Paparan Topik | Kesehatan

Mewaspadai Ancaman Laten Tuberkulosis

Indonesia adalah salah satu dari lima negara dengan kasus Tuberkolusis atau TBC terbesar di dunia. Kurangnya literasi seputar penyakit TBC membuat orang enggan dan malu untuk berobat.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Warga menjalani rontgen paru dalam kegiatan penapisan tuberkulosis (TB) di GOR Otista, Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta Timur, Kamis (9/2/2023). Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis.

Fakta Singkat

  • Penanggulangan tuberkulosis di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1908 dengan dibentuk Perkumpulan Centrale Vereniging Voor Tuberculose Bestrijding.
  • Global TB Report tahun 2021 menyebutkan beban TBC di dunia mencapai 10.556.328 kasus.
  • Region terbesar ada pada Asia Tenggara kemudian Afrika dan Pasifik Timur.
  • Indonesia menduduki peringkat kedua dunia untuk kasus TBC dengan estimasi rata-rata 969.000 kasus per tahun. 
  • Sebanyak 110.881 anak di Indonesia terkena TBC (3 Juli 2023).

Pada 2019, data Organisasi Kesehatan Dunia menyebutkan jumlah kasus TBC di dunia sebesar 56 persen berada di lima negara, yaitu India, China, Indonesia, Filipina, dan Pakistan (WHO, 2019).

Sementara berdasarkan data Studi Inventori (2017), terdapat kasus 219 kasus TBC per 1000 penduduk atau setara dengan 842.000 kasus. 

Setahun kemudian pada 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan kasus TBC di Indonesia pada angka 391 per 100.000 penduduk. Secara global di dunia, TBC berada pada peringkat kedua sebagai penyakit menular yang mematikan.

Menurut data Griffith University Australia, angka penyakit TBC yang tinggi di Indonesia mencerminkan Indonesia masih masuk dalam kategori negara berkembang, bahkan negara miskin. Hal itu disebabkan penyakit TBC muncul akibat kondisi lingkungan dan ventilasi sirkulasi rumah yang buruk dan gizi buruk. Selain itu, literasi yang rendah seputar penyakit TBC membuat orang enggan dan malu untuk berobat.

Ada tiga penyakit menular yang harus dipantau melalui pengawasan atau surveilans yang aktif secara rutin dan terkoordinasi. Ketiga penyakit tersebut  mendapat perhatian khusus, yaitu tuberkulosis, HIV/AIDS, dan malaria. Selain itu, juga ada penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

Mengenal Tuberkulosis

Tuberkulosis disingkat TB atau TBC adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini dapat menyerang otak, kelenjar getah bening, sistem saraf, jantung dan tulang belakang, walaupun paling banyak menyerang paru-paru.  

Tuberkulosis menyebar menular lewat droplet atau semburan air liur ketika pengidapnya batuk, bersin, bicara, tertawa atau bernyanyi. Walaupun penularannya mirip seperti pilek atau flu, TBC tidak menular terlalu mudah karena butuh kontak dekat dengan penderita dalam waktu beberapa jam. Namun, tidak semua penderita TB dapat menularkan penyakitnya, seperti penderita anak-anak tidak mampu menularkan pada orang dewasa.

Salah satu penyebab TBC menjadi penyebab kematian terbesar karena meningkatnya kekebalan (resisten) terhadap obat. Hal itu terjadi karena selama pengobatan penderita tidak menjalani dan minum obat sesuai dengan petunjuk dokter, bahkan tidak menyelesaikan pengobatan. Sehingga antibiotik gagal membunuh semua bakteri yang menjadi targetnya akibatnya bakteri tersebut resisten terhadap antibiotik.

Gejala TBC tidak terlalu tampak parah, para ahli membagi TBC dalam dua jenis yaitu laten dan aktif. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membagi tuberkulosis dalam tiga kelompok, yaitu kasus total TB, TB/HIV, dan MDR-TB atau pasien resisten obat.

Tuberkulosis laten bersumber dari bakteri dalam keadaan tidak aktif sehingga pengidapnya tidak mengalami gejala apapun. Meskipun tidak menular TB laten ini harus diobati agar tidak berkembang menjadi TB aktif.

Tuberkulosis aktif adalah menunjukkan berbagai gejala seperti batuk selama tiga minggu atau lebih, batuk darah atau berlendir, nyeri dada, kelelahan terus menerus, demam di malam hari, panas dingin, kehilangan selera makan serta berkeringat berlebih di malam hari.

Pada penderita TB, tulang belakang akan merasakan sakit punggung, sedangkan TB ginjal akan menyebabkan urin berdarah. Namun, rasa yang umum terjadi pada penderita TB paru-paru adalah nyeri di punggung.

Jika seseorang terindikasi sakit TB, perlu dilakukan tes untuk memastikan kondisi penderita dengan melakukan tes Mantoux atau disebut dengan tuberculin skin test (TST). Tes ini paling umum digunakan dengan menyuntikkan zat TB di bawah kulit lengan. Jika dalam 48 hingga 72 jam bekas suntikan terdapat benjolan merah, seseorang dinyatakan positif TB ataupun positif memiliki masalah pada paru-paru.

Tes kedua adalah tes darah untuk mengukur sistem kekebalan terhadap bakteri TBC dan dapat memperlihatkan apakah ia terkena TB aktif atau TB laten. Jika hasil tes mantoux positif, dokter akan merekomendasikan rontgen dada atau CT scan untuk melihat pencitraan pada paru-paru.

Biasanya infeksi TBC akan menunjukkan bintik-bintik putih pada paru-paru akibat dari tertutupnya sistem kekebalan tubuh oleh bakteri penyebab TBC. Untuk mendukung hasil rontgen paru-paru, dilakukan tes dahak yang sekaligus untuk menentukan pengobatan yang tepat.

Pengobatan TB fokus pada mengkonsumsi obat sesuai dengan anjuran dokter selama 6–9 bulan, penderita harus disiplin dan patuh pada aturan minum obat. Jika pasien menghentikan pengobatan sebelum waktunya atau tidak disiplin sesuai aturan, dapat terjadi bakteri kebal terhadap obat. Hal itu dapat mengakibatkan resistensi obat sehingga penderita harus minum obat lebih lama dengan terapi yang berbeda.

Obat-obatan yang biasa diberikan pada pasien penderita TBC, yaitu pirazinamid, isoniazid, rifampisin, etambutol, dan rifapentin. Obat-obatan tersebut dapat menimbulkan efek samping, antara lain, warna urin menjadi kemerahan, gangguan saraf, gangguan fungsi liver dan hati, serta timbulnya gangguan penglihatan.

Efektifitas mengkonsumsi obat TB memerlukan waktu beberapa minggu sebelum pasien merasa lebih baik, tentu saja membutuhkan waktu minimal enam bulan.

Jika seorang penderita TBC tidak mendapat pengobatan secara tepat dan dibiarkan berlarut-larut, akan menimbulkan komplikasi karena merusak paru-paru dan organ lain.

Biasanya komplikasi yang muncul adalah kerusakan sendi dan berpengaruh pada pinggul dan lutut. Terjadi pembengkakan selaput yang menutupi otak (meningitis), ditandai dengan rasa sakit kepala yang berlangsung lama (berminggu-minggu). Muncul masalah di hati atau ginjal dan mulai terjadi penumpukan cairan di paru-paru hingga mengganggu kemampuan jantung memompa (tamponade jantung).

Bahaya dari TB yang tidak diobati dengan baik juga penderita dapat mengalami erythema nodosum, yaitu benjolan merah dan keunguan di bawah permukaan  kulit.

Gejala itu menunjukkan bahwa seseorang menderita TB yang muncul di tangan atau kaki. Hal itu terjadi karena respon tubuh pada bakteri tuberkulosis menyerang organ bernapas, dengan pengobatan teratur benjolan tersebut lambat laun akan hilang. 

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Petugas mengoperasikan alat rontgen dada di dalam mobil Mobile Xray pada kegiatan penjaringan Tuberkulosis (TBC) secara aktif di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, Rabu (14/12/2022). Penjaringan TBC secara aktif merupakan bagian penting upaya mengeliminasi penyakit tersebut di kalangan masyarakat. Jumlah pasien TBC yang ditemukan dan diobati di fasilitas layanan kesehatan Kota Yogyakarta pada tahun 2020 tercatat 833 orang. Jumlah tersebut meningkat menjadi 879 orang pada 2021 dan 1.154 orang pada tahun 2022.

Linimasa Penanganan di Indonesia

Catatan tertua terkait tuberkulosis ditemukan pada salah satu candi Borobudur pada abad 8 Masehi. Pada masa Hindia Belanda tahun 1908 telah dibentuk Perkumpulan Centrale Vereniging Voor Tuberculose Bestrijding (CVT), kemudian tahun 1939 didirikan 15 sanatorium untuk merawat pasien TBC paru dan 20 consultatiebureau yang memberikan penyuluhan dan pengobatan.

Setelah Indonesia merdeka, dibentuk Lembaga Pemberantasan Penyakit Paru-paru (LP4) di Yogyakarta tahun 1945–1966. Lembaga itu kemudian dikenal dengan nama Balai Pemberantasan Penyakit Paru-paru (BP4) yang selanjutnya dibentuk di 53 lokasi di Indonesia.

Pada periode 1969–1973, penanganan TBC dialihkan ke Direktorat Jenderal Pemberantasan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular (P4M) Depkes Program Pemberantasan TB. P4M ini mulai memperkenalkan program imunisasi BCG, dan mulai dilakukan pemeriksaan dahak dan pengobatan 1 hingga 2 tahun.

Selanjutnya pada tahun 1976–1994, dimulailah pengobatan menjadi lebih singkat menjadi 6 bulan saja, dan mulai dilakukan ujicoba strategi Directly Observed Treatment Short-course (DOTS).

Pada akhir tahun 1990-an, Directly Observed Treatment Short-course (DOT dilakukan secara programatik untuk pertama kali di Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur dengan kesembuhan mencapai 85 persen.

Program DOTS berhasil menemukan kasus TB pasif melalui mikroskopis. Pemerintah juga mengeluarkan standar panduan pengobatan jangka pendek dan sistem monitoring dan evaluasi pasien.

Pada 24 Maret 1999 Menkes Achmad Sujudi membentuk Gerakan Terpadu Nasional (Gerdunas TB) sebagai cikal bakal kemitraan TB Indonesia.Untuk mengetahui prevalensi TB di Indonesia maka tahun 2004 dikerjakan bersama oleh Litbangkes Depkes RI.

Kemudian berlanjut dengan melakukan survei resisten obat tahun 2006 hingga akhirnya memunculkan Program Nasional Pengendalian TB Resisten Obat pada 2009. Pemerintah kemudian berfokus pada penyediaan layanan berkualitas dengan menerapkan jejaring layanan pemerintah dan swasta atau Public Private Mix (PPM).

Pemerintah kemudian memulai strategi STOP TB 2006–2015 dengan memperluas layanan DOTS yang bermutu dengan melibatkan seluruh penyedia layanana dan memberdayakan masyarakat. memperkuat sistem kesehatan dan menangani kasus TB-HIV, MDR serta masyarakat rentan.

Agar lebih akurasi dalam pendataan pemerintah menggunakan metode WHO untuk melakukan survei prevalensi TB tahun 2013–2014. Kemudian pemerintah meluncurkan pendekatan Keluarga Kesehatan dan Gerakan Masyarakat Kesehatan dengan memasukkan indikator pasien TB. Dalam hal ini puskesmas terdekat bertangung jawab untuk melakukan intervensi penanggulangan TB di wilayah mereka.

Tuberkulosis akhirnya masuk dalam Rencana Nasional Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019 dan menjadi salah satu dari 12 standar layanan minimum. Pemerintah merevisi strategi penanggulangan TB sesuai dengan hasil surveilans terbaru, maka jejaring pelayanan TB disempurnakan menjadi berbasis kabupaten/kota, district-base public-private mix.

Situasi pandemi Covid-19 membuat pemerintah mengeluarkan Protokol Layanan TBC untuk memastikan layanan TBC tetap berjalan baik dengan kampanye “Bersama kita sehat” dan “Bersama Menuju Eliminasi TBC dan Melawan Covid-19”.

KOMPAS/EVY RACHMAWATI

Tenaga kesehatan memasukkan data hasil rontgen warga di mobil sinar-X dalam kegiatan penapisan tuberkulosis yang digelar tim Proyek Zero TB, di Balai Desa Giri Purwo, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, Selasa (29/3/2022).

Beban Tuberkulosis

Berdasarkan Global TB Report tahun 2021 (data tahun 2020) beban TBC di dunia dengan estimasi 10.556.328 kasus dan region terbesar pada Asia Tenggara, kemudian Afrika dan Pasifik Timur.

Sedangkan TB resisten obat (TBC RO) di dunia dengan estimasi 449.682 kasus dengan region terbesar pada Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Sementara TBC HIV di dunia diperkirakan 701.459 kasus dengan region terbesar di Afrika kemudian Asia Tenggara dan Eropa.

Sementara itu, Indonesia berdasarkan estimasi menjadi negara TBC tertinggi kedua di dunia 969.000 kasus setelah India 2.950.000 kasus. Angka tersebut membuat Indonesia menyumbang 9,2 persen kejadian TBC global. Posisi itu tidak berubah dibandingkan tahun 2015 yang menempatkan Indonesia pada posisi kedua setelah India.

Data dari Global TB tersebut merupakan angka estimasi 969.000 kasus atau 354 per 100.000 penduduk, TB HIV diperkirakan 22.000 kasus per tahun atau 8,1 per 100.000 penduduk. Kematian akibat TBC diperkirakan 144.000 atau 52 per 100.000 penduduk, dan kematian akibat TB HIV sebesar 6.500 atau 2,4 per 100.000 penduduk. 

Estimasi dari Global TB, Indonesia mencapai 969.000 dengan 28.000 TB resisten obat dan terjadi 144.000 kematian akibat TBC dengan 86 persen keberhasilan pengobatan. Sedangkan Kementrian Kesehatan menemukan TBC 717.941 kasus, angka ini melonjak 61,98 persen dari tahun sebelumnya, yaitu 443.235 kasus.

Pemerintah meningkatkan pendeteksian TBC sejak akhir 2022 atas kerja sama Kemenkes dan Kemendagri, hingga pada pertengahan tahun 2023 ditemukan 720.000 kasus dari sebelumnya 540.000 kasus. 

Upaya Pemerintah

Tuberkulosis merupakan penyakit yang erat dengan kemiskinan dengan kondisi sosial dan rendahnya pendapatan ekonomi, lingkungan tempat tinggal yang kurang bersih, padat, dan lembab.

Risiko penularan sangat tinggi di lingkungan seperti itu disebabkan ketiadakmampuan menyediakan rumah sehat. Rumah dengan sanitasi dan sinar matahari yang buruk merupakan media yang sangat subur untuk kembang biak bakteri TBC.

Salah satu kendala dalam pengobatan adalah tidak semua kasus terdeteksi, bahkan dari semua kasus yang terdekteksi terkadang pasien masih ragu untuk melakukan pengobatan.

Tuberkulosis menjadi endemi di seluruh Indonesia dengan angka yang tidak menurun bahkan cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

WHO menggambarkan kasus Indonesia sangat mengkhawatirkan yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu sasaran negara pengurangan TB secara global.

Gerakan melawan TBC telah lama menjadi perhatian dunia, maka pada tahun 2017 muncullah Deklarasi Moscow sebagai deklarasi politis untuk mengakhiri atau eliminasi TBC pada tahun 2030. Dilanjutkan pada tahun 2018 dalam Pertemuan tingkat tinggal Majelis Umum PBB tentang TBC.

Menurut Kemenkes kerugian ekonomi akibat TBC diperkirakan Rp 130,5 miliar per tahun, sedangkan akibat TB-MDR ialah Rp 6,2 miliar per tahunnya. Kemenkes memperkirakan penderita TBC yang kehilangan pekerjaan  sebesar 38 persen, sedangkan penderita TB-MDR akan kehilangan pendapatan sebesar 70 persen dan pekerjaan 26 persen.

Hal itu tentu saja memberi dampak bukan saja bagi penderita tentu saja negara harus menanggung biaya besar dalam mengatasi TBC. Dampak dari penyakit ini adalah berkurangnya waktu untuk interaksi sosial dan bersantai bersama. Berkurangnya konsumsi barang dan jasa serta beban biaya pengobatan.

Selain itu, pasien terkadang diberhentikan dari tempat kerja karena dianggap tidak produktif bahkan memboroskan biaya pengobatan dari perusahaan, selain juga khawatir dengan penularan bakteri. Hal itu menurunkan produktifitas perusahaan dan bagi keluarga pasien karena harus kehilangan sumber pendapatan.

Untuk mempercepat menurunnya kasus TBC Pemerintah memiliki program eliminasi tuberkulosis yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis, yaitu program Eliminasi TBC pada 2035 dan Indonesia bebas TBC 2050.

Selain itu, dikeluarkan pula Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan TB, yaitu pemerintah menargetkan penurunan angka kejadian TB menjadi 65 dan angka kematian TB menjadi 6 per 100.000 penduduk pada tahun 2030.

Program penanggulangan TBC yang tertuang dalam Permenkes No. 21 Tahun 2020:

  1. Meningkatkan cakupan deteksi kasus kelompok risiko (individu kontak dengan penderita, pasien HIV/AIDS, pasien diabetes, penjara, hunian padat)
  2. Memperkuat Sistem Informasi TB Terpadu (SITT) dengan mensinergikan puskesmas, rumah sakit (pemerintah dan swasta), klinik dan dokter praktek mandiri. Dalam hal ini, dinas kelurahan dan kabupaten harus membangun tata kelola yang kuat
  3. Meningkatkan cakupan penemuan kasus dan pengobatan pada MDR TB.

Masih banyak resistensi yang harus diupayakan oleh pemerintah untuk mempercepat diagnostik TBC. Selama 15 tahun terakhir, deteksi dini ataupun penanggulangan TBC harus dimulai dengan membangun kelompok sampel (kohort) yang baik, yang ditopang oleh pengumpulan populasi yang berbeda dan jumlah sampel yang banyak dengan semua komorbid.

Kelengkapan data tersebut harus didukung oleh pengarsipan data biologi terstandar agar data belasan tahun dapat tersimpan dengan baik. Agar kohort dapat terkumpul maka dibutuhkan kolaborasi  dengan rumah sakit, fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas atau laboratorium.

Diagnosis dengan kolaborasi antara swasta dan pemerintah telah terwujud di Myanmar sehingga mempermudah penapisan dan diagnosis. Bahkan, pemerintah Myanmar telah menginisiasi penggunaan klinik keliling dan membuat pengobatan terjangkau untuk seluruh lapisan masyarakat.

Sejak Januari 2023, Kementrian Kesehatan menargetkan pemeriksaan TBC mencapai 60.000 kasus per bulan untuk mencapai eliminasi TBC tahun 2030. Hal itu dilaksanakan, antara lain, dengan penapisan x-ray dan pemberian terapi pencegahan TBC pada kontak serumah pasien TBC yang dilakukan serentak di 25 kota/kabupaten. Kegiatan penapisan dan pengentasan ini dibarengi dengan memperkenalkan obat dosis harian buatan dalam negeri.

Selain itu, pelayanan untuk menambah sarana atau jejaring diagnosis TB serta menyediakan logistik yang cukup dan berkesinambungan serta memperluas rujukan TB resisten Obat. Agar pelayanan tersebut dapat terlaksana, Kemenkes berkerja sama dengan Kemendes PDTT dan Kemendagri.

Kementrian Kesehatan menyusun Peta Jalan Eliminasi sesuai target global tahun 2030 agar insidensi turun 80 persen menjadi 65 per 100.000 penduduk dan kematian turun menjadi 6 per 100.000 penduduk. Dalam RPJMN 2020–2024 dan Strategi Penanggulangan Tuberkulosis 2020–2024 yang akan dicapai dengan penerapan enam strategi, yaitu :

  • Penguatan komitmen dan kepemimpinan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota untuk mendukung percepatan eliminasi tuberkulosis 2023.
  • Peningkatan akses layanan tuberkulosis bermutu dan berpihak pada pasien.
  • Optimalisasi upaya promosi dan pencegahan, pemberian pengobatan pencegahan tuberkulosis dan pengendalian infeksi.
  • Pemanfaatan hasil riset dan teknologi skrining, diagnosis dan tatalaksana tuberkulosis.
  • Peningkatan peran serta komunitas, mitra dan multisektor lainnya dalam eliminasi tuberkulosis.
  • Penguatan manejemen program melalui penguatan sistem kesehatan.

Untuk mempercepat program Eliminasi TB 2030 dibentuklah Strategi Nasional Pengurangan Tuberkulosis di Indonesia 2020–2024 yang  membuat program percepatan melalui empat strategi.

Pertama, active case finding yang terdiri dari investigasi pada kontak serumah, skrining gejala dan xray pada warga binaan pemasyarakatan (WBP), skrining gejala dan x-ray pada pasien DM. Skrining ini dilakukan di 25 kota/kabupaten dengan pengaturan jejaring rujukan pemeriksaan laboratorium termasuk transportasi spesimen dan workshop penggunaan TCM.

Kedua, dengan peningkatan akses layanan yang terdiri dari penyediaan saranan dan jejaring diagnosis TBC. Termasuk penyediaan penunjang, penyediaan logistik TBC dalam jumlah mencukupi dan berkesinambungan, tata laksana efek samping obat dan pendampingan minum obat, serta perluasan layanan rujukan pengobatan TBC. Disertai dengan dukungan biaya transport pasien TB RO, peningkatan kapasitas nakes dalam pelayanan pencegahan, pengobatan dan perawatan. Termasuk penanganan kasus TBC berat khususnya layanan primer rujukan.

Ketiga, yaitu perluasan pemberian TPT, terdiri dari penyediaan tes tuberkulin, penyediaan obat TPT, pelaksanaan workshop tata laksana pemberian terapi pencegahan, dan integrasi pemberian TPT dalam kegiatan skrining kontak serumah di 25 kota/kabupaten.

Keempat adalah penguatan surveilans yang terdiri dari peningkatan kapasitas faskes untuk penggunaan sistem informasi, validasi data dan TBC seluruh faskes dan penyisiran kasus di rumah sakit pemerintah dan swasta, simplifikasi SITB (pemanfaatan NIK) penggunaan NAR TBC untuk lab pemeriksa TBC. Serta penguatan konektifitas alat TCM ke SITB, integrasi SITB-SIMRS (pemerintah-swasta big chain hospital) dan penggunaan klinik WIFI TB untuk klinik DPM.

Untuk mendukung progam Eliminasi TBC 2030, pemerintah Indonesia membuat target pengobatan tuberkulosis di Indonesia tahun 2018–2022 dan realisasinya hingga tahun 2020, yaitu :

Pengobatan

Target 2018–2022

Realisasi 2018–2020

 TB segala usia

40.000.000

19.800.000

TB anak-anak

3.500.000

1.400.000

TB resisten obat

1.500.000

483.000

TB anak-anak resisten obat

115.000

12.200

Sumber: WHO Indonesia

Untuk mencapai tujuan global WHO seputar Eliminasi tuberkulosis, Indonesia menargetkan pengobatan TB sepanjang 2018–2022 sebanyak 40 juta, realisasinya 2018–2020 ada 19,8 juta pasien TB yang dirawat. Target pengobatan pada anak-anak adalah 3,5 juta, target pengobatan TB resisten obat 1,5 juta dan target pengobatan TB resisten obat pada anak-anak adalah 115.000.

WHO menetapkan target eliminasi penyakit TBC global agar dunia terbebas dari TBC nol kematian.

Tahun

Taget Persentase penurunan kasus kematian TBC

Target Persentase penurunan jumlah kasus TBC

2020

35

20

2025

75

50

2030

90

80

2035

95

90

Sumber: Organisasi Kesehatan Dunia, 2020

Pada penderita kasus TB/HIV, infeksi yang terjadi lebih cepat ketika penyakit HIV menurunkan imunitas seseorang, sehingga ia mudah terinfeksi bakteri lain. Angka kematian TB/HIV sangat tinggi dibandingkan kasus lain.

Secara umum, diagnosa penderita TB/HIV mirip dengan kasus lainnya yaitu batuk, sesak napas, demam, lemas serta penurunan berat badan. Menurut data WHO Indonesia pada tahun 2020 ada 376.000 penderita TB/HIV dan terjadi 214.000 kasus kematian walaupun sudah ada 88 persen dari pasien TB HIV tersebut mendapatkan obat anti retroviral.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Narapidana perempuan antre sebelum mengikuti tes kesehatan salah satunya pemeriksaan penyakit TBC di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Bulu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (25/3/2022). Program rutin ini sebagai bentuk pengendalian penyakit tertentu yang dapat menularkan sesama penghuni.

Resisten Obat

TBC resisten obat (RO) adalah pasien yang bakterinya kebal obat sehingga membutuhkan terapi lebih lama dan lebih sulit. Pasien tuberkulosis resisten obat harus menjalani pengobatan yang lama antara sembilan bulan hingga 20 bulan. 

Resiko yang ditanggung TBC RO tentunya biaya pengobatan yang sangat besar karena membutuhkan waktu sangat lama. Namun, jika tidak diobati hingga tuntas akan terjadi penularan dan pasien sulit terlacak jika hilang dari pengobatan.

Berdasarkan penelitian Stop TB Partnership Indonesia (STPI) tahun 2022 ditemukan fakta 81 pasien TBC RO menanggung biaya katastropik, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk berobat hingga tuntas yang melebihi batas batas maksimal pengeluaran per pendapatan keluarga per tahun.

Penelitian dikumpulkan dari 100 pasien yang diwawancara di TB RO Jawa Barat dan Jawa Timur dengan menghitung biaya langsung pengobatan, ditambah biaya langsung non-pengobatan dan biaya tidak langsung yang harus ditanggung pasien selama berobat.

Biaya langsung non-pengobatan misalnya biaya transportasi selama berobat, sedangkan biaya tidak langsung kehilangan penghasilan atau pekerjaan karena penyakit yang diderita.

Dari hasil riset tersebut diketahui rata-rata pengeluaran untuk berobat sebesar Rp 1,8 juta, pengeluaran rumah tangga perbulan Rp 3,3 juta dan ada 81 persen responden menanggung biaya katastropik. Keluarga pasien semuanya mengalami peningkatan pengeluaran rumah tangga selama pengobatan.

Ironisnya, ada pasien yang diberhentikan dari tempatnya bekerja atau ada yang mundur dari tempat kerja akibat efek pengobatan. Bahkan, ada pasien yang harus menjual rumahnya untuk biaya hidup dan biaya pengobatan karena ia kehilangan pekerjaan. Maka dari itu, pasien TBC RO berakibat katastropik yang menyebabkan pasien jatuh miskin, hingga mereka enggan berobat karena desakan kebutuhan ekonomi.

Berdasarkan temuan STPI pada 332 pasien TBC RO dari sepuluh provinsi ditemukan 257 pasien yang tidak menerima bantuan dari Program Keluarga Harapan dari Kementerian Sosial. Sebanyak 75 persen dari 257 responden tersebut berasal dari keluarga miskin dan rentan miskin. Sementara itu, ada 75 responden yang mengaku mendapatkan bantuan, antara lain berupa pemberian makanan tambahan, bantuan pangan non-tunai dan uang tunai.

Pasien TBC-RO perlu mendapatkan jaminan sosial karena harus menjalani perawatan berkepanjangan. Biaya pengobatan TBC sudah ditanggung pemerintah, tetapi mereka membutuhkan biaya ongkos di luar medis, sedangkan sakit yang berkepanjangan membuat mereka tidak mampu bkerja memenuhi kebutuhan ekonomi.

Untuk mempercepat proses eliminasi TBC, pemerintah membuat tempat karantina khusus di lokasi yang ditemukan banyak penderita TBC. Hal itu dilakukan untuk mencegah penularan pada anggota keluarga satu rumah dengan penderita dan agar pasien lebih terawat.

Penderita TBC harus mengkonsumsi obat cukup banyak selama enam bulan, maka pasien harus disiplin minum obat. Pembangunan Gedung karantina dilakukan oleh Kemenkes yang bekerja sama dengan Kementrian PUPR dan Mentri Koordinator PMK (Pembangunan Manusia dan Kebudayaan). Nantinya pasien TBC dikarantina selama dua bulan agar disiplin minum obat dan mencegah penularan pada keluarganya.

Selain itu, pemerintah menyiapkan vaksin dengan mendatangkan vaksin baru karena efektifitas vaksin yang lama hanya 50 persen. Vaksin Glaxosmithkline saat ini sedang melakukan proses clinical trial di Indonesia yang dilaksanakan Kemenkes bersama Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran dan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Selain itu, pemerintah sedang menjajaki kemungkinan vaksin TB, seperti Pfizer dan Moderna.

Untuk program proyek vaksi TB mRNA yang baru tersebut Kemenkes mendapat donasi dari USAID senilai 70 juta dolar AS, untuk program pemulihan dan mengatasi TBC. Dana tesebut diberikan untuk Kemenkes dan lembaga-lembaga masyarakat yang membantu masyarakat bebas dari TBC.              

Untuk melindungi pasien TBC di tempat kerja, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.13/Tahun 2022 tentang Penanggulangan Tuberkulosis di Tempat Kerja. Peraturan tersebut memuat komitmen penanggulangan TBC serta penghapusan  stigma dan diskriminasi pada pekerja dengan TBC.

Peraturan ini menjadi penting mengingat banyak penderita TBC yang menjadi pekerja, sebanyak 54.887 kasus TBC sensitif obat yang bekerja sebagai buruh. Ada 37.235 kasus bekerja sebagai pegawai swasta, badan usaha milik negara, daerah, dan 4.778 kasus pada PNS. Selain itu, ditemukan 635 kasus TBC resisten obat pada buruh, 564 kasus pegawai swasta, BUMN, BUMD, serta 136 kasus PNS. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
  • Penyakit Menular: Pelacakan TB dan Covid-19 Perlu Simultan, Kompas, Rabu, 24 Maret 2021
  • Hari Tuberkulosis Sedunia : Indonesia Hadapi Epidemi Ganda, Kompas, Senin, 23 Maret 2020
  • Upaya Eliminasi TB/HIV di Tengah Pandemi Covid-19, Kompas, Senin, 23 Maret 2020
  • Mengatasi “Rasa Sesak” Pasien TBC, Kompas, Senin, 31 Juli 2023
  • Tuberkulosis : Durasi Pengobatan Sekarang Lebih Pendek, Kompas, Selasa 1 Agustus 2023
  • Teknologi Diagnosis TBC Masih Terbatas, Kompas, Selasa 28 Februari 2023
  • Pasien TBC RO Beresiko Jatuh Miskin, Kompas, Rabu 12 April 2023