Paparan Topik | Sejarah Tembakau

Tembakau: Sejarah, Jenis, Produsen Dunia, Sentra Produksi, dan Kontribusi Ekonomi Indonesia

Bagi petani, tanaman tembakau adalah "emas hijau" yang belum tergantikan di musim kemarau. Menanam tembakau jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan menanam palawija atau padi yang membutuhkan banyak air.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Petani Panen Tembakau Petani memanen tembakau jenis grompol di Desa Margoagung, Seyegan, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (2/9/2014). Hujan yang jarang turun membuat tembakau tumbuh maksimal sehingga dapat dipetik hingga enam kali dalam satu musim tanam. Harga jual tembakau itu ke pengepul saat ini sekitar Rp 40.000 per kilogram.

Fakta Singkat

Komoditas Tembakau

  • Tembakau masuk ke Indonesia pada abad ke-16, dibawa oleh bangsa Spanyol atau Portugis.
  • China sebagai penghasil tembakau terbesar dunia dengan produksi 2,3 juta ton per tahun.
  • Indonesia penghasil tembakau terbesar ke-4 dunia dengan rata-rata produksi 230 ribu ton per tahun.
  • Enam jenis tembakau yang berkembang di Indonesia, yakni tembakau rakyat, tembakau besuki, tembakau deli, tembakau lumajang, tembakau vorstenlanden, dan tembakau virginia.
  • Sentra produksi tembakau terbesar di Jember, Jawa Timur, dan Temanggung di Jawa Tengah.
  • Kediri dan Kudus menyandang predikat sebagai kota kretek karena kontribusi industri hasil tembakau besar pada perekonomian daerah
  • Industri hasil tembakau berkontribusi 12 persen terhadap penerimaan negara.
  • Tahun 2022, industri hasil tembakau menyumbang Rp 198 triliun terhadap penerimaan negara.

Tanaman tembakau diperkirakan masuk ke kepulauan Nusantara pada abad ke-16. Kata tembakau atau “mbako” dala, bahasa jawa berasal dari serapan kata “tabaco” dalam Bahasa Spanyol atau “tobacco” dalam Bahasa Inggris.  Asal usul dari kata “tabaco” diperkirakan dari kata serapan dalam Bahasa Guarani, yaitu mengacu pada tabung yang digunakan untuk menghisap bubuk tembakau yang digunakan oleh Suku Indian.

Komoditas tembakau di Indonesia selalu dihadapkan pada situasi dilematik dan kontroversi terhadap perannya dalam perekonomian nasional dan dampaknya dari sisi kesehatan. Di satu sisi, komoditas itu menjadi mata pencaharian puluhan juta petani di Indonesia dan penyumbang penerimaan negara dan pemerintah daerah, di sisi lain komoditas tersebut berdampak buruk bagi Kesehatan masyarakat.

Dari sisi ekonomi, kontribusi tembakau dan hasil olahannya dalam penerimaan negara berupa cukai hasil tembakau sebesar rata-rata 12 persen dari total penerimaan negara. Sementara bagi perekonomian daerah, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) berperan sangat besar, terutama bagi daerah-daerah penghasil. Tahun 2022, misalnya cukai dari hasil olahan tembakau mencapai Rp 198 triliun, sementara bagi hasil cukai tembakau yang didistribusikan ke daerah mencapai Rp 3,87 triliun.

Selain itu, industri pengolahan tembakau mempunyai peran penting dalam menggerakkan ekonomi nasional, karena mempunyai multiplier effect yang luas. Industri jasa terkait dapat tumbuh melalui ekspansi investasi, penyediaan lapangan usaha dari hulu ke hilir, penyerapan tenaga kerja, pemanfaatan bahan baku dalam negeri, serta kontribusi cukai pada APBN sebagai salah satu penyumbang pendapatan negara.

Dari sisi kesehatan, rokok dan tembakau menjadi faktor risiko enam dari delapan penyakit penyebab kematian tertinggi di dunia, yaitu penyakit jantung, stroke, gangguan pernapasan bawah, penyakit paru obstruktif kronik, tuberkulosis, dan kanker paru-paru. Selain itu, rata-rata biaya pengobatan untuk penyakit yang disebabkan oleh tembakau mencapai Rp 27,7 triliun per tahun  yang sebagian besar atau hampir 60 persen ditanggung oleh BPJS Kesehatan.

Komitmen pemerintah pusat maupun pemerintah daerah amat berperan dalam mengendalikan dampak buruk produk tembakau. Ada sejumlah intervensi untuk pengendalian tembakau, antara lain perluasan kawasan tanpa rokok untuk melindungi orang dari asap rokok, menaikkan cukai rokok, melarang iklan, promosi, dan sponsor perusahaan rokok.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Petani memanen tembakau di Dusun Tampah, Desa Mekarsari, Kecamatan Praya Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (11/10/14). Harga tembakau di tingkat petani naik dari Rp 150.000 per kuintal menjadi Rp 200.000 per kuintal. Mereka menjual tembakau kepada pengepul untuk dijual kembali ke pabrik rokok.

Sejarah

Berdasarkan bukti-bukti arkeologis, tembakau telah ditanam di Amerika sejak tahun 6000 sebelum Masehi (SM). Dugaan tersebut didasari oleh penemuan hieroglif yang menggambarkan seorang dukun Maya yang sedang merokok.

Diperkirakan suku Maya mengonsumsi daun tembakau untuk ritual dan pemujaan roh. Sekitar tahun 1 SM penduduk asli Amerika Utara juga diketahui telah menggunakannya untuk merokok dan untuk enema, yaitu merangsang pernapasan dengan meniupkan asapnya lewat anus.

Saat Columbus pertama kali datang, suku Indian Amerika sudah memiliki kebiasaan merokok. Daun tembakau biasa digulung rapat atau dimasukkan pipa sebelum dibakar. Biasanya, merokok dilakukan saat hari perayaan atau menyambut tamu.

Tembakau juga digunakan oleh dukun di Amerika Selatan dalam upacara keagamaan dan untuk pengobatan. Pada masa-masa awal ditemukan, tembakau juga berfungsi sebagai analgesik ringan dan antiseptik, tapal yang dioleskan pada luka dan gigi, sebagai obat tetes mata, dan obat penenang atau penghilang rasa sakit.

Tembakau diperkenalkan dari Amerika ke Eropa oleh orang Spanyol tidak lama setelah penemuannya di Amerika, yakni pada awal tahun 1518 dan kemudian tumbuh dan berkembang di Portugal pada tahun 1560.

Spesies tersebut diperkenalkan dari Eropa ke Timur Tengah pada awal abad ke-17. Catatan tertulis pertama penggunaannya di Persia (sekarang Iran) adalah pada tahun 1626, dan tampaknya telah ada di India pada tahun 1605.

Masuknya spesies Nikotiana tabacum ke Asia dilakukan berbagai penjelajah Eropa yang membawa benih bersama mereka. Spesies ini diperkenalkan melalui rute perdagangan Manila-Acapulco Spanyol tahun 1565–1815 untuk membangun perkebunan tembakau di wilayah koloni Spanyol. Portugis juga mungkin telah memperkenalkan spesies ini ke koloni Asia mereka pada akhir abad ke-16.

Pengenalan spesies ini ke China terjadi antara 1530–1600 melalui hubungan dagang antara pedagang China dan Jepang dan Filipina. Pada tahun 1560 kapal-kapal Portugis dan Spanyol mencapai Afrika Timur dengan membawa tembakau, yang kemudian menyebar ke Afrika Tengah dan Afrika Barat.

Seiring tingginya konsumsi tembakau dunia, pengembangan rokok sebagai industri pengolahan tembakau mulai terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1889 yakni ketika warga AS, James “Buck” Duke membentuk American Tobacco Company. Ia memanfaatkan mesin pelinting rokok yang ditemukan James Albert Bonsack (1881) yang dapat membuat 200 batang rokok per menit. Dalam lima tahun, satu miliar batang rokok diproduksi dan dikonsumsi oleh penduduk Amerika dan dunia.

Penjualan rokok dari pabrik Duke pun meledak, dan mesin pelinting rokok kemudian diadopsi di banyak negara yang konsumsi rokoknya tinggi. Hingga tahun 2014 lalu, penjualan rokok di seluruh dunia diperkirakan mencapai enam triliun batang.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Para petani menjemur tembakau sebelum dirajang di Desa Deyangan, Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat (16/11/2018). Para petani berpacu untuk mengeringkan tembakau agar kualitasnya terjaga karena musim hujan mulai datang.

Tembakau di Indonesia

Tembakau (Nicotiana tabacum) adalah tanaman yang telah dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak berabad-abad silam. Tanaman ini menjelma sebagai kebutuhan primer dalam konsumsi sehari-hari bagi sebagian masyarakat.

Ada beberapa teori yang menyatakan asal mula tembakau masuk ke Indonesia. Pertama, tembakau diperkirakan dibawa oleh bangsa Portugis saat tiba di kepulauan Nusantara. Pandangan ini disampaikan oleh sinolog Belanda, G. Schlegel, yang menilai bahwa penggunaan nama tembakau erat kaitannya dengan kata “tabaco” atau “tumbaco”.

Jika merujuk pada pandangan ini, besar kemungkinan tembakau mulai dikenal di Nusantara pada awal abad ke-16. Tembakau masuk ke Indonesia kemungkinan dibawa oleh bangsa Spanyol pada tahun 1521–1529. Orang-orang Spanyol berlayar ke Maluku melalui jalur perairan Indonesia untuk mencari rempah-rempah sekaligus membawa benih tembakau di Nusantara. Portugis diperkirakan juga membawa tembakau ke Nusantara antara tahun 1512 hingga 1641.

Pendapat yang berbeda disampaikan oleh ahli Botani asal Swiss, Augustin Pyrame de Candolle Georgius, dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles. Keduanya berkesimpulan bahwa tembakau masuk ke Indonesia sekitar awal abad ke-17 yang dibawa oleh bangsa Eropa.

Thomas Stamford Raffles (1811–1816) mencatat dalam The History of Java (1817) bahwa sekitar tahun 1600-an tembakau telah banyak tumbuh di berbagai tempat di Jawa. Raffles percaya bahwa orang Belanda yang membawanya karena  pada 1596 ekspedisi Cornelis de Houtman (Belanda) tiba di Banten. Sementara Candolle berpendapat bahwa tanaman tembakau telah dibawa ke Pulau Jawa sekitar tahun 1600. Candolle meyakini Portugislah yang membawa tanaman itu.

Bukti lain tembakau sudah ada di Nusantara pada abad ke-17 dari catatan Edmund Scott, seorang Principal Agent untuk Dutch East India Company (VOC) di Banten tahun 1603–1605. Scott pernah mencatat bahwa, orang Jawa juga mengonsumsi banyak tembakau dan opium. Hal ini menandakan bahwa penggunaan tembakau sudah meluas di wilayah Banten pada tahun 1603.

Dalam catatan pejabat VOC, ZebaltWonderer dan Jan Barentszoon, yang pada 26 April 1645 berkunjung ke Kerajaan Mataram, Raja Amangkurat I yang berkuasa (1645 – 1703) terlihat sedang berbusana merah menyala dan tangannya membawa pipa tembakau.

Dalam waktu singkat tanaman tembakau berkembang luas di pulau Jawa. Dalam catatan serdadu Perserikatan Dagang Hindia Timur (VOC) Georgius Everhardus Rumphius (1695), pada tahun 1650 beberapa wilayah nusantara telah berkembang perkebunan tembakau seperti di daerah Kedu, Bagelen, Malang dan Priangan.

Di Indonesia, pengembangan tembakau secara besar sudah dilakukan sebelum masa Tanam Paksa era Van Den Bosch (1830–1834). VOC membuka perkebunan tembakau di daerah Kesultanan Surakarta dan Yogyakarta sejak tahun 1820.

Pada tahun 1856, VOC melakukan penanaman tembakau secara meluas di daerah Besuki, Jawa Timur. Pada periode 1870 hingga 1940, penanaman tembakau berkembang di Kedu, Kediri, dan daerah perkapuran antara Semarang dan Surabaya. Setelah itu Klaten, daerah sekitar Vorstenlanden (Wilayah 4 kerajaan di nusantara di sekitar Surakarta dan Yogyakarta), dan Jember.

Meskipun telah ditanam sebelum era Tanam Paksa, namun upaya penanaman tembakau untuk pasar Eropa baru benar-benar berhasil  setelah diupayakan di Tanah Deli, Sumatera Utara, sejak 1854. Hasilnya sangat terkenal di Pasaran Eropa, khususnya untuk bahan cerutu.

Tahun 1860, kemudian dibangun perkebunan Oud Djember oleh George Birnie di wilayah Karesidenan Besuki, Jawa Timur, yang menghasilkan tembakau bermutu tinggi untuk pasar Eropa yang dikenal dengan tembakau Jember.

Penanaman tembakau kian menjamur pada beberapa dekade awal abad ke-20.  Selain di Pulau Jawa dan Sumatera, tembakau juga ditanam di Madura, Ternate, Kepulauan Kei, Makian, Buru, Seram, Ambon Saparua, Sulawesi, Bali, Lombok, hingga ke Papua.

Saat ini, Indonesia berada di posisi ke empat terbesar di dunia dalam produksi tembakau, setelah China, India, Brasil. Komoditas ini meruoakan salah satu sumber utama penerimaan negara dari cukai dan pajak.

Penerimaan negara dari industri rokok yang bahan utamanya tembakau, tercatat terus meningkat, tahun 2011, misalnya penerimaan negara dari pajak dan cukai tembakau sebesar 73,25 triliun dan menjadi dua kali lipat selang 7 tahun kemudian yakni 148,23 triliun pada tahun 2018.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Menjemur Tembakau Pekerja menjemur tembakau di Desa Banyuurip, Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, Senin (26/8/2013). Cuaca cerah memungkinkan para petani menjemur rajangan tembakau dalam waktu sehari dan mengurangi risiko pembusukan sehingga hasil panen mereka maksimal. Tembakau tersebut mereka jual kepada pengepul dengan harga berkisar Rp 40.000-Rp 50.000 per kilogram.

Jenis Tembakau Dunia

Genus tembakau, yakni Nicotiana, dinamai untuk menghormati Jean Nicot de Villemain, seorang diplomat dan sarjana Perancis. Ia terkenal sebagai orang pertama yang membawa tembakau ke Perancis.

Ia membawa tembakau dan biji-bijian ke Paris pada tahun 1560, menyerahkannya kepada Raja Prancis, dan mempromosikan penggunaan obat-obatan dari tembakau. Sejak itu tembakau dipercaya dapat melindungi dari penyakit, terutama wabah penyakit dan dengan cepat kemudian tembakau menyebar sebagai obat ke seluruh Perancis.

Tembakau merupakan tanaman perkebunan yang cukup banyak dibudidayakan oleh petani karena mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Tanaman tembakau memiliki bentuk batang agak bulat, agak lunak tetapi kuat, makin ke ujung, makin kecil dengan tinggi sekitar 2 meter. Ruas-ruas batang mengalami penebalan yang ditumbuhi daun.

Daunnya berbentuk bulat lonjong dengan ujung meruncing berukuran Panjang sekitar 40 centimeter dan lebar 15 centimeter. Pemanfaatan tembakau hanyalah bagian daun yang digunakan untuk bahan baku industri rokok dan cerutu.

Ada dua spesies tembakau yang berkembang luas dan digunakan oleh manusia untuk berbagai tujuan, yaitu Nicotiana rustica dan Nicotiana tabacum. Nicotiana rustica mengandung kadar nikotin yang tinggi (max n = 16%) biasanya digunakan untuk bahan baku obat dan isektisida. Nicotiana rustica juga dipergunakan sebagai susur yang di negara-negara barat, India, dan Eropa Timur dikenal dengan snuff, dan chewing tobacco.

Sedangkan Nicotiana tabacum mengandung kadar nikotin yang rendah (min n = 0,6%) jenis ini umumnya digunakan sebagai bahan baku pembuatan rokok dan cerutu. Penggunaannya kemudian menjadi paling luas di seluruh dunia.

Pengembangan spesies Nicotiana tabacum tak lepas dari jasa seorang pendatang bernama John Rolf di daratan Amerika Utara, yang bersama istrinya yang berdarah Indian, Pocahonta anak dari kepala suku Phowatan, berhasil mengembangkan benih varietas Nicotiana tabacum. Varietas itu mereka datangkan dari pulau Bermuda di Jamestown, Virginia pada sekitar tahun 1609. Tembakau jenis ini kemudian menyebar ke belahahan dunia termasuk di Indonesia.

Tembakau yang banyak ditanam di Indonesia yakni jenis Nicotiana tabacum yang sudah masuk di Nusantara pada masa kedatangan bangsa-bangasa Eropa di Nusantara yakni pada abad ke-15. Ada banyak sekali jenis tembakau yang ditanam oleh para petani yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. 

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Marli (78) memeriksa kondisi daun tembakau yang sedang dikeringkan di Desa Kaponan, Pakis, Magelang, Jawa Tengah, Senin (11/8). Hujan yang masih kerap turun meski biasanya pada pertengahan tahun sudah berlangsung musim kemarau membuat waktu pengeringan meningkat dari 7 menjadi 15 hari. Hal ini berdampak pada meningkatnya potensi kerusakan hasil panen.

Jenis tembakau Indonesia

Setidaknya ada enam jenis tembakau berdasarkan wilayah tanam yang namanya populer dan banyak diperdagangkan, yakni tembakau rakyat, tembakau besuki, tembakau deli, tembakau lumajang, tembakau vorstenlanden, dan tembakau virginia.

Jenis pertama yakni tembakau rakyat merupakan tembakau asli Indonesia dari Jawa Tengah. Tembakau ini sudah berkembang sejak abad ke-16 yang proses penanaman sampai pengolahannya dilakukan oleh petani. Tembakau ini menjadi cikal bakal untuk bahan dasar rokok kretek. Ciri khasnya karena memiliki aroma khas yang semerbak harum, tidak seperti jenis tembakau lain.

Kini, perkembangan tembakau rakyat sudah tersebar luas. Namun, penyebaran tembakau rakyat yang ada di beberapa wilayah Indonesia ini, merupakan upaya pengembangan bahkan hasil cloning dengan tembakau lain.

Jenis tembakau populer lainnya adalah tembakau besuki. Dinamakan besuki, sebab tembakau ini banyak ditanam di wilayah Besuki, yaitu Kabupaten Jember dan Bondowoso Jawa Timur. Tampilan pohonnya sangat ramping. Dalam dunia perdagangan internasional tembakau ini dikenal dengan sebutan “Java Tobaccos”. Karakteristiknya yaitu memiliki aroma agak harum bahkan soft mild. Jenis tembakau inilah yang sangat cocok untuk dijadikan bahan atau pembungkus rokok cerutu.

Jenis tembakau yang populer lainnya bernama tembakau lumajang. Tembakau ini juga dikenal dengan nama tembakau “sawah” atau “tegal”. Jika dilihat secara fisik, tembakau lumajang berukuran cukup tembakau tinggi dan ramping mirip dengan tembakau besuki. Jumlah daunnya pun sama dengan tembakau besuki rata-rata 20-28 helai, namun keduanya memiliki warna yang berbeda, ada merah muda, merah tua, biru muda pucat, biru tua. Jenis tembakau ini dianggap paling cocok dijadikan sebagai bahan rokok pipa yang hanya dibudidayakan di Kabupaten Lumajang Jawa Timur.

Selanjutnya, tembakau deli yang sudah tidak asing di pasar dunia. Tembakau ini lebih sering disebut sebagai “tembakau sumatera”. Jenis tembakau ini sudah teruji dan sangat cocok untuk bahan pembungkus cerutu, sehingga dijuluki “the first top of wrapper cigar tobacco” bersaing dengan tembakau asal Havana dan Kuba.

Tembakau yang berkembang di Indonesia lainnya, yakni tembakau vorstenlanden yang banyak dibudidayakan di daerah Yogyakarta, Klaten, dan Surakarta dan sedikit daerah Boyolali. Tembakau ini biasanya dimanfaatkan untuk bahan pembalut dan pembungkus cerutu, meski kualitasnya masih di bawah tembakau dili.

Tembakau yang berkembang dan banyak diusahakan oleh petani di Jawa yakni jenis tembakau virgina yang berasal dari wilayah Virginia, Amerika. Tembakau ini pernah dibudidayakan di daerah kabupaten Bojonegoro Jawa Timur, yang kemudian dibudidayakan di Lampung, Lombok Barat, Sulawesi Selatan. Setelah itu kembali berkembang di daerah-daerah pantura Jawa Tengah seperti Mranggen Demak, Pati hingga Rembang. Ciri khas tembakau virgina yaitu sangat ringan hisapannya, sehingga paling cocok untuk bahan rokok kretek mild dan sigaret rokok putih.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Buruh Sortir Tembakau – Buruh harian lepas menyortir tembakau berdasar kualitasnya di Desa Pakis, Kecamatan Pakis, Magelang, Jawa Tengah, Senin (2/12/2013). Sedikitnya 75 ibu rumah tangga di desa itu mendapat upah Rp 20.000 per hari dari pekerjaan yang hanya berlangsung seusai masa panen tembakau tersebut.

Produsen dunia

Berdasarkan laporan dari Food and Agriculture Organization (FAO) menunjukkan bahwa China merupakan negara penghasil atau produsen Tembakau terbesar di dunia. Dalam catatan FAO, China mampu menghasilkan Tembakau sebanyak 2,391,000 ton dan setiap tahunnya meningkat.

Penghasil terbesar tembakau dunia berikutnya, yakni India dan Brasil dengan total produksi tembakau masing-masing 0,75 juta ton dan 0,74 juta ton pada tahun 2021. Tingginya produksi tembakau India berkat adanya sungai besar seperti Sungai Gangga, Brahmaputra, Yamuna, Godavari, dan Krishna yang menyebabkan suburnya hamparan-hamparan di sebelah utara India sehingga cocok untuk ditanami tembakau.

Indonesia merupakan negara penghasil tembakau terbesar keempat dunia setelah Cina, Brazil, dan India. Produksi tembakau Indonesia pada 2021 diperkirakan mencapai dengan jumlah produksi sebesar 230.000 ton atau sekitar dua persen dari total produksi tembakau dunia. Luas lahan tembakau di Indonesia mencapai 236.687 hektar pada tahun 2021. Provinsi terbesar penghasil tembakau adalah Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah.

Berikutnya Amerika Serikat yang menempati urutan kelima, dengan memiliki total produksi tembakau mencapai 0,21 juta ton pada 2021, disusul Pakistan  yang memproduksi 0,167 juta ton tembakau pada tahun 2021.

Grafik:

Posisi ke-7 sebagai penghasil tembakau dunia yakni Zimbabwe dari Afrika. Tembakau merupakan komoditas penting Zimbabwe, pendapatan terbesar setelah emas. Negara ini memproduksi 0,162 juta metrik ton tembakau pada tahun 2021. Selain Zimbabwe, negara yang berasal dari benua Afrika adalah Malawi  di posisi ke-8 yang memproduksi 0,10 juta ton tembakau pada tahun 2021.

Sentra produksi Indonesia

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi tembakau di Indonesia sebanyak 225.700 ton dari luas ladang tembakau di Indonesia mencapai 236.687 Hektare (Ha) pada tahun 2021. Sebagian besar produksi tembakau Indonesia dari perkebunan rakyat yakni 224.700 ton sementara produksi tembakau dari perkebunan besar sebanyak 1.000 ton. Produksi tersebut menurun 8,03 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 245.400 ton.

Jawa Timur tercatat sebagai provinsi yang paling banyak memproduksi tembakau yakni 100.600 ton pada 2022. Kemudian Nusa Tenggara Barat menyusul di urutan kedua dengan produksi sebanyak 55.700 ton. Lalu, dan  Jawa Tengah mencatatkan produksi tembakau sebanyak 53.700 ton.

Produksi tembakau di Jawa Timur tahun 2022 mengalami penurunan 10 persen dibandingkan tahun sebelumnya yakni 110,8 ribu ton pada 2021. Sementara produksi NTB meningkat sekitar 5 persen dibandingkan tahun 2021 yang tercatat 53.100 ton. Adapun produksi Jateng menurun 9 persen dibandingkan 2021 sebesar 57.600 ton.

Tahun 2021, Jawa Timur menjadi provinsi penghasil tembakau terbesar di tanah air mencapai 110.800 ton dengan luas area perkebunan tembakau yang mencapai 101.800 hektare (ha). Sentranya di Kabupaten Jember yang menghasilkan tembakau mencapai 24.285 ton pada 2021.

DI Jember, tembakau banyak ditanam petani di Kecamatan Puger, Kalisat, Sukowono, Wuluhan, dan Ledokombo. Lima kecamatan itu tiap tahun menghasilkan lebih dari 2.000 ton daun tembakau kering.

Sementara di Jawa Tengah, Kabupaten Temanggung menjadi sentra produksi tembakau di provinsi itu. Temanggung menghasilkan tak kurang dari 12.500 ton per tahun di lahan seluas 15.000 hektar dengan sentra penanaman tembakau di lereng Gunung Sumbing dan Sindoro yakni di Lamuk, Lamsi, Paksi, Toalo, Tionggang, Swanbing, dan Kidulan. Sentra produksi itu di Kecamatan Bulu, Kledung, dan Ngadirejo.

Adapun di NTB, tembakau banyak ditanam petani di Pulau Lombok dan Sumbawa di saat musim kemarau. Lebih dari 45 ribu orang petani dan buruh mengantungkan hidupnya pada  tembakau, separuh di antaranya berlokasi di Kabupaten Lombok Timur.

Grafik:

 

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

 

 

Grafik:

 

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Kota Kretek

Perkembangan komoditas tembakau beriringan dengan perjalanan industri rokok kretek yang berbahan utama tembakau. Memasuki abad ke-20, perusahaan rokok kretek bermunculan di Pulau Jawa seiring meningkatnya permintaan rokok dan tembakau. Di Kudus, misalnya, pada 1929, terdapat 37 perusahaan kretek yang dimiliki oleh orang-orang Jawa. Jumlah ini meningkat hingga 373 persen pada tahun 1933 menjadi 138 perusahaan.

Jumlah industri kretek di Kudus yang dimiliki oleh pribumi mencapai 37 unit usaha pada tahun 1929. Dari jumlah itu, delapan perusahaan di antaranya adalah perusahaan besar dengan jumlah produksi sekitar 50 juta batang per tahun.

Saat terjadi krisis tahun 1930, industri kretek justru mampu bertahan. Bahkan, jumlahnya semakin meningkat pesat menjadi 43 perusahaan pada tahun 1930 dan 102 perusahaan pada tahun 1932. Meski begitu, sejumlah perusahaan harus berjuang untuk bertahan di tengah gempuran krisis yang saat itu melanda dunia hingga dampaknya dirasakan di Hindia Belanda.

Penambahan perusahaan terbesar adalah pada industri kecil dengan total produksi di bawah 10 juta batang per tahun. Di daerah Kudus, jumlah unit usaha pada kategori ini meningkat dari 14 usaha pada 1929 menjadi 79 usaha pada tahun 1932. Kenaikan ini tidak terlepas dari pemanfaatan peluang oleh masyarakat lokal di tengah menjamurnya konsumsi kretek di tengah-tengah masyarakat.

Perkembangan pesat ini tidak serta-merta diikuti oleh unit usaha yang dimiliki oleh pengusaha asing. Jumlah perusahaan yang dimiliki oleh pebisnis Tionghoa memang mengalami kenaikan pesat secara persentase. Jika pada 1929 terdapat 18 usaha kretek milik Tionghoa di Kudus, jumlah ini meningkat 50 persen pada tahun 1931. Kondisi ini terus bertahan hingga Kudus dikenal sebagai kota kretek. Hingga kini, lebih dari satu abad berselang, Kudus kian sulit dilepaskan dari tembakau.

Selain Kudus, Kota Kediri juga mendapat predikat kota kretek. Hal itu tak bisa lepas dari keberadaan perusahaan rokok Gudang Garam yang telah berdiri sejak tahun 1958. Bahkan, perkembangan ekonomi Kota Kediri sangat bergantung pada keberadaan pabrik rokok tersebut. Tak kurang dari 70 persen produk domestik regional bruto (PDRB) kota itu disumbang oleh aktivitas produsen rokok kretek itu.

Pada periode 2011–2016 misalnya, PDRB atas dasar harga konstan Kota Kediri pada 2011 tanpa Gudang Garam hanya Rp 7,2 triliun, lima tahun berselang menjadi Rp 9 triliun pada 2016. Sementara dengan memasukan industri rokok, PDRB atas dasar harga konstan pada 2011 senilai Rp 23,7 triliun, dan menjadi Rp 33,8 triliun berselang 5 tahun kemudian atau pada 2016.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Petani menjemur tembakau di Desa Girirejo, Ngablak, Magelang, Jawa Tengah, Minggu (10/10/2021). Setelah dijemur selama sekitar tiga hari, tembakau yang telah dikeringkan laku dijual ke pengepul dengan harga berkisar Rp 40.000 per kilogram.

Cukai hasil tembakau

Cukai hasil tembakau atau biasa disebut cukai rokok di Indonesia adalah upaya pengendalian harga jual dari pemerintah Indonesia terhadap rokok dan produk tembakau lainnya seperti sigaret, cerutu, serta rokok daun, yang dipungut dan berlaku pada saat pembelian.

Pengaturan cukai hasil tembakau itu mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. UU ini kemudian diikuti dengan keluarnya aturan teknis dalam bentuk peraturan pemerintah (PP), antara lain, PP Nomor 24 Tahun 1996 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi di Bidang Cukai, PP Nomor 25 Tahun 1996 tentang Izin Pengusaha Barang Kena Cukai, dan PP Nomor 55 Tahun 1996 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai.

Kemudian pascareformasi munculnya UU Nomor 39 tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Khusus cukai rokok, atau cukai hasil tembakau, UU ini memasukkan perhitungan dana bagi hasil antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah penghasil tembakau. Hal ini menghasilkan istilah “Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau” atau DBH-CHT.

Aturan teknis mengenai dana bagi hasil ini, tertuang dalam PMK Nomor 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau & Sanksi Atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.

DBH-CHT adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah, dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.  Kepala daerah, baik gubernur atau bupati/walikota, memegang tanggung jawab untuk menggerakkan kegiatan yang didanai DBH-CHT.

Besaran DBH-CHT selalu diperbarui mengikuti kontribusi produksi tembakau atau hasil tembakau pada tahun sebelumnya. Pada 2022, DBH-CT diatur dalam PMK No.2/PMK.07/2022 tentang Rincian Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Menurut Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2022. Alokasi DBHCHT untuk tahun 2022 adalah sebesar Rp 3.870.600.000.000, yang dibagikan kepada 25 provinsi penghasil cukai penghasil tembakau.

Grafik:

 

INFOGRAFIK: ALBERTUS ERWIN SUSANTO

Dalam periode 10 tahun terakhir, penerimaan negara berupa cukai hasil tembakau terus meningkat setiap tahunnya. Tahun 2011, penerimaan negara mencapai Rp 73 triliun, berselang 10 tahun kemudian penerimaan itu meningkat hampr tiga kali lipat menjadi Rp 200 triliun pada 2022.

Tahun 2023, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau ditargetkan Rp 232,5 triliun. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) mencatat bahwa penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) hingga akhir Agustus 2023 adalah Rp126,8 triliun atau 54,53 persen dari target total CHT APBN 2023 sebesar Rp232,5 triliun.

Realisasi penerimaan CHT itu tercatat menurun sebesar 5,82 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2022, yakni Rp134,65 triliun. Realisasi cukai hasil tembakau pada akhir 2023 diperkirakan bakal mencapai Rp 218,1 triliun atau 93,8 persen dari target APBN 2023. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  •  Amen Budiman, Onghokham,Hikayat kretek, Kepustakaan Populer Gramedia, 2016. 
  • Kretek: Pustaka Nusantara, Penulis Thomas Sunaryo, Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI) & Center for Law and Order Studies (CLOS), 2013.
  • Kretek:kemandirian dan kedaulatan bangsa Indonesia, Penulis Nuran Wibisono, Yoandinas Marlutfi, Penerbit Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek, 2014. 
Arsip Kompas