Paparan Topik

Potret Perjalanan Revolusi Industri

Seiring dengan perkembangan teknologi, peradaban manusia pun terus bergerak dan berubah. Hal ini ditandai dengan periodisasi Revolusi Industri 1.0 hingga 5.0. Setiap periode tersebut menyimpan keunikan dan konsekuensi bagi manusia.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Seorang pelajar mencoba perangkat virtual reality (VR) dalam Expo Kompetisi Sains Madrasah (KSM) Tingkat Nasional 2022 di Asrama Haji, Pondok Gede, Bekasi, Rabu (12/10/2022). Sebanyak 446 siswa dari seluruh provinsi di Indonesia akan berlomba di Kompetisi Sains Madrasah (KSM) Tingkat Nasional Tahun 2022. Event ini penting untuk menciptakan iklim kompetisi yang kuat di kalangan madrasah dalam suasana revolusi industri 4.0 dan society 5.0.

Fakta Singkat

  • Revolusi industri merujuk pada perubahan radikal terhadap struktur sosial, ekonomi, dan budaya akibat perkembangan teknologi.
  • Revolusi Industri 1.0 diawali terlebih dahulu dengan Revolusi Agraria, di mana manusia mulai hidup menetap dan mempraktikkan metode food producing.
  • Revolusi Industri 1.0 dicirikan dengan digantikannya tenaga manusia (juga sumber energi lainnya, seperti angin dan air) lewat penemuan mesin uap.
  • Revolusi Industri 2.0 dicirikan dengan peningkatan kerja mental manusia melalui penemuan listrik dan sistem perakitan massal.
  • Revolusi Industri 3.0 menyasar kemampuan berpikir orisinil manusia dengan penemuan komputer dan internet.
  • Pengembangan masif komputer adalah hasil dari inovasi dan kebutuhan militer Sekutu akibat desakan situasi Perang Dunia 2.
  • Revolusi Industri 4.0 dicirikan oleh integrasi antara dimensi fisik, digital, dan biologis lewat teknologi digital yang semakin maju dan multi-dimensi.
  • Saat ini, Indonesia tengah berjalan dalam Revolusi Industri 4.0 dengan target capaian menuju 2030.
  • Revolusi Industri 5.0 dicetuskan oleh Jepang pada 2017 dengan tujuan utama mencapai kesejahteraan manusia lewat ekonomi digital dan produk yang dipersonalisasi.

Saat ini, diproyeksikan 85 juta pekerjaan akan hilang tergantikan mesin. Di kawasan ASEAN, sebanyak 56 persen pekerjaan telah terancam otomatisasi. Hal itu diakibatkan oleh masifnya disrupsi yang lahir akibat revolusi industri 4.0 (Kompas, 26/1/2023, “Tantangan Pasar Kerja Masa Depan Indonesia”).

Menurut data dari Organisasi Buruh Internasional (ILO), Indonesia akan menjadi negara ketiga dari lima negara ASEAN yang paling terdampak revolusi industri. Mereka yang bekerja dengan upah rendah, tingkat pendidikan kerja, dan kerja-kerja repetitif seperti kasir dan juru tik menjadi yang paling rentan tergantikan mesin.

Dengan berbagai perubahan dan dampak tersebut, Revolusi Industri 4.0 menjadi kian terdengar. Kehadirannya mendisrupsi berbagai dimensi kehidupan, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Meski begitu, Revolusi Industri 4.0 bukanlah fenomena serupa pertama yang pernah terjadi dalam peradaban dunia. Bahkan, berbagai negara maju kini tengah mulai memasuki Revolusi Industri 5.0.

Istilah “revolusi” bermakna perubahan mendasar yang radikal. Mengacu pada KBBI, konsep “revolusi industri” lantas didefinisikan sebagai “perubahan radikal dalam usaha mencapai produksi dengan menggunakan mesin-mesin, baik untuk tenaga penggerak maupun untuk tenaga pemroses”. Seiring dengan kemajuan teknologi sendiri, cakupan makna dari revolusi industri juga berkembang, sehingga definisinya pun memerlukan perluasan.

Klaus Schwab dalam bukunya, The Fourth Industrial Revolution, memahami revolusi industri dengan mengakomodir bentuk terbarunya pada 4.0. Dijelaskan Schwab, revolusi industri adalah peristiwa historis ketika muncul teknologi dan cara baru dalam memahami dunia sehingga memicu perubahan besar terhadap sistem ekonomi dan struktur sosial. Dalam memahami revolusi industri, manusia menggunakan batas waktu sejarah sebagai kerangka acuan.

Dalam perjalanan historis itulah secara bergantian lahir revolusi industri dari 1.0 hingga 5.0. Mengacu pada pemahaman Schwab, yang sama dari kelimanya adalah radikalisasi perubahan yang dibawa dan masifnya dampak pada struktur sosial, ekonomi, dan budaya. Meski begitu, kelimanya memiliki keunikan dan perbedaannya masing-masing – di mana keunikan ini tidak hanya membedakan satu periode revolusi dengan yang lain, tetapi juga membukakan pintu pada revolusi lanjutannya.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Pantulan gedung perkantoran di atap kaca yang sedang dibersihkan oleh pekerja di kawasan Senopati, Jakarta Selatan, Selasa (22/2/2022). Dunia korporasi terus berubah sejalah dengan revolusi industri, termasuk saat pandemi Covid-19 saat ini yang juga mengubah wajah korporasi.

Revolusi Industri 1.0

Kemajuan pesat industrial ditandai terlebih dahulu dengan peradaban agraris pada masyarakat kuno. Pada masa ini, sebagaimana dituliskan Schwab, terjadi revolusi pertama dalam cara hidup manusia, yakni transisi dari mencari makan (food gathering) menjadi produksi pangan (food producing). Manusia pun mulai hidup menetap, bercocok tanam, dan domestikasi hewan. Sedikit demi sedikit, peningkatan ketersediaan pangan meningkatkan jumlah populasi penduduk. Inilah yang disebut sebagai revolusi agraria yang menjadi kunci penting bagi kelahiran revolusi industri.

Revolusi agraria tersebut mendorong pemusatan penduduk dalam jumlah besar, yang pada kelanjutannya melahirkan kota-kota dan urbanisasi. Kebutuhan manusia pun menjadi kian banyak. Teknologi yang telah usang membutuhkan inovasi untuk dapat meningkatkan kapasitas produksi secara massal. Dari kebutuhan tersebut, lantas muncul rangkaian penemuan yang muncul dari tangan para insinyur dan ilmuwan, secara khusus di Inggris.

Berbagai sumber menuliskan rentang waktu yang berbeda-beda. Untuk itu, kisaran waktu yang dapat digunakan adalah sejak 1760-an hingga 1850-an. Selama periode ini, berbagai penemuan dan perkembangan teknologi industrial menjadi kian pesat. Di Inggris sendiri, sebagai perintis revolusi industri, gelombang penemuan telah terjadi sejak tahun 1733 yang dimulai dengan temuan kumparan terbang oleh John Kay untuk mempercepat proses pemintalan.

Berbagai penemuan pun lahir dan berkembang setelahnya. Ada penemuan teknik melelehkan besi oleh Abraham Darby pada 1750, mesin pemintal benang oleh James Hargreves, mesin tenun oleh Edmund Cartwright pada 1785, penemuan baterai oleh Alexandro Volta pada 1800, dan lokomotif uap pada 1804 oleh Richard Trevithick.

Meski begitu, temuan yang paling terkenal dan menjadi identitas utama dalam Revolusi Industri 1.0 adalah mesin uap oleh insinyur James Watt pada tahun 1769. Penemuan mesin uap, apalagi dengan harga yang relatif lebih murah, menjadi hal yang sangat penting kala itu. Sebelumnya, manusia hanya memiliki tiga sumber energi utama untuk menggerakkan berbagai alat dan industri, yakni tenaga otot, air, dan angin. Ketiganya begitu terbatas, baik secara ketersediaan maupun besaran daya yang diberikan. Hadirnya mesin uap memberikan manusia sumber energi baru yang begitu berlimpah.

Mengacu pada buku Revolusi Industri: Sebab dan Dampaknya oleh Anisa Septianingrum, manusia pun mulai menggunakan mesin uap pada berbagai kebutuhannya. Dari bidang produksi, transportasi, bahkan juga militer. Sebagai hasilnya, tercapailah penghematan biaya dalam jumlah luar biasa – di mana juga biaya yang sebelumnya harus digunakan untuk memperoleh sumber energi lama dapat dialihkan untuk keperluan lainnya.

Produksi barang dapat dilakukan secara lebih massal. Lokasi penggilingan dapat didirikan di mana saja tanpa perlu berada di dekat air terjun atau wilayah berangin. Sementara kapal-kapal yang tadinya hanya mengandalkan angin untuk berlayar dapat menghemat biaya dan waktu perjalanan yang mendorong peningkatan kapal-kapal Eropa untuk melakukan perjalanan lintas samudera. Dari berbagai kondisi ini, mesin uap bersama juga dengan temuan-temuan lainnya, untuk pertama kalinya mengubah identitas masyarakat agraris menjadi masyarakat industrial.

Pada satu sisi, Revolusi Industri 1.0 memberikan akses sumber daya yang lebih adil dan terbuka bagi masyarakat. Dengan mesin uap, mereka yang memiliki lahan terbatas tetap mampu menghasilkan komoditas. Kesempatan untuk produksi dan berdagang tidak lagi dimonopoli oleh kaum bangsawan yang mendorong bentuk pasar yang liberal. Kekayaan pun dapat dicapai tanpa perlu bergelar bangsawan.

Di sisi lain, Revolusi Industri 1.0 juga memberikan dampak negatif. Rupanya penggunaan mesin uap menghasilkan asap pembakaran yang luar biasa dan begitu mencemari lingkungan. Sumber pencemaran juga berasal dari limbah-limbah pabrik lainnya. Selain itu, Revolusi Industri pertama juga membuka pintu kolonialisme dan imperialisme oleh bangsa Eropa di negara-negara Asia dan Afrika. Penaklukkan dan penjajahan dapat dilakukan secara lebih mudah dengan lebih tercapainya daerah-daerah baru tersebut.

Sementara di bidang pekerjaan, banyak yang kehilangan pekerjaannya karena tergantikan oleh mesin. Meski begitu, turut terbuka pula berbagai bidang kerja baru, seperti tenaga ahli teknik dan pekerja bagi pabrik-pabrik yang baru didirikan. Teknisi menjadi pekerjaan baru yang begitu diperlukan untuk merawat dan mengontrol mesin.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Suasana pembukaan pameran pengalaman belajar dengan tema “Merdeka Belajar” oleh siswa kelas XII SMA Kanisius di Jakarta, Senin (20/1/2020). Karya penelitian ilmiah sebagai syarat sebelum mengakhiri proses pendidikan ini diikuti oleh 231 siswa dari IPA dan IPS yang dibagi dalam 77 kelompok. Lewat kegiatan ini, diharapkan para siswa dapat membagikan hasil penelitian mereka kepada masyarakat luas, menghasilkan perubahan yang nyata, dan mampu membangun sebuah komitmen diri menjadi pemimpin yang visioner dalam memecahkan persoalan zaman pada era revolusi industri 4.0.

Revolusi Industri 2.0

Fase industrial yang telah dilahirkan oleh Revolusi Industri 1.0 terus bertumbuh pesat dan berkembang. Pabrik dan kota-kota industrial terus bermekaran. Begitu juga kebutuhan akan teknologi mekanis dan produksi massal yang kian besar. Untuk itu, para insinyur dan penemu pun terus berusaha untuk menciptakan teknologi-teknologi baru di mana pada kelanjutannya melahirkan Revolusi Industri 2.0, dikenal juga dengan Revolusi Teknologi.

Schwab menuliskan bahwa revolusi industri kedua berlangsung selama satu abad, dari akhir abad ke-19 hingga akhir abad ke-20. Sementara situs World Economic Forum menuliskan periode ini berlangsung dari 1870–1969. Pada masa ini juga, kemajuan dan pengembangan teknologi industrial tidak lagi terpusat di negara-negara Eropa, melainkan telah berkembang hingga Amerika Serikat.

Perbedaan dan keunikan utama dari Revolusi Industri 2.0 adalah pada penemuan atau invensi yang tercatat pada periode ini. Layaknya Revolusi Industri 1.0 yang identik dengan mesin uap, penemuan tenaga listrik dan sistem perakitan massal menjadi tanda utama dari revolusi industri kedua.

Penemuan tenaga listrik mulai menggantikan mesin uap sebagai alat industrial utama pada fase sebelumnya. Tenaga listrik dinilai lebih efektif dan murah. Meski kehadiran listrik dan potensi tenaganya telah ditemukan sebelumnya oleh sejumlah ilmuwan, adalah Michael Faraday pada 1831 yang mampu membuat dan mengembangkan sumber listrik tersendiri.

Faraday menemukan bahwa listrik bisa dibuat dengan mengalirkan magnet ke kawat tembaga. Temuan ini mendorongnya untuk mencetuskan konsep “elektronik” dan membuat generator dinamo pertama di dunia, yakni sebuah mesin yang mengubah energi mekanik rotasi secara terus menerus menjadi energi listrik.

Tenaga listrik lantas juga mendorong invensi berikutnya, yakni sistem perakitan massal. Sistem ini utamanya digunakan oleh pabrik-pabrik otomotif, terutama industri mobil untuk memproduksi unit secara masif. Dengan sistem rel berjalan, perakitan mobil dapat berlangsung lebih cepat dan efektif dibandingkan metode lama yang harus melalui tahap perakitan unit satu per satu.

Pencetus dari sistem ini adalah perusahaan otomotif mobil Ford yang didirikan oleh Henry Ford di Amerika Serikat. Mengacu pada tulisan R. Hudson dengan judul Fordism, inisiatif Ford mencetuskan jalur perakitan mekanis terinspirasi dari teori manajemen F. W. Taylor yang menitikberatkan pada manajemen waktu dan pergerakan untuk mengorganisir kerja dan maksimalisasi produktivitas pekerja.

Ford mulai menggunakan sistem rel berjalan dalam memprodusi mbil Ford Model T pada November 1913. Hasilnya, produksi satu unit mobil Model T hanya memerlukan waktu 1 jam 30 menit, dari yang tadinya memerlukan 12 jam 8 menit pada bulan sebelumnya. Jumlah produksi tahunan Model T juga melonjak, dari sekitar 68 ribu mobil pada 1912, menjadi 170 ribuan mobil pada tahun 1913, bahkan hingga hampir mencapai dua juta unit pada 1925.

Sistem produksi revolusioner ini pun dengan segera mengubah wajah produksi dan cara kerja industri otomotif, untuk selanjutnya diadopsi oleh bidang industri lainnya. Sistem baru ini pun lantas dikenal dengan istilah “Fordisme”.

Begitu revolusionernya Fordisme hingga masih mendapatkan pengakuan usai Revolusi Industri 2.0 berakhir. Pada Juni 2009, para kurator Science Museum di London memilih 10 koleksinya yang dinilai punya pengaruh ilmiah terbesar dalam sejarah manusia abad ini. Termasuk dari 10 koleksi tersebut adalah perusahaan otomotif Ford dengan konsep Fordisme. Para kurator menilai bahwa Fordisme telah merintis ide baru tentang produksi massal dan menggapai pasar baru yang masif. Bahkan pada era modern, Fordisme masih bertahan bahkan berkembang menjadi paradigma bisnis dan industri (Kompas, 27/6/2009, “10 Obyek Ilmiah yang Mengubah Dunia”).

Dalam sistem perakitan ini, lahir pula pembagian kerja yang sangat terspesialisasi – ada buruh yang bertugas mengelas, ada yang memasang baut, ada yang mengecat, dan sebagainya. Hudson menuliskan bahwa model ini mengikat pekerja pada karakter pekerjaan yang repetitif, tidak memerlukan keahlian khusus, dan begitu dikontrol oleh kehendak manajemen di mana ia harus menyesuaikan tempo kerja dengan kecepatan roda berjalan.

Sebagai dampak negatifnya, para pekerja kian terjebak pada pekerjaan dan karakter industrial yang mengalienasi diri, yakni dengan ciri kontrol yang besar atas para pekerja, tidak mengembangkan kemampuan pekerja, dan terjebak pada rutinitas yang mengikat. Pabrik dan perusahaan yang mengadopsi model ini pun mulai menjauhi prinsip-prinsip humanisme para pekerja.

Sebagai dampak lanjutannya, pada era Revolusi Industri 2.0 ini lahir kesadaran akan ketertindasan oleh para buruh. Mulai muncul gerakan-gerakan politik, sosial, dan filosofis. Melalui buku Das Kapital pada 1867, Karl Marx menjadi salah satu tokoh pergerakan ideologis para buruh. Ideologi sosialisme dan komunisme yang diperjuangkan para buruh pabrik pun bertabrakkan dengan pesatnya pertumbuhan kapitalisme yang diusung para pengusaha.

KOMPAS/ANTONY LEE

Beberapa kepala daerah mendengar penjelasan pemanfaatan perpustakaan sebagai pusat kegiatan dan inovasi saat mengunjungi Cerritos Library di Los Angeles County, California, Amerika Serikat, Kamis (22/11/2019) siang atau Jumat WIB. Pembangunan kapasitas sumber daya manusia menjadi pekerjaan rumah kepala daerah di tengah revolusi industri 4.0.

Revolusi Industri 3.0

Setelah Revolusi Industri 1.0 telah menggantikan tenaga otot yang terbatas dengan mesin mekanis dan Revolusi Industri 2.0 mengganti rutinitas kerja mental dengan sistem produksi massal, maka perubahan industrial yang selanjutnya terjadi menyasar kemampuan berpikir manusia itu sendiri. Inilah yang terjadi pada Revolusi Industri 3.0 lewat perkembangan komputer dan internet – membuatnya disebut juga sebagai “Revolusi Komputer” atau “Revolusi Digital”.

Schwab menulis bahwa Revolusi Industri 3.0 dimulai sejak tahun 1960 seiring dengan penemuan komputer dan pengembangan semikonduktor. Ia juga membagi Revolusi Industri 3.0 menjadi tiga tahap sesuai dengan temuan utama yang menjadi identitas periode ini, yakni tahap penemuan komputer dan semikonduktor (1960an), penemuan komputer pribadi (1970-1980), dan penemuan internet (1990an).

Selaras dengan Schwab, World Economic Forum juga mencatat bahwa temuan utama pada Revolusi Industri 3.0 adalah komputasi dan teknologi informasi (information technology/IT). Kedua penemuan ini meningkatkan otomatisasi dalam produksi industrial. World Economic Forum mencatat bahwa Revolusi Industri 3.0 dimulai pada tahun 1969.

Jika dibandingkan dengan revolusi industri terdahulu yang berangkat dari kebutuhan industri sipil, berbagai temuan dalam Revolusi Industri 3.0 erat hubungannya dengan kebutuhan industri militer, secara khusus pihak sekutu. Hal ini disampaikan oleh Krishan Kumar dalam buku From Post-Industrial to Post-Modern Society: New Theoris of the Contemporary World. Pengaruh militeristik demikian dapat terjadi karena konteks zaman pada masa itu, dimana baru saja berkecamuk Perang Dunia 2.

Kumar menuliskan bahwa invensi komputer pertama ditujukan bagi kebutuhan spesifik militer dan secara aktif dikembangkan terutama sekali oleh Amerika Serikat. Pengembangan mereka berangkat dari komponen kunci seperti sirkuit elektrik sehingga membentuk komputer elektronik. Secara umum, komputer perdana ini digunakan untuk perhitungan balistik dan analisis bom atom.

Meski begitu, salah satu komputer pertama yang tercatat dalam sejarah justru berasal dari Inggris, yakni Colossus berupa sebuah mesin komputer untuk memecahkan kode buatan Jerman yang dirilis pada 1944. Sebagai salah satu komputer perdana, Colossus masih berbentuk mesin raksasa berukuran satu kamar tidur.

Komputer ini belum memiliki memori akses acak/random-access memory (RAM) sehingga tidak dapat melakukan penyimpanan dan juga tidak dapat menerima perintah melalui keyboard. Untuk menjalankannya, Colossus hanya dapat menerima perintah melalui pita kertas, atau biasa disebut punch card, dan membutuhkan daya listrik begitu besar hingga 8.500 watt.

Menyusul Colossus, lahir Electronic Numerical Integrator and Computer atau ENIAC sebagai komputer pemrograman pertama. Lahir di Amerika Serikat pada akhir Perang Dunia 2 (Desember 1945), ENIAC dibangun dengan tujuan spesifik untuk menghitung nilai jangkauan artileri. Pengembangan ENIAC sendiri memakan waktu hampir dua tahun, dimulai sejak sejak 1943. Sementara ukurannya mencapai panjang 12 meter dan ketinggian 6 meter.

Kelebihan ENIAC dibanding komputer pendahulunya adalah penggunaan plugboards untuk menggantikan sistem perintah lama yang menggunakan punch card. Teknologi ini adalah capaian yang luar biasa pada masa itu meski kehadirannya dihadapkan pada masalah baru, yakni komputer harus dimatikan selama berhari-hari terlebih dahulu apabila komputer ingin mengerjakan masalah baru agar kabel yang dicolokkan ke plugboard dapat dikonfigurasi ulang.

Seiring dengan berakhirnya Perang Dunia 2, negara-negara Eropa, khususnya Amerika Serikat, telah memiliki sistem IT yang kompleks. Pengembangan teknologi yang diiniasi dan dibuka oleh militer kemudian diadopsi oleh korporasi sipil untuk kemudian melanjutkan pengembangan IT, menerapkannya pada sistem perusahaan, memasukkannya dalam pasar teknologi, dan melakukan invasi bisnis.

Dengan pengembangan yang terus menerus, maka lahirlah komputer yang lebih praktis, akses internet, televisi, pengembangan sistem perangkat lunak, dan kemunculan berbagai peralatan elektronik lainnya. Invensi yang pertama disebutkan lahir dari penemuan integrated chip atau IC, sehingga memungkinkan produksi komputer dengan ukuran lebih kecil, daya listrik yang lebih sedikit, dan kemampuan menerima perintah yang semakin canggih.

Berbagai kemajuan ini berdampak pada kelahiran “masyarakat informasi”, yakni sebuah masyarakat yang menjadikan kreasi, distribusi, manipulasi, dan integrasi informasi sebagai kegiatan penting yang selaras dengan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan itu semua terjadi.

Sama dengan kedua revolusi sebelumnya, Kumar menuliskan bahwa Revolusi Industri 3.0 berdampak signifikan pada bidang kerja. Berbagai industri pabrik memilih untuk menggunakan mesin yang telah terotomatisasi dibanding tenaga manusia. Hingga akhir 1980-an, tingkat pengangguran akibat kemajuan IT mencapai 10-15 persen.

Meski begitu, turut terbuka kesempatan kerja baru. Di era ini, lahir konsep “The Knowledge Worker” yang merujuk pada spesifikasi pekerja di era baru ini yang dituntut untuk memiliki tingkat pendidikan, pengetahuan teoritik, dan profesionalitas yang lebih. Universitas dan lembaga riset pun menjadi instrumen penting sebagai pabrik pengetahuan dan melahirkan knowledge worker.

Kumar berargumen bahwa profesionalitas menjadi standar baru dalam dunia kerja, bahkan terhadap para pekerja kerah biru di korporasi. Posisi-posisi kerja dengan gelar atau pangkat profesional meningkat drastis. Jumlah pekerja profesional, administratif, dan manajerial meningkat hingga 25 persen di seluruh negara Barat, dari sebelumnya hanya mencapai 5-10 persen pada awal abad 20.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Siswa SMK 1 Ciomas, Bogor, Fachri Muzaki membuat karakter untuk film animasinya saat pameran pendidikan dan kebudayaan rangkaian Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan 2019 di Pusdiklat Kemendikbud, Depok, Jawa Barat, Rabu (13/2/2019).Kurikulum SMK mulai diperbarui sesuai dengan industri 4.0. Program studi itu di antaranya teknik ototronik, audio video, dan robotik yang dibutuhkan oleh sektor industri otomotif.

Revolusi Industri 4.0

Memasuki abad ke-21, peradaban manusia lantas dihadapkan pada tahap industrial baru, yakni Revolusi Industri 4.0. Hingga bukunya terbit pada 2019, Schwab percaya bahwa masyarakat dunia masih berada dalam revolusi keempat ini. Menurutnya, Revolusi Industri 4.0 dicirikan dengan teknologi internet yang semakin meluas dan ringkas, sensor buatan yang semakin kecil, kuat, dan murah, serta lahirnya kecerdasan buatan dan mesin pembelajar.

Meski fase Schwab percaya bahwa fase ini telah dimulai sejak awal abad 21, namun istilah “Industri 4.0” sendiri baru lahir pada 2011 dalam Hannover Fair di Jerman. Sebelumnya, kemajuan terjai dipercaya masih menjadi bagian dalam Revolusi Industri 3.0, sebab penggunaan teknologi digital dengan perangkat keras, perangkat lunak, dan jaringan komputer masih menjadi pokok dalam industri terbaru.

Meski begitu, kemajuan-kemajuan yang telah terjadi akhirnya disadari berbeda dibanding Industri 3.0. Profesor dari Institut Teknologi Massachusetts (MIT) Erik Brynjolfsson menulis bahwa di era 4.0 ini, teknologi digital hidup dengan “kekuatan penuh”. Bahkan berkat otomatisasi dan digitalisasi ini, manusia mulai dapat menciptakan “hal-hal yang belum pernah ada sebelumnya”.

Penemuan-penemuan tersebut termasuk gelombang terobosan pengurutan DNA (genetic sequencing), nanoteknologi, komputasi kuantum, dan bioteknologi. Di saat bersamaan, teknologi digital juga masih bergerak masif meningkatkan integrasi dan konektivitas lewat kecerdasan buatan, robotika, dan internet of things – membuat manusia tidak lagi hanya dapat memperoleh informasi, melainkan juga dapat mengaksesnya secara cepat bahkan selalu terhubung dengannya. Dalam arti lain, Revolusi Industri 4.0 mengaburkan batas  domain fisik, digital, dan biologis dengan menyatukan ketiganya dalam interaksi bersama.

Schwab juga menyoroti penyebaran Revolusi Industri 4.0 yang jauh lebih masif dan cepat dibanding tiga revolusi industri sebelumnya. Internet dan konektivitas yang diusung Industri 4.0 menyebar ke seluruh dunia dalam waktu kurang dari 10 tahun. Sebagai perbandingan, internet pada masa Revolusi Industri 3.0 gagal mencapai 4 miliar penduduk dunia yang mayoritas tinggal di negara berkembang.

Hingga 2019, dampak Revolusi Industri 2.0 juga masih belum sepenuhnya dialami oleh 17 persen populasi dunia, dimana 1,3 miliar penduduk masih belum memiliki akses listrik. Sementara alat tenun yang berkembang pesat pada Revolusi Industri 1.0 butuh waktu 120 tahun untuk menyebar ke seluruh Eropa saja.

Mengacu pada Kasali dalam buku Disruption, era 4.0 juga ditunjukkan dengan manajemen perusahaan yang sama sekali berbeda. Model bisnis yang telah tercipta sejak Revolusi Industri 1.0 berupa persaingan kepemilikan sumber daya dan kuantitas hasil produksi telah mengalami perombakan masif. Kini persaingan antar perusahaan terletak pada kemampuan memberikan inovasi, pelayanan yang maksimal, dan kecepatan dalam mengembangkan sebuah ide.

Kasali mengambil perusahaan jasa transportasi Uber sebagai contoh paripurna dalam Revolusi Industri 4.0. Dengan sistem mitra pengemudi, Uber mampu menyediakan layanan transportasi tanpa sama sekali perlu memiliki sumber daya kendaraan dan menggaji sopir secara berkala. Oleh karena Uber, para calon penumpang dapat mengakses moda transporasi secara langsung dan dimanapun dengan hanya perantara telepon pintar.

Berangkat dari contoh tersebut, Kasali mengemukakan bahwa ketersediaan infromasi dan konektivitas pada Revolusi Industri 4.0 memungkinkan sekaligus menumbuhkan sistem ekonomi berbagi atau sharing economy. Bagi konsumen, yang penting adalah akses terhadap komoditas yang diperlukan, bukan kepemilikan terhadapnya.

Maka pihak korporasi, dengan semangat serupa, diharapkan menjadi penyedia akses bagi komoditas terkait. Hal ini mampu dilakukan oleh perusahaan bukan dengan kepemilikan sumber daya, melainkan jejaring yang luas. Itulah yang disebut Kasali sebagai “peradaban Uber”.

Meski begitu, sekali lagi revolusi industri memakan korban. Perusahaan-perusahaan dengan manajemen bisnis konvensional bergantian gulung tikar. Ditulis Schwab, mereka yang bertahan, atau bahkan justru hidup dan berkembang, adalah perusahaan dengan jumlah pekerja yang jauh lebih sedikit daripada standar 10-15 tahun lalu. Instagram dan WhatsApp tidak membutuhkan dana besar untuk memulai bisnis mereka.

Di Indonesia, revolusi inilah yang tengah dihadapi. Pemerintah menyadari bahwa industri dan sumber daya manusia dalam negeri harus terbuka akan adaptasi pada perubahan zaman. Untuk menghadapi revolusi industri ini, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian telah mengonsepkan peta jalan “Making Indonesia 4.0” sejak 2018.

Melalui peta jalan tersebut, pemerintah akan fokus pada lima sektor manufaktur yakni makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, kimia, dan elektonik untuk mulai menerapkan teknologi yang lahir dari Revolusi Industri 4.0. Bila tidak segera diimplementasikan, kesempatan kerja 30 juta penduduk usia produktif pada 2030 akan terancam.

Salah satu dampak negatif dari masifnya Revolusi Industri 4.0 adalah keterhilangan manusia dari realitas dunia nyata. Disampaikan oleh sosiolog Jean Baudrillard, media dan apa yang ditampilkannya secara virtual, memiliki kemampuan untuk membentuk dan mendistorsi realitasnya sendiri.

Manusia yang terbiasa, bahkan bergantung, untuk mengonsumsi media lantas dapat terpengaruh secara signifikan oleh realitas semu ini. Padahal, realitas yang ditampilkan oleh media tersebut masih berupa kemungkinan karena tidak dapat divalidasi kebenarannya secara empiris. Kemungkinan-kemungkinan virtual yang mampu melampaui realitas dan kebenaran nyata disebut Baudrillard sebagai hiperrealitas (hyperreality).

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pencari kerja antre untuk memasuki ajang bursa kerja di Istora Senayan, Jakarta, Rabu (12/12/2018). Memasuki revolusi industri 4.0 yang terus bergulir, persaingan tenaga kerja kompeten terutama untuk memenuhi kebutuhan dalam industri digital terus meningkat.

Menuju Revolusi Industri 5.0

Belum juga Indonesia secara penuh masuk dalam kontestasi dunia baru Revolusi Industri 4.0, peradaban tengah menunjukkan kelahiran epos industrial baru yakni Revolusi Industri 5.0. Gagasan ini pertama kali disampaikan oleh mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada konferensi internasional dan pameran teknologi Centrum der Büroautomation und Informationstechnologie und Telekommunikation (CeBIT) pada 2017. Lagi-lagi, kota Hannover sebagai penyelenggara kegiatan ini menjadi saksi bisu konseptualisasi bentuk masyarakat baru.

Mengacu pada Kompas.id (12/10/2021, Memandang Revolusi Peradaban Masyarakat 5.0 dari Perspektif Indonesia), yang paling membedakan Revolusi Industri 5.0 dengan 4.0 adalah arah pemanfaatan teknologi. Ketika teknologi pada 4.0 ditujukan terutama sekali bagi pembaharuan industri dunia,  teknologi pada 5.0 ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.

Adalah Keidanren atau Kamar Dagang Jepang yang menggodok peta rencana Revolusi Industri 5.0 tersebut. Secara garis besar, rancangan tersebut berisikan upaya untuk mengintegrasikan ruang maya (cyberspace) dengan dunia nyata untuk menyediakan berbagai produk sehari-hari sesuai dengan kebutuhan unik tiap individu.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka kecerdasan buatan dan bigdata akan menjadi tulang punggungnya. Data itu sendiri diperoleh dari berbagai perangkat sensor yang di dunia nyata. Hal inilah yang juga sangat membedakannya dengan Revolusi Industri 4.0 dimana pelacakan aktivitas manusia dilakukan dari internet yang persentuhannya tidak seakurat dan personal sensor. Hambatan tersebut menyisakan celah antara aktivitas maya dan fisik.

Mengacu pada paparan Standardization activities on ”Society 5.0” in Japan, tujuan kesejahteraan dari Industri 5.0 dicapai dengan keseimbangan antara memajukan ekonomi digital dan menemukan solusi untuk persoalan sosial. Untuk itu, ragam produk dari Revolusi Industri 5.0 meliputi bidang layanan sosial, kesehatan, ekonomi, transportasi, hingga infrastruktur – produk-produk yang baru dan khas untuk mengedepankan personalisasi di tingkat individu.

Salah satu contohnya adalah penyediaan obat berdasar data DNA tiap individu. Hal ini memungkinkan pengobatan yang lebih efisien sehingga meningkatkan peluang kesembuhan manusia. Untuk dapat mewujudkan produk-produk personal tersebut, maka diperlukan penguasaan dan pemanfaatan teknologi digital dari manusia itu sendiri demi memperoleh data dan informasi dirinya. Oleh karenanya, keterampilan digital menjadi modalitas penting yang harus dimiliki oleh seluruh warga negara dalam Revolusi Industri 5.0.

Pada kelanjutannya, kontrol dan penarikan data personal manusia dari berbagai aktivitasnya ini melahirkan bentuk kekuasaan dan dominasi baru, yakni kuasa bigdata. Jenis kuasa ini tidak terlihat dan memiliki daya manipulasi yang lebih mendalam yang membuatnya berbeda dengan konsep kekuasaan lama.

Pada satu titik, kontrol terus menerus yang membobol batas personal manusia berlawanan dengan nilai etis. Hingga titik lainnya, data dari hasil kontrol ini menjadi senjata penting bagi pemilik data untuk memanipulasi kelompok atau komunitas yang diawasinya. Kecenderungan ini telah tampak digunakan oleh berbagai pihak kekuasaan, seperti korporasi, media, bahkan partai politik. (LITBANG KOMPAS)

Referensi

Arsip Kompas
Buku
  • Kasali, R. (2017). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Kumar, K. (1995). From Post-Industrial to Post-Modern Society: New Theoris of the Contemporary World. Oxford: Blacwell Publishers.
  • Piliang, Y. A. (2017). Dunia Yang Berlari: Dromologi, Implosi, Fantasmagoria. Yogyakarta: Cantrik Pustaka.
  • Schwab, K. (2017). The Fourth Industrial Revolution. New York: Crown Business.
  • Septianingrum, A. (2017). Revolusi Industri: Sebab dan Dampaknya. Yogyakarta: Sociality.
Artikel Akademik
  • Hudson, R. (2009). Fordism. International Encyclopedia of Human Geography, 226-231
Internet
Jurnal
  • Kementerian Perindustrian. (2018). Making Indonesia 4.0. Kementerian Perindustrian