Paparan Topik | Keanekaragaman Hayati

Konservasi Gajah di Indonesia

Populasi satwa di Indonesia selalu mengalami persoalan, seperti hilangnya habitat satwa yang menyebabkan populasinya terus menurun. Sejak 2012, Badan Konservasi Dunia menyatakan gajah sumatera termasuk populasi kritis (critically endangered).

KOMPAS/IRMA TAMBUNAN

Setelah enam bulan terpisah dari rombongan induknya, seekor bayi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dibantu tim gabungan konservasi satwa di Jambi bertemu keluarga besarnya. Perjalanan translokasi itu memakan satu hari satu malam lamanya menempuh perjalanan darat 120 kilometer melewati jalur lintas hingga menembus belantara di ekosistem Bukit Tigapuluh. Tampak bayi gajah di antara semak di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Rabu (25/8/2021).

Fakta Singkat

Upaya konservasi satwa dilakukan melalui:

  • UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
  • PP 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa
  • Inpres Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pengarusutamaan Pelestarian Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Berkelanjutan

Sebanyak 85 persen gajah sumatera saat ini sudah berada di luar wilayah konservasinya.

Pembangunan green barrier atau pembatas hijau sebagai salah satu upaya agar gajah tidak masuk ke perkebunan tetapi tetap menjaga jalur jelajah gajah.

Pembukaan lahan baru dengan membabat hutan menjadi hutan industri atau perkebunan dan permukiman mengurangi areal habitat gajah.

Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) termasuk satu satunya kelompok gajah paling terpuruk di dunia, meskipun gajah kalimantan (Elephas maximus borneensis) sudah masuk kategori terancam (endangered).

Dalam konvensi tentang Perdagangan Internasional Satwa dan Tumbuhan (CITES), gajah sumatera dan gajah kalimantan dimasukkan dalam Appendix I di Indonesia sejak tahun 1990. Artinya, gajah sumatera dan gajah kalimantan tidak boleh diperjualanbelikan sebagai hewan utuh ataupun bagian tubuh satwa tersebut.

Namun faktanya, perburuan terhadap gajah tetap terjadi. Masih ditemukan jejak bekas pembunuhan gajah untuk diambil gadingnya, karena di pasar perdagangan gelap internasional gading gajah dihargai sangat mahal.

Menurut catatan Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), pada tahun 2020 terjadi 19 kematian gajah liar di lokasi Jambi, Aceh, dan Riau meningkat dari 9 kasus kematian pada tahun 2019.

Terhitung dalam sepuluh tahun terahir (2011–2020) kasus kematian gajah mencapai 189 ekor, mayoritas mati karena jerat listrik, perburuan, racun, dan sling baja, hanya tiga yang mati alami.

Persoalan terbesar bagi gajah sumatera adalah hilangnya kawasan habitat mereka. Hutan tropis yang secara masif terus berubah hilang menjadi hutan industri, perkebunan masyarakat atau permukiman yang dimulai sejak adanya progam transmigrasi ke Sumatera pada tahun 1970-an yang hingga kini terus terjadi.

Bahkan, lebih buruk lagi adalah jalur yang selalu dilintasi gajah telah diubah menjadi perkebunan. Maka dari itu, tidak heran jika terjadi kasus gajah merusak kebun masyarakat.

KOMPAS/RHAMA PURNA JATI

Petugas dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan memasang kalung sistem pemosisian global pada gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) liar, Meisi (30) di konsesi Asia Pulp and Paper Sinar Mas, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Jumat (13/5/2022). Alat ini digunakan untuk memantau dan mengawasi pergerakan gajah liar agar terhindar dari risiko konflik.

Habitat dan kehidupan gajah

Gajah diklasifikasikan dalam keluarga Elephantidae, dan yang masih ada, yakni jenis Elephas dan Loxodonta. Jenis Elephas maximus disebut gajah Asia sedangkan Loxondonta ada dua jenis, yaitu Loxodonta Africana dan Loxodonta cyclotis, keduanya termasuk gajah Afrika.

Di Indonesia, gajah yang berasal dari Pulau Sumatera termasuk Elephas Maximus Sumatranus. Adapun yang berasal dari kalimantan disebut Elephas maximus bornensis.

Gajah Indonesia paling tinggi maksimal 3 meter dengan berat 5 ton, memiliki postur tubuh lebih kecil dibandingkan dengan gajah India dan gajah Thailand yang bisa mencapai tinggi 5 meter dan berat hingga 7 ton. Gajah kalimantan bahkan disebut gajah mini karena ukurannya jauh lebih kecil dari gajah sumatera, yaitu maksimal tinggi 2,5 meter.

Taksonomi gajah sumatera

  • Kingdom: animalia
  • Filum: chordata
  • Kelas: mamalia
  • Ordo: proboscidea
  • Family: elephantidae
  • Genus: elephas
  • Spesies: elephamus maximus
  • Subspesies: elephas maximus sumatranus

Dilihat dari taksonominya, gajah kalimantan memiliki ciri tersendiri, sehingga masuk dalam  kategori subspecies tersendiri yang terpisah dari spesies gajah lainnya. Gajah kalimantan yang memiliki postur kecil  sering disebut dengan gajah kerdil.

Gajah adalah hewan nocturnal aktif di malam hari. Mereka selalu bergerak bisa mencapai 20 kilometer setap harinya untuk mencari makan dan minum, dan tidak berhenti makan termasuk di malam hari.

Gajah hanya membutuhkan waktu empat jam untuk tidur, selebihnya bergerak dan bermain sehingga gajah membutuhkan ruang spasial yang sangat luas untuk pergerakan hidup mereka. Disebutkan luasan wilayah untuk gajah minimal 32,4 hingga 166,9 kilometer persegi, sesuai dengan jalur mereka, yaitu dataran rendah dan landai, bukan jurang atau tebing. Walaupun ditemukan gajah di hutan Gunung Kerinci dengan ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut, tetapi ini kasus yang sangat jarang terjadi.

Meskipun dahulu gajah memiliki adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan, tetapi karena aktifitas mereka sudah dibatasi oleh manusia, akhirnya adaptasi mereka hanya pada ruang yang sempit. Habitat gajah sangat dipengaruhi musim, ketika kemarau mereka akan datang di wilayah dataran rendah untuk mencari makan dan minum saat musim hujan mereka akan pergi ke wilayah dataran tinggi.

Gajah memakan rumput-rumputan, daun, ranting, umbi-umbian, rotan, kulit batang pohon dan buah-buahan, serta berbagai tanaman budidaya. Gajah membutuhkan makanan antara 200 – 300 kg atau sepuluh persen bobot tubuh mereka, membutuhkan minum 20 – 50 liter setiap harinya, dan sekali isap bisa menghabiskan sembilan liter. Pada musim kemarau, gajah bisa menggali air di dasar sungai yang mengering hingga kedalaman satu meter.

Kebiasaan gajah yang selalu makan dan buang feses setiap satu jam ternyata memberikan manfaat lain pada hutan. Di dalam hutan tropis tertutup pergerakan gajah mampu membuka ruang sinar  matahari di dalam hutan,  kotoran gajah menjadi pupuk bagi tanah sekaligus benih di hutan belantara. Itulah sebabnya gajah termasuk spesies payung (umbrella species) di dalam hutan, karena turut melestarikan penghijauan dalam hutan.

Gajah memiliki masa periode musth, yaitu periode produksi hormon testosteron yang menyebabkan gajah dianggap siap kawin. Usia produksi musth berkisar antara 12–15 tahun. Saat gajah jantan mengalami musth, maka akan terjadi perubahan perilaku, yaitu nafsu makan menurun, gerakan lebih agresif dan suka mengendus-endus dengan belalainya. Sikap agresif gajah memiliki siklus 3–5 bulan dan berlangsung selama satu hingga empat minggu. Gajah jantan akan lebih sering meneteskan urin, dari dahinya sering mengeluarkan kelanjar keringat yang berbau menyengat, dan penisnya sering keluar.

Sedangkan pada gajah betina dapat melahirkan anak pada usia 9–10 tahun dengan usia kehamilan 22 bulan. Dalam satu kali kehamilan biasanya hanya melahirkan satu anak, tetapi kadang bisa kembar dua anak, walaupun fenomena ini jarang terjadi.

Bayi gajah yang baru lahir bisa mencapai berat 40–80 kg dengan tinggi 75–100 cm dan akan diasuh induknya hingga berusia 18 bulan hingga 24 bulan. Gajah betina akan kawin kembali setelah berhenti menyusui anaknya, bahkan hingga anaknya berumur empat tahun, setidaknya maksimal gajah hanya akan dua kali hamil dalam kurun waktu enam tahun.

Gajah adalah hewan yang hidup berkelompok antara 20–35 ekor, walaupun ada pula gajah yang hanya berkumpul tiga ekor. Jumlah anggota kelompok gajah tentunya sangat dipengaruhi oleh habitatnya. Jika habitatnya asri, aman jauh dari jangkauan manusia atau gangguan ,dan mereka dapat bergerak hingga sejauh 20 km tiap harinya, gajah dapat berkelompok dalam jumlah besar.

Setiap kelompok gajah dipimpin oleh betina dewasa, sedangkan gajah jantan ada dalam kelompok hanya saat periode tertentu saja, biasanya gajah tua akan memisahkan diri dari kelompoknya hingga pada akhirnya mati. Gajah sumatera sangat peka akan bunyi-bunyian. Untuk perkawinan, gajah membutuhkan suasana tenang dan nyaman. Oleh karena itu, suara kerja manusia seperti mesin gergaji dan alat berat sangat mengganggu perkembangbiakan gajah.

Sementara itu, gajah kalimantan disebut-sebut sebagai hewan asli kalimantan yang memiliki spesies berbeda dengan spesies gajah lainnya di dunia. Walaupun para peneliti gajah menyakini bahwa pada abad ke-17 kemungkinan Raja Filipina memperkenalkan gajah dari Kepulauan Sulu.

Pada periode 2018–2019 dilakukan riset  populasi gajah kalimantan ditemukan jejak gajah berdasarkan kotoran mereka, ditemukan sekelompok gajah di Tompilon-Apaan-Tinampak. Gajah yang terlihat di Tulin,Onsoi sangat memprihatinkan karena dua kelompok kecil terlihat tidak mampu memiliki keturunan karena jumlahnya sedikit.

Ciri-ciri gajah sumatera:

  • Kulit gajah terlihat lebih terang daripada gajah Asia lainnya dan di bagian kuping gajah terlihat depigmentasi seperti flek putih kemerahan
  • Gajah jantan memiliki gading yang panjang, sedangkan betina gading sangat pendek sering disebut caling.
  • Bagian atas kepala gajah sumatera memiliki dua tonjolan, gajah Afrika cenderung datar
  • Kuping gajah sumatera kecil berbentuk segitiga, sedangkan gajah Afrika lebar berbentuk kotak.
  • Gajah sumatera memiliki 5 kuku di bagian depan dan 4 kuku di bagian belakang.
  • Bobot gajah sumatera berkisar 3–5 ton dengan tinggi antara 2–3 meter

KOMPAS/PANDU WIYOGA

Empat ekor gajah binaan Pusat Latihan Gajah Minas melewati terowongan di bawah Jalan Tol Pekanbaru-Dumai, Provinsi Riau, Sabtu (4/12/2021). Jalan tol sepanjang 131 kilometer itu dilengkapi dengan lima terowongan yang telah didesain agar aman dilintasi gajah sumatera.

Sebaran Gajah Sumatera dan Kalimantan

Gajah sumatera hidup di hutan dataran rendah dibawa 300 dpl dengan jenis hutan kawasan rawa dan hutan gambut. Populasi di Sumatera tersebar di tujuh propinsi, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan dan Lampung, dengan Riau sebagai pusat konservasi gajah Sumatera.

Lampung sebagai lokasi pemantauan terhadap gajah dengan memanfaatkan dua taman nasional. Taman Nasional Way Kambas (TNWK) yang berlokasi di Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang wilayahnya meliputi Kabupaten Lampung Barat hingga Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu. TNBBS adalah adalah areal hutan hujan tropis yang berada di dataran rendah dengan luas areal 365.000 hektar sebagai hutan terbesar ketiga di Pulau Sumatera.

Populasi gajah sumatera pada tahun 2007 diperkirakan 2.400–2.800 ekor, sedangkan sebelumnya, yakni pada tahun 1985 diperkirakan masih ada 4.000 ekor. Penyusutan jumlah gajah karena habitat mereka yang terus menyusut, dalam 25 tahun Pulau Sumatera telah kehilangan 70 persen luas hutan tropisnya.

Di Aceh, jumlah individu gajah dari tahun ke tahun terus berkurang, jika tahun 1996 jumlahnya berkisar 600–700 ekor, maka pada tahun 2007 hanya berkisar 350–450 artinya dalam sepuluh tahun populasi gajah berkurang 40 persen.

Sementara itu, gajah kalimantan persebarannya terdapat di wilayah utara Kalimantan, yaitu Kalimanta Utara dan Sabah (Malaysia) yang hidup di ketinggian 300–1500 meter di atas permukaan laut. Di Kalimantan masih terdapat gajah liar di hutan dipterocarpaceae.

Namun, ada pula gajah kalimantan yang hidup di wilayah yang sudah terkonversi untuk kebun dan pemukiman. Pada tahun 2010 populasi gajah di Kalimantan Utara diperkirakan tinggal 20–80 ekor. Sementara itu, jika diperkirakan total keseluruhan gajah yang tinggal di jalur gajah Sabah-Kalimantan berkisar 1.184 ekor atau individu.

Gajah kalimantan habitat terbesarnya dapat ditemui di daerah aliran Sungai Agison dan Sungai Sibuda di bagaian barat, sedangkan Sungai Apan dan Sungai Tampilon di bagian timur. Walapun gajah paling sering ditemui di hulu Sungai Agison yang masuk dalam wilayah Sabah.

KOMPAS/SRI REJEKI

Seekor gajah mengajak pawangnya bercanda dengan mengambil topi sang pawang (6/4/2018).

Deforestasi pengaruhi habitat gajah

Kebijakan pembukaan hutan sudah dimulai sejak awal pengiriman transmigrasi dari Pulau Jawa ke luar Jawa. Sejak Pelita I (Pembangunan Lima Tahun) pada awal pemerintahan Orde Baru pada 1969, program transmigrasi dijalankan tujuan pembukaan lahan dan distribusi penyebaran penduduk di Indonesia. Hanya saja rencana pembangunan kewilayahan ini tidak dibarengi dengan kebijakan pemeliharan habitat yang tergusur dan rusak akibat pembabatan hutan.

Pada 1982, pada tahun 1982 ketika Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim menerima laporan transmigran di Sumatera Selatan yang menyampaikan jika tentara akan menembaki gajah karena dianggap menggangu kebun para transmigran. Emil Salim selanjutnya melapor pada Presiden Soeharto yang meminta pemindahan gajah, bukan dengan cara dibunuh. Akhirnya, dilakukan prosedur sederhana, yaitu menggiring 232 gajah ditranslokasikan sejauh 70 kilometer hanya dengan  bantuan alat bunyi-bunyian sederhana yang dilakukan oleh 400 orang tentara dan masyarakat sekitarnya.

Selama masa Orde Baru, sejak Repelita pertama pada tahun 1969 hingga seluruh Pelita selalu memiliki progam transmigrasi dan pembukaan hutan tropis menjadi perkebunan dan permukinan penduduk. Namun, hal tersebut tidak dibarengi dengan kebijakan politik untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup satwa asli Indonesia, kondisi ini diperparah dengan pemberian konsesi lahan pada perusahaan Hutan Tanaman Industri.

Pada tahun 2010, Departemen Kehutanan mengalokasikan kawasan hutan konservasi di Bukit Tiga Puluh, Jambi untuk hutan tanaman industri. Izin prinsip 61.496 hektare diberikan kepada PT Lestari Asri Jaya di hutan produksi eks HPH PT IFA dan 52.000 hektare kepada PT Rimbani Hutani Mas di hutan produksi eks HPH PT Dalek Hutani Esa.

Kedua lokasi tersebut merupakan habitat satwa kunci sumatera, seperti orangutan, harimau, gajah, dan tapir, serta sejumlah suku terasing di Propinsi Jambi. Hal yang sama terjadi pada tahun 2010, yaitu hilangnya Suaka Margasatwa Balai Raja di Desa Sebangga, Duri, Riau, sekitar 16.000 hektare yang pada tahun 1990 ditetapkan sebagai wilayah konservasi gajah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.

Akibatnya, habitat gajah justru ditempatkan di perbukitan yang curam, sehingga menyulitkan gerak hidup gajah. Akhirnya, gajah mencari area landai yang memungkinkan bagi mereka untuk menemukan sungai, bahkan jalur yang biasa dipakai rombongan gajah sudah berubah menjadi perkebunan.

Di Provinsi Riau, yakni di Hutan Talang difungsikan sebagai areal konservasi gajah sumatera. Namun, pemerintah pusat berencana membangun jalan lingkar di propinsi itu yang mengakibatkan terganggunya hutan konservasi gajah sumatera, hingga mengurangi area bagi satwa yang sudah berada dalam ambang kritis tersebut.

Data Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh menunjukkan pada 2016–2019 di wilayah Aceh kehilangan tutupan hutan seluas 69.091 hektare. Sebagian hutan yang rusak berada di koridor gajah, seperti di Aceh Timur, Pidie, Aceh Jaya, dan Utara.

Untuk gajah kalimantan, kerusakan dan pembabatan lahan pada jalur mereka, yaitu Sungai Agison Sabah ke Sungai Sebuku, Nunukan di Kalimantan Utara turut mengurangi habitat gajah.

KOMPAS/IRMA TAMBUNAN

Kawanan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) melintasi semak belukar di Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi, Jumat (14/2/2020). Kawanan gajah itu kian terdesak oleh berbagai aktivitas manusia dalam hutan. Upaya konservasi mendesak dilakukan demi menghindari kepunahan satwa dilindungi tersebut.

Konflik Manusia dan Satwa

Ketika satwa liar kehilangan habitatnya maka satwa tersebut akan terus bertahan hidup dengan mencari makan di area yang biasa ia datangi hingga akhirnya terjadi konflik manusia dengan satwa.

Pada tahun 2009 di Propinsi NAD tercatat terjadi 33 kasus konflik satwa gajah dan harimau yang menyerang perkebunan masyarakat, seperti sawit, palawija dan jagung.

Kondisi gajah dan habitatnya semakin tergusur, sekitar 85 persen gajah sudah berada di luar wilayah konservasinya. BKSDA Aceh melaporkan sejak 2016 hingga 2020, sebanyak 42 ekor gajah mati atau berkisar 8–9 ekor gajah mati per tahun.

Penyebab kematian gajah, yakni 57 persen karena konflik, 33 persen mati alami, dan 10 persen karena perburuan. Hingga Februari 2021, diperkirakan populasi gajah di Aceh tersisa 539 ekor, yang tersebar di 15 kabupaten dan kota yang paling banyak berada di Pidie, Aceh Timur, Bener Meriah, dan Aceh Jaya.

BKSDA pusat dan Frankfurt Zoological Society mencatat jejak konflik manusia dan gajah sumatera. Pada 2010, terpantau 96 konflik bahkan semakin parah pada 2018 terpantau 346 insiden. Pada 2019 terpantau 190 insiden, sementara pada 2020 terpantau 276 insiden.

Masyarakat tentunya tidak dapat menyalahkan satwa yang merusak perkebunan mereka, apalagi jika sejak awal sudah mengetahui bahwa kebun mereka berdiri atas lintasan gajah mencari makanan.

Upaya menghindari gajah merusak perkebunan:

  • Hindari membeli lahan yang berdekatan dengan habitat gajah sumatera. Perlu dilakukan pengecekan apakah lahan tersebut merupakan jalur perjalanan gajah atau bukan.
  • Bersihkan rumah khususnya pekarangan dari semak belukar secara rutin. Sebab, gajah menyukai area yang teduh seperti semak belukar. Selain itu, sebaiknya tidak memelihara binatang penjaga seperti anjing, karena gajah mempunyai kecenderungan untuk  mengejar binatang yang mengeluarkan teriakan padanya.
  • Mendirikan menara pengawas di sekitar lahan perkebunan atau lahan pertanian untuk memantau jika ada pergerakan tidak seharusnya yang mendekat. Selain itu, perlu dilakukan juga untuk membuat parit di sekitar menara dan lahan perkebunan agar gajah tidak bisa masuk.
  • Menyalakan lampu minyak di sekeliling lahan perkebunan dan pertanian. Upaya tersebut akan membuat gajah mengira bahwa kawasan tersebut dihuni oleh manusia, sehingga enggan untuk mendekat.

Selain karena pembabatan hutan, gading gajah memiliki harga sangat mahal di pasar internasional. Oleh karena itu, perburuan gading gajah menjadi persoalan sejak dahulu khususnya gajah jantan yang memiliki gading sangat panjang.

Perdagangan gading gajah pernah terungkap di Nunukan dan Tarakan, Kalimantan Utara pada 2018. Kasus kematian gajah cukup memprihatinkan, karena pada tahun 2013 diketahui 10 ekor gajah mati karena diracun, dan hingga pertengahan tahun 2018 diketahui ada 25 gajah yang mati.

KOMPAS/IRMA TAMBUNAN

Setelah menjalani proses translokasi selama 36 jam, seekor gajah liar dispersal dari ekosistem Bukit Tigapuluh, Kabupaten Tebo,tiba di habitat barunya di Hutan Harapan, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Sabtu (6/10/2018) dinihari. Penggiringan gajah liar itu dibantu tiga gajah terlatih yang didatangkan dari Pusat Pelatihan Gajah Minas, Riau. Translokasi itu menjadi bagian penyelamatan gajah tersisa dari ancaman konflik dan kepunahan.

Strategi konservasi

Pemerintah membangun konservasi habitat gajah dengan dideklarasikannya Taman Nasional Tesso Nilo di Riau (tahap I seluas 38,576 ha) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (dulunya Departemen Kehutanan) pada tahun 2004.

Pada tahun 2006, Menteri Kehutanan menetapkan Provinsi Riau sebagai Pusat Konservasi Gajah Sumatera melalui Permenhut No. 5/2006. Hal ini merupakan langkah besar bagi penyelamatan habitat gajah.

Di bawah pemerintahan Presiden Jokowi, pemerintah membentuk Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) gajah 2020–2030 yang digagas Direktorat Jendral Konservasi dan Sumber Daya Alam Ekosistem Kementrian Lingkungan dan Kehutanan (KLHK).

Tujuan dari SRAK untuk melakukan perubahan:

  • Terbangunnya sistem dan informasi konservasi gajah
  • Menurunnya 75 persen konflik manusia dan gajah di lima provinnsi prioritas
  • Penurunan tingkat kematian gajah
  • Meningkatnya angka kelahiran gajah
  • Rehabilitasi minimal 200.000 hektare habitat gajah
  • Meningkatnya dukungan pemerintah, masyarakat dan pihak stakeholder lainnya.

Salah satu upaya yang dilakukan pihak swasta atau stakeholder peduli gajah sumatera adalah dengan membentuk tim patroli Flying Squad tahun 2004 di desa Tesso Nilo. Tim ini terdiri dari sembilan orang pawang dan empat gajah terlatih. Tugasnya adalah menghalau gajah liar yang masuk ke dalam area perkebunan masyarakat hingga mengurangi konflik gajah dan manusia.

Persoalannya adalah jika lokasi gajah liar dan lokasi Flying Squad sangat jauh berbeda propinsi, maka memindahkan Flying Squad ke area yang bermasalah menjadi persoalan tersendiri.

KOMPAS/ZULKARNAINI

Warga bermain dengan Intan bayi gajah sumatera yang berusia tiga bulan di Conservation Response Unit (CRU), Trumon, Aceh Selatan, Aceh, Rabu (10/5/2017). Populasi gajah sumatera di Aceh kian menyusut akibat perburuan dan menyempitnya habitat. Jumlah populasi gajah di Aceh diperkirakan tersisa 500 ekor.

Strategi konservasi

Pemerintah membangun konservasi habitat gajah dengan dideklarasikannya Taman Nasional Tesso Nilo di Riau (tahap I seluas 38,576 ha) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (dulunya Departemen Kehutanan) pada tahun 2004.

Pada tahun 2006, Menteri Kehutanan menetapkan Provinsi Riau sebagai Pusat Konservasi Gajah Sumatera melalui Permenhut No. 5/2006. Hal ini merupakan langkah besar bagi penyelamatan habitat gajah.

Di bawah pemerintahan Presiden Jokowi, pemerintah membentuk Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) gajah 2020-2030 yang digagas Direktorat Jendral Konservasi dan Sumber Daya Alam Ekosistem Kementrian Lingkungan dan Kehutanan (KLHK).

Tujuan dari SRAK untuk melakukan perubahan:

  • Terbangunnya sistem dan informasi konservasi gajah
  • Menurunnya 75 persen konflik manusia dan gajah di lima provinnsi prioritas
  • Penurunan tingkat kematian gajah
  • Meningkatnya angka kelahiran gajah
  • Rehabilitasi minimal 200.000 hektare habitat gajah
  • Meningkatnya dukungan pemerintah, masyarakat dan pihak stakeholder lainnya.

Salah satu upaya yang dilakukan pihak swasta atau stake holder peduli gajah sumatera adalah dengan membentuk tim patroli Flying Squad tahun 2004 di desa Tesso Nilo. Tim ini  terdiri dari sembilan orang pawang dan empat gajah terlatih. Tugasnya adalah menghalau gajah liar yang masuk ke dalam area perkebunan masyarakat hingga mengurangi konflik gajah dan manusia.

Persoalannya adalah jika lokasi gajah liar dan lokasi Flying Squad sangat jauh berbeda propinsi, maka memindahkan Flying Squad ke area yang bermasalah menjadi persoalan tersendiri.

Untuk memitigasi konflik manusia dan gajah, sejak Juli 2009, WWF-Indonesia bekerja sama dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Taman Nasional Way Kambas (TNWK), dan Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Barat (hingga Desember 2019), serta Forum Komunikasi Mahout Sumatera (FOKMAS) melakukan pemasangan GPS Satellite Collar, yaitu alat pantau satelit di tubuh gajah untuk memantau keberadaan gajah liar sehingga dapat mencegah gajah memasuki area perkebunan masyarakat atau HTI.

Salah satu upaya untuk mencegah gajah masuk ke perkebunan adalah dengan membangun pagar listrik atau pagar kejut. Di desa Blang Rakal, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh, sudah dipasang pagar kejut listrik untuk memisahkan hutan dan permukiman warga.

Tahun 2010 di Provinsi Aceh Nanggroe Darussalam, beberapa bupatinya terlibat dalam conservation response unit (CRU) untuk mengurangi konflik dengan gajah liar. Saat itu hanya ada tiga unit CRU yaitu CRU Mane di Kabupaten Pidie, CRU Sampoinet di Kabupaten Aceh Jaya dan CRU Pantai Cermin di Kabupaten Aceh Barat, yang dikelola oleh lembaga Flora dan Fauna Internasional.

Untuk melindungi satwa Indonesia, pemerintah membentuk undang-undang payung yang dapat digunakan yaitu UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan PP 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA

Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di sekitar pusat latihan gajah di Suaka Margasatwa Padang Sugihan, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Kamis (9/3/2017), di tepi Kanal Jalur 21. Saat ini, gajah sumatera diperkirakan tersisa 1.724 ekor, sedangkan pada 2007 diperkirakan ada sekitar 2.400 ekor. Populasinya terus tergerus antara lain akibat penyempitan habitat karena deforestasi dan perburuan ilegal.

Presiden Joko Widodo menerbitkan Inpres No. 1 Tahun 2023 tentang Pengarusutamaan Pelestarian Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Berkelanjutan.

Dalam Inpres yang ditandatangani 16 Januari 2023 ini Presiden menginstruksikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk:

  • Menyusun perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati dan pengendaliannya
  • Melakukan pengendalian pembangunan dan konservasi dengan tolok ukur keanekaragaman hayati
  • Meningkatkan upaya konservasi keanekaragaman hayati pada tingkat genetik, spesies, dan ekosistem
  • Mengingkatkan pengelolaan di dalam dan di luar kawasan hutan yang penting bagi keberadaan keanekaragaman hayati
  • Mengembangkan pemanfaatan keanekaragaman hayati dengan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan termasuk pemanfaatan bioprospeksi
  • Meningkatkan bimbingan dan pembinaan kepada pemerintah daerah termasuk dalam penyusunan Profil Keanekaragaman Hayati Daerah dan Rencana Induk Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Daerah
  • Mendukung langkah kerja pelaksanaan konvensi internasional di bidang keanekaragaman hayati.

Dengan demikian diharapkan daerah dapat saling berkoordinasi serta melakukan fungsi  pengawasan dan pengendalian sesuai tugas dan fungsi kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dalam pengarusutamaan pelestarian.

Konservasi gajah sumatera terdapat di:  

  • Barumun Nagari Wildlife Sanctuary BNWS, Batu Nanggar, Kecamatan Batang Onang, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara
  • Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)
  • Taman Nasional Tesso Nilo di Provinsi Riau, berdasarkan keputusan Permenhut No. Tahun 2006.
  • Lembaga Konservasi Taman Satwa Lembah Hijau, Bandar Lampung
  • Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
  • Air Sugihan-Simpang Heran, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel, luasnya sekitar 263.000
  • Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur
  • Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), wilayahnya meliputi Kabupaten Lampung Barat hingga Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu, luas 365.000 hektare

Untuk mengurangi potensi konflik gajah masuk dalam perkebunan, maka sejak tahun 2020 dicoba membangun pembatas hijau (green barrier), yaitu batas alam jelajah gajah dengan pemukiman masyarakat. Upaya ini diharapkan dalam menjaga kelestarian gajah tanpa mengesampingkan upaya konservasi dan membangunan manusianya.

Pada September 2022, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan menetapkan koridor gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di kawasan Air Sugihan-Simpang Heran, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel. Luasnya sekitar 263.000 hektare dari total luas kawasan 600.000 hektar, hal itu diharapkan menjadi salah satu tonggak awal meminimalkan risiko konflik antara manusia dan gajah. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “CRU Akan Ditambah: Jumlah Gajah Terus Menurun”, Kompas, Senin 1 Februari, 2010
  • “Satwa Kunci Sumatera di Luar Area Konservasi”, Kompas, Sabtu, 13 Maret 2010
  • “Konservsi: Berefleksi dari Gajah yang Memanusiakan Manusia”, Kompas, Senin, 7 Juni 2021
  • “Menanti kepastian hidup bagi Gajah Sumatera”, Kompas, Rabu, 8 September 2021, hlm C
  • “Konservasi Satwa: Membangun Asa Pelestarian Gajah”, Kompas, Sabtu, 9 Januari 2021
Internet