Paparan Topik

Tantangan Industri Surat Kabar

Kredibilitas, keakuratan, dan kedalaman analisis menjadi nilai utama yang membedakan surat kabar dengan media sosial.

KOMPAS/SYAMSUL HADI

Suasana Percetakan Gramedia di Palmerah Selatan, Jakarta, yang mencetak Harian Kompas (2/8/1972).

Fakta Singkat

Industri Surat Kabar

  • Relation aller Furnemmen und gedenckwurdigen Historien (kumpulan kisah terkenal yang patut diingat), diterbitkan oleh penulis Jerman Johann Carolus pada tahun 1605 dianggap sebagai surat kabar pertama.
  • Bataviasche Nouvelles yang terbit di Batavia pada 1744 menjadi surat kabar pertama di Hindia Belanda.
  • Digital 2024 Global Overview Report”, lebih dari 5 miliar orang di seluruh dunia menjadi pengguna media sosial aktif, dengan 266 juta pengguna baru dalam setahun terakhir.
  • GWI mengungkapkan bahwa rata-rata pengguna internet kini menghabiskan 6 jam 40 menit untuk online setiap hari.
  • Serikat Penerbitan Pers (SPS), pada 2022 hanya tersisa 399 media.
  • Menurut Heribert Prantl dalam tulisannya berjudul “Die Zeitung is tot. Es lebe di Zeitung!”, media cetak sebaiknya fokus pada nilai-nilai seperti analisis, kedalaman berita, investigasi, dibandingkan mengejar kecepatan.

Industri media cetak, khususnya surat kabar, telah menjadi pilar penting dalam perjalanan sejarah manusia selama berabad-abad. Peran mereka tak hanya sebatas penyedia informasi, tetapi juga turut membentuk wacana publik dan menjadi saksi perjalanan peradaban manusia.

Namun, di era digital ini, surat kabar cetak dihadapkan pada persimpangan jalan. Kemunculan teknologi internet dan platform digital telah menggeser preferensi masyarakat dalam mengakses informasi. Kemudahan akses dan penyajian berita yang instan menjadi daya tarik utama, sehingga banyak orang beralih ke platform digital untuk mendapatkan informasi.

Hal ini membawa dampak signifikan bagi eksistensi surat kabar. Penjualan menurun drastis, dan banyak perusahaan surat kabar terpaksa gulung tikar atau beralih ke platform digital.

Meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan, surat kabar tetap memiliki kekuatan yang tak dimiliki media digital. Kredibilitas, keakuratan, dan kedalaman analisis menjadi nilai utama yang membedakannya dengan platform digital.

KOMPAS/DUDY SUDIBYO

Sebagian dari delegasi Komite Koordinasi Kantor-kantor Berita Negara-Negara Non-Blok Selasa pagi (4/4/1978) meninjau percetakan PT Gramedia tempat Harian Kompas diterbitkan. Para delegasi melihat cara kerja percetakan tersebut didampingi oleh Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Jakob Oetama, dan Staf Menteri Penerangan Ali Murtopo.

Riwayat Industri Media Cetak

Era baru dalam penyebaran informasi dimulai dengan penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg di Eropa pada abad ke-15. Mesin cetak ini menandai awal dari revolusi media cetak yang mengubah cara informasi dibagikan dan dikonsumsi.

Sebelum kehadiran mesin cetak, proses penyebaran informasi berjalan lambat dan terbatas. Informasi hanya dapat diakses oleh segelintir orang, karena proses menyalin teks dilakukan secara manual dengan tangan. Hal ini juga membuat informasi menjadi langka dan mahal.

Kehadiran mesin cetak memungkinkan produksi massal media cetak, membuka jalan bagi industri surat kabar dan menjadikan informasi lebih mudah dijangkau oleh masyarakat luas.

Surat kabar pertama yang diakui secara luas adalah Relation aller Furnemmen und gedenckwurdigen Historien (kumpulan kisah terkenal yang patut diingat), diterbitkan oleh penulis Jerman Johann Carolus pada tahun 1605. Namun, lembaran berita dalam bentuk laporan tertulis sebenarnya telah ada jauh lebih lama, seperti Acta Diurna di zaman Romawi kuno.

Perbedaan antara bentuk penyebaran berita awal dan surat kabar pertama terletak pada penggunaan mesin cetak, penerbitan reguler, dan distribusi luas untuk menyampaikan informasi terkini kepada publik.

Tak lama setelah terbitnya The Relation, muncul Avisa Relation oder Zeitung atau Avisa di Wolfenbüttel, Jerman, diterbitkan oleh Lucas Schulte pada tahun 1609. Surat kabar terbitan Lucas sudah terbit secara periodik dan berisi berita-berita terbaru dari berbagai belahan dunia.

Sejak itu, surat kabar lain bermunculan dan menyebar ke seluruh dunia. Surat kabar memainkan peran penting dalam mencatat berbagai peristiwa, seperti peperangan, bencana alam, penobatan raja, perayaan publik, persidangan, hingga iklan.

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Pada tahun 1618 surat kabar yang dicetak dalam ukuran folio diterbitkan di Amsterdam, Belanda berjudul Courante uyt Italien & Duytschlandt. Sedangkan di Inggris, surat kabar pertama yang terbit secara teratur adalah Oxford Gazette yang terbit di Oxford pada tahun 1665. Di Amerika Serikat, terbit Publick Occurrences Both Forreign and Domestick pada 1690 dan Boston News Letter pada 1704.

Pada abad ke-18, surat kabar sudah menjadi sangat populer dan menjangkau khalayak yang lebih luas. Revolusi Industri, meningkatnya tingkat melek huruf, urbanisasi, dan minat terhadap isu-isu politik dan sosial menjadi faktor pendorong utama popularitas surat kabar.

Pada abad ke-19, perkembangan industri surat kabar semakin pesat. Merujuk Britannica.com, di Amerika Serikat, misalnya, pada pertengahan abad ke-19, terdapat 400 surat kabar harian dan 3.000 surat kabar mingguan.

Perkembangan teknologi seperti mesin linotype dan telegraf turut mendorong kemajuan pesat surat kabar. Mesin linotype memungkinkan penyusunan huruf menjadi lebih mekanis, sedangkan telegraf mempercepat transmisi informasi dari satu tempat ke tempat lain.

Pada awal abad ke-20, surat kabar semakin memperluas kontennya seperti yang kita kenali di surat kabar saat ini, seperti foto dan ilustrasi, komik, gaya hidup, fashion, liputan olahraga, selain berita politik. Jurnalisme pun telah berkembang menjadi sebuah profesi yang diakui.

Seiring dengan berkembangnya konten, sirkulasi surat kabar meningkat secara eksponensial. Beberapa surat kabar, seperti The New York Times (AS), The Wall Street Journal (AS), The Washington Post (AS), The Times (Inggris), The Daily Mail (Inggris), Le Monde (Perancis), Berliner Zeitung (Jerman), La Stampa (Italia), dan Asahi Shimbun (Jepang), memiliki sirkulasi mencapai satu juta eksemplar dan memiliki pengaruh penting.

Sejarah di Indonesia

Industri surat kabar di Indonesia memiliki sejarah panjang dan kaya, yang tak terlepas dari pasang surut perjalanan bangsa. Dimulai sejak era kolonial Belanda, surat kabar telah menjadi medium penting untuk menyebarkan informasi, menggaungkan gagasan, dan menjadi saksi bisu pergerakan kemerdekaan.

Pada tahun 1744, Bataviasche Nouvelles hadir sebagai surat kabar pertama di Hindia Belanda. Surat kabar berbahasa Belanda ini terbit mingguan di Batavia sebagai koran dagang, sehingga sebagian besar halamannya dipenuhi dengan iklan dan berita lelang.

Sayangnya, surat kabar yang didirikan oleh Jan Erdman Jordens ini hanya bertahan 2 tahun. Pada 1976, Bataviasche Nouvelles terpaksa berhenti cetak. Dewan XVII yang merupakan pusat kebijakan VOC di Belanda khawatir berita-berita kondisi perdagangan Hindia Belanda akan dimanfaatkan para pesaingnya di Eropa.

Setelah pelarangan terhadap Bataviasche Nouvelles, nyaris tidak ada surat kabar yang terbit setelah itu. Meski demikian kegiatan percetakan/penerbitan masih tetap berlangsung, tetapi tidak ditemukan dalam bentuk media surat kabar. Baru kemudian pada 1810, di bawah pemerintahan Daendels, terbit Bataviasche Koloniale Courant, yang merupakan koran resmi pemerintah.

Pada perkembangan selanjutnya, industri percetakan kian meluas dan surat kabar swasta bermunculan di berbagai kota di Hindia Belanda.  Pada pertengahan abad ke-19, bisnis surat kabar tidak lagi menjadi monopoli orang-orang kulit putih. Banyak surat kabar yang dikelola oleh peranakan China-Melayu, seperti Pemberita Betawi, Bintang Surabaya, dan Bintang Betawi, yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa utama.

Bahkan, beberapa surat kabar menggunakan bahasa daerah setempat, seperti Bromartani, surat kabar berbahasa Jawa pertama yang diterbitkan di Surakarta pada tahun 1855.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Winda, mahasiswi Universitas Brawijaya, membantu proses digitalisasi koran di kompleks Museum Monumen Pers, Solo, Jawa Tengah, Kamis (4/4/2019). Proses alih media dari bentuk cetak ke digital juga dilakukan terhadap ribuan dokumen dan transkrip kuno untuk menyelamatkan isi dari berbagai dokumen berharga yang telah berusia tua.

Minat mendirikan usaha surat kabar juga berkembang di kalangan Pribumi. Haji Samanhudi bersama dengan Raden Mas Djokomono menerbitkan Medan Prijaji pada Januari 1904. Surat kabar yang dipimpin oleh Raden Mas Djokomono yang terkenal dengan nama RM Tirto Adhie Soeryo ini menjadi tonggak jurnalistik Indonesia (Kompas, 20/2/2024). 

Setelah Medan Prijaji, terbit Darmo KondhoFikiran RajatSoeloeh Ra’jat Indonesia. Beberapa surat kabar terbit di luar Jawa dengan gagasan yang sama, seperti Penghantar (Ambon), Sinar Borneo (Banjarmasin), Persatoean ­(Kalimantan), Pewarta Deli, Matahari (Medan), dan Sinar Sumatera (Padang).

Pada masa ini, surat kabar menjadi tempat untuk mengungkapkan gagasan gerakan kebangsaan. Mengacu buku Seabad Pers Kebangsaan, nyaris seluruh tokoh kunci pergerakan kebangsaan adalah pelaku industri surat kabar. Di antaranya: HOS Tjokroaminoto menjadi pemimpin redaksi Oetoesan Hindia dan Sinar Djawa;  Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo menukangi De Expres; Soekarno menjadi pemimpin redaksi Persatoean Indonesia dan Fikiran Ra’jat; dan Mohammad Hatta dan Sjahrir menahkodai Daulat Ra’jat.

Berita Indonesia menjadi surat kabar pertama yang terbit pertama setelah Indonesia merdeka. Koran ini terbit secara teratur sejak 6 September 1945. Kemudian, muncul majalah Tentera dan disusul surat kabar Merdeka yang dipimpin oleh BM Diah. Pemerintah Indonesia juga menerbitkan Negara Baroe dan Soeara Oemoem.

Seiring berjalannya waktu, berbagai surat kabar nasional dan regional semakin tumbuh subur di penjuru Indonesia, seperti Jawa Pos, Sinar Harapan, Kompas, Media Indonesia, dan Tempo. Surat kabar-surat kabar ini tidak hanya menjadi sumber informasi, tetapi juga media edukasi dan pilar demokrasi serta pengawas pemerintah.

Kehadiran Internet

Kehadiran internet di penghujung abad ke-20 menandai perubahan besar dalam industri surat kabar. Kejayaan media cetak yang telah mengakar selama berabad-abad mulai goyah.

Internet mengubah segalanya. Dalam sekejap media daring atau media online mengambil alih peran surat kabar. Pola konsumsi informasi masyarakat beralih ke media daring yang menawarkan akses informasi dengan kecepatan, kemudahan, dan biaya yang jauh lebih murah.

Laporan terbaru “Digital 2024 Global Overview Report” oleh We Are Social menunjukan bahwa lebih dari 5 miliar orang di seluruh dunia menjadi pengguna media sosial aktif, dengan 266 juta pengguna baru mulai menggunakan media sosial untuk pertama kalinya dalam setahun terakhir. Artinya, dunia memiliki rata-rata 8,4 pengguna media sosial baru per detik selama setahun terakhir.

Penelitian terbaru dari GWI mengungkapkan bahwa rata-rata pengguna internet kini menghabiskan 6 jam 40 menit untuk online setiap hari. Hampir 61 persen responden survei usia kerja GWI mengatakan bahwa “mencari informasi ” adalah salah satu alasan utama mereka menggunakan internet.

Hal ini telah memberikan ancaman bagi keberlangsungan eksistensi surat kabar. Penurunan drastis pembaca dan pelanggan berakibat pada anjloknya pendapatan dari dua sumber utama, yaitu sirkulasi dan iklan.

Dalam laporan Dentsu, perusahaan periklanan internasional yang bermarkas di Jepang, nilai belanja iklan global mencapai 713 dolar AS pada 2022. Media digital menguasi pangsa pasar iklan terbesar, dengan nilai 394,4 miliar dolar AS atau 55,3 persen dari total belanja global. Para pengiklan lebih memilih untuk beriklan di media sosial dan platform online lainnya karena memiliki jangkauan audience yang lebih luas dan tertarget.

Dihadapkan pada situasi tersebut, banyak perusahaan surat kabar terpaksa melakukan langkah-langkah penyesuaian. Mulai dari mengurangi edisi cetaknya, pemangkasan  jumlah halamannya, pengurangan jumlah karyawan, hingga memutuskan untuk berhenti menerbitkan versi cetak sama sekali dan fokus pada platform digital.

Tak sedikit pula yang kemudian benar-benar tutup. Menurut Northwestern University Local News Initiative, sejak 2005 AS telah kehilangan sekitar 2.500 surat kabar dan diperkirakan akan kehilangan sepertiga lainnya pada 2025. Di Inggris, merujuk data dari laman medialandscapes.org, sekitar 200 surat kabar lokal telah tutup sejak tahun 2005 dan banyak surat kabar harian beralih menjadi publikasi mingguan.

Di Australia, pada 2020, Grup media unggulan Australia milik Rupert Murdoch, News Corp, mengumumkan menghentikan edisi cetak sekitar 60 surat kabar. Pada Juli 2023, edisi cetak surat kabar Austria Wiener Zeitung, yang telah diterbitkan sejak 1703, pun berhenti terbit.

Hal sama juga terjadi di Indonesia. Serikat Penerbitan Pers (SPS), menyebutkan, jumlah penerbitan cetak terus merosot dari tahun ke tahun. Pada 2021, masih ada 593 media cetak yang terdaftar di serikat tetapi hanya tersisa 399 media pada 2022.

Tak hanya jumlah media cetak yang merosot tetapi juga tirasnya. Pada 2021 misalnya, masih ada sekitar 7,5 juta eksemplar media cetak per tebit. Namun, angka itu anjlok menjadi sekitar 5 juta eksemplar per terbit pada 2022.

Sementara berdasarkan data Dewan Pers, per Juni 2024, terdapat 1.800 perusahaan media di Indonesia yang telah terverifikasi. Dari jumlah tersebut, media digital mendominasi sebanyak 1.015 perusahaan, sedangkan perusahaan media cetak ada sebanyak 442.

Data tersebut menunjukan bahwa masyarakat Indonesia semakin intens berinteraksi di ruang digital. Dalam laporan Status Literasi Digital di Indonesia 2022 yang diterbitkan Kementerian Komunikasi dan Informasi bekerjasama dengan bekerjasama dengan Katadata Insight Center, tercatat bahwa dalam tiga tahun terakhir, yakni tahun 2020 – 2022, 72 persen masyarakat Indonesia mengandalkan media sosial sebagai sumber utama untuk mengakses informasi.

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Dari sisi pendapatan iklan, platform digital telah menguasai pasar iklan. Google dan Facebook menguasai 75-80 persen dari total belanja iklan digital nasional. Alhasil, rata-rata keseluruhan pendapatan industri pers pun terus mengalami penurunan.

Di tengah situasi tersebut, ongkos produksi terus meningkat. Kenaikan kurs dolar Amerika Serikat membuat harga kertas koran mencapai Rp15.000 per kilogramnya. Angka ini meningkat hingga 60 persen dibandingkan akhir 2022 lalu karena bahan baku pembuatan kertas sebagian besar masih impor (Kompaspedia, 28/6/2023).

Sementara biaya cetak juga mengalami kenaikan karena turut meningkatnya harga tinta dan biaya produksi lainnya. Hingga saat ini, biaya untuk mencetak surat kabar sebanyak 16 halaman dengan empat halaman warna berada pada kisaran harga Rp3.000 sampai Rp4.000, bahkan bisa lebih tinggi lagi.

Akurat dan Mendalam

Di tengah invasi teknologi internet, aneka ramalan kematian surat kabar cetak pun bermunculan. Philip Meyer, profesor emeritus University of North Carolina, Amerika Serikat, dalam bukunya, The Vanishing Newspaper (2004), memprediksi koran akan mati tahun 2043 atau sekitar 20 tahun ke depan (Kompas, 27/9/2019).

Ramalan ini tentu saja sering membuat waswas para pelaku industri surat kabar, juga para pembaca setianya. Pasalnya, dalam kenyataan memang banyak surat kabar cetak terpaksa tidak dapat terbit lagi. Pembaca beralih ke media sosial yang menyediakan informasi tak terbatas dan gratis. 

Namun, di tengah situasi sulit tersebut, surat kabar cetak masih memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat. Kepercayaan terhadap kredibilitas informasi yang disajikan oleh media cetak masih terbilang tinggi.

Hal ini tecermin dari hasil survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada 25 Januari – 4 Februari 2023. Dari 1.202 responden di 38 provinsi, sebanyak 70,2 persen responden mengaku masih memercayai pemberitaan di media formal seperti surat kabar cetak.

Hanya 20,9 persen yang menaruh kepercayaan terhadap media sosial. Secara implisit, kepercayaan terhadap media formal didasari asumsi bahwa kaidah-kaidah jurnalistik masih tetap dipegang dalam proses produksi berita yang dilakukan oleh perusahaan media (Kompas, 17/2/2023).

Artinya, masyarakat tetap membutuhkan informasi yang dapat dipercaya. Di media sosial, banyak akun yang menyajikan beragam informasi yang tidak melalui proses kurasi. Hoaks dan disinformasi juga paling mudah tersebar di media sosial.

Oleh karena itu, media perlu menjaga kepercayaan publik dengan menyajikan informasi yang terverifikasi agar tetap menjadi rujukan warga. Kepercayaan pada media cetak menjadi panggilan tugas untuk memberi panduan pembacanya dengan informasi akurat, sikap kritis obyektif, tidak melupakan panggilan jurnalistik membela mereka yang kurang beruntung, dan tidak menjadi alat kepentingan kelompok atau individu.

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO
*Jumlah media radio merujuk pada data Asiawaves.net diakses 27 Juni 2024

Menurut Heribert Prantl dalam tulisannya berjudul Die Zeitung is tot. Es lebe di Zeitung!, internet bukanlah akhir dari surat kabar cetak. Jika mencoba memburu kecepatan penyampaian informasi, media cetak sudah pasti ”ketinggalan langkah” dan tak mungkin “ketinggalan langkah” itu dikejar. Oleh karena itu, media cetak tidak perlu berkompetisi di wilayah itu.

Media cetak lebih baik fokus pada hal-hal dan nilai-nilai seperti analisis, penggalian latar belakang, komentar yang tajam, pencarian bahasa yang berbobot dan menarik, investigasi hal-hal yang mendasar, serta pendalaman dan kedalaman. Hal-hal dan nilai-nilai itu sulit ditemukan di dunia internet yang lebih bernaluri untuk memburu kecepatan dan aktualitas.

Jika sebuah surat kabar mampu melakukan hal ini dengan baik, maka surat kabar tersebut akan selalu memiliki cukup banyak pembaca yang akan setia membaca surat kabar. Selamat HUT ke-59 Harian Kompas!
(LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Rahzen, Taufik dan Muhidin M Dahlan (ed.). 2007. Seabad Pers Kebangsaan. Yogyakarta: i:boekoe.
Arsip Kompas
  • “Koran Mati 20 Tahun Lagi?,” Kompas, 27 September 2019.
  • “Menanti Musim Semi Kembali,” Kompas, 4 Juli 2020.
  • “Setiap Pekan, Dua Surat Kabar di AS Tutup,” Kompas, 30 Juni 2022.
  • “Peluang Bisnis Kredibilitas,” Kompas, 23 Juli 2022.
  • “Survei Kompas: Antara Industri Media dan Kepercayaan Publik,” Kompas, 8 Februari 2023.
  • “Survei Litbang “Kompas”: Publik Inginkan Kedalaman Berita,” Kompas, 17 februari 2023.
  • “Koran Bekas Hari Ini dengan Berita Basi,” Kompas, 23 Februari 2023.
  • “Era Baru Surat Kabar Jepang,” Kompas, 14 Maret 2023.
  • “Jalan Panjang Pers Indonesia dari Masa Penjajahan hingga Era Digital,” Kompas, 20 februari 2024.
  • “Hari Pers, Momentum Media di Indonesia Bertahan dari Disrupsi Digital,” Kompas, 20 Februari 2024.
Internet

Artikel terkait