Tokoh

Mohammad Hatta

Mohammad Hatta atau Bung Hatta dikenal sebagai salah satu Proklamator Kemerdekaan RI dan Wakil Presiden pertama. Bung Hatta merupakan negarawan yang sangat tegas menolak korupsi. Dia juga dikenal sebagai Bapak Koperasi.

Fakta Singkat

  • Nama Kecil: Muhammad Athar
  • Nama Dewasa: Mohammad Hatta
  • Lahir: 12 Agustus 1902
  • Wafat: Jakarta, 14 Maret 1980
  • Gelar Pahlawan Proklamator RI: Keppres No. 081/TK/1986 Tanggal 23 Oktober 1986
  • Gelar Pahlawan Nasional: Keppres No. 84/TK/2012 Tanggal 7 November 2012

Wakil Presiden pertama RI ini dikenal sebagai sosok negarawan dan ekonom Indonesia. Ia bersama Soekarno berperan penting dalam memproklamirkan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Hubungan kedua tokoh itu sempat dilukiskan sebagai dwitunggal sebelum Hatta mengundurkan diri 1 Desember 1956. Selama menjadi Wapres, Hatta sempat merangkap jabatan Perdana Menteri (PM) dan Menteri Pertahanan, Januari 1948 sampai Desember 1949. Hatta juga merangkap menjadi PM dan Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) Desember 1949 – Agustus 1950.

Hatta dikenal sebagai sosok yang memisahkan mana keperluan yang bersifat pribadi, dan mana keperluan yang bersifat dinas negara. Atas kesederhanaan, kejujuran, dan integritas yang dimilikinya, sejumlah tokoh menjadikan Hatta sebagai tokoh panutan menegakkan perilaku antikorupsi.

Di bidang ekonomi, pemikiran dan sumbangsihnya terhadap perkembangan koperasi membuat ia dijuluki sebagai Bapak Koperasi. Ketertarikan Hatta kepada sistem koperasi karena pengaruh kunjungannya ke negara-negara Skandinavia, terutama Denmark dan Swedia pada tahun 1925. Hatta sering mengaitkan koperasi dengan nilai dan lembaga tradisional gotong-royong, sekaligus sebuah organisasi ekonomi modern berdasarkan asas-asas ekonomi pasar yang rasional dan kompetitif.

Lingkungan Surau

Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902. Ia lahir dengan nama Muhammad Athar. Ayah Hatta bernama Haji Muhammad Djamil dan Siti Saleha. Ayah Hatta berasal dari Batu Hampar sekitar 16 kilometer dari Bukittinggi. Sementara ibunya, Siti Saleha, merupakan keturunan percampuran antara Minangkabau dan Jawa. Ayahnya meninggal dunia dalam usia 30 tahun ketika Hatta masih berumur delapan bulan.

Kakek Hatta dari pihak ayah, Datuk Syekh Abdurraman, seorang ulama besar yang menjadi pendiri surau di Batu Hampar dekat Bukittinggi. Surau Batu Hampar sangat terkenal di tanah air dan Semenanjung Malaka hingga banyak yang mendalami ilmu agama di surau ini pada era 1800-an.

Sang ayah, Muhammad Djamil, meninggalkan kehidupan ulama karena lebih tertarik dengan berdagang. Sebagaimana biasanya dalam surau, kerja berdagang sangat lumrah. Selanjutnya, kehidupan sebagai ulama dilanjutkan oleh paman Hatta, Syekh Arsyad, yang kemudian mendidik Hatta dalam bidang keagamaan sejak berusia tujuh tahun.

Keluarga ayahnya berlatar belakang kehidupan di sekitar surau, sementara keluarga ibu Hatta berasal dari keluarga pedagang. Nama Hatta sendiri berhubungan dengan nama seorang penyair terkenal Persia (kawasan Iran), Fariduddin al Aththar, yang juga dikenal sebagai tokoh sufi penting. Nama penyair ini kemudian diberikan kepada Hatta, yang pada mulanya dipanggil Attar yang secara harafiah berarti parfum. Ucapan Minangkabau akhirnya mengubah nama Attar menjadi Hatta, yang kemudian dikenal dalam sejarah.

Dalam buku Seratus Tahun Bung Hatta yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas (2002) dikisahkan selama masa kecil, tahun 1902–1917, Hatta tumbuh dan bersekolah di Bukittinggi dan Padang. Ketika bersekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau SMP berbahasa Belanda, Hatta aktif sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB) cabang Padang. Setelah lulus dari MULO, Hatta bertolak ke Batavia, meneruskan sekolah di Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang) dan lulus tahun 1921.

Selama bersekolah di Batavia, Hatta kembali dipercayakan menjadi bendahara JSB, khususnya cabang Batavia. Kecenderungan Hatta melakukan aktivitas politik, yang sudah dimulai di JSB Padang terus berkembang di JSB Batavia. Pertemuannya Abdul Muis dan Haji Agus Salim semakin memberinya inspirasi untuk semakin jauh terlibat dalam gerakan politik.

IPPHOS

 Presiden Soekarno bersalaman dengan Wapres Mohammad Hatta

Karier

Awal karier Hatta banyak dihabiskan dalam pergerakan politik, terutama perjuangan bagi kemerdekaan Indonesia. Perjuangannya semakin intensif selama belajar di Belanda. Selama 11 tahun (1921–1932) di Belanda, Hatta tidak hanya belajar tapi juga melakukan kegiatan politik untuk kemerdekaan Indonesia. Tidak lama setelah masuk Sekolah Tinggi Dagang di Rotterdam, Hatta langsung bergabung dalam Indonesische Vereniging, yang kemudian berubah menjadi Perhimpunan Indonesia. Hatta juga ikut aktif dalam berbagai diskusi dan menulis artikel. Ia menjadi anggota dewan redaksi majalah Indonesia Merdeka (1922–1925).

Perannya yang mencolok membuat Hatta dipilih menjadi ketua Perhimpunan Indonesia tahun 1925–1930. Selama berada di Belanda, Hatta melakukan kontak dengan tokoh pergerakan dunia lainnya seperti Jawaharlal Nehru dari India. Hatta pun menjadi wakil Indonesia dalam gerakan Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, yang berkedudukan di Berlin, Jerman (1927–1931). Aktivitas dan tulisan-tulisan Hatta rupanya mengusik pemerintah kolonial Belanda. Maka Hatta ditangkap dan dipenjarakan di Den Haag, Belanda, tanggal 23 September 1927 sampai dengan 22 Maret 1928, karena tulisan-tulisannya di majalah Indonesia Merdeka.

Setelah menyelesaikan belajar dengan titel drs (doktorandus), Hatta pulang ke Indonesia tahun 1932 untuk meneruskan perjuangan bagi Indonesia merdeka. Tetapi karena aktivitas, gerakan dan perjuangannya, Hatta kembali dipenjarakan pemerintah kolonial. Pemerintah Hindia Belanda memenjarakan Hatta di Glodok, Jakarta, tahun 1934. Tempat penahanan Hatta kemudian dipindah-pindah. Tahun 1934–1935, dibuang ke Boven Digul, Irian Barat (kini Papua), dan dibuang ke Banda Naira. Selanjutnya dipenjarakan di Sukabumi, Jawa Barat, tahun 1942, dan dibebaskan 9 Maret 1942.

Selama era penjajahan Jepang, Hatta dan para pendiri bangsa lainnya terus giat mempersiapkan Indonesia merdeka. Bersama Bung Karno, Ki Hadjar Dewantoro, KH Moh Mansyur, mendirikan Putera. Tanggal 7 Agustus 1945, Hatta menjadi Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sejarah akhirnya mencatat, Hatta bersama Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta. Hubungan Soekarno dan Hatta sempat dilukiskan sebagai dwitunggal sebelum Hatta mengundurkan diri 1 Desember 1956.

Seusai dengan janjinya, Hatta menikah setelah Indonesia merdeka. Ketika berusia 43 tahun, atau tepatnya tanggal 18 November 1945, Hatta menikahi Rahmi Rachim yang selanjutnya disebut Siti Rahmiati Hatta di Megamendung, Jawa Barat. Pasangan ini dikaruniai tiga putri: Meutia Hatta, Gemala Hatta, dan Halida Hatta.

Hatta menjabat Wakil Presiden tanggal 18 Agustus 1945 dan mengundurkan diri 1 Desember 1956. Selama menjadi Wapres, Hatta sempat merangkap jabatan perdana menteri (PM) dan menteri pertahanan Januari 1948 sampai Desember 1949. Juga merangkap menjadi PM dan menteri luar negeri dalam kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) Desember 1949 – Agustus 1950.

Selama menjadi aktivis pergerakan kemerdekaan dan menjadi pejabat negara, Hatta menekankan pentingnya demokrasi, ekonomi kerakyatan yang berbasis pada koperasi, pendidikan politik dan politik luar negeri yang bebas aktif. Setelah tidak lagi duduk di pemerintahan, Hatta giat mengajar dan memberikan ceramah. Sempat diangkat menjadi penasihat Komisi Empat pada era Orde Baru untuk pemberantasan korupsi tahun 1969, tapi praktis tidak efektif.

Atas prakarsa Sawito, Hatta bersama tokoh lainnya seperti Buya Hamka, Kardinal Dharmojuwono, dan TB Simatupang, ikut menandatangani pernyataan tentang apa yang disebut penyerahan kekuasaan. Kasus yang disebut skandal Sawito itu menimbulkan heboh besar, lebih-lebih karena Presiden Soeharto sangat marah. Sawito ditahan, tapi para tokoh bangsa itu dipaksa meminta maaf.

Dalam kesederhanaan, kesantunan, kesalehan, dan keteguhan hati, Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 pada pukul 18.56 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta setelah sebelas hari dirawat. Selama hidupnya, Hatta telah dirawat di rumah sakit sebanyak 6 kali pada tahun 1963, 1967, 1971, 1976, 1979, dan terakhir pada 3 Maret 1980.

Hatta disemayamkan di kediamannya Jalan Diponegoro 57, Jakarta dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir, Jakarta disambut dengan upacara kenegaraan yang dipimpin secara langsung oleh Wakil Presiden pada saat itu, Adam Malik.

Daftar Penghargaan

  • Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah (1956)
  • Anugerah Bintang Republik Indonesia Kelas I dari Pemerintah RI (1972)
  • Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengangkat dia sebagai warga utama Ibukota Jakarta (1972)
  • Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Hassanuddin (1973)
  • Gelar Doktor Honouris Causa dari Universitas Indonesia (1975)
  • Gelar Pahlawan Proklamator RI (1986)
  • Gelar Pahlawan Nasional (2012)

Penghargaan

Setelah 32 tahun dari wafatnya, Pemerintah melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada Soekarno-Hatta. Penganugerahan ini berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 83/TK/Tahun 2012 tanggal 7 November 2012 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden RI pertama alm. Dr. (H.C.) Ir. Soekarno, dan Keputusan Presiden RI Nomor 84/TK/Tahun 2012 tanggal 7 November kepada Wakil Presiden RI pertama alm. Dr. (H.C) Drs. Mohammad Hatta. Gelar itu melengkapi gelar sebelumnya yang diberikan oleh Presiden Soeharto sebagai Pahlawan Proklamator RI pada tahun 1986.

Selain anugerah gelar pahlawan, sepanjang hidupnya Hatta sudah banyak mendapat penghargaan dari luar negeri, antara lain, Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah (1956), Bintang Republik Indonesia Kelas I dari Pemerintah RI (1972), warga utama Ibu Kota Jakarta (1972), Doktor Honoris Causa dari Universitas Hassanuddin (1973), dan Doktor Honouris Causa dari Universitas Indonesia (1975).

KOMPAS/RIZA FATHONI

Ketua Dewan Redaksi Buku Karya Lengkap Bung Hatta (KLBH) Emil Salim (kiri) menyerahkan 10 buku yang berisi pemikiran Hatta kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, disaksikan putri Hatta, Meutia Hatta (kanan), dan unsur pimpinan KPK, Laode Muhammad Syarif (kedua dari kiri), dalam acara peluncuran buku KLBH di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Selasa (13/11/2018)

Tokoh Antikorupsi

Tanggal 9 Desember selalu diperingati sebagai “Hari Antikorupsi Sedunia”. Bagi Indonesia, Hatta dikenal sebagai sosok atau tokoh yang sangat tegas melawan perilaku korupsi.

Dalam buku berjudul “Mengenang Bung Hatta” karya Iding Wangsa Widjaja (terbit 1988), dikisahkan pada tahun 1970, Hatta melakukan kunjungan ke Tanah Merah, Irian Jaya (saat ini disebut Papua). Meskipun sudah bukan lagi pejabat pemerintah, pihak yang mensponsori perjalanan Hatta ke Papua masih memperlakukan Hatta layaknya pejabat tinggi negara. Setiba di Irian Jaya, seorang pejabat pemerintahan pada masa itu menyodori amplop tebal berisi uang saku.

Seketika pada saat itu juga secara spontan Hatta menolak amplop tersebut. Menurutnya, dia sudah merasa sangat bersyukur mendapat kesempatan ke daerah tempat dia pernah dibuang oleh Belanda. Bagi dia, amplop berisi uang tersebut milik rakyat dan harus dikembalikan kepada rakyat.

Saat mengunjungi wilayah Digul, Hatta meminta pejabat yang akan memberinya amplop tersebut untuk membagikan uang di dalam amplop tersebut kepada masyarakat Digul. Hatta prihatin dengan kondisi mayarakat di sana pada saat itu.

Iding Wangsa Widjaja penulis buku Mengenang Bung Hatta tersebut, selama puluhan tahun menjadi sekretaris pribadi Hatta. Dia mengungkapkan bahwa dirinya pernah ditegur Hatta karena menggunakan tiga helai kertas dari kantor Sekretariat Wakil Presiden. Iding Wangsa Widjaja dianggap bersalah karena menggunakan aset negara berupa tiga helai kertas tersebut untuk membalas surat yang bersifat pribadi. Hatta kemudian mengganti kertas tersebut dengan uang pribadinya.

Hatta dikenal rigid dan detil memisahkan mana keperluan yang bersifat pribadi dan mana keperluan yang bersifat dinas negara. Atas kesederhanaan, kejujuran, dan integritas yang dimilikinya, sejumlah tokoh menjadikan Hatta sebagai tokoh panutan menegakkan perilaku antikorupsi.

Sejak 9 April 2003, Perkumpulan BHACA (Bung Hatta Anti-Corruption Award) yang diprakarsai oleh Theodore Permadi Rachmat dan Teten Masduki menyelenggarakan perhelatan penganugerahan Bung Hatta Award yang diserahkan kepada para tokoh Indonesia dari berbagai latar belakang profesi yang dinilai memiliki komitmen anti-korupsi. Beberapa tokoh yang pernah menerima penghargaan tersebut, antara lain, Tri Risma Harini (Walikota Surabaya), Basuki Tjahaja Purnama (Gubernur DKI Jakarta), dan Joko Widodo (Presiden RI).

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Putri Bung Hatta, Meutia Hatta, menyerahkan penghargaan Bung Hatta Anti-corruption Award (BHACA) 2017 kepada Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah di Jakarta, Kamis (14/12/2017).

Bapak Koperasi Indonesia

Lily Gamar Sutantio, dalam buku Mengenang Sjahrir: Seorang Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan karya Rosihan Anwar yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama (2010), menjadi saksi keberhasilan Hatta menghidupkan koperasi di Banda Neira selama masa pengasingannya pada 1930-an. Menurut putra asli Banda yang pernah dididik langsung oleh Hatta itu, ada dua orang lagi yang ikut membantu Hatta membangun koperasi di Banda, yakni Sutan Sjahrir dan Iwa Kusuma Sumantri.

Mulanya mereka menggagas sebuah organisasi sosial dan pendidikan yang bergerak di bidang olahraga, peminjaman buku, dan koperasi. Dinamakan Perkumpulan Banda Muda (Perbamoe), ketiganya menjadi donatur tetap. Hatta dipercaya mengurus bidang koperasi Perbamoe. Dari sinilah dia mencontohkan model urundaya masyarakat untuk kesejahteraan bersama.

Hatta dan Pebamoe memiliki cara tersendiri dalam menarik minat masyarakat Banda terhadap koperasi. Bila ada perahu datang, muatannya diambil langsung oleh koperasi Perbamoe untuk dijual kembali ke penduduk. Dengan memotong rentetan jalur distribusi ini, harga asli barang tidak akan berbeda jauh dengan harga jualnya.

Alhasil, penduduk bisa mendapatkan barang dengan harga lebih murah, petani maupun nelayan tidak merugi, dan koperasi tetap memperoleh keuntungan yang cukup untuk kas perkumpulan. Dari kas itulah Perbamoe mendapat modal untuk menyewa rumah lengkap dengan perabotannya untuk sekretariat. Kas itu pula yang digunakan Hatta, Sjahrir, dan Iwa untuk membangun perpustakaan yang koleksi bacaannya bisa dinikmati oleh semua orang.

Hatta sendiri mempelajari ilmu koperasi di Skandinavia. Saat sedang menempuh pendidikan di sekolah ekonomi di Rotterdam, Belanda, pada 1925 dia mengunjungi Denmark, Swedia untuk belajar tentang koperasi. Menurutnya, koperasi cocok diterapkan di negara-negara yang sedang merintis perekonomian rakyat.

Pasca-kemerdekaan, Indonesia berusaha membangkitkan perekonomiannya yang nyaris nol. Pemerintahan Sukarno-Hatta menjadikan koperasi salah satu andalan. Menurut Patta Rapanna dalam Menembus Badai Ekonomi, koperasi jadi usaha bersama untuk memperbaiki taraf hidup layak masyarakat setelah terlepas dari belenggu penjajahan. Lewat jawatan koperasi, Kementerian Kemakmuran mendistribusikan keperluan sehari-hari dengan harga terjangkau.

Hatta melalui pidatonya juga terus menggalakkan pentingnya koperasi untuk membangun perekonomian rakyat yang baik. Keseriusan pemerintah Indonesia terhadap keberadaan koperasi pun terbukti dari terselenggaranya Kongres Koperasi Pertama di Tasikmalaya, Jawa Barat pada 1947. Berdasar kongres tersebut, tanggal 12 Juli ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia.

Bagi Hatta, koperasi bukanlah sebuah lembaga yang antipasar atau nonpasar dalam masyarakat tradisional. Koperasi adalah sebuah lembaga self-help lapisan masyarakat yang lemah atau rakyat kecil untuk bisa mengendalikan pasar. Karena itu koperasi harus bisa bekerja dalam sistem pasar, dengan cara menerapkan prinsip efisiensi.

Koperasi juga bukan sebuah komunitas tertutup, tetapi terbuka, dengan melayani nonanggota dengan maksud menarik mereka menjadi anggota koperasi, setelah merasakan manfaat berhubungan dengan koperasi. Dengan cara itulah sistem koperasi akan mentransformasikan sistem ekonomi kapitalis yang tidak ramah terhadap pelaku ekonomi kecil melalui persaingan bebas (kompetisi), menjadi sistem yang lebih bersandar kepada kerja sama atau koperasi, tanpa menghancurkan pasar yang kompetitif itu sendiri.

KOMPAS/MJ KASIJANTO

Hatta didampingi Ketua Umum Dekopin R. Iman Pandji Soeroso dan pejabat perkoperasian lainnya nampak sedang memberikan ceramah dimuka pengurus-pengurus koperasi di Jakarta (13/07/1974). Dalam ceramah pada Hari Koperasi ke-27 itu, Hatta mengatakan bahwa koperasi merupakan satu-satunya jalan paling tepat untuk mengangkat golongan ekonomi lemah.

Referensi

Buku
  • Widjaja, I Wangsa. 1988. Mengenang Bung Hatta. Jakarta: Penerbit Yayasan Masagung
  • Bagun, Rikard. 2002. Seratus Tahun Bung Hatta. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
  • Anwar, Rosihan. 2010. Mengenang Sjahrir: Seorang Negarawan dan Tokoh Pejuang Kemerdekaan yang Tersisih dan Terlupakan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Biodata

Nama

Mohammad Hatta

Lahir

Bukittinggi, 12 Agustus 1902

Jabatan

Wakil Presiden RI (18 Agustus 1945 – 1 Desember 1956)

Pendidikan

  • 1916: Europese Largere school (ELS) di Bukittinggi
  • 1919: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang
  • 1921: Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang) di Jakarta
  • 1932: Nederland Handelshogeschool di Rotterdam (dengan gelar Drs.

Karier

Pemerintahan

  • Wakil Presiden RI (18 Agustus 1945 – 1 Desember 1956)
  • Ketua Umum Palang Merah Indonesia pertama (1945–1946)
  • Menteri Pertahanan Indonesia ad-interim (29 Januari 1948 – 15 Juli 1948)
  • Perdana Menteri Indonesia ketiga (29 Januari 1948 – 5 September 1950)
  • Penasehat Presiden dalam masalah pemberantasan Korupsi (1970)

Kiprah Organisasi

  • Ketua Pemuda Indonesia di Belanda (1925 – 1930)
  • Ketua Panitia Pendidikan Nasional Indonesia (1934-1935)
  • Kepala Kantor Penasihat pada pemerintah Bala Tentara Dai Nippon (1942)
  • Pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (1945)

Penghargaan

  • Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah (1956)
  • Anugerah Bintang Republik Indonesia Kelas I dari Pemerintah RI (1972)
  • Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengangkat dia sebagai warga utama Ibukota Jakarta (1972)
  • Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Hassanuddin (1973)
  • Gelar Doktor Honouris Causa dari Universitas Indonesia (1975)
  • Gelar Pahlawan Proklamator RI (1986)
  • Gelar Pahlawan Nasional (2012)

Publikasi

Buku:

  • 1926: Economische wereldbouw en machtstegenstellingen
  • 1927: L’Indonesie et son probleme de I’Independence
  • 1928: Indonesia Vrij
  • 1931: Tujuan dan Politik Pergerakan Nasional di Indonesia
  • 1934: Krisis Ekonomi dan Kapitalisme
  • 1937: Perjanjian Volkenbond
  • 1939: Mencari Volkenbond dari Abad ke Abad
  • 1939: Rasionalisasi
  • 1940: Penunjukan bagi Rakyat Dalam Ekonomi, Teori dan Praktek
  • 1941: Alam Pikiran Yunani
  • 1942: Perhubungan Bank dan Masyarakat di Indonesia
  • 1943: Beberapa Pasal ekonomi
  • 1972: Potrait of a patriot, Selected Writings
  • 1974: Pikiran-pikiran dalam Bidang Ekonomi untuk Mencapai Kemakmuran yang merata
  • 1979: Mohammad Hatta Memoir

Keluarga

Istri

Siti Rahmiati Hatta

Anak

  • Meutia Hatta
  • Gemala Hatta
  • Halida Hatta

Sumber
Litbang Kompas