Tokoh

Wakil Presiden ke-2 Republik Indonesia Sri Sultan Hamengku Buwono IX

Sri Sultan Hamengku Buwono IX merupakan Wakil Presiden RI masa pemerintahan Presiden Soeharto periode 1973-1978. Memiliki nama asli Gusti Raden Mas Dorodjatun, Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah seorang Sultan yang memimpin Kesultanan Yogyakarta pada 1940-1988, dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama setelah kemerdekaan Indonesia. Sri Sultan HB IX meninggal dunia di Washington DC, Amerika Serikat pada 2 Oktober 1988 dalam usia 76 tahun.

HCB

Fakta Singkat

Nama Lengkap
Sri Sultan Hamengku Buwono IX

Lahir
Yogyakarta, 12 April 1912

Jabatan
Wakil Presiden (1973–1978)
Sultan Yogyakarta (18 Maret 1940 – 2 Oktober 1988)

Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah Sultan Yogyakarta yang menjadi Wakil Presiden RI mendampingi Presiden Soeharto pada periode 1973–1978. Sri Sultan HB IX lahir di Yogyakarta pada 12 April 1912 dengan nama asli Gusti Raden Mas Dorodjatun. Pada 18 Maret 1940 Sri Sultan HB IX dinobatkan menjadi Sultan Yogyakarta, dan Gubernur Yogyakarta pertama setelah kemerdekaan Indonesia. Sri Sultan seorang yang menentang penjajahan Belanda dan mendorong kemerdekaan Indonesia. Sultan bersama Paku Alam IX adalah penguasa lokal pertama yang menggabungkan diri ke Republik Indonesia. Ia tidak keberatan ibu kota RI dipindahkan ke Yogyakarta saat Jakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda I.

Peran Sri Sultan HB IX dalam politik nasional RI, yakni menjadi Menteri Negara pada Kabinet Sjahrir III (1946), Menteri Negara pada Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II (1947), Menteri Negara Kabinet Hatta I (1948–1949), Menteri Pertahanan/Koordinator Keamanan Dalam Negeri pada Kabinet Hatta II (1949), Menteri Pertahanan pada masa RIS (1949–1950), Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Natsir (1950–1951), Ketua BPK, Menko Pembangunan, dan Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi (1966), serta Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi Bangunan (Pembangunan) (1966). Menteri Negara EKUIN (1967) dan Menteri Negara Keuangan (1968), dan Menteri EKUIN (1971). Kemudian menjadi Wakil Presiden RI pada 25 Maret 1973 hingga 23 Maret 1978.

Sri Sultan HB IX yang sejak muda aktif di kepanduan atau Pramuka ini pernah menjabat Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka selama 13 tahun. Atas peran dan jasanya bagi perkembangan gerakan Pramuka di Indonesia, beliau kemudian dinobatkan sebagai Bapak Pramuka Indonesia pada 1988. Sri Sultan HB IX meninggal dunia di Washington DC, Amerika Serikat pada 2 Oktober 1988. Pada 8 Juni 2003 Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Sri Sultan HB IX sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Raja Yogyakarta

Gusti Raden Mas Dorodjatun atau Sri Sultan Hamengku Buwono IX merupakan putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dan Raden Ajeng Kutilah. Sri Sultan HB IX lahir di Sompilan, Ngasem, Yogyakarta pada 12 April 1912. Ibunya, Raden Ajeng Kustilah adalah seorang putri Pangeran Mangkubumi yang menyandang gelar Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom yang merupakan garwopadmi dari Gusti Pangeran Haryo Puruboyo.

Sebelum Dorodjatun berusia 3 tahun, ayahnya diangkat menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom yang kemudian dinobatkan menjadi Sultan Hamengku Buwono VIII. Demikian pula, Dorodjatun kemudian diangkat menjadi Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Nirendra ing Mataram, dan diangkat menjadi Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalogi Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifitullah IX.

Semasa kecil, Dorodjatun tinggal bersama kedua orangt ua dan saudara-saudaranya di Purubayan. Namun, tidak lama kedua orang tuanya berpisah. Sang ibu pulang kembali ke rumah orang tuanya KGPA Mangkubumi berpisah dengan putranya.

Sebelum cukup umur untuk mengikuti sekolah, Dorodjatun belajar pada Juffrouw Wuller memasuki sekolah frobel (Taman Kanak-Kanak) di Bintaran Kidul. Setelah berusia 4 tahun, ia tinggal dengan keluarga Mulder yang menjabat sebagai kepala sekolah pada Neutrale Hollands Javaanse Jonges School di daerah Gondokusuman, Yogyakarta. Di keluarga Mulder, Dorodjatun dipanggil dengan nama Henkie, terinspirasi dari nama Pangeran Belanda, Hendrik. Nama itu terus melekat padanya, bahkan sampai ia sekolah dan kuliah di Belanda.

Setelah berusia 6 tahun, Dorodjatun sekolah di Eerste Europeesche Lagere School B (ELS) atau sekolah dasar jaman Belanda yang terletak di sebelah selatan Loji, di Kampementsraat (sekarang Jl. Panembahan Senopati). Sebelum menyelesaikan pendidikan dasarnya di sekolah ini, Dorodjatun pindah ke sekolah Neutrale Europeesche Lagere School di Jalan Pakem atau Jalan Kaliurang. Oleh karena itu, ia pindah tempat tinggal dari keluarga Mulder ke rumah keluarga Cook.

Di sekolah ini, Dorodjatun, sejak kelas 3, ikut dalam klub kepanduan Nederland Indische Padvinders Club (NIPV). Lulus dari sekolah ini Dorodjatun melanjutkan studi di Hogere Burger School (HBS) di Semarang. Ia dipondokkan pada keluarga Tj Voskuil di Karrenweg 64, Semarang. Kemudian pada 28 September 1927 oleh ayahnya, Dorodjatun dipindah ke Bandung, dan dititipkan pada keluarga De Boer. Dorodjatun bersekolah di HBS hingga lulus dan melanjutkan studi di negeri Belanda pada Maret 1930.

Di Belanda, Dorodjatun memasuki sekolah gymnasium di Haarlem. Ia tinggal bersama keluarga Ir. WCGH Van Mourik Broekman seorang direktur sekolah HBS. Dari sekolah menengah atas ini, ia lulus tahun 1934. Kemudian melanjutkan kuliah di Rijksuniversiteit (sekarang Universiteit Leiden), Belanda mengambil jurusan Indologi, yaitu jurusan yang merupakan gabungan dari bidang ekonomi dan hukum.

Selama menjadi mahasiswa, Dorodjatun aktif berorganisasi. Ia menjadi anggota Leidee Studentencorps. Ia juga menjadi anggota organisasi Vepeenigde Faculteiten, dan pernah menjabat sebagai ketua organisasi. Ia juga pernah menjabat Commissaris Studenten Societelt pada organisasi Minerva. Dorodjatun meraih gelar dalam Candidaats-examen pada 1937.

Dorodjatun kembali ke Indonesia pada 18 Oktober 1939, sebelum menyelesaikan studinya yang hanya tinggal menyusun skripsi. Namun, baru 3 hari tiba, ayahnya, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII sakit dan meninggal dunia pada 22 Oktober 1939.

Lima bulan kemudian, pada 18 Maret 1940, Dorodjatun dinobatkan menjadi putra mahkota dengan gelar “Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibja Radya Putera Narendra Mataram” dan pada hari yang sama sang putra mahkota dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta dengan gelar “Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kandjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga”.

Sri Sultan HB IX mempunyai empat orang garwa dalem (selir) yang setia mengikuti upacara di Keraton Yogyakarta, namun Sri Sultan tidak menetapkan seorang pun dari istri-istrinya tersebut sebagai garwa padmi (permaisuri). Istri pertama, yaitu KRA Pintokopurnomo, menikah tahun 1940. Mereka dikaruniai 5 orang anak. Istri kedua, yaitu RA Kustinah atau KRA Widyodiningrum, menikah 1943, dan dikaruniai 4 orang anak.

Sementara dengan istri ketiga, yaitu KRA Hastungkoro, ia menikah 14 Oktober 1948, dan dikaruniai 6 orang anak. Adapun istri keempat, yaitu KRA Tjiptomoerti (meninggal dunia 30 Maret 1980), dikaruniai 6 orang anak. Kemudian, Sultan menikahi Norma Musa yang kemudian mendapat gelar KRA Nindyokirono.

Dari keempat istrinya, Sultan HB IX dikaruniai 15 orang putra dan 7 orang putri, serta 29 orang cucu. Sedangkan dari KRA Nindyokirono, Sultan HB IX tidak mendapatkan keturunan.

Karier

Sri Sultan HB IX usai naik tahta banyak berperan dalam mengupayakan kemerdekaan dan kedaulatan rakyat. Sebagai “Raja Jawa”, ia dapat bersikap tanggap terhadap situasi yang terjadi di sekitarnya. Saat Jepang menduduki Indonesia, banyak penduduk pribumi yang dijadikan tenaga kerja paksa atau romusha.

Sri Sultan HB IX, dengan dalih agar wilayahnya dapat memberikan bantuan hasil bumi kepada pemerintah militer Jepang, mengajukan usulan agar diberi bantuan dana untuk membangun kanal irigasi di daerah Adikarto yang dikenal dengan nama “Selokan Mataram”. Adanya kanal irigasi ini wilayah Yogyakarta berhasil meningkatkan pertanian, di samping juga Sultan berhasil mencegah rakyat Yogyakarta dari romusha.

Sri Sultan HB IX juga melakukan beberapa reformasi di kesultanan, seperti pada Juli 1942, ia mengubah nama-nama institusi pemerintah daerah yang menggunakan bahasa Belanda menjadi bahasa Jawa. Pada masa kemerdekaan, Sultan mengusulkan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Yogyakarta. Kala itu, situasi Jakarta sangat terdesak karena kedatangan sekutu.

Melihat hal itu, Sri Sultan HB IX dan Pakualam VIII mengirim surat ke Presiden Soekarno pada 2 Januari 1946. Surat itu berisi: bila pemerintah RI bersedia, mereka bisa memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta sampai kondisi aman kembali. Tawaran itu disambut baik oleh Presiden Soekarno. Ibu kota negara resmi berpindah ke Yogyakarta pada 4 April 1946.

Sri Sultan HB IX pernah menjadi Menteri Negara pada Kabinet Syahrir (2 Oktober 1946 — 27 Juni 1947) hingga Kabinet Hatta I (29 januari 1948 — 4 Agustus 1949. Pada masa Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 — 20 Desember 1949 hingga masa Republik Indonesia Serikat atau RIS (20 Desember 1949 — 6 September 1950), Sultan menjabat sebagai Menteri Pertahanan.

Selanjutnya sejak 4 Maret 1950, Sri Sultan HB IX menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama. Bersamaan dengan itu, ia menjadi Wakil Perdana Menteri pada era Kabinet Natsir sejak 6 September 1950 hingga 27 April 1951. Sri Sultan HB IX pernah pula menjabat sebagai Menteri/Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan pada 1964–1966, kemudian menjadi Menteri Pariwisata pada 1966.

Pada era kepemimpinan Presiden Soeharto, Sri Sultan HB IX dipercaya sebagai Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri yang pertama pada 25 Juli 1966 – 29 Maret 1973. Kemudian mulai 23 Maret 1973, Sri Sultan HB IX menjadi Wakil Presiden RI mendampingi Presiden Soeharto. Sri Sultan HB IX menjadi Wakil Presiden ke-2 RI hingga 1978, kemudian digantikan oleh Adam Malik.

Sri Sultan HB IX mendapat gelar medali Bronze Wolf dari World Scout Committee (WSC) sebagai pengakuan atas sumbangsih seorang individu kepada kepanduan dunia. Oleh karena itu, Sri Sultan HB IX mendapat kehormatan ditetapkan sebagai Bapak Pramuka Indonesia.

Sri Sultan HB IX wafat pada 2 Oktober 1988 saat tengah berkunjung ke Amerika Serikat. Ia meninggal dunia di George Washington University Medical Center. Ia dimakamkan di Kompleks Pemakaman Raja-Raja di Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Sri Sultan HB IX mendapat anugerah gelar Pahlawan Nasional melaui SK Presiden RI Nomor 053/TK/Tahun 1990 yang terbit pada 30 Juli 1990.

KOMPAS/JB SURATNO

Ketua Umum KONI Pusat Sri Sultan Hamengkubuwono IX serta Menteri Muda Pemuda Abdul Gafur.memberikan ucapan selamat  pada para kontingen Indonesia ke Asian Games IX yang tiba kembali di Jakarta (07-12-1982)

Daftar penghargaan

  • Tanda Jasa Salib Agung Orde Jasa Republik Federal Jerman
  • Tanda Jasa Kesatria Salib Agung Orde Singa Belanda
  • Tanda Kehormatan Panglima Orde Oranye-Nassau
  • Tanda Kehormatan Honorary Knight Grand Cross of The Most Distinguished Order of St. Michael and St. George (1974)
  • Tanda Kehormatan Kesatria Salib Agung (Kelas Pertama) Orde Gajah Putih
  • Tanda Jasa Kordon Agung Orde Matahari Terbit (1982)
  • Gelar “Bapak Pramuka Indonesia” (1988)
  • Bronze Wolf dari World Scout Committee (WSC)
  • Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No.053/TK/Tahun 1990, tanggal 30 Juli 1990.
  • Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Megawati Soekarnoputri (8 Juni 2003)

Penghargaan

Sri Sultan HB IX mendapat berbagai penghargaan atas peran dan prestasi di berbagai bidang, baik di tingkat nasional maupun internasional. Di tingkat nasional Sri Sultan HB IX mendapat penghargaan dari Presiden Soeharto sebagai Ketua Majelis Pembimbing Nasional Gerakan Pramuka pada 1974, dan menerima anugerah Lencana Tunas Kencana pada 1984.

Selain itu, sejumlah bintang, satya lencana, dan tanda jasa diperoleh Sri Sultan HB IX dari pemerintah RI, antara lain, Bintang Sewindu Angkatan Perang RI (1945), Satyalancana Peringatan Kemerdekaan, Satyalancana Kesetiaan, Satyalancana Perang Kemerdekaan I dan II, Bintang Mahaputera Adipradana (15 Februari 1961), Bintang Bhayangkara Pratama (30 Juni 1962), Bintang RI Adipradana (20 Mei 1967), dan Bintang Mahaputera Adipurna (20 Mei 1967).

Di tingkat internasional, Sri Sultan HB IX mendapat sejumlah penghargaan, antara lain, penghargaan tertinggi kepramukaan dunia, yaitu Bronze Wolf Award pada 1974, penghargaan tertinggi World Organization of the Scout Movement (WOSM), dan mendapat Bov Scouts of America berupa Silver World Award.

Selain itu, penghargaan dari negara lainnya berupa Tanda Kehormatan Seri Setia Mahkota dari Malaysia (1972), Tanda Jasa Salib Agung Orde Jasa Republik Federal Jerman, Tanda Jasa Kesatria Salib Agung Orde Singa Belanda, Tanda Kehormatan Panglima Orde Oranye-Nassau, Tanda Kehormatan Honorary Knight Grand Cross of The Most Distinguished Order of St. Michael and St. George (1974), Tanda Kehormatan Kesatria Salib Agung (Kelas Pertama) Orde Gajah Putih, dan Tanda Jasa Kordon Agung Orde Matahari Terbit (1982).

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Upacara serahterima buku “Tahta untuk Rakyat” menyambut ulang tahun ke-70 Sultan Hamengkubuwono IX, dilengkapi dengan potong tumpeng. Tampak Sri SUltan memotong tumpeng dan Ny. Markisah Dahlia Mohammad Roem membantu meletakan piring yang disediakan untuk nasi tumpeng itu. Menyaksikan pemotongan tumpeng istri Sri Sultan dan Mohammad Roem. (12/04/1982)

HCB

Terus terang, saya tahu terlalu banyak. I know too much terutama tentang background peristiwa-peristiwa yang menurut pendapat saya belum dapat diutarakan, saya merasa itu belum waktunya,” kata Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Kompas, 13 April 1982)

 

Bapak Pramuka

Pramuka atau Praja Muda Karana merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut organisasi kepanduan di Indonesia. Sebutan Pramuka resmi digunakan di Indonesia sejak 1961. Sebelum istilah itu populer, organisasi kepanduan telah ada di Indonesia, tepatnya di Bandung, milik Belanda bernama Nationale Pdvinderij Organisatie (NPO) pada 1912. Setelah NPO dibentuk, berbagai organisasi kepanduan lainnya mulai bermunculan di tanah air.

Saat itu berbagai organisasi kepanduan berdiri sendiri dan tidak terkoordinasi. Sri Sultan HB IX yang sejak muda aktif berkiprah di organisasi kepanduan ingin menyatukan berbagai organisasi kepanduan tersebut pada 1945. Sekitar 1950 terbentuk organisasi kepanduan bernama Ikatan Pandu Putra Indonesia (Ipindo). Sri Sultan didaulat menjadi ketua. Karena keaktifannya tersebut menjelang tahun 1960-an Sri Sultan HB IX diangkat sebagai Pandu Agung atau pemimpin organisasi kepanduan.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah salah satu tokoh yang memperkenalkan Pramuka di Indonesia. Pada 9 Maret 1961, Presiden RI Soekarno membentuk Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka, dan Sri Sultan HB IX menjadi salah satu anggota. Kemudian Presiden Soekarno menerbitkan Keppres RI No.238 Tahun 1961 tentang Pramuka. Berdasarkan Keppres tersebut, ditetapkan Gerakan Pramuka sebagai satu-satunya organisasi kepanduan yang ditujukan untuk mendidik para pemuda Indonesia.

Pramuka resmi didirikan pada 14 Agustus 1961. Bersamaan dengan itu, Sri Sultan HB IX dilantik menjadi Ketua Kwartir Nasional (Kwarnas) sekaligus Wakil Ketua 1 Majelis Pimpinan Nasional (Mapinas). Selama empat periode Sri Sultan HB IX menduduki jabatan Ketua Kwarnas, yaitu periode 1961–9163; 1961–1967; 1967–1970; dan 1970–1974, atau selama tiga belas tahun.

Di bawah kepemimpinan Sri Sultan HB IX, Gerakan Pramuka Indonesia banyak mengalami perkembangan. Ia memelopori Gerakan Tabungan Pramuka pada 1974, menggagas Wirakarya, yaitu perkemahan pertama Pramuka Nasional tahun 1968. Juga membentuk Tri Satya Pramuka dan Dasa Dharma Pramuka, sebuah janji kesetiaan anggota Pramuka, serta ciri khas warna coklat muda dan coklat tua seragam Pramuka yang melambangkan elemen air dan tanah.

Tahun 1973 Sri Sultan HB IX mendapat penghargaan tertinggi dari World Organization of Scout Movement (WOSM) Bronze Wolf Award. Juga mendapat Silver World Sward dari Boy Scouts of America pada 1972. Atas berbagai prestasi itu pada Musyawarah Nasional Gerakan Pramuka di Dili, Timor Timur tahun 1988, lewat Surat Keputusan Nomor 10/MUNAS/88 tentang Bapak Pramuka, Sri Sultan Hamengku Buwono IX ditetapkan sebagai Bapak Pramuka Indonesia .

HCB

Referensi

Arsip Kompas
  • “‘Mimpipun, Saya Ndak Pernah…!'” Kompas, 23 Maret 1973. 
  • “MPR Tetapkan: Sri Sultan Hamengku Buwono IX Wakil Presiden”. Kompas, 24 Maret 1973. 
  • “Wakil Presiden Hamengku Buwono IX * Usaha Memahami Pribadinya dari Jejak-Jejak Hidupnya”. Kompas, 24 Maret 1973. 
  • “Bagaimana Ibu Tjiptomurti Membina Rumah Tangganya”. Kompas, 30 Maret 1973. 
  • “Dari Celah-Celah Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono IX (5-habis): Mengapa Daerah Istimewa Yogyakarta Masih Tetap Berdiri?” Kompas, 1 Mei 1980. 
  • “70 Tahun Sri Sultan. Saya Tahu Terlalu Banyak”. Kompas, 13 April 1982. 
  • “Sri Sultan Wafat”. Kompas, 4 Oktober 1988.
  • “Raja yang Dicintai Rakyat”. Kompas, 4 Oktober 1988. 
Buku
  • Sri Sultan HN IX – Bapak Pramuka Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2020

 

Biodata

Nama

Sri Sultan Hamengku Buwono IX

Lahir

Yogyakarta, 12 April 1912

Jabatan

Wakil Presiden (1973 — 1978)
Sultan Yogyakarta (18 Maret 1940 – 2 Oktober 1988)

Pendidikan

  • SD – Eerste Europese Lagere School B
  • SMP – Neutrale Europese Lagere School
  • SMA – Hoogere Burgerschool (HBS)
  • Gymnasium, di Haarlem, Belanda
  • Tingkat doktoral di Faculteit Indologie, Rijksuniversiteit (sekarang Universiteit Leiden)

Karier

Pekerjaan:

  • Sultan Yogyakarta (18 Maret 1940 – 2 Oktober 1988)

Pemerintahan

  • Kepala dan Gubernur Militer Daerah Istimewa Yogyakarta (17 Agustus 1945 – 2 Oktober 1988)
  • Menteri Negara pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 — 27 Juni 1947)
  • Menteri Negara pada Kabinet Amir Sjarifuddin I (3 Juli 1947 — 11 November 1947)
  • Menteri Negara pada Kabinet Amir Sjarifuddin II (11 November 1947 — 28 Januari 1948))
  • Menteri Negara pada Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 — 4 Agustus 1949)
  • Menteri Pertahanan/Koordinator Keamanan Dalam Negeri pada Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 — 20 Desember 1949)
  • Menteri Pertahanan pada masa RIS (20 Desember 1949 – 6 September 1950)
  • Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Natsir (6 September 1950 — 27 April 1951)
  • Menteri/Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (5 Juli 1959)
  • Ketua Delegasi Indonesia dalam pertemuan PBB tentang Perjalanan dan Pariwisata (1963)
  • Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) (1963 — 1964)
  • Menteri Koordinator Pembangunan (1966)
  • Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi (11 Maret 1966)
  • Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi Bangunan (Pembangunan) (27 Maret 1966)
  • Menteri Negara EKUIN (1967)
  • Menteri Negara Keuangan (1968)
  • Menteri EKUIN (1971)
  • Wakil Presiden Indonesia (25 Maret 1973 — 23 Maret 1978)

Organisasi

  • Ketua Dewan Kurator Universitas Gadjah Mada (UGM) (1951)
  • Ketua Dewan Pariwisata Indonesia (1956)
  • Ketua Sidang ke-4 Econimic Commision for Asia and the Far East (ECAFF) (1957)
  • Ketua Pertemuan Regional ke-11 Panitia Konsultatif Colombo Plan (1957)
  • Ketua Federasi ASEAN Games (1958)
  • Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka empat periode (1961–1974)
  • Ketua Delegasi Indonesia di Konferensi Pasific Area Travel Association (PATA) di California, Amerika Serikat (1968)
  • Pembina Utama Golkar (1977)
  • Ketua Umum KONI Pusat (1976–1981; 1981–1985)

Penghargaan

  • Bintang Sewindu Angkatan Perang RI (1945)
  • Satyalancana Peringatan Kemerdekaan
  • Satyalancana Kesetiaan
  • Satyalancana Perang Kemerdekaan I
  • Satyalancana Perang Kemerdekaan II
  • Bintang Mahaputera Adipradana (15 Februari 1961)
  • Bintang Bhayangkara Pratama (30 Juni 1962)
  • Bintang RI Adipradana (20 Mei 1967)
  • Bintang Mahaputera Adipurna (20 Mei 1967)
  • Tanda Kehormatan Seri Setia Mahkota dari Malaysia (1972)
  • Tanda Jasa Salib Agung Orde Jasa Republik Federal Jerman
  • Tanda Jasa Kesatria Salib Agung Orde Singa Belanda
  • Tanda Kehormatan Panglima Orde Oranye-Nassau
  • Tanda Kehormatan Honorary Knight Grand Cross of The Most Distinguished Order of St. Michael and St. George (1974)
  • Tanda Kehormatan Kesatria Salib Agung (Kelas Pertama) Orde Gajah Putih
  • Tanda Jasa Kordon Agung Orde Matahari Terbit (1982)
  • Gelar “Bapak Pramuka Indonesia” (1988)
  • Bronze Wolf dari World Scout Committee (WSC)
  • Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No.053/TK/Tahun 1990, tanggal 30 Juli 1990.
  • Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Megawati Soekarnoputri (8 Juni 2003)

Keluarga

Istri

  • R.A. Pintakapurnama (istri, 1940)
    • GBPH Hadikusumo (anak)
    • GBP Hardisuryo (anak)
    • GKR Anom (anak)
    • Gusti Raden Ayu Murdokusumo (anak)
    • GBR Ayu Darmokusumo (anak)
  • R.A. Widyaningrum (istri, 1943)
    • BRM Herjuno Darpito – Mangkubumi dengan gelar Hamengku Buwono X (anak)
    • GBPH Hadiwinoto (anak)
    • GBPH Joyokusumo (anak)
    • BRA Sri Kuwaryanti (anak)
  • R.A. Hastungkara (istri, 1948-1988)
    • GBPH Prabukusumo (anak)
    • BRM Kuslanrdiyanto, alm (anak)
    • GBPH Yudaningrat (anak)
    • GBPH Cakradiningrat (anak)
    • BRA Sri Kushandanari, alm (anak)
    • BRA Sri Kusulodwi (anak)
  • R.A. Tjiptomurti (istri, wafat 1980)
    • GBPH Pakuningrat (anak)
    • GBPH Cakradiningrat, alm (anak)
    • BRM Sarsono (anak)
    • BRM Harkomoyo (anak)
    • BRM Swatindro (anak)
  • R.A Nindyokirana (istri, 1976–1988)

Anak

Sumber
Litbang Kompas