Paparan Topik | Reformasi 1998

Reformasi 1998: Transisi Demokrasi Pasca-Orba

Sempat dianggap sebagai "antek" Orde Baru, BJ Habibie berhasil mengembalikan demokrasi di Indonesia dengan mencabut pembatasan pers, membebaskan tahanan politik, menyelenggarakan Pemilu 48 partai, dan mewujudkan pemilihan presiden di MPR. Pemilu legislatif 1999 berjalan demokratis dan berhasil menghapus "demokrasi semu" ala Orde Baru.

KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Ekspresi wajah lepas BJ Habibie meninggalkan Gedung DPR/MPR setelah menyerahkan kursi kepresidenan kepada penggantinya Abdurrahman Wahid, pada 20 Oktober 1999 malam.

Fakta Singkat

Tonggak Transisi Demokrasi

  • Pedoman hukum yang mengatur presiden hanya berkuasa dua kali masa jabatan.
  • Penyelenggaraan pratik ekonomi anti-KKN (korupsi, kolusi, nepotisme).
  • Berakhirnya dwifungsi TNI/Polri.
  • Membebaskan tahanan politik.
  • Referendum Timor Timur.
  • Pemilu Multipartai 1999.
  • Pemilihan Presiden.

5 Besar Pemilu Legislatif 1999

No. Nama Partai Suara DPR
1. PDIP 35.689.073
2. Golkar 23.741.749
3. PPP 11.329.905
4. PKB 13.336.982
5. PAN 7.528.956

Sumber: KPU

Setelah Presiden Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya pada 21 Mei 1998, otomatis Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie sebagai wakil presiden saat itu menjadi orang pertama di Indonesia. Dalam pidato pertamanya, Presiden BJ Habibie mengharapkan dukungan sepenuhnya dari seluruh lapisan masyarakat dalam menjalankan tugas sebagai Presiden ke-3 Republik Indonesia.

Masa transisi Orde Baru ke era reformasi di era BJ Habibie berlangsung dari 21 Mei 1998 hingga 20 Oktober 1999. Presiden BJ Habibie yang menggantikan Presiden Soeharto hanya bertahan 17 bulan karena terus bergulirnya tuntutan reformasi. Bila sesuai dengan pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden BJ Habibie seharusnya melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR hingga tahun 2003.

Meski singkat, torehan-torehan yang dicapai oleh pemerintah transisi harus diakui. Sejumlah ketetapan MPR mengatur pedoman hukum seperti pergantian kekuasaan yang mengatur presiden hanya berkuasa dua kali masa jabatan, penyelenggaraan pratik ekonomi anti-KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), dan berakhirnya dwifungsi TNI/Polri.

Paket undang-undang politik yang direvisi pada masa pemerintah transisi antara lain, UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU No 3/1999 tentang Pemilu, serta UU No 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Pada era pemerintah transisi, sebagian energi pemerintah terkuras untuk membuka pasung demokrasi yang diciptakan rezim Orde Baru selama lebih dari 32 tahun.

Torehan lain yang cukup penting adalah kebebasan pers dan ekonomi. Surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) yang membelenggu kebebasan berekspresi dicabut. Dalam bidang ekonomi pemerintah transisi berhasil menurunkan gejolak mata uang, rupiah yang mencapai Rp 17.000 per dollar AS turun ke level Rp 8.000-an. Rekor penurunan mata uang ini merupakan hal yang tak bisa dicapai oleh pemerintah setelah pemerintah transisi.

Meski membuka lebar keran demokrasi, pemerintah transisi bukan tanpa cacat. Lepasnya Timor Timur dari Indonesia setelah referendum menjadi suara sumbang yang terus diingat. Habibie dikecam karena secara sewenang-wenang mengabaikan Ketetapan (Tap) No VI/MPR/1978 yang mengukuhkan Timtim sebagai bagian dari Indonesia. Di lain sisi, opsi dari Pemerintah RI mengenai pelaksanaan penentuan pendapat yang memberikan pilihan otonomi luas dan kemerdekaan kepada Timor Timur menuai pujian dunia.

KOMPAS/JB SURATNO

Presiden dan Ny Ainun BJ Habibie berfoto bersama 36 orang Menteri Kabinet Reformasi Pembangunan dan istri seusai pelantikan dan pengambilan sumpah di Istana Negara, Jakarta hari Sabtu (23/5/1998).

Timor Timur Lepas

Menhankam/Panglima TNI Jenderal TNI Wiranto dalam wawancara denga Kompas mengatakan, gagasan opsi otonomi luas dan kemerdekaan kepada Timor Timur (Timtim) berasal dari pemerintah (12/9/1999). Pemerintah yang dimaksud Wiranto mengerucut kepada Presiden Habibie yang memberikan alternatif baru dalam menyelesaikan masalah Timtim. Gagasan ini, dibicarakan di sidang kabinet untuk menarik masalah Timtim menjadi permasalahan internasional dan hasilnya diserahkan pada tataran internasional. Gagasan ini juga kerap disampaikan oleh Habibie di forum-forum terbuka.

Dalam acara temu wicara dengan ulama, pimpinan pondok pesantren serta tokoh masyarakat Banten di Pondok Pesantren Terpadu Darul Iman, Pandeglang, Jawa Barat, Habibie menyampaikan, “Yang menentukan apakah Timor Timur  akan ikut Indonesia atau lepas adalah rakyat melalui Ketetapan MPR. Tetapi kalau masyarakat Timtim membebani dan tidak bisa menghayati perjuangan bangsa Indonesia, maka monggo, mangga memisahkan diri” (5/2/1999).

Presiden Habibie kembali menegaskan memilih Timtim diberi kemerdekaan dan lepas dari Indonesia di depan peserta Musyawarah Nasional Kadin Indonesia di Istana Merdeka, Jakarta (11/2/1999).

“Mengenai Timtim, Insya Allah, pokoknya mulai 1 Januari 2000 kita tidak mengenal masalah Timtim lagi….Nggak mau dipersukar oleh masalah yang sebenarnya tidak perlu ada.”

Rencana pemerintah untuk melepas Timtim sempat mendapat penolakan oleh sejumlah tokoh reformasi. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), berpendapat Indonesia telah memutuskan untuk menjadikan Timtim sebagai bagian dari Indonesia, untuk itu keputusan harus dihormati dan Timtim tetap menjadi bagian dari Indonesia. Sementara itu Megawati Soekarnoputri berpendapat pemerintahan Habibie merupakan pemerintahan transisi sehingga tidak punya otoritas untuk menentukan nasib fundamental negara seperti kasus Timtim (29/1/1999).

Lepasnya Timtim berawal dari dialog pertama yang dilakukan sejumlah tokoh Timtim untuk menentukan status Timtim menanggapi wacana daerah khusus, dan otonomi. Dialog pada 6 Juni 1998 ini dihadiri oleh Gubernur Abilio Jose Osorio Soares, anggota Komnas HAM Clementino dos Reis Amaral, anggota MPR Salvador J Ximenes, Sekretaris Diosis Dili Pe Domingos Sequiera, para tokoh pemuda, mahasiswa, tokoh wanita, serta Lembaga Swadaya Masyarakat di Timtim.

Dialog dalam rangka reformasi politik ini sangat menentukan masa depan Timtim karena selama 23 tahun masyarakat Timtim tercerai-berai oleh perbedaan paham dan pendapat. Dalam dialog ini tuntutan referendum di Timtim dan pembebasan Jose Alexandre Xanana Gusmao tokoh pendukung kemerdekaan mendominasi pembicaraan.

Setelah berbagai pro kontra, Timtim melakukan referendum pada 30 Agustus 1999. Ketegangan panjang dan serangkaian aksi kekerasan berdarah mewarnai hari-hari menjelang penentuan pendapat. Antusiasme masyarakat Timtim cukup tinggi, sekitar 95 persen dari 430.000 orang yang sudah terdaftar memberikan pendapatnya.

Pelaksanaan penentuan pendapat relatif lancar dan berhasil meski sempat terjadi insiden berdarah yang menewaskan seorang staf lokal Misi PBB untuk Timtim (Unamet). Hasil penentuan pendapat yang diumumkan PBB di New York, Amerika Serikat, pada 4 September 1999, menyatakan sebesar 78,5 persen suara menginginkan Timtim lepas dari Indonesia.

Meski memperoleh pujian di dunia internasional, lepasnya Timtim dari Indonesia membuat Habibie banjir kecaman di dalam negeri. Forum Demokrasi menuntut Presiden Habibie untuk mundur sebagai bentuk pertanggungjawaban politik sebuah bangsa yang beradab. Pakar hukum Universitas Indonesia Prof Dr Harun Alrasid mengemukakan, hasil penentuan pendapat itu mengganjal pencalonan kembali Habibie sebagai presiden. Harun mengatakan Habibie sudah habis dan pidato pertanggungjawabannya akan ditolak oleh MPR (4/9/1999).

KOMPAS/JOHNNY TG
Komandan Forcas Armadas da Libertacao Timor Leste (Falintil) Kay Rala Xanana Gusmao yang masih berada status tahanan rumah, mendaftar untuk ikut Jajak Pendapat atau Referendum di Timor Timur di gedung lantai 5 Dewan Pers jl. Kebon Sirih Jakarta. Referendum akan diadakan tgl. 11-27 Agustus 1999 untuk menentukan Timor Timur merdeka atau tetap di bawah NKRI.

Pemilu Multipartai

Tingkat ketidakpercayaan publik terhadap hasil Pemilu 1997 sangat tinggi sehingga mendorong terlaksananya Pemilu yang dipercepat pada 7 Juni 1999. Pemilu ini dilaksanakan setelah 13 bulan pemerintahan Presiden Habibie.

Dalam sejarah Pemilu Indonesia, pemilu yang dipercepat terakhir kali dilaksanakan pada era pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap (1955-1956). Pada masa itu Indonesia melakukan Pemilu untuk pertama kali yang berlangsung pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR, dan tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota konstituante.

Penyelenggaraan Pemilu pada 7 Juni 1999 diputuskan setelah pertemuan konsultasi antara Presiden BJ Habibie dengan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi DPR di Gedung MPR/ DPR Jakarta, pada 3 Desember 1998. Dalam pertemuan itu juga diputuskan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (SU MPR) tahap pertama dilaksanakan pada 29 Agustus 1999. Pelaksanaan SU MPR 1999 merupakan upaya untuk mewujudkan pemerintahan baru hasil Pemilu 1999.

Sebanyak 48 partai berpartisipasi dalam Pemilu 1999. Fenomena multipartai ini merupakan simbol hancurnya belenggu demokrasi di era Soeharto. Sejak tahun 1971 jumlah partai dibatasi oleh Orde Baru. Setelah Orde Baru tumbang berbagai partai bermunculan. Tercatat sebanyak 141 partai terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM.

Pemilu 1999 dimenangkan oleh PDI-Perjuangan (PDI-P) dengan 35.689.073 suara (33,74 persen). Hasil ini membawa PDI-P memperoleh 153 kursi di MPR. Golkar sebagai partai berkuasa semasa Orde Baru masih memperoleh suara cukup besar dan berada di posisi kedua dengan total suara sebesar 23.741.758 (22,44 persen). Perolehan ini membuat Golkar masih cukup kuat di parlemen dengan 120 kursi.

Penetapan kursi hasil Pemilu 1999 cukup alot. Setelah berhari-hari terjadi perbedaan pendapat mengenai cara penghitungan kursi DPR, Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) baru memutuskan perolehan kursi DPR tiga bulan setelah Pemilu dalam sidang pleno di Jakarta (1/9/1999).

Sidang pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 7 September 1999 juga sempat ricuh. Awal kericuhan terjadi saat perang mulut antara wakil partai dengan wakil pemerintah pada akhir sidang akibat perbedaan pendapat terkait waktu penetapan hasil Pemilu. Wakil pemerintah menghendaki agar KPU segera menetapkan hasil kerja PPI sebagai sah, sementara pimpinan sidang ingin mengevaluasi kerja PPI.

Perbedaan pendapat yang sempat dikhawatirkan mengganggu jadwal Sidang Umum (SU) MPR 1-3 Oktober 1999 tidak terjadi. Setelah empat hari kerja tanpa henti PPI selaku lembaga di bawah KPU berhasil menetapkan 462 anggota legislatif terpilih pada 11 September 1999. Dengan ini rangkaian Pemilu demokratis pertama sejak Orde Baru tumbang telah tuntas dengan total waktu pelaksanaan 97 hari.

Hasil Pemilu 1999

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

KOMPAS/ARBAIN RAMBEY

Hari pertama kampanye pemilu 1999 di Ibu Kota Jakarta (19/5/1999) meriah dengan pawai dari partai politik peserta pemilu. Panitia Pemilihan Daerah tingkat I (PPD I) DKI mengadakan karnaval kendaraan hias partai politik peserta pemilu untuk berpawai di lima wilayah Jakarta. Tampak simpatisan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan atribut bantengnya.

Pemilihan Presiden

Pemerintahan transisi BJ Habibie berakhir secara elegan. Habibie menarik diri dari pencalonan capres setelah MPR menolak pertanggungjawabannya dengan selisih tipis, 355 menolak, dan 322 menerima.

Setelah Habibie mundur, Fraksi Golkar mengajukan nama Akbar Tandjung sebagai pengganti BJ Habibie. Namun, satu jam kemudian Ketua Fraksi Partai Golkar di MPR Marzuki Darusman menarik lagi pengajuan itu atas perintah Akbar Tandjung.

Selain Akbar Tandjung, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra. juga menyatakan mundur sebelum voting dimulai. Yusril menyatakan mengundurkan diri karena ingin menjaga ukhuwah dengan Gus Dur. Dengan mundurnya Akbar dan Yusril, pemilihan presiden hanya menyisakan Megawati dan Gus Dur.

Pemilihan presiden di Gedung MPR/DPR, Jakarta, pada 20 Oktober 1999 berlangsung tertutup dan demokratis. Hasil voting menunjukkan Abdurrahman Wahid mengungguli Megawati Soekarnoputri dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP). Dari total suara 691 anggota MPR, Gus Dur memperoleh 373 suara, Megawati 313 suara, sementara Lima suara menyatakan abstain.

Gus Dur merupakan calon presiden dari Poros Tengah gabungan Fraksi Reformasi (F-R), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB), dan Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB). Gus Dur juga didukung oleh sebagian anggota Fraksi Partai Golkar.

Setelah penghitungan suara usai Megawati secara legowo berbicara di hadapan Sidang Paripurna MPR. Megawati menyatakan,

“Dari hasil perhitungan yang ada, saudara saya KH Abdurrahman Wahid mendapatkan angka lebih dari saya. Untuk keutuhan bangsa, saya meminta kepada seluruh bangsa, seluruh rakyat Indonesia untuk dapat melihat keadaan ini.”

Kunci kemenangan Gus Dur salah satunya berasal dari pertemuannya dengan sejumlah anggota MPR dari Fraksi Partai Golkar di Ruang Mawar lantai dua Hotel Mulia pada pukul 10.00 pagi sebelum pemilihan presiden di MPR (20/10/1999). Dalam pertemuan sekitar 15 menit, anggota MPR Fraksi Golkar pendukung Habibie menyatakan siap memberikan seluruh suara mereka untuk Gus Dur.

Gus Dur dilantik malam itu juga. Dalam pidato pertamanya seusai pengucapan sumpah, Gus Dur menegaskan, hanya yang memahami hakikat demokrasilah yang dapat memelihara dan menegakkan demokrasi. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Davidson, Jamie S. 2022. Demokrasi Indonesia Pasca-Orba.Yogyakarta: INSISTPress.
  • Nainggolan, Poltak Partogi. 2021. Transisi dan Kandasnya Konsolidasi Pasca-Soeharto. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Arsip Kompas
  • BJ Habibie Minta Dukungan Rakyat. Kompas, 22 Mei 1998, hlm. 1.
  • Amien Rais Beri Kesempatan 6-12 Bulan. Kompas, 22 Mei 1998, hlm. 1.
  • Pengamat dan Usahawan Masih Ragu-ragu. Kompas, 22 Mei 1998, hlm. 2.
  • Dunia Sambut Mundurnya Presiden Soeharto. Kompas, 22 Mei 1998, hlm. 12.
  • Tokoh Pro-Reformasi Bentuk Kelompok Penyeimbang. Kompas, 26 Mei 1998, hlm. 3.
  • Tajuk Rencana: Pemerintah Baru Telah Mengambil Langkah dan Sinyal-sinyal Positif. Kompas, 26 Mei 1998, hlm. 4.
  • Cerita di Balik Mundurnya Soeharto. Kompas, 27 Mei 1998, hlm. 1.
  • Dialog Pertama Soal Timtim: Tuntut Adanya Referendum. Kompas, 8 Juni 1998, hlm. 19.
  • Tajuk Rencana: Masalah Timtim Pascapertemuan Presiden Habibie-Uskup Belo. Kompas, 26 Juni 1998, hlm. 4.
  • Lemahnya Habibie Untungkan Demokratisasi. Kompas, 26 September 1998, hlm. 11.
  • Ledakan Kebebasan, Gugatan terhadap Konsep Negara Bangsa. Kompas, 6 Oktober 1998, hlm. 11.
  • Empat Tokoh Reformis Akhirnya Bertemu. Kompas, 11 November 1998, hlm. 1.
  • “Polling” Litbang Kompas mengenai SI MPR 1998: Deklarasi Ciganjur Lebih Dipercaya. Kompas, 16 November 1998, hlm. 1.
  • Pemilu 7 Juni, SU MPR 29 Agustus. Kompas, 4 Desember 1998, hlm. 1.
  • Pertemuan Ciganjur Hindarkan Revolusi dengan Rekonsiliasi. Kompas, 7 Desember 1998, hlm. 1.
  • Rakyat Timtim Bergembira. Kompas, 28 Januari 1999, hlm. 11.
  • ABRI Siap Amankan Tap MPR Mengenai Timtim. Kompas, 29 Januari 1999, hlm. 1.
  • Gus Dur Dan Megawati Tolak Pelepasan Timtim,. Kompas, 30 Januari 1999, hlm.1.
  • Presiden tentang Timtim: Mau Lepas, “Mangga”. Kompas, 6 Februari 1999, hlm. 6.
  • Presiden Habibie: 1 Januari 2000, Timtim tak Jadi Beban Lagi. Kompas, 12 Februari 1999, hlm. 1.
  • PKB, PAN dan PBN Setuju Pemerintahan Habibie Didemisionerkan. Kompas, 12 Maret 1999, hlm. 1.
  • Renungan Setahun Gerakan Reformasi: Transisi yang Permanen. Kompas, 20 Mei 1999, hlm. 4.
  • Satu Tahun Habibie Berkuasa: Kepemimpinannya Diragukan. Kompas, 21 Mei 1999, hlm. 1.
  • Megawati Siap Gantikan Habibie. Kompas, 30 Juli 1999, hlm. 1.
  • Tajuk Rencana: Bagaimana Sebaiknya Menyambut Hasil Penentuan Pendapat di Timtim. Kompas, 1 September 1999, hlm. 1.
  • Dunia Serukan Diakhirinya Pertumpahan Darah. Kompas, 5 September 1999, hlm. 1.
  • Wawancara Kompas dengan Menhankam/Panglima TNI: Tak Benar, Militer Paksakan Kehendaknya pada Presiden. Kompas, 13 September 1999, hlm. 1.
  • Bebaskan KPU dari Trik dan Intrik Politik. Kompas, 19 September 1999, hlm. 7.
  • Presiden Harapkan Bimbingan MPR. Kompas, 21 Oktober 1999, hlm. 1.
  • 15 Menit di Ruang Mawar. Kompas, 21 Oktober 1999, hlm. 1.
  • Gus Dur Diharapkan Mampu Cegah Disintegrasi. Kompas, 21 Oktober 1999, hlm. 1.
  • Tajuk Rencana: Presiden Habibie Mundur Secara Terhormat. Kompas, 21 Oktober 1999, hlm. 4.
  • 10 Tahun Reformasi: Tujuan Reformasi Tak Sepenuhnya Tercapai. Kompas, 13 Mei 2008, hlm. 2.
  • Tajuk Rencana: Reformasi Tanpa Transformasi. Kompas, 13 Mei 2008, hlm. 6.
  • Jajak Pendapat Kompas: Melawan Lupa Reformasi. Kompas, 14 Mei 2018, hlm. 5.
Website
  • https://www.kpu.go.id/page/read/11/pemilu-1999
  • https://esi.kemdikbud.go.id/wiki/Burhanuddin_Harahap#:~:text=Burhanuddin%20Harahap%20menjabat%20Perdana%20Menteri,Mudjiono%2C%202017%3A%20689).

Artikel terkait