Paparan Topik | Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman Hayati di Bumi Papua: Potret, Tantangan, dan Upaya Pengelolaan

Tanah Papua yang terdiri atas Provinsi Papua dan Papua Barat adalah rumah besar bagi keanekaragaman hayati di Indonesia dan dunia. Keberlanjutan keanekaragaman hayati di Papua masih menjadi tantangan dan agar dapat terus dipertahankan.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Burung cenderawasih kuning kecil (Paradisaea minor) bertengger di pucuk pohon di kawasan hutan Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua, Rabu (24/11/2021).

Fakta Singkat

  • Luas hutan di Provinsi Papua dan Papua Barat: 33,71 juta hektare (2017)

Keanekaragaman Flora Papua, antara lain:

  • Terdapat 13.634 spesies tumbuhan dari 1.742 genus dan 264 famili
  • Terdapat 68 persen atau 9.301 spesies tumbuhan endemik

Keanekaragaman Fauna Papua, antara lain:

  • Terdapat 225 jenis (212: mamalia asli Nugini, 13 jenis lainnya: hasil introduksi)
  • 602 burung (52 persen endemik)
  • 125 mamalia (55 persen endemik)
  • 223 reptil (35 persen endemik)

Kawasan konservasi:

  • Papua: 19 kawasan konservasi
  • Papua Barat: 25 kawasan konservasi

Tantangan:

  • Pembangunan infrastruktur
  • Ekspansi kawasan perkebunan
  • Pertambangan
  • Penebangan hutan
  • Perburuan satwa liar
  • Minimnya pemahaman masyarakat

Upaya pelestarian

  • Provinsi Papua
  • Merancang peta jalan bertajuk Visi 2100 Papua
  • Provinsi Papua Barat
  • Perdasus No. 9/2019 tentang Tata Cara Pengakuan Masyarakat Adat dan Perlindungan Wilayah Hukum Adat
  • Perdasus Nomor 10/2019 tentang Pembangunan Berkelanjutan di Papua Barat
  • Deklarasi Manokwari

Papua terletak di bagian barat Pulau Nugini (New Guinea), berbatasan dengan Papua Nugini yang terletak di paruh timur pulau. Papua merupakan wilayah terluas di Indonesia. Luasnya sebanding dengan 22 persen keseluruhan luas wilayah Indonesia.

Pulau ini menjadi salah satu dari lima pulau terbesar di dunia. Menurut buku Ekologi Papua (Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan Conservation International), luas wilayah Papua merupakan pulau yang sangat mendukung hutan rimba tropis tua terluas yang masih ada di Asia Pasifik.

Di bagian paling barat, Papua didominasi oleh jajaran pegunungan kecil, seperti Kepala Burung, Wandamen, Fakfak, dan Kumawa serta kepulauan seperti Raja Ampat, dan Teluk Cenderawasih. Dalam banyak hal, Papua mirip dengan daratan Papua Nugini (PNG) tetapi gunung-gunungnya lebih tinggi (mencapai garis salju), dan rawa-rawanya lebih luas (contohnya, Mamberamo, Asmat).

Sebagian besar wilayah Papua ditutupi hutan alam, lahan gambut, dan ekosistem lain yang merupakan “lahan pertahanan terakhir”. Menurut para ilmuwan, wilayah ini merupakan rumah bagi banyak spesies yang belum teridentifikasi. Di antara lebih dari 17.000 pulau, tanah Papua berkontribusi sebagai “rumah” bagi biodiversitas.

Wilayah Papua juga meliputi lebih dari sepertiga hutan alam yang tersisa di Indonesia. Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Papua adalah salah satu pulau yang memiliki hutan hujan tropis terluas dibandingkan daerah lain di Indonesia, termasuk Sumatera dan Kalimantan.

Dengan luas hutan sekira 33 juta hektare, bumi Papua diberkahi keanekaragaman hayati yang sangat beragam. Keanekaragaman keanekaragaman hayati tersebut dapat dijumpai di berbagai tipe ekosistem mulai dari terumbu karang, daerah estuari, rawa, danau, daerah savana, dataran rendah, dataran tinggi sampai ke daerah alphin.

Keanekaragaman hayati di Papua juga tergolong unik karena termasuk kelompok subdivisi timur dari pembagian flora fauna Indo-Malesia dan flora fauna Australis yang sangat kaya. Keanekaragaman hayati Papua adalah setengah dari total jumlah keanekaragaman hayati Indonesia, secara khusus flora dan fauna endemik yang hanya dijumpai di tanah Papua.

Banyak flora dan fauna di Papua yang tidak bisa dijumpai di tempat lain di dunia. Flora dan fauna di dataran rendah Papua umumnya mirip dengan flora dan fauna di Asia Tenggara (khusus flora) dan Australia (khusus fauna). Sedangkan, flora dan fauna di dataran tinggi Papua tergolong unik dan beraneka ragam akibat keterisolasiannya.

Sebelumnya, daerah Papua menarik perhatian naturalis Inggris, Alfred Russel Wallace saat menjelajahi Nusantara. Wilayah di Indonesia Timur ini menjadi bagian dari Wallacea, gudang satwa endemik Indonesia, bahkan dunia. Di tanah Papua, Wallace menjadi orang Inggris pertama yang melihat cendrawasih di habitat asalnya. Pada 1860, ia bertemu burung dewata itu di Pulau Waigeo.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pemandangan gugusan pulau yang dapat dinikmati dari puncak Piaynemo di Kecamatan Waigeo Barat Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat, Selasa (1/6/2021). Pemandangan tersebut merupakan salah satu yang banyak dicari oleh para wisatawan pengunjung Raja Ampat.

Potret keanekaragaman flora di Papua

Papua merupakan daerah flora terkaya se-Indonesia, baik dari segi jumlah maupun keanekaragamannya. Flora di hutan hujan tropis dataran rendah Papua mirip dengan flora yang ditemukan di bagian utara Queensland, Australia. Sementara flora dataran tinggi Papua mirip dengan flora Asia Tenggara.

Riset terbaru yang dipublikasikan dalam Jurnal Nature dengan judul “New Guinea has The World’s Richest Island Flora” yang ditulis oleh Cámara-Leret dkk (2020), menyatakan Pulau Papua atau New Guinea memiliki keanekaragaman tumbuhan tertinggi dari beberapa pulau di dunia. Pulau tropis terbesar di dunia itu memiliki 16 persen keanekaragaman tumbuhan lebih banyak dari Madagaskar. Sebelumnya, Madagaskar disebut sebagai pusat keanekaragaman hayati dengan 11.488 spesies.

Riset itu merupakan hasil kerja gabungan 99 ahli botani dari 56 institusi di 19 negara. Beberapa di antaranya adalah Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda) Provinsi Papua Barat, Universitas Papua, Royal Botanic Gardens Kew, Natural History Museum, Royal Botanic Gardens Edinburgh, dan University of Technology Papua New Guinea.

Tim peneliti menemukan 13.634 spesies tumbuhan dari 1.742 genus dan 264 famili. Dari jumlah tersebut, ada 68 persen atau 9.301 spesies merupakan tumbuhan endemik di Pulau Papua. Artinya, lebih dari dua pertiga dari tumbuhan tersebut tidak ditemukan di tempat lain.

Sebelumnya, Pulau Papua menarik perhatian naturalis selama berabad-abad. Pulau itu merupakan rumah bagi ekosistem yang paling dilestarikan di planet, dari hutan bakau, hamparan luas hutan dataran rendah, hingga padang rumput alpin.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Pakis purba (Chyathea acrox) di kawasan Taman Nasional Lorentz, Kabupaten Jayawijaya, Jumat (12/11/2021). Pada 1999, kawasan taman nasional dengan luas 2,3 juta hektar lalu ditetapkan sebagai situs alam dunia oleh Unesco (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization). Memiliki luas 2,3 juta hektar, Lorentz mencakup 10 kabupaten di pegunungan tengah papua. Daerah yang begitu luas ini memiliki khazanah kekayaan alam yang tinggi, dan paripurna; dari ekosistem pesisir, hingga pegunungan salju.

Para ahli botani telah mengidentifikasi dan menamai koleksi tumbuhan di Papua sejak abad ke-17. Mereka menyimpan sampel koleksi tumbuhan berupa herbarium di Papua New Guinea, Indonesia, Belanda, Inggris. Meski demikian, belum ditemukan data yang pasti mengenai jumlah spesies tumbuhan di Pulau Papua.

Sebelumnya, diperkirakan jumlah tumbuhan di Pulau Papua berkisar antara 9.000–25.000 spesies. Untuk memastikannya, 99 ahli Botani memverifikasi 23.000 nama spesies tumbuhan dengan lebih dari 704.000 spesimen.

Pulau Papua memiliki hampir tiga kali lipat dari jumlah spesies tumbuhan berpuluh di Pulau Jawa (4.598 spesies) dan 1,4 kali jumlah spesies tumbuhan berpembuluh dari Filipina (9.432 spesies). Ini merupakan dua wilayah di Asia Tenggara yang telah mempublikasikan floranya.

Selain itu, anggrek menyumbang 20 persen dari flora di Papua Nugini dan 17 persen dari wilayah Indonesia, sebanding dengan negara-negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi seperti Ekuador (20 persen) dan Kolombia (15 persen) serta spesies pohon menyumbang 29 persen dari semua flora.

Potret keanekaragaman fauna di Papua

Dalam buku Draf Paper Studi Kelayakan Pendanaan Konservasi Berkelanjutan Tanah Papua Melestarikan Alam dan Budaya, Memuliakan Manusia dan Kehidupan Semesta, yang diterbitkan WWF, Agustus 2010, disebutkan jumlah total mamalia yang ditemukan di Pulau Nugini adalah 225 jenis, dan masih mungkin akan bertambah karena penelitian tentang hal ini masih terus berlanjut. Dari 225 jenis itu, 212 di antaranya adalah  mamalia asli Nugini, sedangkan 13 jenis lainnya merupakan hasil introduksi.

Hanya ada lima spesies monotreme, yaitu salah satu jenis mamalia, yang bisa bertahan hidup sejak zaman purba sampai hari ini, dua di antaranya ditemukan di Nugini dan sisanya, tiga spesies, ditemukan di Australia. Monotreme yang terdapat di Nugini adalah babi duri moncong panjang (Zaglossus Bruijnii, landak irian) dan babi duri moncong pendek. Landak Irian ini hanya bisa ditemukan di daerah dataran tinggi, karena umumnya daerah ini jarang dijelajahi manusia.

Mamalia lainnya adalah jenis marsupial. Ada sekitar 200-an jenis marsupial di dunia, 200 spesies yang tergolong unik dijumpai di Australia, sedangkan 70 spesies lainnya dapat ditemui di wilayah Nugini. Ketujuh puluh spesies marsupial di wilayah Nugini itu merupakan spesies khas Nugini, karena marsupial itu tak dijumpai di Australia. Marsupial terbesar sedunia adalah jenis walabi tangkas yang hanya dapat ditemukan di areal padang rumput kering musiman di sekitar Merauke. Bentuk fisiknya mirip kangguru di Australia.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Kanguru di Bomisai, Taman Nasional Wasur, Merauke, Papua, Kamis (12/3/2020). Mamalia besar asli yang terdapat di kawasan TN Wasur adalah tiga marsupial yaitu kanguru lincah (Macropus agilis), kanguru hutan/biasa (Darcopsis veterum) dan kanguru bus (Thylogale brunii).

Salah satu fauna Papua adalah buaya. Buaya Papua terdiri dari dua jenis. Yang pertama berukuran kecil dan hidup di pedalaman, sedang yang kedua berukuran besar (dikenal juga sebagai buaya estuaria) dan sering ditemui di pesisir. Panjang buaya estuaria bisa mencapai 7 meter, dan masih menjadi momok yang menakutkan bagi penduduk setempat karena sering menyerang manusia.

Selain buaya, terdapat kadal air yang umumnya hidup di lingkungan yang sama dengan tempat tinggal buaya. Berbeda dengan buaya yang sudah cukup langka, kadal air termasuk relatif mudah dijumpai karena populasinya masih banyak.

Kodok merupakan salah satu binatang yang berguna bagi penduduk Papua, karena merupakan sumber protein, terutama di dataran tinggi. Kodok-kodok ini bahkan bisa ditemukan di ketinggian di atas 3.800 mdpl. Jenis kodok gunung seperti ini hanya ada di Pulau Nugini, termasuk Papua.

Sekitar 3.000 spesies ikan ditemukan di Papua, baik di wilayah laut lepas maupun di pesisir pantainya. Ikan laut yang melimpah ini diambil masyarakat untuk dijual dan dimakan. Bagi penduduk pesisir, ikan laut merupakan sumber protein terpenting dan lezat, sekaligus sebagai makanan pokok (bersama sagu) sebagian besar dari mereka. Tak demikian halnya dengan ikan air tawar, mereka tidak menjadikannya sumber makanan utama.

Ikan air tawar Papua terkenal unik, misalnya ikan hiu air tawar yang hanya bisa ditemukan di Danau Yamur dan ikan gergaji sepanjang 5 meter di Danau Sentani. Sayangnya, ikan hiu air tawar itu tak lagi ditemukan di sana, kemungkinan besar karena sering dijaring penduduk sekitar danau. Sementara itu, ikan gergaji di Danau Sentani sejak lama dilindungi penduduk setempat karena mereka percaya bahwa arwah nenek moyang mereka berdiam di dalam ikan ini. Namun, ikan gergaji ini juga sudah tak pernah lagi terlihat.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Wisatawan berenang bersama hiu paus di dekat salah satu bagan di Teluk Cendrawasih, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire Minggu (25/4/2021). Hiu paus di kawasan Taman Nasioal Teluk Cendrawasih menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Dalam waktu tertentu hiu paus tersebut mencari makan di sekitar bagan dan wisatwan dapat melihatnya dari dekat.

Selain kedua ikan itu, ada ikan pelangi. Ikan kecil beraneka warna ini banyak ditemukan di perairan air tawar Papua. Sebanyak 158 spesies dapat dijumpai, sebagian besar merupakan spesies endemik Papua, meski beberapa di antaranya didapati juga di Australia.

Keanekaragaman burung di Papua sangat luar biasa. Yang terpopuler adalah cendrawasih. Ada 42 spesies cendrawasih di dunia, 36 di antaranya ditemukan di wilayah Nugini dan pulau-pulau sekitarnya, sementara 6 spesies lainnya ditemukan di Australia dan Seram.

Jenis burung unik lainnya adalah kasuari, burung endemik Papua yang dianggap galak karena ukurannya cukup besar dan cakarnya sangat tajam. Sebagai seekor burung, kasuari tak dapat terbang, namun sulit ditangkap. Dagingnya yang padat kerap dikonsumsi penduduk

Data lain menyebutkan di tanah Papua, terdapat 602 jenis burung (52 persen endemik), 125 mamalia (55 persen endemik), dan 223 reptil (35 persen endemik).

Tantangan

Papua adalah salah satu ujung tombak terakhir keanekaragaman hayati di tanah air. Namun demikian, rumah megabiodiversitas itu tak lepas dari beragam tantangan dan ancaman, seperti pembangunan infrastruktur, ekspansi kawasan perkebunan, pertambangan, penebangan hutan, perburuan satwa liar dan minimnya pemahaman masyarakat.

Salah satu tantangan utama adalah hilangnya hutan di pulau itu yang telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Lonjakan angka penebangan hutan, pertambangan dan pembukaan perkebunan sawit serta perkebunan lain dalam satu dekade ini terus meningkat. Lebih dari 11.500 kilometer persegi hutan primer hilang di antara 2002 dan 2019 saja, menurut data dari University of Maryland dan World Resources Institute.

Sementara hasil kajian Forest Watch Indonesia menyampaikan bahwa dalam kurun waktu 2009–2016 angka deforestasi di tanah Papua mencapai 170.484,32 hektare per tahun. Hutan Papua yang menjadi tempat hidup orang Papua perlahan hilang. Deforestasi besar-besaran salah satunya karena faktor tumpang tindih izin di Kawasan Hutan Lindung.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Batas hutan dan Perkebunan Sawit di Distrik Yaur, Kabupaten Nabire, Senin (26/4/2021). Hutan yang kini tergantikan oleh perkebunan sawit membuat mata pencarian warga setampat yaitu berburu hilang. Kampung Sima yang berada di dekat kawasan tersebutpun sering dilanda banjir.

Salah satu ancaman terhadap kelanggengan biodiversitas adalah kehilangan ruang hidup. Lingkup hidup yang harmonis bukan hanya berubah secara drastis, tetapi begitu gigantis dirusakkan oleh pemanasan global, pencemaran, kontaminasi, pemupukan dengan dosis tinggi, pembasmian hutan, penangkapan ikan dan perburuan secara liar, eksploitasi sumber-sumber alam secara serakah, serta struggle of life antarspesies.

Fenomena perubahan iklim akhir-akhir ini juga merupakan suatu ancaman serius bagi keberlangsungan hidup keanekaragaman hayati di Indonesia. Dengan naiknya suhu global rata-rata permukaan bumi sebesar 1,5–2,5°C, risiko kepunahan tumbuhan dan hewan akan meningkat menjadi sebesar 20–30  persen. Kondisi ini menyebabkan semakin merosot, baik pada tingkat ekosistem, spesies, maupun genetik.

Upaya pengelolaan keanekaragaman hayati di Papua

Menghadapi tantangan tersebut, Pemerintah Provinsi Papua maupun Provinsi Papua Barat telah mengambil tindakan dan berkomitmen untuk melestarikan hutan Papua. Pada tahun 2015, Papua Barat menjadi provinsi konservasi pertama di dunia. Sementara itu, Provinsi Papua telah merancang peta jalan bertajuk Visi 2100 Papua yang menargetkan untuk mempertahankan 90 persen tutupan hutan di seluruh provinsi, seiring dengan upaya untuk mencapai tujuan pembangunan rendah karbon.

Pada bulan Oktober 2018, kedua provinsi telah menegaskan kembali komitmen pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dan mengakomodasi 70 persen luas daratan sebagai Kawasan Lindung sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Manokwari.

Semangat untuk membangun bumi Papua yang berkelanjutan tidak pernah surut. Sekitar tiga setengah tahun lalu, sebuah Konferensi Internasional tentang Keanekaragaman Hayati, Ekowisata, dan Ekonomi Kreatif (International Conference on Biodiversity, Creative Economy and Eco-Tourism/ICBE) di tanah Papua telah diselenggarakan pada 7–10 Oktober 2018 di Manokwari, Provinsi Papua Barat.

Tema acara ini adalah “Provinsi Berkelanjutan: Solusi Cerdas untuk Pembangunan di Tanah Papua”. Ada 1.027 peserta dari pemerintah daerah dan pusat, kedutaan besar, universitas, LSM dan sektor swasta.

Konferensi ini telah mengidentifikasi isu-isu utama yang terkait dengan ekonomi hijau Papua termasuk masalah pembangunan berkelanjutan di Papua, konservasi keanekaragaman hayati, manajemen sumber daya alam, dan kebijakan pembangunan yang belum diselaraskan dengan kebutuhan Masyarakat Asli Papua (MAP).

Selain itu ada beberapa masalah lain yang terkait seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang rendah, ketahanan pangan, perlindungan hak budaya dan adat, kurangnya data, kebijakan yang tumpang tindih, dan inkonsistensi kebijakan.

Hasil ICBE 2018 dirangkum dalam Deklarasi Manokwari, tanggal 10 Oktober 2018. Deklarasi ini juga mengacu pada MoU antara Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Provinsi Papua Barat tentang Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Daerah Adat di tanah Papua, yang ditandatangani pada 7 Oktober 2018. Kedua pemerintah telah menyetujui visi tanah Papua, “Damai, Tanah Papua yang Berkelanjutan, Abadi dan Bermartabat ”.

Untuk mencapai visi ini, ada empat belas poin di bawah Deklarasi Manokwari, yaitu pertama, penyajian kembali komitmen pembangunan berkelanjutan di bawah Peraturan Khusus Provinsi tentang Pembangunan Berkelanjutan, revisi Rencana Tata Ruang Provinsi Papua dan Papua Barat (RTRWP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Papua Barat Papua. Kedua, perlindungan hak dan peran masyarakat adat diperkuat di bawah Peraturan Khusus Provinsi dan Peraturan Kota.

Ketiga, penegakan hukum tentang pengelolaan sumber daya alam untuk pembangunan berkelanjutan. Keempat, kerja sama dengan pemerintah pusat untuk mengatur skema pembiayaan berkelanjutan dan insentif fiskal ekologis. Kelima, pembentukan Komisi Informasi Papua. Keenam, pengembangan Museum Sejarah Alam dan Taman Nasional. Ketujuh, pengembangan sumber daya manusia untuk pembangunan berkelanjutan. Kedelapan, dukungan untuk orang-orang adat dalam mengembangkan produk ekonomis tinggi. Kesembilan, pembentukan lembaga independen untuk penyelesaian sengketa tanah.

Kemudian kesepuluh, identifikasi kawasan/koridor konservasi tanah dan air. Kesebelas, evaluasi lingkungan untuk infrastruktur yang ada dan pengembangan infrastruktur antarkampung yang ramah lingkungan. Keduabelas, percepatan Peraturan Gubernur tentang Keamanan Pangan. Ketigabelas, dorongan kemitraan lokal, nasional dan global untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Terakhir keempatbelas, pemeliharaan kolaborasi multi-pihak dalam pembangunan berkelanjutan.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Warga memeluk sebuah pohon merbau di dalam hutan desa di Kampung Sira, Sorong Selatan, Papua Barat, Rabu (9/6/2021). Masyarakat desa itu dipercaya mengelola hutan desa yang terus dijaga kelestariannya di sekeliling pemukiman mereka .

Selain itu, pada tahun 2019, Pemerintah Provinsi Papua Barat telah menetapkan dua peraturan daerah khusus (Perdasus) yang substansial. Perdasus 9/2019 tentang Tata Cara Pengakuan Masyarakat Adat dan Perlindungan Wilayah Hukum Adat dan Perdasus 10/2019 tentang Pembangunan Berkelanjutan di Papua Barat.

Dua perdasus ini merupakan tindak lanjut dari Deklarasi Manokwari pada 2018. Keduanya mengamanatkan perlindungan minimal 70 persen tutupan hutan yang ada saat ini dan 50 persen luas laut dan pesisir. Per 2021, sudah ada hampir 67–69 persen kawasan lindung yang sebelumnya hanya 36 persen. Angka ini naik hampir dua kali lipatnya.

Terbaru, Papua Barat sedang mengusulkan adanya Kawasan Strategis Provinsi (KSP). Ini merupakan kawasan lindung keanekaragaman hayati dan budaya. Papua Barat akan menjadikan KSP ini sebagai kawasan natural capital yang memiliki nilai ekonomi lokal.

Sebagai insentif bagi masyarakat adat dan pemerintah daerah dalam menjaga lingkungannya, skema pendanaan seperti transfer insentif fiskal ekologis juga diterapkan. Terdapat tiga skema, yaitu TANE (Transfer Anggaran Nasional Berbasis Ekologi), TAPE (Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi), dan TAKE (Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi).

Selain itu, di Papua juga terdapat 44 kawasan konservasi yang terdiri dari 19 kawasan konservasi di Provinsi Papua dengan seluas 4.069.486 hektare dan 25 kawasan konservasi di Papua Barat. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Keragaman Hayati, Ekowisata, dan Ekonomi Kreatif Papua”, Kompas, 29 November 2016, hlm. 07
  • “Keanekaragaman Hayati: Rotan dan Ilmuwan Papua”, Kompas, 15 Mei 2017, hlm. 14
  • “Menjaga Hutan Papua”, Kompas, 03 Desember 2017, hlm. 05
  • “Konservasi: Papua Barat Prioritaskan Keragaman Hayati”, Kompas, 07 Maret 2018 , hlm. 14
  • “Papua Barat Surga Keanekaragaman Hayati”, Kompas, 09 Maret 2018, hlm. 13
  • “Flora: Spesies Baru Tumbuhan Papua Ditemukan”, Kompas, 08 Juni 2020, hlm. 08
  • “Kelestarian Alam: Solusi Pendapatan Dasar untuk Perlindungan Hutan di Papua”, Kompas, 15 Mei 2021, hlm. 08
  • “Menjaga Cenderawasih Warisan Tak Ternilai dari Deforestasi di Papua”, Kompas, 03 Oktober 2021, hlm. C
  • “Realitas Getir Benteng Terakhir * Ekspedisi Tanah Papua”, Kompas, 08 Januari 2022, hlm. 01, 15
  • “Pohon Purba, Cerminan Lorentz * Ekspedisi Tanah Papua”, Kompas, 22 Januari 2022, hlm. 02
  • ”Saham” Diburu, Hilang Kanguru”, Kompas, 05 Februari 2022, hlm. 02
Buku dan Jurnal
Aturan