Paparan Topik | Kesehatan

Dampak Gawai pada Kesehatan Mental

Hari Kesehatan Mental Sedunia 2023 merupakan kesempatan bagi masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran untuk melindungi kesehatan mental. Kecanduan gawai dan internet dapat mempengaruhi kesehatan mental.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Anak-anak bermain gim daring di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (13/3/2021). Paparan gim daring semakin masif menjangkiti anak-anak seiring akses gawai yang mudah sebagai dampak pembelajaran sekolah via daring semasa pandemi.

Fakta Singkat

  • Hari Kesehatan Mental Sedunia diperingati setiap 10 Oktober.
  • Tema peringatan tahun 2023: “Kesehatan Mental adalah Hak Asasi Manusia Universal”.
  • Kesehatan mental adalah hak asasi manusia yang mendasar bagi semua orang. Setiap orang, siapa pun dan di mana pun berada, berhak atas standar kesehatan jiwa tertinggi yang dapat dicapai.
  • Pengaruh akses informasi menggunakan gawai dapat terjadi pada anak-anak, remaja, dan orang dewasa yang dapat mengganggu kesehatan mental.
  • Seseorang yang sudah kecanduan gawai dapat bertindak agresif seperti berteriak, panik, ansietas hingga melakukan tindak kekerasan pada diri sendiri dan orang lain.
  • Pengobatan mental dan medis pada pasien yang kecanduan gawai mirip dengan pengobatan pasien ketergantungan narkoba.

Pada masa pandemi Covid-19, aktivitas fisik keluar rumah sangat dibatasi atau dikenal dengan social distancing sehingga masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Salah satu aktivitas yang paling banyak dilakukan adalah mengisi waktu berada di depan layar televisi, gawai, maupun laptop.

Individu di segala usia akan merasakan senang menghabiskan waktu di depan layar televisi atau gawai, akibat dibatasinya interaksi langsung dengan orang lain selama pandemi. Gawai membuat orang serasa dapat berhubungan dengan dunia luar yang tanpa disadari menghabiskan waktu hingga beberapa jam.

Saat membuka media sosial, terjadi peningkatan hormon dopamin, yaitu hormon yang berhubungan dengan rasa senang. Saat kelebihan dopamin tubuh memberikan sinyal rasa bahagia, sehingga mengakses media sosial merupakan sesuatu yang menyenangkan. Namun sebaliknya, jika tubuh banjir dopamin dengan intensitas berlebih, sebenarnya hal tersebut justru berpotensi menimbulkan depresi dan ansietas.

Ansietas atau kekhawatiran merupakan rasa takut yang berlebihan dan terus-menerus sehubungan dengan situasi sehari-hari.

Sebuah studi yang dilakukan di Kanada tahun 2021 terhadap 2.026 anak usia 2–18 tahun untuk melihat perilaku bermedia mereka. Hal-hal yang diteliti di antaranya kebiasaan mereka menghabiskan waktu di depan televisi, video games, mendengar musik. Orang tua mereka juga diwawancarai  tentang perilaku, serta kesehatan mental anak-anak mereka. Hasil riset tersebut menyebutkan bahwa semakin muda usia anak-anak dan semakin tinggi waktu yang dihabiskan dengan gawai dan internet, maka anak-anak tersebut semakin bermasalah dengan perilakunya.

Sama halnya dengan kelompok usia dewasa, semakin tinggi tingkat paparan internet dan media sosial, ternyata makin banyak yang mengalami ansietas, depresi, tidak perhatian, dan masalah negatif lainnya.

Pada saat pandemi, pemerintah menerapkan pembelajaran jarak jauh sehingga anak-anak mulai berinteraksi dengan internet. Menurut Departemen Medik Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Unversitas Indonesia, prevalensi ketergantungan internet pada remaja Indonesia meningkat pada masa pandemi. Dari 2.933 remaja yang diteliti di 33 provinsi ditemukan 19,3 persen yang mengalami ketergantungan pada internet. Sebanyak 59 persen, yang mengakses internet hingga 11,6 jam setiap harinya.

Dari studi meta analisis terhadap 41 studi pemakaian gawai di sejumlah negara pada 2011–2017, ditemukan bahwa 23,3 persen anak muda kecanduan gawai. Hasil studi yang dipublikasi BMC Psychiatry, Inggris ini mengungkapkan perilaku ketika dijauhkan dari gawai mereka menunjukkan respon panik, bingung, dan marah.

Di Indonesia menurut Survei Susenas 2021, sebanyak 62,10 persen populasi Indonesia telah mengenal internet dan 90,54 persen rumah tangga memiliki minimal satu nomor telepon seluler. Hal itu meningkat tajam karena pada tahun 2018 hanya 88,46 persen rumah tangga yang memiliki telepon selular.

Bahaya Gawai Mengintai

Berdasarkan Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017, sebanyak 143,26 juta orang atau 54,68 persen dari populasi Indonesia menggunakan internet. Perangkat yang paling banyak digunakan untuk mengakses internet adalah gawai, yaitu 44,16 persen. Usia pengguna internet antara 13 – 18 tahun sebanyak 75,50 persen. Menurut Kemkeminfo penggunaan media sosial terbanyak oleh individu 93,52 persen berusia antara 9 – 19 tahun. Sedangkan penggunaan internet oleh individu sebanyak 65,34 persen usia 9 – 19 tahun, umumnya mereka menggunakan internet untuk media sosial, gim daring dan Youtube.

Prevalensi kecanduan internet pada remaja Jakarta mencapai 31,4 persen, sedangkan di dunia berkisar 4,5–19,1 persen pada remaja muda dan 0,7–18,3 persen pada dewasa muda. Tingginya prevalensi kecanduan internet karena kemudahan mengakses telepon pintar, bahkan 96 persen dari remaja mendapatkannya di rumah.

Durasi penggunaan internet untuk permainan daring dan media sosial mencapai lebih dari 20 jam per minggu. Dari hasil penelitian diketahui kecanduan bermain di internet karena remaja Indonesia tidak terbiasa mengekspresikan diri di lingkungannya. Sehingga mereka memilih berekspresi di dunia maya. Prevalensi adiksi internet  pada remaja Jakarta lebih tinggi daripada di China dan India.

Gawai dapat membahayakan anak-anak karena mengganggu kemampuan berpikir anak, seperti  keterlambatan perkembangan, resiko obesitas, gangguan pola tidur dan menurunkan kualitas tidur anak.

Ciri-ciri anak yang sudah kecanduan bermain gawai, yaitu setiap ada waktu luang meski hanya sebentar mereka akan menggunakan kesempatan itu untuk bermain gawai, termasuk di setiap perjalanan, ketika sedang mengantre, atau menunggu makanan. Jika tidak memegang gawai mereka akan gelisah, cenderung agresif dan marah jika gawai lepas dari genggamannya.

Anak-anak yang kecanduan gawai tidak tertarik melakukan aktifitas lainnya karena khawatir kehilangan perangkat gawainya. Bermain gawai sendirian membuat mereka enggan keluar rumah dan tidak mau melakukan aktifitas lainnya. Layar gawai mengandung paparan blue light yang akan mempengaruhi durasi dan kualitas tidur, mereka menjadi insomnia jika tidak memegang gawai sebelum tidur.

Secara fisik kecanduan gawai mengakibatkan mata lelah, gangguan penglihatan dan mata kering. Mengalami nyeri pada bagian tubuh tertentu seperti leher, pungung, bahu, jari-jari, dan pergelangan tangan. Kecanduan gawai ini tidak hanya terjadi pada orang dewasa, anak-anak pun rawan mengalami hal itu.

Tanda-tanda seseorang sudah kecanduan gawai atau media sosial adalah selalu mengecek media sosial setelah bangun tidur, gawai menjadi rutinitas yang pertama dilakukannya. Ia merasa cemas jika melewatkan sesuatu pada media sosial Instagram, Facebook, atau Twitter, bahkan mengecek kembali gawai sebelum tidur. Ciri kedua adalah individu selalu aktif pada media sosial, selalu menggenggam gawainya baik ketika di jalan, toilet, menunggu pesanan makanan, hingga menunggu kendaraan umum. Meski hanya melihat status orang lain, tetapi selalu menghabiskan waktu berdiam diri bersama ponsel atau telepon genggamnya.

Satu hal yang pasti adalah merasa cemas ketika berada di lokasi yang tidak memiliki jaringan internet atau wifi. Hal itu disebabkan individu merasa putus dengan dunia luar karena tidak dapat mengakses perkembangan isu atau biasa disebut dengan fear of missing out (FOMO). Kecanduan media sosial dapat membuat seseorang merasakan cemas, stress, hingga depresi.

Kecanduan gawai tersebut dapat mengakibatkan gangguan berpikir, seperti konsentrasi bekerja atau belajar hingga menurunkan produktivitas bekerja dan prestasi di sekolah. Selain itu, berdampak pada psikologis atau mental, seperti mudah panik dan pemarah, sering merasa kesepian karena kurang bersosialisasi dengan orang lain. Mereka akan mengalami stress berlebihan hingga memiliki relasi sosial yang buruk dengan keluarga, teman, dan rekan kerja

Hal itu disebabkan karena kecanduan gawai telah merusak fungsi kognitif. Salah satu fungsi kognitif adalah fungsi eksekutif pada otak untuk merencanakan dan mengontrol aktifivas yang dilakukan. Bahkan, terapi untuk pasien adiktif gawai sama seperti pada pasien dengan adiksi narkoba karena gangguan otak yang dialami pasien tersebut tidak berbeda.

Komisi Nasional Perlindungan Anak telah mendampingi 42 kasus anak kecanduan gawai pada periode 2016–2017. Kecanduan gawai dapat menyerang orang tua, yaitu seorang pria berumur 60 tahun di Banyuwangi kecanduan bermain gawai permainan ular dengan cara menggerakkan ular agar memakan mangsanya. Setelah kecanduan, kakek tersebut sering mengalami ketakutan seperti dikejar sesuatu dan berubah menjadi sangat marah ketika melihat warna merah. Akibat kecanduan gawai, kakek tersebut kemudian menjalani rawat inap selama satu tahun. Hal yang sama pernah terjadi pada seorang remaja di Bekasi yang harus menjalani rawat inap di panti rehabilitasi disabilitas mental di Bekasi, Jawa Barat.

Kecanduan gawai juga menyerang seorang anak berusia 7 tahun yang terbiasa sehari-hari menghabiskan waktu 7 jam bermain gawai. Saat bermain gawai, ia bersikap tenang, tetapi mendadak ia bisa berubah histeris berteriak dan menangis ketika dilarang dan dilepaskan dari gawainya. Lain halnya dengan seorang anak berusia 11 tahun yang tega membanting-banting adiknya usia 8 tahun, bahkan mengancam ibunya dengan pisau ketika dilarang bermain gawai. Ada pula remaja yang membanting barang-barang di sekitarnya dan membenturkan kepalanya sendiri ke tembok jika dilarang bermain gawai.

Bahkan, kasus yang terjadi pada beberapa remaja yang harus menjalani perawatan di rumah sakit karena masalah kejiwaan. Rumah Sakit Koesnadi Bondowoso, Jawa Timur pernah merawat 7 orang pasien gangguan kejiwaan karena gawai. Ada yang pulang dan sembuh menjalani rawat jalan, tetapi ada pula yang berhenti berobat meski belum tuntas.

Kecanduan gim daring mendorong anak-anak melakukan kekerasan, seperti perkelahian dengan teman sekolah, penganiayaan, dan pencurian. Bahkan, seorang remaja mencuri motor karena menonton video tutorial daring yang menunjukkan aksi kejahatan seperti membongkar lemari atau gembok dengan peralatan sederhana.

Hal yang lebih mengerikan adalah remaja menjadi pelaku pelecehan dan kekerasan seksual karena pengaruh gawai dan internet. Hal itu dihadapi sebuah Panti Sosial di Magelang, Jawa Tengah yang menampung 28 anak dari sejumlah provinsi di Indonesia karena kasus yang sama, yaitu menonton konten pornografi kemudian menjadi pelaku pelecehan dan kekerasan seksual.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Stan cek-up mental disediakan dalam acara festival yang mengambil tema “Mental Health among Youth” di Indonesian Medical Education and Research Institute (Imeri) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Jumat (12/10/2018).

Doomscrolling

Doomscrolling atau doomsurving adalah tindakan mencari informasi negatif atau kisah menyedihkan yang secara terus menerus mencari dan menelusuri berita tersebut pada media sosial. Fenomena itu muncul pada saat pandemi Covid-19 yang mengubah pola hidup masyarakat dengan membatasi interaksi sosial dan menghabiskan waktu sendiri.

Doomscrolling atau doomsurving beresiko menggangu kesehatan mental, terkadang kita mampu mengatasi rasa cemas. Namun, untuk mendapatkan berita positif seseorang harus membaca dan menelaah berita yang cenderung negatif ataupun pesimistik.

Uniknya individu merasa dapat mengontrol hal-hal negatif yang masuk dalam pikirannya. Faktanya mereka tidak mampu mengontrol hal negatif tersebut, sehingga terjadi ansietas. Pada saat memegang gawai, individu tidak sadar memasukkan pengaruh negatif dalam pikirannya.

Sifat dasar manusia adalah semakin merasakan ansietas, maka ia akan berusaha untuk mengontrolnya. Sehingga yang dilakukan adalah mencari informasi sebanyak mungkin agar terlihat baik di lingkungan sekitarnya. Namun, yang terjadi sesungguhnya hanya menciptakan rasa khawatir, takut, dan semakin terasing.

Akibatnya, timbul rasa cemas berlebihan dan ketakutan yang membuat seseorang berpikiran negatif. Orang yang lebih sering doomscrolling dapat mengakibatkan lebih sering stress, tertekan, terisolasi, dan kesepian hingga paranoid terhadap hal di sekitarnya.

Salah satu hasil riset membuktikan bahwa kebiasaan terlalu sering mengonsumsi berita buruk dapat menaikkan hormon kortisol dan adrenalin. Sehingga meningkatkan resiko seseorang mengalami gangguan mental seperti gangguan cemas dan depresi, darah tinggi, insomnia, dan penyakit jantung.

Dalam jurnal Health Communication pada September 2022, dirilis hasil penelitian pada 1.100 orang yang memperlihatkan gejala kondisi fisik yang memburuk seperti ansietas dan stres. Dari 1.100 responden yang sakit-sakitan tersebut ada 27,3 persen yang menyatakan mengalami level problematik kesehatan dengan paparan media sosial  di level ringan.  Sebanyak 27,5 persen terkena gangguan kesehatan ringan dan 28,7 persen tidak mengalami masalah kesehatan akibat mengkonsumsi media sosial.

Seorang individu yang menemukan sebuah berita yang menyedihkan atau kabar buruk biasanya akan terus menelusuri berita tersebut. Justru biasanya akan makin penasaran, ingin tahu lebih banyak, menjadi terobsesi hingga mempengaruhi emosinya. Jika makin terobsesi untuk menelusuri berita secara terus menerus, justru ia makin menjauh dari aspek-aspek kehidupannya.

Ada lima akibat yang muncul pada individu yang terbiasa doomscrolling, yaitu menerima berita-berita medsos, pikirannya terpengaruh oleh pemberitaan medsos, cenderung menelusuri berita medsos untuk mengatasi ansietas, menemukan kesulitan untuk menghindari mencari berita di medsos, dan pemberitaan medsos mulai mempengaruhi keseharian mereka.

Dampak kesehatan mental akibat doomscrolling dari hasil riset tersebut adalah 74 persen dinyatakan memiliki masalah kesehatan mental, dan sebanyak 61 persen memiliki masalah kesehatan fisik. Selain itu, ditemukan 17 persen dari responden yang mengalami berbagai macam gangguan fisik dan mental.

Seseorang melakukan doomscrolling karena beragam alasan, tetapi alasan utama adalah rasa ingin mengontrol pengetahuan dia tentang persoalan global. Kehilangan informasi akan menyebabkan individu seperti terasing dari dunianya sehingga ia harus selalu update berita, jika tidak maka ia akan disebut kurang update alias kudet.

Individu ingin menampilkan dirinya bahwa dia tahu segala sesuatu yang terjadi sehingga merasa harus menyiapkan diri jika hal buruk terjadi pada dirinya. “Kita harus mempersiapkan diri pada kemungkinan buruk yang terjadi pada diri kita”.

Hal ini tidaklah mengherankan jika terjadi peristiwa kriminal, ia merasa harus tahu dan harus paham situasi sehingga mampu mengantisipasi kemungkinan buruk yang terjadi pada dirinya.

Menurut ahli, perilaku doomscrolling setiap hari bukanlah hal yang bijaksana karena tidak baik untuk kesehatan mental, karena membuat kita merasa semakin terasing dan paranoid terhadap dunia sekitar kita. Doomscrolling tidak mendatangkan keuntungan yang nyata, justru merampok kehidupan nyata kita di saat ini (sekarang). Bahkan, menghalangi individu untuk memahami pikiran dan perasaannya, ironisnya adalah kita tidak menyadari hal itu.

Ketika seseorang membaca atau melihat sebuah artikel atau peristiwa di medsos kita tidak menyadari betapa informasi negatif sangat berpengaruh pada psikis. Namun, ketika kita menutup mata di tempat tidur yang terjadi adalah pikiran kita dipenuhi oleh cerita-cerita negatif tersebut.

Namun demikian, kecenderungan orang melakukan doomscrolling masih terus berlanjut. Seorang psikolog Susan Albers, Cleveland Clinic menyebutkan bahwa ketika seseorang sedang stress, ia akan membuka medsos untuk menghibur dirinya.

Ketika ia merasakan hal negatif dalam dirinya, ia akan menelusuri berita negatif untuk rekonfirmasi perasaannya. Jika kebiasaan itu dilakukan terus menerus, akan menimbulkan pola dalam pikirannya, bahkan tanpa disadari. Lama kelamaan perilaku tersebut dapat berkembang menjadi obsessive-compulsive disorder (OCD), yaitu ketika otak terus bergerak mencari berita, tetapi yang terbentuk justru perasaan terasing atau ansietas.

Perilaku doomscrolling ini berbahaya karena mendorong pikiran negatif yang pada akhirnya mempengaruhi kesehatan mental. Konsumsi berita negatif menjerumuskan individu pada ketakutan, stress, kesedihan, dan ansietas yang lebih dalam lagi. Hal itu sama saja dengan seseorang yang stress terjebak dalam pasir hisap, maka pikirannya akan terus makin terpuruk.

Bahkan ketika seseorang mengalami ansietas, ia akan mengalami kesulitan tidur. Tidak saja sampai pada OCD, seseorang yang sudah terlanjur memuja medsos terkadang berlagak mengecek sendiri berita yang mereka inginkan hingga menolak berita yang resmi.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Sejumlah anak bermain gim di persewaan gim dan warnet di kawasan Kramat Jati, Jakarta, Rabu (14/12/2022). Anak-anak perlu diajak untuk mengatur waktu yang seimbang antara bermain gim dan berinteraksi sosial agar tidak kecanduan. Menghabiskan banyak waktu di depan layar komputer dan gawai-gawai lainnya tak hanya membuat penglihatan rusak, tetapi juga menimbulkan kecanduan dan perilaku buruk. Namun jka diarahkan dengan benar dan pada porsinya, permainan gim daring dapat berbuah prestasi.

Cara Mengatasi Doomscrolling

Satu hal utama yang perlu dilakukan untuk mencegah doomscrolling adalah dengan membatasi diri mengkonsumsi konten media sosial. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan alarm sebagai pengingat  lamanya membuka medsos. Batasi 20–30 menit bermain medsos, misalnya dengan melihat sesuatu kisah yang menghibur ataupun lucu.

Kita bisa memulainya dengan mengenali emosi yang dialami. Jika mulai merasa cemas, takut hingga stress karena membaca berita, hentikan aktifitas tersebut. Penting sekali untuk memilah konten positif dan informatif untuk diri kita.

Kita harus membedakan antara perlu dan tidak perlu untuk diketahui dan penting untuk mencari tahu sumber informasi tersebut. Kita bisa meletakkan ponsel dan melakukan hal yang menjadi minat atau hobi kita seperti olahraga, melukis, memasak, berkebun, fotografi, atau membaca. Penting juga membangun komunikasi dengan keluarga, handai taulan ataupun meluangkan waktu untuk menulis dan memuaskan isi hati. Koneksi sosial ini penting bagi kesehatan mental dan sangat penting bagi individu untuk tetap terhubung, dan jangan lupa bersyukur.

Untuk menghindari rasa takut dan stress, kita dapat menggunakan teknik mindfulness, yaitu mengelola pikiran dan emosi. Aktivitas seperti meditasi, menarik nafas dalam dan panjang atau latihan pernapasan dapat mengurangi rasa takut dan stress. Jika individu sudah terganggu dengan kecemasan ataupun distress, sebaiknya mencari bantuan profesional seperti psikolog.

Ada hal-hal yang dilakukan untuk mencegah terjebak pada doomscrolling.

Ciptakan perilaku sehat untuk diri sendiri. Batasi waktu bermain media sosial, berilah batasan waktu bermain internet dan media sosial. Meskipun sedang membuka medsos tapi sadari kebiasaan diri sendiri, misalkan terbiasa membuka gawai sesaat bangun tidur, maka letakkan gawai anda jauh dari anda.

Fokuslah pada aktivitas anda saat itu, tentukanlah apa yang anda butuhkan dari internet lalu setelah selesai matikan laptop dan jauhkan gawai anda.

Hindari berita-berita negatif dan stop pikiran-pikiran buruk. Gunakan gawai dengan penuh kesadaran, dan bukannya terjebak masuk dalam gawai tersebut. Lihatlah gambaran yang lebih besar untuk mengkonfirmasikan berita buruk dan balikkan mencari positifnya.

Jujurlah pada diri sendiri apakah yang anda inginkan dari scrolling di medsos? Apakah mencari keyakinan diri, penunjuk arah, atau sedang mengkonfirmasikan ketakutan diri sendiri, maka sebaiknya carilah teman untuk menceritakan ketakutan kita.

Jika menyadari muncul stress dan ansietas, sebaiknya segera menenangkan diri dan menjauh dari gawai. Putuskan kecanduan scrolling dengan latihan pernapasan  yang dalam agar terhubung dengan emosi dan jiwa.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Bermain dengan Gawai – Anak-anak menggunakan gawai untuk bermain di Desa Socokangsi, Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Jumat (14/7/2017). Perkembangan teknologi membuat mainan tradisional semakin tersisih dari kehidupan sehari-hari anak-anak.

Upaya Mencegah Kecanduan Gawai

Penggunaan gawai sudah lama dianggap meresahkan apalagi pada anak-anak karena mereka dapat dengan mudah mencari konten yang tidak pantas untuk mereka. Untuk menghadapi paparan konten negatif pada internet pemerintah melalui kementrian mengeluarkan pernyataan bersama. Melalui empat kementrian yaitu Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) serta Kementrian Agama.

Penyataan bersama yang dikeluarkan pada September 2018 itu menghimbau pada masyarakat khususnya orang tua, termasuk semua satuan pendidikan dan keagamaan agar membatasi penggunaan gawai pada anak dan mencegah membawa gawai ke sekolah. Hal itu dilakukan agar anak tidak mendapatkan informasi  yang tidak layak seperti pornografi, radikalisme, kekerasan, berita bohong, ataupun terkait suku, ras, agama, dan antargolongan.

Imbauan tersebut ditindaklanjuti dengan menerbitkan Surat Keputusan Bersama empat menteri terkait. Mendikbud meminta satuan pendidikan bersama orang tua dan komite sekolah menyusun peraturan sekolah yang membatasi penggunaan gawai pada siswa dengan tetap mempertimbangkan kesempatan belajar dan keamanan.

Kemkominfo meminta agar orang tua memegang kendali pada anak dan peserta didik dengan membatasi waktu dan materi yang diakses. Sejak 10 Agustus 2018 Kemkominfo meminta 25 layanan penyedia internet memblokir konten pornografi yang terdapat di mesin pencarian google. Sedangkan Menteri Agama meminta orang tua dan seluruh satuan pendidikan keagamaan, seperti pondok pesantren, madrasah dan pendidikan agama agar meningkatkan kewaspadaan penggunaan gawai pada anak-anak.

Upaya untuk mencegah atau menghindari kecanduan gawai adalah dengan disiplin penggunaannya dengan mencari aktivitas lain di waktu luang. Melakukan aktivitas di luar rumah dengan mengajak keluarga terdekat dan membangun kegiatan bersama anak-anak dapat menjadi salah satu solusinya. Ketika sedang berkumpul bersama, kita bisa menghindari menggunakan gawai dan cobalah untuk bersosialisasi dengan orang sekitar. 

Bagi yang harus bekerja terlalu lama di depan gawai ataupun layar komputer, harus dapat menyiasati diri agar tidak mengalami gangguan kesehatan karena mata yang terlalu lelah. Kondisi mata lelah tidak dapat dibiarkan berlama-lama karena dapat mengakibatkan gangguan kesehatan yang lain. Kelelahan mata disebut dengan astenopia akan muncul gejala seperti mata terasa nyeri, pedih dan gatal, mata berair dan kering, pandangan menjadi kabur atau berbayang dan sensitif terhadap cahaya.

Bagi remaja, gawai sudah seperti kebutuhan pokok, karena menjadi bagian penting dalam pembentukan identitas diri, bahkan aspek penting dalam kepribadian sangat dipengaruhi bagaimana mereka memiliki kebiasaan gawai.

Otak remaja mengalami perkembangan yang sangat cepat saat masa pubertas sehingga cara berpikir dan kreativitas akan terpengaruh. Mulai dari sikap aktif memproduksi konten hingga pasif mengonsumsi internet dan media sosial. Teknologi membuat platform media sosial  yang memungkinkan orang membagikan kehidupan realita dan maya. Dunia maya tersebut seringkali menampilkan citra entah asli atau palsu, tetapi cukup membuat orang lain iri.

Cara terbaik agar anak tidak mudah terpengaruh oleh media sosial adalah dengan menciptakan ruang yang nyaman bagi anak dan remaja. “Curhat” adalah gerbang pertama untuk memahami anak dan remaja agar merasa nyaman karena media sosial dapat memberikan guncangan pada remaja yang masih labil dan penuh ketidakpastian. (LITBANG KOMPAS)

Infografik: Kesehatan Jiwa pada Anak

Referensi

Arsip Kompas
  • “Adiksi Internet pada Anak di Masa Pandemi”, Kompas, 6 Agustus 2020, halaman 5.
  • “Kecanduan Gawai Berdampak Serius”, Kompas, Senin 2 Desember 2019, halaman 10.
  • “Kecanduan Gawai Bisa Serang Orang Tua”, Kompas, 15 Agustus 2018, halaman 17.
  • “Candu Gawai Nan Membius”, Kompas, Senin, 23 Juli 2018, halaman 1.
  • “Batasi Gawai di Sekolah”, Kompas, Sabtu, 1 September 2018, halaman 12.
  • “Screen Time Bisa Berdampak Serius”, Kompas, Kamis, 31 Agustus 2023.
  • “Mengatasi Mata Lelah Akibat Gawai”, Kompas, Kamis, 13 Januari 2022, halaman 8.
  • “Kesehatan Mental: Bijak Sikapi Internet dan Gawai”, Kompas, Senin 15 Nov 2021, halaman 5.
  • “Kesehatan Jiwa: Pengasuhan Gen Z Tak Bisa dengan Cara Lama”, Kompas, Sabtu, 12 Agustus 2023.
  • “Tidur Nyenyak Bantu Kesehatan Mental”, Kompas, Selasa 18 Juli 2023
  • “Tinggi Kecanduan Internet Pada Remaja”, Kompas, Rabu, 20 Nov 2019, halaman 9.

Artikel terkait