Paparan Topik

Sejarah Perjudian di Indonesia: dari Masa Kuno hingga di Era Digital

Praktik perjudian sudah berlangsung sejak berabad-abad lampau, berkembang dan beradaptasi seiring perkembangan perdaban manusia.

KOMPAS/JULIAN SIHOMBING

Undian Perdana – Penarikan undian Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah yang perdana, hari Rabu malam (4/1/1989), dilaksanakan di Gedung Candranaya, Jakarta Pusat.

Fakta Singkat

Sejarah Perjudian

  • PPATK melaporkan 3,2 juta warga Indonesia terjerat judi online, dengan nilai transaksi mencapai lebih dari Rp100 triliun hanya dalam kurun waktu Januari-Maret 2024.
  • Perputaran uang judi online dari tahun 2017 hingga kuartal I-2024 yang mencapai Rp600 triliun.
  • Aktivitas perjudian sudah marak terjadi pada abad ke-9 di Jawa, adu hewan terutama sabung ayam merupakan bentuk perjudian yang populer saat itu.
  • Judi kartu dan dadu, sudah populer pada masa kekuasaan VOC, diperkenalkan oleh orang Tionghoa.
  • Pada abad ke-19, Pemeritnah Hindia Belanda memperkenalkan permainan undian lotere.
  • Pasca kemerdekaan, perjudian kerap dimanfaatkan untuk menghimpun dana pembangunan, salah satunya dalam bentuk undian berhadiah seperti Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB).

Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan bahwa 3,2 juta warga Indonesia terjerat judi online atau judi daring, dengan nilai transaksi mencapai lebih dari Rp100 triliun hanya dalam kurun waktu Januari-Maret 2024.

Angka ini kian mengerikan jika dilihat dari akumulasi perputaran uang judi online dari tahun 2017 hingga kuartal I-2024 yang mencapai Rp600 triliun (Kompas, 18/6/2024).

Para penyelenggara judi online tak segan menargetkan anak muda. Iklan judi online marak bertebaran di media sosial, dan taktik licik seperti menggaet pesohor atau influencer pun digunakan untuk menarik minat para pemain baru. Tak heran, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mencatat bahwa pemain judi online didominasi oleh pemuda usia 17-20 tahun dan masyarakat kelas bawah.

Ironisnya, bagaikan benang kusut, aktivitas judi online menjadi jerat yang sulit diurai. Penegakan hukum kerap terhambat oleh kompleksitas dunia maya, membuat para pelaku judi online leluasa bersembunyi di balik layar.

Memerangi judi bagaikan pertempuran tanpa henti. Sejarah mencatat, praktik perjudian sudah berlangsung sejak berabad-abad lampau, berkembang dan beradaptasi seiring perkembangan perdaban manusia.

Bukti-bukti arkeologi menunjukkan aktivitas perjudian sudah ada sejak masa prasejarah. Di Indonesia sendiri, jejak aktivitas perjudian bisa ditelusuri sejak masa kerajaan-kerajaan Nusantara, menjadi sarana hiburan, ritual adat, hingga alat untuk mempertaruhkan kekuasaan.

Judi memang telah menjadi bagian dari peradaban manusia sejak lama. Namun, judi terutama online dengan segala dampak destruktifnya harus dihadapi dengan tegas. Upaya penegakan hukum yang lebih efektif, edukasi publik yang gencar, dan kerjasama dari berbagai pihak menjadi kunci untuk memerangi judi online.

KOMPAS/JULIAN SIHOMBING

Penarikan perdana undian Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah pada Rabu malam, 4 Januari 1989 di Gedung Candranaya, Jakarta Pusat. Penarikan tersebut disaksikan oleh Menko Polkam Sudomo, yang sebelumnya mengadakan kunjungan ke dua lokasi loket penjualan, dan beberapa wakil dari lembaga pemerintah. Tabungan berisi bola-bola undian, ketika diputar untuk mendapatkan nomer undian.

Judi di Masa Kuno

Permainan judi, sebuah aktivitas penuh untung-rugi, telah dikenal lama di Indonesia. Jejaknya sudah terekam dalam sejumlah prasasti dan naskah kuno, yang menjadi bukti eksistensinya menemani perjalanan sejarah bangsa.

Dzulfiqar Isham dalam skripsinya di Universitas Indonesia berjudul “Perjudian pada Masa Jawa Kuno: Sumber Prasasti Abad ke-8 hingga ke-13” menunjukan bahwa aktivitas perjudian sudah marak terjadi pada abad ke-9 di Jawa. Hal ini diketahui dari informasi yang terdapat dalam beberapa prasasti Sima, prasasti yang mencatat penetapan sebidang tanah atau daerah sebagai Sima, daerah perdikan, yang diberikan raja kepada pejabat berjasa.

Beberapa prasasti, seperti Prasasti Wangwang Bangen (746 Saka/824 Masehi), Waharu Kuti (762 Saka/840 Masehi), Kancana (782 Saka/860 Masehi), dan Waharu I (795 Saka/873 Masehi), menyebutkan adanya beberapa profesi atau jabatan di kerajaan yang berkaitan dengan perjudian. Jabatan-jabatan ini termasuk juru judi, tuha judi, malandang, lca, dan taji, yang juga disebut bersama dengan petugas kerajaan lainnya seperti petugas pajak dan petugas pengadilan.

Juru judi dan tuha judi bertindak sebagai koordinator kegiatan perjudian dan bertanggung jawab atas penarikan pajak perjudian. Malandang bertugas mengelola perjudian sabung ayam, sedangkan lca mengatur jalannya perjudian sabung ayam di lapangan. Taji, di sisi lain, adalah pembuat senjata tajam yang biasa digunakan dalam sabung ayam. Keberadaan profesi-profesi ini menjadi indikasi bahwa perjudian pada masa itu merupakan kegiatan yang lazim di masyarakat, serta sudah diselenggarakan secara terorganisir.

KOMPAS/AR BUDIDARMA

Poster-poster Porkas yang merajalela di mana-mana (15/3/1987), membuat masyarakat menjadi keranjingan dengan tebak-tebakan berhadiah, yang sebenarnya perjudian .

Bentuk perjudian yang paling populer pada masa Jawa Kuno adalah adu hewan, dengan ayam, babi, merpati, dan kambing sebagai hewan aduan. Di antara semua jenis adu hewan, sabung ayam menjadi yang paling populer, karena paling banyak disebutkan dalam prasasti.

Beberapa prasasti menunjukan bahwa adu hewan merupakan salah satu hiburan rakyat dalam sebuah acara, bersama dengan tari-tarian, musik dan tontonan men-men. Hal ini salah satunya digambarkan dalam Prasasti Taji (823 Saka/901 Masehi) yang ditemukan di Dukuh Taji, Ponorogo, Jawa Timur.  Prasasti ini menyebutkan: “…menari, mengadu babi hutan dan ayam, Tanda Rakryan sama-sama ingin bersenda gurau membuat senang hati pejabat desa itu sesudah Tanda Rakryan berkumpul menari dapat/sebanyak 4 keliling…”

Adapun terkait tempat dilakukannya adu hewan, prasasti Panumbangan I (1140 Masehi), di temukan di Desa Plumbangan, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, menyebutkan bahwa  perjudian bisa dilakukan di balai-balai, boleh juga di tempat belajar agama. Menunjukkan bahwa perjudian telah menyatu dengan kehidupan masyarakat pada masa itu. Berikut isi potongannya: “…boleh berjudi di balai-balai, boleh berjudi ditempat belajar agama, boleh mendatangkan tontonan menmen…”

KOMPAS/EMMANUEL SUBANGUN

Budaya sabung ayam di Bali (30/7/1979).

Di Bali, sabung ayam juga populer, seperti yang tercantum dalam prasasti Sembiran AI (844 Saka/922 Masehi) dengan istilah “lagan sawung”. Menurut I Wayan Gede Saputra K.W  dalam artikelnya Sabung Ayam Pada Masyarakat Bali Kuno Abad IX-XII, dalam konteks masyarakat Bali pada saat itu, ada tiga fungsi diselenggarakannya sabung ayam. Pertama, sebagai objek pajak, diselenggarakan dengan tujuan menjadi sumber pajak bagi kerajaan. Kedua, sebagai hadiah atau imbalan raja. Ketiga, sebagai sarana pelengkap ritual. Fungsi ketiga inilah yang dominan disebutkan pada sebagian besar prasasti masa Bali Kuno.

Anthony Reid dalam bukunya Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 145-1680 menyebutkan, menyabung ayam memiliki makna keagamaan dan merupakan bagian penting dalam acara-acara ritual. Darah ayam sabungan dipandang sebagai korban untuk menyenangkan dewa-dewa. Selain itu, kemenangan dalam sabung ayam maupun adu-adu hewan lainnya, merupakan bentuk kemenangan simbolis bagi raja, sehingga menjadi suatu bagian penting dalam suatu ritus penobatan. Kekelahan dalam sabung ayam dianggap sebagai pertanda buruk.

Menariknya, jika perjudian, khususnya adu binatang, digambarkan dalam prasasti sebagai salah satu bentuk hiburan rakyat yang umum. Dalam kitab-kitab kuno seperti Manawadharmasutra dan Purwadigama, taruhan dan perjudian merupakan tindakan yang tidak dibenarkan. Kegemaran terhadap taruhan atau perjudian dianggap sebagai sifat buruk, dan dilarang karena merupakan bentuk kejahatan.

Era Kolonial

Jenis perjudian semakin beragam ketika orang-orang dari bangsa lain datang dan menetap di Nusantara, dengan membawa dan mempopulerkan ragam permainan dari tempat asalnya.

Pada masa kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), bermain judi menjadi salah satu jenis hiburan yang banyak digemari masyarakat. Pada masa ini permainan judi yang populer adalah judi kartu dan dadu, atau disebut juga po.

Menurut Tjan Tjoe Siem, dalam artikel berjudul “Permainan Kartu Jawa” dalam buku Bunga Rampai Bahasa, Sastra dan Budaya, judi kartu dengan taruhan ini pertama kali diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa. Selain itu, mereka juga mengenalkan judi capjiki.

VOC melihat potensi besar dalam minat masyarakat terhadap perjudian. Pada 1620, VOC memberikan hak istimewa kepada orang-orang Tionghoa untuk mendirikan dan mengelola rumah-rumah judi. Tujuannya jelan, menarik pajak dari aktivitas tersebut.

KOMPAS/PRAMONO BS

Penjualan Kupon TSSB atau Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah di Semarang (2/8/1987).

Keputusan ini terbukti jitu. Rumah-rumah judi menjamur di berbagai kota, terutama di Batavia. Menurut sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII, uang sewa perjudian merupakan pendapatan nomor dua sesudah pajak kepala dan jauh melebihi uang sewa pasar dan toko, jumlahnnya berkisar antara 700 dan 1.200 real per bulan.

Ketika VOC bubar dan kendali pemerintahan diambil oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, perjudian pun terus berlangsung dan semakin bergam. Pada abad ke-19, Pemeritnah Hindia Belanda memperkenalkan permainan undian lotere, bentuk perjudian di mana pemenang dipilih secara acak melalui pengundian angka atau simbol.

Namun, lotere Belanda ini tidak terlalu populer. Alasannya, seperti yang diungkapkan Zeffry Alkatiri dalam Pasar Gambir, Komik Cina, dan Es Shanghai, karena uang taruhannya yang besar. Masyarakat berpenghasilan terbatas lebih memilih capjiki atau sikia yang lebih murah.

Meskipun perjudian dilarang bagi perempuan, orang Belanda, dan kalangan militer, tak jarang mereka ikut bermain secara diam-diam. Hal ini diceritakan Marieke Bloembergen dalam bukunya Polisi Zaman Hindia Belanda. Dalam salah satu bab diceritakan bahwa 20 tentara yang meninggalkan rumah judi Tionghoa di pasar malam terlibat perselisihan dengan polisi lalu lintas di Boengoenan. Penyebabnya tidak jelas, bisa jadi karena persaingan antara polisi dan tentara.

KOMPAS/KARTONO RYADI 

Salah satu sudut penjualan kupon Porkas undian berhadiah olahraga Rp 100 juta di Pasar Palmerah (16/07/1986). Porkas undian resmi dikeluarkan Depsos semasa Mensos Ny. Nani Soedarsono untuk dana olahraga lahir 28 Desember 1985 laku keras dan menjadi tebakan serius bagi warga. 

Era Kemerdekaan

Pasca kemerdekaan, permainan judi masih tetap eksis. Salah satunya yang kerap bersentuhan dengan masyarakat adalah praktik kegiatan undian yang mengundang perhatian banyak orang karena menjanjikan hadiah dari undian tersebut. Hal ini makin dikuatkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1954 tentang Undian. Berdasarkan regulasi yang mengatur undian inilah yang kemudian menjadi dasar bermunculannya kegiatan penggalian dana dengan imbalan hadiah.

Pada tahun 1960-an pemainan undian berhadian menjadi salah satu bentuk sumbangan sosial untuk pembangunan. Undian ini dikeluarkan oleh Yayasan Rehabilitasi Sosial yang dibentuk pemerintah untuk urusan-urusan sosial.

Selain undian berhadiah, juga marak permainan lotere buntut. Permainan ini sangat digandrungi hingga pelosok desa. Cara mainnya sederhana, masyarakat hanya cukup menebak dua angka undian yang dikeluarkan Yayasan Rehabilitasi Sosial. Hadiah yang disuguhkan pun terbilang besar pada masanya, yakni mencapai Rp60.000-80.000.

Namun, karena alasan merusak moral bangsa, pada tahun 1965, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 11 Tahun 1965 yang mengelompokkan lotere buntut dan musik ngak-ngik-ngok sebagai kegiatan subversi.

Meski demikian, perjudian tidak sepenuhnya hilang, perjudian tetap berlanjut. Bahkan, tak berselang lama, di ibu kota perjudian dilegalkan oleh Ali Sadikin, Gubernur Jakarta periode 1966-1977, lewat Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Chusus Ibukota Djakarta No. 805/A/k/BKD/1967.

Keputusan Ali Sadikin tersebut melahirkan polemik, terutama dari kalangan ulama yang menilai perjudian merupakan salah satu dosa besar yang dilarang agama. Karena kebijakannya tersebut, Ali Sadikin sempat dijuluki “gubernur judi” dan “gubernur maksiat”. Namun, Ali Sadikin mengatakan bahwa kebijakan tersebut dilakukan untuk memperoleh sumber pendapatan baru yang menunjang pembangunan ibu kota. Sebab, anggaran pembangunan Jakarta  saat itu hanya Rp 66 juta, tidak cukup untuk membiayai pembangunan ibu kota menjadi kota metropolitan.

KOMPAS/ABUN SANDA

Pengedaran Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) di wilayah DKI Jakarta, untuk sementara dilakukan di eks penjualan KSOB dan TSSB yang telah direkomendasi walikota wilayah setempat. Salah satu tempat pengedaran SDSB di wilayah Palmerah, Jakarta Pusat, Rabu (11 Desember 1988).

Pemberitaan Kompas pada 23 November 1967 menyebut, Pemerintah DKI Jakarta menerima pemasukan lebih kurang Rp600 juta dalam setahun atau sekitar Rp60 triliun saat ini (asumsi kurs dollar AS Rp15.000). Hasil pungutan dari praktik perjudian tersebut digunakan, antara lain, untuk pembangunan gedung-gedung sekolah, perbaikan dan pelebaran jalan, serta sejumlah fasilitas umum lainnya.

Dalam biografinya, Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 karya Ramadhan K.H, Ali Sadikin mengklaim telah membangun 2.400 gedung sekolah, lebih dari 1.200 kilometer jalan raya, memperbaiki kampung, membina pusat kesehatan, masjid, dan penghijauan.

Di tingkat nasional, pada tahun 1980-an, pemerintah juga kembali melegalkan penarikan dana dari masyarakat lewat kupon yang nantinya akan diundi pemenangnya untuk mendapatkan hadiah. Salah satu yang populer adalah Porkas yang merupakan kepanjangan dari Pekan Olahraga Ketangkasan.

KOMPAS/DUDY SUDIBYO

Pengundian Undian Berhadiah dari Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Departemen Sosial (16/7/1987).

Praktik undian ini sendiri sebenarnya mendapatkan banyak protes dari berbagai pihak, terutama MUI dan tokoh-tokoh agama. Penyanyi dangdut kondang Rhoma Irama pun turut memberikan kritikan terhadap maraknya perjudian dengan lagu “Judi” pada tahun 1987.

Arsip Kompas, 29 Desember 1985, mencatat, Porkas dipakai pemerintah untuk menggalang dana untuk membiayai penyelenggaraan olahraga terutama sepak bola. Porkas terbilang cukup sukses, dana besar yang terkumpul dari undian tersebut dipakai untuk membiayai kompetisi sepak bola Galatama yang dikelola PSSI.

Cara main Porkas yakni masyarakat membeli kupon berhadiah dan bertaruh pada 14 klub yang berkompetisi di Galatama. Pembeli Porkas kemudian memilih tebakan hasil pertandingan yang terdiri dari menang-seri-kalah. Lalu pemerintah lewat PSSI dan KONI akan melakukan undian setiap seminggu sekali setelah 14 klub sudah seluruhnya bertanding.

Namun, karena protes dan desakan terhadap perjudian semakin besar akhirnya membuat pemerintah menghentikan dan melarang semua praktik undian dan perjudian lainnya pada 1993. Masyarakat menilai undian berhadiah sebagai salah satu cara memobilisasi dana dari masyarakat lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Tidak pernah ada laporan resmi dan rinci mengenai jumlah uang yang masuk dan sekaligus penggunaannya untuk sektor mana saja (Kompas, 22/11/1993).

Meski demikian, praktik perjudian nyatanya tak surut. Salah satu judi yang memiliki pangsa pasar besar adalah judi bola. Arsip Kompas 10 Juni 2000 menyebut, Indonesia menjadi pasar taruhan terbesar di Asia. Pada ajang Piala Euro 2000, para bandar judi di Jakarta diperkirakan menggenggam uang-uang taruhan senilai Rp1,8 triliun. Jumlah ini belum termasuk bandar di Bandung, Surabaya, dan Medan yang nilainya juga mencapai triliunan rupiah.

KOMPAS/HASANUDDIN ASSEGAFF

Sekitar 175 ulama, mubalig dari 125 pesantren se-Jakarta, Bogor, Tanggerang dan Bekasi, Sabtu siang (20/11/1993) mengadakan unjuk rasa anti-SDSB ke DPR, Senayan Jakarta. Seusai diterima Wakil Ketua DPR dari Fraksi ABRI Sutedjo, para ulama dan mubalig bersama-sama Sutedjo berdoa bersama di depan Gedung DPR, yang dipimpin KH Habib Idrus Jamalulael (selendang hijau), agar SDSB segera ditutup.

Era Digital

Seiring masifnya arus teknologi khususnya dengan kehadiran internet, perjudian berubah bentuk dalam bentuk online atau daring. Arsip Kompas mencatat, operator judi online sudah ada sejak 2003, yang dioperasikan oleh PT Indobet Online. Menurut penjelasan di situs web perusahaan ini, stats mereka adalah sebuah perusahaan legal untuk menyelenggarakan lotre berhadiah untuk membantu kesejahteraan sosial. Perusahaan ini memiliki izin Departemen Sosial nomor 605/HUK-UND/2003 serta memiliki izin portal internet dari Departemen Kominfo nomor 20/M.Kominfo/12/2003.

Untuk ikut berjudi di Indobet Online ini ada form data yang harus diisi secara lengkap, termasuk pilihan mata uang, nama bank, alamat bank, dan juga SWIFT code yang lazim digunakan dalam perbankan. Tapi tidak ada satu pun data yang tertera menunjukkan eksistensi perusahaan ini dan komunikasi hanya dilakukan dengan e-mail (Kompas, 23/6/2006).

Kini, hanya dengan sebuah ponsel dan internet, terdapat berbagai pilihan situs judi daring yang dapat diakses oleh masyarakat. Jenis judi daring yang ditawarkan bermacam-macam, mulai dari berbagai gim ala kasino, permainan kartu, judi bola, hingga jenis judi slot.

Pada Rabu (12/6),  Presiden Joko Widodo menyatakan sudah menutup 2,1 juta situs judi online. Hal ini menggambarkan banyaknya situs judi online yang bertebaran di dunia maya.

Kendati demikian, upaya pemerintah kiranya belum cukup manjur untuk memberantas judi online tersebut. Mati satu, tumbuh seribu. Situs judi online hanya berganti domain, seakan tidak ada habisnya.

 KOMPAS/HARIADI SAPTONO

Ratusan mahasiswa mewakili 12 kampus di wilayah Yogyakarta melakukan aksi unjuk rasa menolak keberadaan SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah) di depan gedung DPRD Derah Istimewa Yogyakarta (3/12/1991).

Chairman Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha, berpendapat, operator judi daring terus mengembangkan teknologi dan perangkat lunak yang canggih untuk menyembunyikan jejak mereka. Mereka menggunakan metode enkripsi yang kuat dan layanan VPN (virtual private network) untuk menyembunyikan lokasi fisik mereka, membuat penegakan hukum menjadi lebih sulit (Kompas, 21/7/2023).

Operator judi daring juga dapat menggunakan berbagai alias (nama samaran) dan mengubah domain mereka secara berkala. Lalu, mereka menyembunyikan identitas asli mereka dengan menggunakan berbagai teknik, termasuk menyusup ke sistem laman pemerintahan dan pendidikan.

Mimpi dapat uang secara cepat membuat banyak orang kecanduan dan masuk perangkap aktivitas ini. PPATK melaporkan, sekitar 3,2 juta warga terlibat dalam aktivitas perjudian daring, dengan mencetak perputaran uang hingga Rp600 triliun per Agustus 2023 sejak 2017. Mayoritas bertaruh dengan jumlah nominal di bawah Rp100.000 atau masuk dalam kategori masyarakat berpenghasilan rendah, seperti pelajar, buruh, petani, ibu rumah tangga, dan pegawai swasta.

Masifnya fenomena judi online ini tak bisa dibiarkan karena membawa dampak sosial-ekonomi luas bagi masyarakat dan keseluruhan ekosistem digital. Pemerintah harus bertindak tegas, antara lain dengan memperkuat kemanan siber, regulasi dan penegakan hukum tegas pada situs judi ilegal. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • “Siapa Mau Djadi Warga Kehormatan Tudjuh Turunan?” Kompas, 23 November 1967.
  • “Porkas disambut positif kalangan PSSI,” Kompas, 29 Desember 1985.
  • “Gelombang anti-SDSB: Sekadar Protes Pengganti Nama?” Kompas, 22 November 1993.
  • “Omzetnya Sampai Rp 1,8 Trilyun,” Kompas, 10 Juni 2000.
  • “Teknologi dan Judi: Judi Cerdas, Kemenangan Cerdas,” Kompas, 23 Juni 2006.
  • “Konten Judi Daring Manfaatkan Celah Keamanan yang Lemah,” Kompas, 21 Juli 2023.
  • “Indonesia Jadi “Surga” Promosi Judi Daring,” Kompas, 16 September 2023.
  • “Uang Judi Gagal Membangun Kota, “Bang Oma” Sudah Ingatkan,” Kompas, 15 Oktober 2023.
  • “Wajah Bersolek Perjudian Mengarungi Zaman,” Kompas, 15 November 2023.
  • “Jejak Langkah Pemerintah Melawan Judi,” Kompas, 16 Juni 2024.
  • “Penegakan Hukum Judi “Online” Dinilai Belum Serius,” Kompas, 18 Juni 2024.
Jurnal
  • Isham, Dzulfiqar. 2015. Perjudian Pada Masa Jawa Kuno: Sumber Prasasti Abad ke-8 Hingga ke-13. Riset/Skripsi. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
  • Widyarsa, I Wayan Gede Saputra Karunia. 2016. “Sabung Ayam Pada Masyarakat Bali Kuno Abad IX-XII,” E-Jurnal Humanis, Fakultas Sastra dan Budaya Unud, Vol 15(2): 75-80.
Buku
  • Alkatiri, Zeffry. 2010. Pasar Gambir, Komik Cina, dan Es Shanghai. Jakarta: Masup Jakarta.
  • Bloembergen, Marieke. 2014. Polisi Zaman Hindia Belanda. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • Ramadhan K.H. 1933. Bang Ali demi Jakarta (1966-1977).Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
  • Reid, Anthony. 2011. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Pustaka Obor.
  • Hendrik E. Niemeijer. 2012. Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII.Jakarta: Masup Jakarta.
  • Ikram, Achadiati (ed). 1988. Bunga Rampai Bahasa, Sastra, dan Budaya. Jakarta: Intermasa.