, dan hingga 2035 diprediksi sekitar 48 juta. Dengan kata lain, penting bagi masyarakat Indonesia untuk memperhatikan kebutuhan warga lanjut usia (lansia) mengingat mereka lebih rentan mengalami alzheimer.
Penduduk Lanjut Usia Indonesia 2019 (dalam persen)
Perkotaan | Perdesaan | |
Lansia Muda 60-69 tahun | 64,59 | 62,95 |
Lansia Madya 70-79 tahun | 27,52 | 27,87 |
Lansia Tua 80 + | 7,89 | 9,18 |
Sumber : Statistik Penduduk Lanjut Usia 2019, BPS / dikutip oleh Litbang Kompas / KPP
Struktur Penduduk Tua di 5 Provinsi Indonesia*
Provinsi | Persen |
DI Yogyakarta | 14,50 |
Jawa Tengah | 13,36 |
Jawa Timur | 12,96 |
Bali | 11,30 |
Sulawesi Barat | 11,15 |
*Penduduk Lansia yang sudah mencapai 10 persen
Sumber : Statistik Penduduk Lanjut Usia 2019, BPS, dikutip oleh Litbang Kompas / KPP
Artikel Terkait
Riset pengobatan
Dalam dunia medis, nama alzheimer bermula dari Alois Alheimer, seorang ahli psikiatri dan neuropatologi Jerman. Tahun 1906 ia menemukan kasus penyakit langka berupa kondisi otak seorang perempuan yang abnormal dan menyebabkan penurunan memori, disorientasi, halusinasi, yang berakhir dengan kematian.
Pasien tersebut mengalami gangguan memori (lupa), bahasa, dan perilaku yang tak biasa. Setelah pasien tersebut meninggal, Alois menemukan adanya gumpalan atau plak amyloid, dan belitan-belitan neurofibriler (neurofibrillary tangles).
Plak adalah kumpulan protein yang abnormal yang lazim disebut beta amyloid (BA). Sedangkan belitan tersebut adalah adalah kumpulan serat (yang berbelit-belit) yang terdiri dari protein yang biasa diistilahkan sebagai tau. Plak dan belitan serat inilah yang menghambat komunikasi antarsel-sel saraf dan menyebabkan sel-sel tersebut mati.
Riset tentang pengobatan alzheimer bisa dibilang cukup banyak. Salah satunya adalah BA yang mengganggu fungsi neuron. BA berperan penting dalam patogenesis demensia. Dalam beberapa percobaan, imunisasi unsur ini menyebabkan berkurangnya penumpukan (BA) di otak yang diikuti dengan perbaikan kognitif. Sebaliknya, peningkatan kadar BA berdampak pada penurunan fungsi kognitif .
Perusahaan farmasi Ely Lilly di Indianapolis, Amerika Serikat, baru-baru ini merilis percobaan obat Donanemab untuk memperlambat penurunan kognitif. Percobaan ini dimuat di TheScientist edisi 16 Maret 2021.
Walaupun masih dalam fase kedua, dalam percobaan ini 32 persen penderita yang mencoba ini mengalami perlambatan dibandingkan dengan kelompok yang diberi plasebo. Salah satu hasil yang signifikan adalah unsur plak yang secara perlahan berkurang selama enam sampai 12 bulan.
Sejumlah langkah pengobatan bisa ditempuh bagi penderita Alzheimer.
1. Obat-obatan
Obat Alzheimer saat ini dapat membantu dengan gejala memori dan perubahan kognitif lainnya. Jenis obat saat ini yang digunakan untuk mengobati gejala kognitif, yaitu:
- Inhibitor kolinesterase.
- Memantine (Namenda).
- Obat anti-depresan.
- Obat anti-kecemasan
2. Menciptakan Lingkungan yang Aman dan Suportif
Penyesuaian situasi hidup dengan kebutuhan seseorang dengan Alzheimer adalah hal penting dari setiap rencana perawatan. Untuk seseorang dengan Alzheimer, membangun dan memperkuat kebiasaan rutin dan meminimalisir tugas yang membutuhkan memori dapat membuat hidup mereka berjalan jauh lebih mudah.
3. Olahraga
Olahraga rutin adalah hal penting untuk pengidap Alzheimer, karena dapat meningkatkan mood dan menjaga kesehatan sendi, otot, dan jantung. Olahraga juga dapat membantu meningkatkan kualitas tidur dan mencegah konstipasi. Pastikan pengidap memakai tag nama berisikan alamat dan nomor yang dapat dihubungi setiap kali pengidap pergi berolahraga atau berjalan.
4. Nutrisi
Orang dengan Alzheimer sering kali lupa makan, kehilangan minat dalam menyiapkan makanan atau tidak mau makan kombinasi makanan yang sehat. Mereka mungkin juga lupa minum cukup banyak, menyebabkan dehidrasi dan sembelit.
KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Mira dengan instalasinya “Rekam Jejak Seorang Demensia” yang digelar di Galeri Nasional Indonesia 8-19 Agustus 2018.
Pencegahan
Hingga saat ini, belum ada cara yang terbukti untuk mencegah penyakit alzheimer. Riset tentang strategi pencegahan sedang dan masih terus berlangsung. Bukti terkuat sejauh ini menunjukkan bahwa risiko penyakit alzheimer dapat diturunkan dengan mengurangi risiko penyakit jantung.
Banyak faktor yang sama yang mampu tingkatkan risiko penyakit jantung juga dapat meningkatkan risiko penyakit alzheimer dan demensia vaskular. Faktor-faktor penting yang mungkin terlibat termasuk tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, berat badan berlebih, dan diabetes.
Diet mediterania, yaitu cara makan yang menekankan produk segar, minyak sehat, dan makanan rendah lemak jenuh, sehigga dapat menurunkan risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular dan stroke. Pola makan ini juga dikaitkan dengan penurunan risiko penyakit alzheimer. Tetap aktif secara fisik, mental, dan sosial juga mampu membuat hidup lebih menyenangkan dan juga dapat membantu mengurangi risiko alzheimer.
Sejumlah upaya mengurangi risiko demensia
1. Lakukan kegiatan fisik secara rutin. Hal ini setidaknya menyehatkan jantung, sirkulasi, berat badan dan kesehatan mental.
2. Usahakan pola makan sehat dan berimbang. Selain demensia, diet ini bisa mengurangi risiko kanker, diabetes melitus tipe 2, obesitas, stroke dan penyakit jantung.
3. Tidak merokok.
4. Kurangi minuman beralkohol.
5. Latih pikiran.
6. Jaga kesehatan fisik dan mental
Pada akhirnya, harus disadari keluarga menjadi fondasi untuk perawatan penderita. Upaya pendampingan dari pemerintah, kerabat, dan tetangga bagi keluarga yang anggotanya merawat lansia, termasuk adanya sosialisasi dan pelatihan merupakan hal penting karena pada dasarnya demensia maupun alzheimer merupakan siklus yang bisa dialami siapa saja ketika memasuki usia senja. (LITBANG KOMPAS)
Artiket Terkait