Paparan Topik

Hari Buku Nasional: Dinamika, Peluang, dan Tantangan Perbukuan di Indonesia

Perkembangan teknologi telah memberikan alternatif dan peluang baru bagi industri perbukuan. Di sisi lain, masih ada sejumlah persoalan pembajakan dan rendahnya minat baca.

KOMPAS/RIZA FATHONI

Suasana ruangan Pusat Jasa Perpustakaan dan Informasi di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, Kamis (27/4/2023). Pengunjung Perpusnas meningkat saat hari pertama pembukaan pelayanan setelah cuti bersama libur Lebaran. Selain itu anak-anak sekolah yang masih libur juga menjadi salah satu faktor tingginya kunjungan ke Perpusnas. Sebagian dari pelajar dan mahasiswa memanfaatkan hari pertama ini unutk mencari literatur guna menunjang tugas-tugas kuliah atau sekolah. Pelayanan di Perpusnas untuk sementara hanya sampai sore hari dan baru akan membuka layanan hingga malam hari pukul 21.00 pada Selasa (2/5/2023).

Fakta Singkat

Era Buku pada Masa Pandemi

  • Hasil Survei Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada 2020, sebanyak 58,2 persen penerbit mengeluhkan penjualan yang turun lebih dari 50 persen dibandingkan sebelum pandemi.
  • Sebanyak 71,4 persen penerbit tidak lagi menerima pemesanan buku dari dinas-dinas pendidikan dan perpustakaan daerah, 26,5 persen mengaku masih menerima pemesanan, namun jumlahnya berkurang dari sebelumnya.
  • Penjualan buku yang merosot tajam berdampak pada pemutusan hubungan kerja yang terjadi di beberapa penerbit karena tidak sanggup membayar gaji.

Transformasi Digital:

  • Buku digital memiliki dasar hukum yakni UU No.3/2017 tentang Sistem Perbukuan.
  • Pada 2021, sudah ada 56 dari 127 atau setara dengan 44,1 persen penerbit yang memproduksi buku digital.
  • Pada 2019, pasar buku digital global bernilai 18,13 miliar dollar AS dan pada 2020 meningkat menjadi 24,1 miliar dollar AS.
  • Buku digital diperkirakan akan terus tumbuh rata-rata 2 persen per tahun pada periode 2020-2027, pada 2027 nanti diperkirakan bisa mencapai 27,7 miliar dollar AS.

Pembajakan:

  • Sebanyak 54,2 persen penerbit mendeteksi adanya pelanggaran hak cipta di marketplace terkait penjualan buku mereka.
  • Secara hukum, sanksi terhadap pembajak hak cipta diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, khususnya pada Pasal 117 Ayat (3) dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara dan atau denda Rp 4 miliar.
  • Ciri-ciri buku bajakan: harga yang jauh lebih murah dari buku asli, gambar desain sampul yang kurang tajam, pemukaan dan kualitas kertas yang rendah, cetakan tulisan yang berbayang, dan potongan kertas yang tidak rapi.

Minat Baca:

  • Sejumlah survei dan indeks menunjukkan kondisi perbukuan di Indonesia.
  • Di antaranya: minat baca Indonesia masih tergolong rendah, budaya membaca kurang kondusif, minimnya sumber daya manusia, terbatas dan tidak meratanya ketersediaan buku, hingga belum aktifnya keterlibatan orang tua untuk mendukung penguatan literasi.

Tanggal 17 Mei menjadi hari yang spesial bagi para pecinta buku di Indonesia karena diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Sebelumnya, masyarakat global merayakan Hari Buku Internasional pada 23 April lalu.

Hari Buku Nasional atau yang disingkat Harbuknas merupakan momen merayakan perbukuan di Indonesia. Biasanya pada peringatan ini akan ada banyak promo diskon buku, bazar, seminar, hingga resensi, maupun diskusi buku.

Harbuknas ditetapkan pertama kali pada tahun 2002 oleh Menteri Pendidikan Nasional era Kabinet Gotong Royong (10 Agustus 2001 – 20 Oktober 2004) di bawah kepresiden Megawati Soekarnoputri, Abdul Malik Fajar. Penetapan tanggal 17 Mei sebagai Harbuknas didasari oleh tanggal berdirinya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia pada 17 Mei 1980.

Gagasan awal Harbuknas sendiri berasal dari masyarakat, terutama para pecinta buku. Tujuan adalah untuk memacu minat baca masyarakat Indonesia, sekaligus menaikan penjualan buku. Sebab, saat itu minat baca dan penjualan buku masih tergolong rendah.

Mendiknas mengakui bahwa membuat masyarakat gemar membaca merupakan suatu tantangan yang sangat sulit. Secara umum masyarakat Indonesia masih didominasi oleh tradisi lisan dan sedikit membaca. Padahal membaca memiliki fungsi strategis, salah satunya mengetahui perkembangan dunia modern.

Dengan memperingati Harbuknas, Mendiknas berharap bisa mengubah kebiasaan masyarakat Indonesia yang akrab dengan budaya lisan menjadi dekat dengan buku dan meningkatkan minat baca masyarakat.

Sementara itu, para penerbit buku mengharapkan Harbuknas dapat mendongkrak penjualan buku. “Kami ingin agar peringatan Hari Buku seperti Valentine’s Day, di mana pada hari itu setiap orang memberi sebuah buku kepada orang lain,” jelas Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Arselan Harahap (“17 Mei sebagai Hari Buku Nasional”, Kompas, 20 Mei 2002).

KOMPAS/RIZA FATHONI

Pengunjung mencari buku literatur di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Kamis (18/6/2020). Penerapan protokol normal baru yang diterapkan di Perpustakaan Nasional diantaranya adalah dengan membatasi kuota pengunjung maksimal 1.000 orang per hari. Selain itu protokol jarak sosial, kewajiban menggunakan masker dan mencuci tangan serta pemeriksaan suhu tubuh juga dilakukan. Dalam sehari rata-rata pengunjung kini mencapai 700 orang per hari, atau maish jauh dibanding rata-rata pengunjung saat sebelum pandemi Covid-19 yang mencapai 2.000 orang per hari.

Ekosistem Perbukuan pada Masa Pandemi

Buku memiliki peran sangat penting bagi kehidupan manusia. Buku adalah sumber ilmu pengetahuan, informasi, hingga imajinasi. Bahkan, salah satu Proklamator Republik Indonesia, Muhammad Hatta mengungkapkan bahwa dirinya rela untuk dipenjara, asalkan bersama buku. Bagi Hatta, buku adalah “ruang” yang memberinya kebebasan.

Namun, terjadinya pandemi Covid-19 telah mengganggu proses penyediaan bahan bacaan dan pembinaan kebiasaan membaca. Pandemi menutup jalur utama pemasaran, maupun proses produksi buku.

Penerbit arus utama maupun alternatif merasakan dampak yang cukup signifikan itu. Berdasarkan hasil survei Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada 2020, sebanyak 58,2 persen penerbit mengeluhkan penjualan yang turun lebih dari 50 persen dibandingkan sebelum pandemi. Banyak penerbit berhenti mencetak buku baru dan hanya fokus pada penjualan produk lama atau menghabiskan stok di gudang.

”Industri buku mengalami kerontokan. Kultur membaca belum tumbuh kuat di masyarakat. Ketika Covid-19 berdampak pada bidang ekonomi, otomatis buku menjadi barang tersier (bukan utama),” ungkap Candra Gautama, Editor Senior Kepustakaan Populer Gramedia (“Hari Buku Nasional, Penerbit Genjot Pasar Daring”, Kompas, 18 Mei 2020).

Melansir laman resmi Ikapi, pemerintah pun mengurangi bahkan menghentikan pembelian buku. Saat pandemi, sebanyak 71,4 persen penerbit tidak lagi menerima pemesanan buku dari dinas-dinas pendidikan dan perpustakaan daerah. Sementara 26,5 persen mengaku masih menerima pemesanan, namun jumlahnya berkurang dari sebelumnya.

Penjualan buku yang merosot tajam berarti hilangnya pemasukan. Hal ini bermuara pada pemutusan hubungan kerja yang terjadi di beberapa penerbit karena tidak sanggup membayar gaji. Sebanyak 60,2 persen penerbit menyatakan bahwa mereka hanya sanggup menggaji karyawan selama tiga bulan dan hanya 5 persen yang menyatakan sanggup bertahan sampai satu tahun.

Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Malaysia misalnya, Ketua Asosiasi Penerbit Buku Malaysia Arief Hakim mengatakan bahwa jumlah anggota asosiasi turun dari hampir 230 anggota menjadi sekitar 100 anggota. Sebanyak 10 persen dari sekitar 3.000 toko buku juga terpaksa tutup pada 2020, dan 15 persen lainnya diprediksi akan tutup pada 2021 (“Dari Transformasi Digital hingga Pandemi, Tantangan Baru Industri Buku”, Kompas, 26 April 2022) .

Namun, di sisi lain, pandemi juga memberi celah munculnya peluang-peluang baru. Di tengah situasi keterpurakan ini, pelaku industri perbukuan di dalam negeri dipaksa memutar otak agar tetap bisa bertahan. Ditutupnya pusat keramaian termasuk toko buku mendorong penerbit mengubah sistem distribusi buku, salah satunya dengan memasarkan buku secara daring.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Pengunjung mencari buku di Perpustakaan Nasional (Perpusnas), Jakarta, pada Senin (17/2/2021) yang juga bertepatan dengan Hari Buku Nasional (Harbuknas). Harbuknas dicanangkan oleh Menteri Pendidikan Nasional era Kabinet Gotong Royong, Abdul Malik Fadjar pada tahun 2002. Harbuknas diperingati setiap 17 Mei untuk mendorong tumbuhnya budaya literasi di kalangan masyarakat Indonesia. Harbuknas diperingati bersamaan dengan hari ulang tahun Perpustakaan Nasional yang berdiri pada 17 Mei 1980.

Menurut Ikapi, hampir 76,4 persen penerbit yang menjadi anggotanya sudah berjualan secara daring sebagai alternatif distribusi produk untuk tetap hidup. Lokapasar dan akun media sosial perusahaan menjadi saluran yang paling banyak dimanfaatkan untuk pemasaran produk. Beberapa perusahaan kecil maupaun besar juga sudah memiliki toko daring khusus. Salah satu toko buku dengan jaringan terbesar di Indonesia, yaitu Gramedia, bahkan menggabungkan penjualan buku daring sekaligus tetap mempertahankan gerai fisik (O2O/offline to online, online to offline).

Menurut data dari Gramedia, penjualan buku secara daring mampu mengungkit penjualan, sepanjang 2021 tercatat ada peningkatan penjualan hingga 260 persen dengan nilai penjualan meningkat sampai 226 persen. Selain Gramedia, platform e-dagang seperti Tokopedia juga mencatatkan adanya kenaikan penjualan barang kategori buku selama masa pandemi 2020.

Penjualan buku secara daring atau online tidak hanya membantu pihak penerbit. Konsumen pun juga diuntungkan. Konsumen dapat melakukan tranasaksi hanya dalam genggaman, menghemat waktu, hingga tawaran beragam promo. Dengan teknologi analisis data, konsumen juga dimudahkan dalam mendapatkan buku berdasarkan preferensinya.

Transformasi Digital

Tidak hanya perubahan dalam sistem pemasaran yang berubah dari luring ke daring. Beberapa penerbit juga sudah melakukan transformasi format buku cetak ke buku digital.

Di tanah air, buku digital sendiri telah memiliki dasar hukum, yakni UU No.3/2017 tentang Sistem Perbukuan. Dalam UU itu, buku disebut sebagai karya tulis yang diterbitkan dalam bentuk cetak dan elektronik.

Di dunia, buku digital atau yang dikenal sebagai eBook telah menjadi tren sejak tahun 2000-an. eBook adalah salah satu teknologi yang memanfaatkan komputer untuk menayangkan informasi multimedia dalam bentuk yang ringkas dan dinamis. eBook mampu mengintegrasikan tayangan suara, grafik, gambar, animasi, maupun movie sehingga informasi yang disajikan lebih kaya dibandingkan dengan buku konvensional.

Melansir laman LIPI, di Amerika Serikat, pada tahun 2011 eBook masuk dalam kategori penjualan terbesar. Association of American Publisher (AAP) mengungkapkan data penjualan dari para penerbit AS, total penjualan eBook pada Februari 2011 mencapai US$ 90,3 juta. Sebelumnya, pada tahun 2007, Amazon juga telah mengembangkan Kindle, perangkat membaca buku digital atau e-reader.

Pada 2019, Forbes menyebutkan pasar buku digital global bernilai 18,13 miliar dollar AS. Pada 2020, nilai buku digital meningkat menjadi 24,1 miliar dollar AS. Peningkatan ini diperkirakan akan terus terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Secara global, buku digital diperkirakan akan terus tumbuh rata-rata 2 persen per tahun pada periode 2020-2027. Pada 2027 nanti diperkirakan bisa mencapai 27,7 miliar dollar AS (“Kisah Bisnis Buku”, Kompas, 5 Februari 2021).

Di Indonesia, menurut hasil survei yang dilakukan Gramedia Digital 2019 lalu, sebanyak 85 persen dari total responden pengguna media digital memilih e-book sebagai media digital yang paling banyak digunakan dibanding media lainnya, seperti streaming film, e-magazine, streaming musik, e-newspaper, dan audiobook. .

Dari total 85 persen yang memilih e-book, mayoritas pemilih berasal dari Gen Y (saat ini berusia 25–40 tahun). Sebanyak 79 persen dari mereka yang menggemari e-book memilih alasan praktis untuk memilih buku digital. Selain kepraktisan, alasan lain yang dipilih responden adalah ekonomis, modern, terbaru, ramah lingkungan, dan lainnya.

Penerbit buku maupun toko buku sudah melirik potensi buku digital. Berdasarkan data Ikapi, sebelum pandemi hanya 10 persen penerbit yang menyasar buku digital. Pada 2021, sudah ada 56 dari 127 atau setara dengan 44,1 persen penerbit yang memproduksi buku digital.

Perpustakaan digital juga sudah menjamur. Pada 2016, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia juga telah meluncurkan aplikasi perpustakaan digital atau e-Pustaka bernama iPusnas. Aplikasi ini sudah dilengkapi dengan eReader sehingga pembaca tidak perlu memasang aplikasi eReader untuk membaca eBook. iPusnas memiliki koleksi 73.302 judul buku dan salinan koleksi sebanyak 891.397 salinan ebook yang dapat diunduh dan diinstal di laman Playstore, AppStore untuk smartphone/tablet atau web ipusnas.id untuk komputer.

Meski demikian, dari data Ikapi, sebagian besar penerbit yang telah menerbitkan buku digital menyatakan bahwa buku digital belum mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penjualan. Angka penjualannya masih sekitar 2 persen dari total penjualan penerbitan buku fisik.

Hal itu menunjukan bahwa buku digital hanya masih menjadi pilihan, belum menggantikan buku fisik. Hal itu terjadi lantaran buku fisik masih memiliki sejumlah kelebihan, di antaranya lebih nyaman saat dibaca, lebih fokus karena tidak terganggu notifikasi, bisa dikoleksi, hingga alasan psikologis seperti kebanggan dan rasa bahagia.

Di samping itu, masih minimnya kontribusi penjualan buku digital menunjukan pula pasar buku digital masih belum digarap dengan optimal. Wien Muldian, Ketua Himpunan Literasi Indonesia, menilai perkembangan buku digital hanya masih sebatas pengalihan isi buku fisik ke digital (“Industri Perbukuan Nasional Berada di Persimpangan Jalan”, Kompas, 18 Mei 2020). 

Untuk bisa berkembang cara pandang penerbitan buku digital harus berubah mengikuti perubahan perilaku membaca. Mulai dari tata letak, naskah, editing, sampai kanal distribusi. Untuk buku anak misalnya, penerbit bisa melibatkan animator untuk memberi tambahan animasi guna meningkatkan minat anak membaca.

Asosiasi Penyelenggara Survei Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat penetrasi internet di Indonesia telah mencapai 78,19 persen pada 2023 atau menembus 215.626.156 jiwa dari total populasi yang sebesar 275.773.901 jiwa. Pasar internet yang sangat besar ini merupakan peluang yang perlu dioptimalkan industri perbukuan untuk menarik pembeli dan mendongkrak penjualan buku digital.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Hari Buku Nasional Pengunjung membaca pada Hari Buku Nasional di perpustakaan kota yang dibangun di Taman Flora, Kota Surabaya, Jawa Timur, Minggu (17/5/2015). Untuk meningkatkan minat membaca buku, selain membangun perpustakaan umum di taman kota, Pemerintah Kota Surabaya mengerahkan perpustakaan keliling yang mampu menjangkau setiap pelosok kota.

Ancaman Pembajakan

Perkembangan teknologi telah memberikan alternatif dan peluang baru bagi industri perbukuan, yaitu transformasi penjualan buku secara daring dan penjualan buku berformat digital. Namun, transformasi ini menghadapi tantangan dengan masifnya pembajakan buku, baik cetak maupun digital.

Secara hukum, sanksi terhadap pembajak hak cipta diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, khususnya pada Pasal 117 Ayat (3) dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara dan atau denda Rp 4 miliar. Namun, penegakannya masih jauh dari berhasil.

Melansir kembali laman resmi Ikapi, selama wabah Covid-19, 54,2 persen penerbit mendeteksi adanya pelanggaran hak cipta di marketplace terkait penjualan buku mereka. Sebanyak 25 persen penerbit menemukan pelangaran hak cipta melalui pembagian PDF buku mereka secara gratis dan sebanyak 20,8 persen penerbit menemukan bahwa telah terjadi pelanggaran hak cipta atas buku mereka melalui penjualan di marketplace dan PDF gratis.

Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Arys Hilman Nugraha mengatakan, buku best seller menjadi buku yang paling rawan dibajak. Maraknya pembajakan ini membuat resah dunia perbukuan. Penerbit, penulis, editor, ilustrator, desainer, dan sejumlah pihak yang terlibat dalam produksi buku sangat dirugikan. Mereka kehilangan hak ekonomi dari penjualan buku (“Pembajakan Buku Membuat Penerbit Semakin Terpuruk”, Kompas, 7 November 2022).

Buku asli sangat sulit berhadapan dengan buku bajakan, sebab buku bajakan akan lebih murah. Penjual buku bajakan menjual buku dengan harga seperlima, seperempat, hingga sepertiga lebih murah dari buku asli. Ini karena buku bajakan hanya membayar biaya cetak buku. Sementara buku asli mesti membayar biaya cetak, biaya pajak, biaya distribusi dan promosi, honor editor, ilustrator, hingga royalti penulis.

Buku bajakan memiliki sejumlah ciri-ciri, seperti harga yang jauh lebih murah dari buku asli, gambar desain sampul yang kurang tajam, pemukaan dan kualitas kertas yang rendah, cetakan tulisan yang berbayang, dan potongan kertas yang tidak rapi.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Pengunjung membaca pada Hari Buku Nasional di perpustakaan kota yang dibangun di Taman Flora, Kota Surabaya, Minggu (17/5/2015). Untuk meningkatkan meinat membaca buku, selain membangun perpustakaan umum di Taman Kota, pemerintah Kota Surabaya juga mengerahkan perpustakaan keliling yang mampu menjangkau setiap pelosok kota.

Minat Baca Rendah

Pada era digital ini, akses terhadap buku-buku bacaan semakin mudah. Sayangnya, pilihan membaca buku yang semakin mudah dengan adanya buku fisik maupun buku digital, belumlah menjanjikan peningkatan peringkat minat baca orang-orang Indonesia di tingkat dunia.

Merujuk Kompas (10/4/2023), sejumlah survei memberikan gambaran suram tingkat literasi di Indonesia. Hasil riset World’s Most Literate Nations Ranked pada 2016 menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat baca.

Sementara itu, menurut catatan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.

Survei Program for International Student Assessment (PISA) 2018 juga menunjukkan hasil yang memprihatinkan. Kemampuan membaca siswa Indonesia berada pada peringkat 10 besar terbawah dari 77 negara Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Cooperation and Development/OECD).

Berdasarkan Indeks Literasi Membaca 34 Provinsi yang dilakukan Kementerian Pendidikan Pendidikan dan Kebudayaan, dari tiga puluh empat provinsi di Indonesia, 9 provinsi (26 persen) masuk dalam kategori aktivitas literasi sedang, 24 provinsi (71 persen) masuk kategori rendah,  dan 1 provinsi (3 persen) masuk kategori sangat rendah. Artinya, sebagian besar provinsi berada pada level aktivitas literasi rendah dan tidak satu pun provinsi termasuk ke dalam level aktivitas literasi tinggi dan sangat tinggi.

Indeks Alibaca 34 Provinsi

Provinsi

Nilai

DKI Jakarta

58,16

D.I Yogyakarta

56,20

Kepulauan Riau

54,76

Kalimantan Timur

46,01

Bali

44,58

Kalimantan Utara

42,86

Kep. Bangka Belitung

41,97

Banten

40,81

Sulawesi Utara

40,20

Jawa Barat

39,47

Sulawesi Selatan

38,82

Riau

38,71

Sumatera Barat

38,57

Bengkulu

37,41

Jambi

37,32

Kalimantan Selatan

37,00

Sumatera Selatan

36,06

Sumatera Utara

35,73

Gorontalo

34,99

Sulawesi Tenggara

34,37

Aceh

34,37

Kalimantann Tengah

33,86

NTB

33,64

Maluku

33,52

Jawa Tengah

33,30

Jawa Timur

33,19

Sulawesi Barat

32,92

Sulawesi Tengah

31,55

Maluku Utara

31,33

Lampung

30,59

NTT

29,83

Kalimantan Barat

28,63

Papua Barat

28,25

Papua

19,90

Sumber: Aktivitas Literasi Membaca 34 Provinsi (kemdikbud.go.id)

Keterangan:

  • Indeks disusun dari 4 dimensi yang di dalamnya terdapat 16 indikator. Keempat dimensi tersebut, antara lain, Dimensi Kecakapan, meliputi indikator melek huruf latin, dan rata-rata lama sekolah; Dimensi Akses, meliputi indikator perpustakaan sekolah, petugas pengelola perpus sekolah, perpustakaan umum, perpustakaan komunitas per seribu penduduk, membeli surat kabar, dan membeli surat majalah/tabloid; Dimensi Alternatif, meliputi sekolah mimiliki akses internet, mengakses internet, dan menggunakan komputer; dan Dimensi Budaya, meliputi membaca surat kabar, membaca buku cetak, membaca artikel dari media elektronik, mengunjungi perpustakaan, dan memanfaatkan taman bacaan.

  • Nilai 0–20,00 = Sangat Rendah; 20,00–40,00 = Rendah; 40,00–60,00 = Sedang; 60,00–80,00 = Tinggi; 80,00–100 = Sangat Tinggi

Rendahnya tingkat literasi di Indonesia ini disebabakan oleh beragam kendala. Mulai dari budaya membaca kurang kondusif, minimnya sumber daya manusia, terbatas dan tidak meratanya ketersediaan buku, hingga belum aktifnya keterlibatan orangtua untuk mendukung penguatan literasi.

Untuk mengatasi hal itu diperlukan perhatian dan kerja sama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku perbukuan, penulis, satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat secara umum.

Sebagai pembuat aturan, salah satu langkah yang dapat diambil pemerintah adalah membuat kebijakan yang memihak terhadap budaya membaca dan perbukuan. Pemerintah pusat dan daerah perlu memberikan perhatian lebih kepada daerah/provinsi yang memiliki tingkat indeks literasi membaca yang rendah.

Di kalangan penerbit dan penulis, mendorong minat baca dapat dilakukan dengan membuat buku menjadi mudah dibaca, serta membahas tentang inspirasi dan motivasi kehidupan sehari-hari. Dosen Asia University, Owin Jamasy Jamaluddin, mengungkapkan, buku dapat berdampak apabila dibaca oleh banyak orang. Oleh karena itu, pengarang harus mampu menjadikan bukunya sebagai subjek dialektika, di mana terjadi pembahasan dan pembedahan oleh pembaca. Hal ini dapat dicapai ketika pengetahuan dan informasi buku dapat mengesankan dan menginspirasi pembaca (“Meningkatkan Minat Baca Buku melalui Bacaan Inspiratif”, Kompas, 6 November 2022).

Di satuan pendidikan, meningkatkan budaya baca di kalangan siswa dapat dilakukan dengan menjadikan perpustakaan sekolah sebagai tempat ternyaman dan terus meng-update koleksi bukunya. Guru perlu membiasakan siswa untuk membaca, misalnya dengan memberi tugas bacaan tertentu yang tersedia di perpustakaan, kemudian meminta siswa merefleksikan hasil bacaan.

Keluarga dan orang tua dapat mendorong minat membaca dengan menjadi model bagi anak, orang tua yang gemar membaca bisa menjadi panutan bagi anak untuk membaca buku. Orang tua juga bisa menawarkan buku-buku menarik sesuai minat anak dan mengajak mereka berimajinasi dalam membaca buku. (LITBANG KOMPAS)

 

Referensi

Arsip Kompas
  • “17 Mei sebagai Hari Buku Nasional”, Kompas, 20 Mei 2002.
  • “Hari Buku Nasional, Penerbit Genjot Pasar Daring”, Kompas, 18 Mei 2020.
  • “Industri Perbukuan Nasional Berada di Persimpangan Jalan”, Kompas, 18 Mei 2020.
  • “Kisah Bisnis Buku”, Kompas, 5 Februari 2021.
  • “Ekosistem Perbukuan Nasional”, Kompas, 22 Mei 2021.
  • “Buku dalam Lintasan Zaman”, Kompas, 16 September 2021.
  • “Meneropong Dunia Perbukuan Kita”, Kompas, 11 Januari 2022.
  • “Dari Transformasi Digital hingga Pandemi, Tantangan Baru Industri Buku”, Kompas, 26 April 2022.
  • “Pembajakan Buku Membuat Penerbit Semakin Terpuruk”,Kompas, 7 Noveber 2022.
  • “Meningkatkan Minat Baca Buku melalui Bacaan Inspiratif”, Kompas, 6 November 2022.
  • “Mengurai Benang Kusut Krisis Literasi”, Kompas, 12 April 2023.
Riset
  • Aktivitas Literasi Membaca 34 Provinsi. Diakses dari kemdikbud.go.id.
  • Tren Pembaca Digital 2019. Diakses dari Gramedia.com
  • Survei Profil Internet Indonesia 2022. Diakses dari apjii.or.id.
  • Resume Survei Dampak Covid-9. Diakses dari Ikapi.org
  • Statistik Indonesia 2022. Diakses dari bps.go.id