Paparan Topik

Hari Perawat Nasional: Sejarah, Perkembangan, dan Perannya dalam Layanan Kesehatan di Indonesia

Hari Perawat Nasional yang diperingati setiap tanggal 17 Maret menjadi pengingat dan bentuk apresiasi terhadap dedikasi perawat dalam melindungi dan melayani kesehatan masyarakat.

KOMPAS/NIKSON SINAGA

Seorang perawat beristirahat sejenak ketika melaksanakan screening (penyaringan) Covid-19 terhadap pasien di sebuah rumah sakit di Medan, Sumatera Utara, Rabu (23/9/2020). Perawat menjadi garda terdepan penanganan Covid-19. Sebanyak 2.983 perawat positif Covid-19 dan 85 meninggal berdasarkan data yang dihimpun di empat provinsi. Di seluruh Indonesia diperkirakan jauh lebih besar.

Fakta Singkat

  • Hari Peringatan Perawat Nasional diperingati setiap 17 Maret, penetapannya didasarkan tanggal berdirinya Persatuan Perawat Nasional (PPNI) pada 17 Maret 1974.
  • PPNI merupakan organisasi profesi yang mewadahi tenaga keperawatan di seluruh Indonesia.
  • Pada tahun 2014, pemerintah menerbitkan UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan.
  • Perawat menjadi tenaga kesehatan dengan jumlah terbanyak di Indonesia. Pada Desember 2021 jumlahnya tercatat mencapai 531.214 orang.
  • Jawa Timur menjadi provinsi dengan jumlah perawat terbanyak, yakni 69.968 perawat, sedangkan Sulawesi Utara menjadi provinsi dengan jumlah perawat paling sedikit, yakni 3.932 perawat.
  • Pada periode 1900-an, dibuka sejumlah kursus pelatihan keperawatan untuk menghasilkan perawat yang terlatih.
  • Pada 1952, pemerintah mendirikan Sekolah Sekolah Pengatur Perawat (SPR), yang kemudian berubah nama menjadi Sekolah Perawat Kesehatan (SPK)
  • Pada 1955, pemerintah mendirikan Sekolah Djuru Kesehatan (SDK), setara sekolah menengah pertama.
  • Pada 1962, Departemen Kesehatan membuka Akademi Keperawatan (Akper) dengan jenjang pendidikan setara diploma di Jakarta pada 1962.
  • Pada 1985, jenjang sarjana keperawatan untuk pertama kalinya dibuka dengan nama Program Studi Ilmu Keperawatan di Universitas Indonesia.
  • Pada 1999, pendidikan pascasarjana dan spesialisasi keperawatan dibuka.
  • Pada 2008, program doktor keperawatan dibuka.

Selama pandemi Covid-19, perawat merupakan salah satu garda terdepan dalam tindakan penanganan dan perawatan pasien. Mereka dituntut untuk bekerja ekstra dengan waktu yang lebih panjang dibanding sebelumnya saat situasi normal.

Beban yang dihadapi perawat juga semakin berat, sebab tidak hanya berkewajiban untuk membantu kesembuhan pasien Covid-19, mereka juga perlu menjaga diri sendiri dan keluarga agar tidak terinfeksi virus mematikan tersebut.

Beban berat yang dihadapi para tenaga kesehatan ini membuat kondisi fisik dan mental mereka kelelahan, sehingga imunitasnya menurun. Dampaknya, banyak perawat yang akhirnya terinfeksi, dan meninggal karena Covid-19, meski sudah menggunakan alat pelindung diri. Data di LaporCovid-19 menunjukan, jumlah tenaga medis yang meninggal hingga Maret 2023 mencapai 2.087 orang, 670 orang di antaranya adalah perawat.

Selain itu, tidak sedikit di antara mereka yang mendapatkan diskriminasi di lingkungan tempat tinggal sebagai pembawa virus karena bekerja sebagai perawat pasien. Lebih lagi, ada pula di antara mereka yang menjadi korban kekerasan dari pasien maupun keluarga pasien Covid-19.

Peringatan Hari Perawat Nasional pada 17 Maret menjadi pengingat sekaligus sebagai bentuk apresiasi terhadap peran, kontribusi, dan dedikasi perawat dalam melindungi dan melayani kesehatan masyarakat. Tanggal penetapannya didasari sejarah terbentuknya Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) pada 17 Maret 1974. PPNI sendiri merupakan organisasi profesi yang mewadahi tenaga keperawatan di seluruh Indonesia.

Mengacu dari laman resmi Persatuan Perawat Nasional Indonesia atau PPNI, organisasi ini dilatarbelakangi oleh semangat para perintis perawat untuk mempersatukan tenaga keperawatan di seluruh Indonesia ke dalam satu wadah organisasi profesi.

Sebelumnya, tenaga perawat terpisah-pisah ke dalam sejumlah organisasi, seperti Perkumpulan Kaum Verplegerfster Indonesia (PKVI), Persatuan Djuru Kesehatan Indonesia (PDKI), Persatuan Perawat Indonesia (PPI), dan Ikatan Perawat Indonesia (IPI).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Kesibukan perawat di ruang khusus perawatan pasien Covid-19 di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bogor, Kota Bogor, Jawa Barat, saat mengumpulkan sampah-sampah dan dikemas dalam kantong khusus, Rabu (16/6/2021). Secara akumulatif data Satgas Penanganan Covid-19 Kota Bogor, pada Selasa (15/6/2021), total kasus terkonfirmasi positif 16.852 kasus, dengan penambahan kasus harian terdapat 73 kasus. Dari data tersebut terdiri dari 756 kasus masih menjalani perawatan, 15.828 telah sembuh, dan 268 kasus meninggal dunia.

Definisi Perawat

UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, menyebutkan bahwa tenaga kesehatan dikelompokkan menjadi 13 jenis, yang terdiri dari: tenaga medis, tenaga psikologis klinis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga gizi, tenaga keterampilan fisik, tenaga keteknisian medis, tenaga teknik biomedika, tenaga kesehatan tradisional, dan tenaga kesehatan lainnya.

Sementara, dalam UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, dijelaskan keperawatan adalah kegiatan pemberian asuhan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik dalam keadaan sakit maupun sehat. Adapun perawat didefinisikan sebagai sesorang yang telah lulus pendidikan tinggi keperawatan, baik di dalam maupun luar negeri yang diakui oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan pelayanan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit.

Berdasarkan pasal 30 UU Keperawatan, tugas perawat meliputi pemberi asuhan keperawatan, penyuluh dan konselor bagi klien, pengelola pelayanan keperawatan, peneliti keperawatan, pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang, dan pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Defri, salah satu perawat di ruang isolasi khusus pasien Covid 19 di RSUD Bogor, Kota Bogor, Jawa Barat, tatkala menjalankan tugas di malam pergantian tahun, Jumat (1/1/2021). Defri adalah satu diantara sejumlah tenaga kesehatan yang tetap menjalankan tugasnya ketika pergantian tahun 2020 ke 2021. Tahun baru kali ini tetap dalam catatan sejarah masa pandemi Covid 19.

Keperawatan pada masa kolonial  

Berbeda dengan sejarah kedokteran atau ilmu kedokteran yang sudah lebih dulu dan banyak diteliti. Pembahasan mengenai sejarah keperawatan di Indonesia masih terbilang sedikit. Dari sejumlah literatur yang  membahas sejarah kesehatan di Indonesia, narasi mengenai keterlibatan perawat bisa dikatakan masih minim.

Dalam sejarahnya, perkembangan keperawatan di Indonesia setidaknya dapat dibagi ke dalam dua periode, yakni sebelum dan sesudah kemerdekaan. Pada masa sebelum kemerdekaan, perkembangannya tidak dapat dipisahkan dari kondisi kesehatan yang memprihatinkan pada masa kolonial.

Sepanjang abad ke-19, kondisi kesehatan di Hindia-Belanda mengalami kemerosotan. Saat itu, terjadi sejumlah wabah penyakit menular, seperti cacar, pes, malaria dan kolera, yang menyebebkan banyak kematian. Wabah tidak hanya menyerang penduduk pribumi, namun juga orang Eropa.

Banyaknya kematian yang terjadi tidak terlepas dari layanan kesehatan kurang memadai. Rumah sakit pada masa itu umumnya dalam keadaan yang sangat memprihatinkan, hanya berdinding bambu dan tempat tidur kayu yang keras ditambah kebersihan yang buruk. Kondisi ini pun diperparah dengan sangat sedikitnya tenaga medis yang berkualitas, terutama tenaga perawat.

Liesbeth Hesselink dalam “The early years of nursing in the Dutch East Indies, 1895–1920”, menyebutkan bahwa saat itu perawatan diberikan oleh perawat yang tidak terlatih, banyak di antaranya yang buta huruf. Alhasil, rumah sakit tidak menjadi pilihan utama dalam layanan kesehatan. Orang kaya lebih memilih dirawat di rumah ketika sakit. Sedangkan orang pribumi memilih mengobati penyakit ringan dengan obat-obatan tradisional, dan bantuan dukun untuk penyakit serius.

Buruknya kondisi kesehatan yang berlarut menjadi perhatian para dokter di Hindia-Belanda. Mereka mulai menyuarakan keluhan mereka mengenai standar kesehatan yang rendah, dan meminta rumah sakit menjadi institusi kesehatan dengan perawatan medis berbasis ilmiah. Lebih lagi, mereka menginginkan cara keperawatan yang profesional dengan tenaga perawat yang terlatih. Sebab, hanya perawat yang telah mengikuti pendidikan dan lulus ujian yang dapat membawa perbaikan dalam pelayanan kesehatan.

Dari situ, pemerintah mulai melakukan perbaikan-perbaikan terhadap layanan kesehatan, seperti perbaikan dan pembangunan rumah sakit baru. Perawat-pearwat berpengalaman dari Belanda pun didatangkan. Namun, nyatanya jumlahnya masih tidak memadai. Banyak pula perawat yang ketika sampai di Hindia-Belanda tidak mampu beradaptasi dengan iklim tropis dan kemudian jatuh sakit, juga memutuskan untuk kembali ke Belanda karena alasan tersebut.

Untuk mencukupi kebutuhan tenaga perawat yang mendesak, para dokter dan perawat Belanda mengambil inisiatif untuk melatih masyarakat, khususnya orang Indo-Eropa untuk dijadikan perawat. Pada 1987, The Society for Sick-Nursing in the Dutch East Indies atau perkumpulan perawat Hindia-Belanda membuka kurus pelatihan perawat di Batavia. Sayangnya, kursus tersebut sepi peminat, dan baru pada 1900 kursus pertama dilakukan.

Karena banyaknya jumlah kebutuhan perawat, kursus pelatihan perawat juga dibuka untuk orang pribumi baik perempuan maupun laki-laki. Dibukanya kursus perawat untuk laki-laki merupakan hal baru. Di Belanda  kursus perawat hanya dibuka untuk perempuan, sebab di sana perawat dianggap sebagai pekerjaan kaum perempuan.

Kegiatan pelatihan keperawatan untuk menghasilkan perawat berkualitas juga dilakukan oleh para misionaris zending. Mereka membuka rumah sakit dan memberikan pelatihan keperawatan. Di Yogyakarta, pada tahun 1900 pelatihan keperawatan di Rumah Sakit Petrnonella diberikan oleh dua perawat Eropa, Jacqueline Rutgers dan Johanna Kuyper. Mereka merekrut murid dari berbagai kalangan, seperti pembantu rumah tangga, tukang kebun dan pekerja lainnya. Hal serupa juga dilakukan di sejumlah daerah lainnya.

Kebijakan politik etis yang mulai diberlakukan pada 1901 turut berperan penting dalam upaya pelatihan keperawatan. Salah satu program kebijakan tersebut adalah edukasi. Sejak saat itu, pemerintah mulai memberikan subsidi untuk para siswa, yang jumlah penerimanya terus bertambah setiap tahun. Kursus pelatihan ditempuh selama 3 tahun dengan kombinasi materi teori dan praktek, meliputi perawatan sakit, perawatan bayi, memandikan pasien, dan lainnya.

Pada tahun 1920, keperawatan profesional telah memproleh pijakan yang cukup kokoh di Hindia-Belanda. Tercatat pada tahun tersebut terdapat 161 perawat berijazah pribumi, lalu meningkat pesat menjadi 562 perawat pada 1925, dan 971 perawat pada 1930. Perawat berijazah Eropa juga mengalami peningkatan, pada tahun 1920 terdapat 83 perawat, kemudian meningkat menjadi 133 perawat pada tahun 1925, dan 195 perawat pada 1930.

Mereka yang berijazah perawat pribumi disebut sebagai mantri juru rawat. Pendidikan ditempuh selama 4 tahun dengan bahasa pengantar Melayu. Sedangkan perawat berijazah Eropa adalah orang-orang Belanda yang telah menempuh pendidikan keperawatan selama 3 tahun setelah lulus MULO. Mereka menduduki jabatan dan mendapat gaji lebih tinggi dari mantri juru rawat.

Pada 1942–1945, di bawah pendudukan Jepang, perkembangan usaha layanan kesehatan tidak mengalami kemajuan, malah menujukan sejumlah kemunduran. Banyak orang Eropa yang ditangkap, termasuk para dokter dan perawat. Kebijakan pemerintah Jepang saat itu berfokus dalam upaya memenangkan perang melawan sektu, salah satunya leawat mobilisasi penduduk.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Perawat dan bayi yang baru lahir di Rumah Sakit Ibu dan Anak Tambak, Jakarta, sama-sama menggunakan pelindung wajah (face shield), Senin (20/4/2020). Kebijakan pemasangan pelindung wajah pada bayi yang baru lahir ini dilakukan untuk meminimalkan bayi terpapar virus korona baru melalui droplet.

Keperawatan setelah kemerdekaan

Pada awal masa kemerdekaan, perkembangan keperawatan masih terbilang berjalan lambat, sebab kondisi yang belum stabil setelah perang revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan. Saat itu, sejumlah fasilitas kesehatan juga mengalami kerusakan akibat perang.

Namun, pada awal 1950-an, ketika kondisi mulai stabil, kesehatan masuk dalam skala prioritas pembangunan. Hal itu dapat dilihat dengan didirikan Sekolah Pengatur Perawat (SPR) di Rumah Sakit Tantja Rhinos Bandung pada 1952, yang kemudian berubah nama menjadi Sekolah Perawat Kesehatan (SPK).

SPK merupakan sekolah perawat yang setara dengan sekolah menengah atas dengan pendidikan ditempuh selama 3 tahun. Satu dekade berikutnya, Departemen Kesehatan membuka Akademi Keperawatan (Akper) dengan jenjang pendidikan setara diploma di Jakarta pada 1962. Setelah sebelumnya juga didirikan Sekolah Djuru Kesehatan (SDK), setara sekolah menengah pertama, yang didirikan pada 1955.

Seiring berjalannya waktu, kebutuhan tenaga perawat yang kompeten dan profesional semakin meningkat. Pada 1965, American Nurses associations (ANA) mempublikasikan bahwa level terendah perawat untuk dapat berpraktek di institusi kesehatan adalah setingkat bachelor of science in nursing atau saat ini sejajar dengan level ners. Sesuai dengan tuntutan kebutuhan perawat yang memiliki kompetensi, maka pendidikan keperawatan yang hanya sampai di tingkat diploma tidaklah cukup.

Keinginan meningkatkan pendidikan perawat dibicarakan dalam Lokakarya Keperawatan Nasional yang diselenggarakan pada 1983. Dalam kongres tersebut disepakati bahwa pendidikan keperawatan Indonesia merupakan pendidikan profesi dan harus berada pada pendidikan jenjang tinggi. Berdasarkan pemikiran itu, mulai dikaji dan dirancang suatu bentuk pendidikan keperawatan Indonesia.

Alhasil, pada tahun 1985, jenjang sarjana keperawatan untuk pertama kalinya dibuka dengan nama Program Studi Ilmu Keperawatan di Universitas Indonesia, yang saat itu masih menginduk di bawah Fakultas Kedokteran. Momentum ini kemudian diikuti dengan berdirinya pendidikan keperawatan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK) menyelenggarakan dua jenis Program Sarjana, yaitu Program A dan Program B. Program A menerima lulusan SMU melalui ujian Sipenmaru dan Program B menerima lulusan D3 Keperawatan/Akper, dengan kuota masing-masing 30 orang. Sebagian besar pengajar merupakan konsultan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan pelajaran disampaikan dalam bahasa Inggris. Karena pelajaran disampaikan dalam bahasa yang tidak dikuasai, banyak pelajar yang mengeluh kesulitan dalam menyerap pelajaran.

Pendidikan untuk program A ditempuh selama 9 semester sedangkan program B selama 5 semester, lulusan kedua program ini bergelar Sarjana Keperawatan (S.Kp.), yang memiliki kemampuan penuh dan dapat diberi kewenangan sebagai perawat profesional. Namun, sejak tahun 1998 program pendidikan dipisah antara tahap program akademik dan tahap program profesi. Lulusan tahap akademik adalah Sarjana Keperawatan (S.Kep.) dan lulusan tahap profesi adalah Ners (Ns.).

Pada tahun 1999 dibuka pendidikan pascasarjana dan spesialisasi keperawatan, dan disusul program doktor pada 2008. Pendidikan keperawatan juga mulai dibagi menjadi beberap fokus bidang, di antaranya keperawatan dasar, keperawatan medikal bedah, keperawatan maternitas, keperawatan anak, keperawatan jiwa, dan keperawatan komunitas.

Dari data Kemenkes RI, hingga tahun 2019 di Indonesia tercatat jumlah institusi pendidikan keperawatan sebanyak 534 institusi. Secara keseluruhan terdapat 1.058 program pendidikan keperawatan di Indonesia yang terdiri dari D3 sebanyak 413 program studi, D4/S1 sebanyak 342 program studi dan profesi sebanyak 280 program studi, sisanya sebanyak 23 adalah program studi S2 ke atas.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO 

Aktivitas petugas perawat dengan baju hazmat dan Alat Perlindungan Diri (APD) lengkap di runag isolasi pasien Covid-19 di RSUD Bogor, Kota Bogor, Kamis (23/4/2020). Sebanyak 51 petugas RSUD Bogor yang terindikasi reaktif Covid-19 melalui tes cepat hingga kini masih belum dinyatakan positif karena menunggu hasil pemeriksaan swab PCR. Meski demikian, pihak RSUD melakukan pembatasan pelayanan poli rawat jalan non Covid-19. Dan beberapa layanan yang tetap berjalan adalah pasien Hemodialisa, pasien Hematoonkologi (kanker), pasien kronis yang tidak boleh putus obat, dan pasien kegawat daruratan.

Regulasi Tenaga Keperawatan

Pendidikan merupakan kriteria pertama untuk menciptakan tenaga keperawatan yang kompeten. Meski demikian, semakin banyaknya institusi pendidikan keperawatan di Indonesia, menimbulkan permasalahan baru, yaitu kualitas lulusan keperawatan. Oleh karenanya, dibutuhkan sejumlah regulasi untuk menjamin terciptanya tenaga keperawatan yang kompeten.

Berdasarkan UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, pendidikan tinggi keperawatan terdiri dari pendidikan vokasi, pendidikan akademik, dan pendidikan profesi. Pendidikan tinggi keperawatan diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki izin sesuai perundang-undangan dan wajib menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan sebagai wahana pendidikan.

Mengacu pada UU tersebut, perawat yang menjalankan praktik keperawatan wajib memiliki Surat Tanda Registrasi (STR), yaitu bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia Kementerian Kesehatan kepada perawat yang telah diregistrasi. Untuk mendapatkan STR, perawat memerlukan sertifikat kompetensi dan memiliki kualifikasi tertentu lainnya, serta diakui secara hukum untuk menjalankan praktik dan/atau pekerjaan profesinya.

Sertifikat kompetensi didapatkan perawat melalui ujian kompetensi yang wajib diikuti setelah lulus dari pendidikan perawat. Registrasi ini bertujuan untuk menjamin kualitas tenaga kesehatan, guna memastikan kesiapan tenaga kesehatan untuk bekerja sesuai dengan kompetensinya.

Sedangkan bagi perawat yang ingin melakukan praktik, maka diwajibkan pula untuk memiliki Surat Izin Praktik Perawat (SIPP), yaitu bukti tertulis yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Perawat sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik keperawatan.

Sesuai dengan Kepmenkes No. 425 Tahun 2020 tentang Standar Profesi Perawat, Standar Kompetensi Perawat terdiri atas 5 kompetensi yang diturunkan dari gambaran tugas, peran, dan fungsi perawat. Kompetensi tersebut terdiri dari: praktik berdasarkan etik, legal, dan peka budaya; praktik keperawatan profesional; kepemimpinan dan manajemen; pendidikan dan penelitian; serta pengembangan kualitas personal dan profesional. Kompetensi ini diadaptasi dari 5 domains of the ASEAN Nursing Common Care Competencies yang merupakan kesepakatan seluruh negara-negara anggota ASEAN.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Unjuk Rasa Perawat – Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) yang datang dari berbagai daerah berunjuk rasa di depan Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/3/2017). Mereka menuntut agar pegawai honorer dan tenaga kerja sukarela (TKS) diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Tantangan Keperawatan

Melihat sejarahnya, perkembangan keperawatan di Indonesia mengalami kemajuan yang pesat. Mulai sebagai pembantu kerja dokter dan perawat Belanda pada masa kolonial hingga menjadi profesi dengan kualifikasi pendidikan tinggi.

Meski begitu, perlu diakui bahwa masih terdapat sejumlah tantangan yang perlu dihadapi dalam dunia keperawatan di Indonesia. Tantangan dalam bidang keperawatan salah satunya terkait dengan kompetensi perawat. Dalam UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, pemerintah telah mengatur bahwa pendidikan tinggi seorang perawat minimal adalah diploma.

Namun, berdasarkan data Kemenkes pada tahun 2016 seperti dikutip Casman, dkk. dalam “Kaleidoskop Menuju Seperempat Abad Pendidikan Keperawatan di Indonesia”, tercatat masih dapat masih terdapat 15.347 lulusan SPK yang bekerja sebagai perawat. Hal ini menunjukan bahwa standarisasi praktik keperawatan belum berjalan baik. Permasalahan ini tentunya akan berdampak pada pelayanan kesehatan yang kurang optimal.

Tidak hanya masalah kompetensi, ketersebaran perawat juga menjadi masalah yang perlu diatasi. Berdasarkan data Sistem Informasi Sumber Daya Manusia Kesehatan, persebaran perawat nasional masih berpusat di Jawa. Dari jumlah 531.214 perawat yang tercatat hingga 31 Desember 2021, sebanyak 264.438 (49,8 persen) orang perawat berada di Jawa. Jumlah tersebut terbagai dalam 6 jenis keperawatan, yakni perawat geriatri, perawat kesehatan anak, perawat kesehatan jiwa, perawat kesehatan masyarakat, perawat maternitas, dan perawat medikal bedah.

Tiga Provinsi di pulau Jawa memiliki jumlah perawat paling tinggi, yaitu Jawa Timur (69.968), Jawa Barat (66.725) dan Jawa Tengah (61.602). Adapun tiga provinsi dengan jumlah perawat paling sedikit adalah Kalimantan Utara (2.663), Gorontalo (3.461) dan Sulawesi Utara (3.932). Hal ini memungkinkan terjadinya ketimpangan dalam layanan kesehatan. (LITBANG KOMPAS)

 

Referensi

Buku dan Jurnal
  • Kurniati, Anna, dkk. 2020. Analisa Kebijakan Pemenuhan Pasar Tenaga Kerja Kesehatan di Tingkat Global. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
  • Baha’Uddin. 2000. “Pelayanan Kesehatan Masyarakat pada Masa Kolonial”. Jurnal Sejarah Vol 2, No. 2016. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
  • Casman, C., dkk.. 2020. “Kaleidoskop Menuju Seperempat Abad Pendidikan Keperawatan di Indonesia”. Jurnal Endurance5(1), pp.115-125.
  • Juanamasta, I Gede, dkk.. “Nursing development in Indonesia: Colonialism, after independence and nursing act.” SAGE Open Nursing7 (2021).
  • Hesselink, Liesbeth. “The Early Years of Nursing in the Dutch East Indies, 1895–1920.” dalam Colonial Caring: A History of Colonial and Post-Colonial Nursing. Manchester: Manchester University Press, 2015. http://www.jstor.org/stable/j.ctt18dzrdn.13.
  • Leimena. 1978. Sejarah Kesehatan Nasional Jilid I. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
  • Lestari, Tri Rini Puji. “Pendidikan keperawatan: Upaya menghasilkan tenaga perawat berkualitas.” Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial 5, No. 1 (2014): 1-10.
  • Shields, L., dan L.E. Hartat. 2003. “Nursing and Health Care in Indonesia”. Journal of Advanced Nursing44(2), pp.209-216.
Arsip Kompas
  • “Sarjana Perawat, Jembatan Kesenjangan”, Kompas, 18 November 1987.
  • “Rawat Pasien Covid-19 Tenaga Media Diusir dari Kos hingga Harus Menginap”, com, 20 Maret 2020.
  • “Riset: Hari Kesehatan Sedunia Mengapresiasi Kerja Perawat dan Bidan”, Kompas, 7 April 2020.
  • “Infografik: Sebaran Tenaga Perawat di Indonesia”, Kompaspedia, 17 Maret 2021.
  • “Nakes Meninggal Karena Covid-19 Kembali Meningkat”, Kompas, 23 Juni 2021.
  • “Video: Nakes Memakai APD Dipukul Pasien di Garut”, Kompas, 25 Juni 2021.