Tokoh

Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo

Jenderal Polisi (Purn) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo dikenal sebagai Bapak Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ia menjadi Kepala Kepolisian Negara pertama sekaligus peletak dasar kepolisian nasional yang profesional dan modern.

Fakta Singkat

Nama Lengkap
Jenderal Polisi (Purn) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo

Lahir
Bogor, 7 Juni 1908

Pendidikan
Frobel School

Europese Lagere School (ELS)

Hoogere Burger School (HBS)

Rechts Hooge School (RHS)

Aspirant Commisaris van Politie

Jabatan

Kepala Kepolisian Republik Indonesia pertama (1945–1959)

Kapolri pertama Jenderal Polisi (Purn) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (RS Soekanto) dan SM Amin Nasution rencananya akan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional (PN) pada peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2020 ini. Penganugerahan gelar terhadap Soekanto tersebut merupakan pengakuan atas jasanya meletakkan dan membangun institusi Polri.

RS Soekanto Tjokrodiatmodjo memimpin Kepolisian Negara Republik Indonesia selama 14 tahun (1945–1959). Ia adalah Kepala Kepolisian RI pertama dan terlama sepanjang sejarah Polri. Soekanto juga dikenal sebagai pembangun struktur dan fundamen serta peletak batu persatuan bagi Kepolisian RI.

Saat menjabat Kepala Kepolisian Negara (KKN), 29 September 1945 hingga 31 Desember 1959, ia merintis dibentuknya polair dan udara, brimob, polantas yang terorganisir dengan baik; pembentukan cikal bakal polda; hingga pembentukan sekolah-sekolah polisi. Atas upaya-upaya Sukanto itulah, tercipta aspek pedoman hidup dan pedoman karya kepolisian, yang pada akhirnya terkenal dengan nama Tribrata dan Caturprasatya.

Sosok Soekanto juga dikenal sebagai sosok yang visioner, disiplin, jujur, dan konsisten terhadap komitmen dalam membentuk dan membangun Kepolisian Nasional. Hingga akhir hayatnya, Soekanto hidup dalam kesederhanaan.

Putera Wedana

Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo lahir di Bogor pada tanggal 7 Juni 1908. Ia adalah sulung dari enam bersaudara dari pasangan R Martomihardjo, seorang pamong praja yang berasal dari Ketangi Daleman, Purworejo, Jawa Tengah, dan Kasmirah dari Ciawi, Bogor, Jawa Barat. Soekanto lahir di rumah uak dari ibunya yang menikah dengan Ermeling, perwira KNIL yang tinggal di Bogor.

Belum genap setahun usianya, Soekanto bersama orang tuanya meninggalkan Bogor dan berpindah ke Balaraja, Serang karena ayahnya diangkat sebagai wedana di sana. Pada tahun 1910, ayahnya berpindah lagi ke tempat tugasnya yang baru, Tangerang. Tumbuh kembang Soekanto diwarnai oleh kehidupan penuh disiplin yang diterapkan ayahnya. Jabatan ayahnya sebagai pamong praja memberikan pengaruh besar bagi kehidupan Soekanto kala itu.

Soekanto termasuk sebagian kecil dari kaum pribumi yang memperoleh pendidikan Barat yang hanya terbuka bagi kalangan priyayi. Ia mengenyam pendidikan di Froben School (Taman Kanak-kanak), Europese Lagere School (ELS) di Bogor, dan Hoogere Burger School (HBS) di Bandung.

Setelah lulus dari HBS, Soekanto sempat kuliah di Recht Hooge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta selama setahun. Selama kuliah pada tahun 1928, Soekanto memasuki dunia pergerakan dengan aktif di Kepanduan Bangsa Indonesia (Jong Java). Soekanto berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti Sartono dan Iwa Kusumasumantri. Mereka sering berdiskusi tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Dia terpaksa meninggalkan RHS karena kondisi perekonomian ayahnya yang telah pensiun dari jabatan Wedana Tangerang. Kemudian pada tahun 1930, Soekanto diterima sebagai siswa Aspirant Commisaris van Politie di Sukabumi dengan lama pendidikan tiga tahun. Ia lulus pada tahun 1933 dan mendapat pangkat Commisaris van Politie 3 e Klass (Komisaris Polisi Kelas III). Sejak itu, dimulailah karier Soekanto di kepolisian.

Dunia pergerakan yang dijiwai oleh Soekanto juga membawanya menemukan belahan jiwanya. Ia meminang Bua Hadidjah Lena Mokoginta, yang ketika itu, merupakan wakil organisasi kedaerahan dari Sulawesi dan turut aktif dalam persiapan Sumpah Pemuda. Soekanto dan Lena Mokoginta akhirnya memutuskan menikah pada tanggal 21 April 1932.

IPPHOS

Kepala Djawatan Kepolisian Negara Soekanto mengadakan peninjauan ke Palembang. RS Soekanto melakukan pemeriksaan pada barisan Mabrig.

Karier

Setelah lulus dari pendidikan polisi di Sukabumi, Soekanto bertugas di bagian lalu lintas di Semarang. Kemudian dia dipindah ke bagian reserse dan berlanjut di Politieke Inlichtingen Dienst (PID). Di antara tiga bagian itu, seperti dicatat dalam buku Bapak Kepolisian Negara Republik Indonesia: Jenderal Polisi R.S. Soekanto, yang paling disukai Soekanto adalah reserse.

Selain di Semarang, Soekanto pernah pula bertugas pada bagian pengawasan di Purwokerto dengan pangkat Komisaris Polisi Kelas II dan kemudian menjabat Kepala Polisi Seksi III di Semarang.

Sejak 1940, Soekanto ditugaskan menjadi pimpinan teknis di Kalimantan bagian selatan sambil merangkap sebagai Wakil Kepala Polisi Banjarmasin dengan pangkat Komisaris Polisi Kelas I, pangkat tertinggi bagi kalangan pribumi pada masa itu.

Pada masa pendudukan Jepang, Soekanto pernah menjabat Kepala Polisi Keresidenan Jakarta, kemudian dipindah ke Sekolah Polisi Sukabumi sebagai instruktur.

Ketika Indonesia baru saja merdeka, Soekanto berhubungan dengan dua kolega lawasnya, Sartono dan Iwa Kusumasumantri. Kedua penasihat Presiden Soekarno ini mengajak Soekanto ke sidang kabinet pada 29 September 1945.

Sartono dan Iwa sebelumnya tidak memberi tahu bahwa Soekarno sedang membutuhkan orang untuk dijadikan kepala jawatan kepolisian. Ternyata, dalam sidang kabinet itu, Presiden Soekarno menunjuk Soekanto untuk mengisi jabatan tersebut.

RS Soekanto kemudian diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara (KKN) RI oleh Presiden Soekarno pada tanggal 29 September 1945. Saat Presiden Soekarno melantiknya sebagai Kepala Kepolisian Negara RI Pertama, ia memerintahkan Soekanto membangun Kepolisian Nasional.

Ketika dilantik sebagai KKN, Indonesia saat itu masih dalam masa revolusi. Dalam tulisannya di Kompas (1/7/2010), G Ambar Wulan menggambarkan situasi selama masa revolusi. Ambar menjelaskan negara yang baru merdeka harus menghadapi situasi dalam negeri yang rumit akibat pergolakan berbagai aliran politik antaranak bangsa, sulitnya ekonomi, dan meningkatnya kriminalitas. Tekanan-tekanan militer Belanda yang mengancam eksistensi kedaulatan RI berdampak pula terhadap buruknya situasi keamanan di dalam negeri.

Persoalan lain yang dihadapi Soekanto dalam membangun kepolisian yang sentralistik terkendala kekuasaan para residen terhadap kesatuan polisi di masing-masing wilayah yang memiliki aturan berbeda dari mengangkat personel polisi, menaikkan pangkat, hingga menggunakan seragam yang sebagian masih milik pemerintahan kolonial Jepang. Sulitnya komunikasi antara pusat dan daerah jadi kendala lain proses konsolidasi.

Kepolisian RI semakin kehilangan kontrol ketika keamanan Jakarta berada di bawah otoritas Civil Police bentukan Sekutu di bawah komando Kepala Polisi Militer Inggris sejak Januari 1946. Waktu itu Soekanto ditangkap oleh tentara Inggris dan diajak bergabung dengan Civil Police, tetapi secara tegas ditolak dengan menyatakan bahwa ia adalah Kepala Kepolisian Negara RI yang akan tetap setia pada Pemerintah RI.

Pembangunan kepolisian RI baru dapat dilakukan setelah institusi ini lepas dari Kementerian Dalam Negeri yang telah pindah ke Purwokerto dengan kedudukan di bawah perdana menteri. Perubahan kedudukan yang berlaku sejak 1 Juli 1946 dimaknai sebagai lahirnya Kepolisian Nasional yang kemudian dijadikan momentum peringatan Hari Bhayangkara.

Setelah penyerahan kedaulatan RI pada akhir 1949, Soekanto diangkat menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia Serikat (RIS). Tahun 1950, kembali menjadi KKN. Bulan Juli 1957, Soekanto menjabat Menteri Muda Angkatan Kepolisian RI.

Selama menjabat Kepala Kepolisian Negara, Soekanto terus mengonsolidasi aparat kepolisian dengan mengemban pesan Presiden Soekarno membentuk Kepolisian Nasional, yaitu mengubah mental kepolisian kolonial yang bermacam-macam warisan Hindia Belanda menjadi Kepolisian Nasional Indonesia.

Di bawah ancaman agresi militer Belanda, selain pembangunan fisik, Soekanto tetap memikirkan pentingnya pendidikan untuk menciptakan polisi terdidik dan berdedikasi tinggi. Bersama-sama dengan Djoko Sutono, Supomo, dan Hamengkubuwono IX, Soekanto mendirikan Akademi Polisi di Mertoyudan, Magelang, untuk mendidik calon inspektur dan komisaris polisi. Tahun 1947, sekolah itu dipindahkan lagi ke Yogyakarta dan berganti nama menjadi Akademi Polisi.

IPPHOS

Pada tanggal 17 Maret 1952 di Kebayoran telah dilangsungkan peresmian gedung Kepolisian Negara. Presiden sedang melihat-lihat maket gedung yang akan didirikan. Di belakangnya tampak Jaksa Agung Suprapto, kepala Djawatan Kepolisian RS Sukanto dan Sekretaris Kabinet Presiden Karim Pringgodigdo.

Pembangunan gedung Mabes Polri yang diresmikannya tahun 1952, adalah prakarsa Soekanto. Gedung di Jl Trunojoyo yang sampai sekarang masih digunakan sebagai Markas Besar Polri ini merupakan gedung dengan kerangka besi pertama di Indonesia. Ia juga memprakarsai pembangunan Wisma Bhayangkari dan rumah dinas KKN.

Selain membangun organisasi Polri dari mabes sampai dengan kepolisian kecamatan (polsek), Soekanto juga memprakarsai pembentukan Satuan Polisi Perairan dan Udara (Airud), Polisi Perintis, Polisi Lalu Lintas, Polisi Kereta Api, Laboratorium Kriminal, NCB/Interpol, dan Polisi Wanita. Ia juga juga memprakarsai pembentukan Brigade Mobil (Brimob), pasukan khusus Polri dan mendirikan pusat pendidikan Brimob di Porong.

Moto Polri, Tri Brata dan Catur Prasetya, yang diciptakan Djoko Sutono, digunakan dan diresmikan tahun 1955 ketika Soekanto menjadi KKN. Soekanto pernah mengirimkan perwira Polri dalam jumlah besar-besaran untuk belajar kepolisian di Amerika Serikat. Termasuk di antaranya Hoegeng Iman Santoso, Awaloedin Djamin, Mohammad Hasan, Widodo Budidarmo, yang semuanya menjadi Kapolri.

Soekanto meninggalkan jabatan Kepala Kepolisian Negara setelah bertugas selama 14 tahun. Ia mulai pensiun sejak 1 Desember 1960 dengan pangkat terakhir Direktur Jenderal Polisi.

Pada tahun 1968 setelah kepolisian berintegrasi dalam ABRI, Presiden Soeharto mengangkatnya sebagai Jenderal Polisi Purnawirawan. Pada Agustus 1973, ia diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI selama lima tahun.

Soekanto meninggal dunia pada Selasa malam tanggal 24 Agustus 1993 pukul 23.38 WIB dalam usia 85 tahun setelah sebelumnya sekitar 4 bulan dirawat di RS Polri Kramatjati. Ia dimakamkan satu lubang dengan jasad sang istri di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir sesuai wasiat yang diberikan kepada keluarganya. Padahal sebenarnya dia berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata karena memiliki Bintang Mahaputra Adiprana kelas II.

Sebelum dimakamkan, jenazahnya disemayamkan selama satu setengah jam di Gedung Utama Mabes Polri di Jl Trunojoyo Jakarta Selatan, gedung markas Polri yang diresmikan Soekanto pada 17 Agustus 1952 silam, saat ia masih menjabat Kepala Kepolisian Negara.

KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA

Soekanto Tjokrodiatmodjo Meninggal Dunia. “Bapak Polisi Indonesia” yang jujur itu telah tiada. Tembakan salvo meletus memecah keheningan di pemakaman Tanah Kusir, Rabu siang (25/8/1993). Bendera merah putih yang menyelubungi peti mati, dipegang oleh empat perwira tinggi dari AD, AL, AU, dan Polri pelan-pelan diangkat. Tepat pukul 13.08, jenazah yang terbungkus kain kafan putih dalam peti, dipindahkan ke liang kubur dan akhirnya bersatu dengan tanah merah.

Daftar Penghargaan

  • Bintang Mahaputra Adipradana
  • Bintang Dharma
  • Bintang Bhayangkara Kelas I
  • Bintang Gerilya
  • Peringatan Pejoeang Kemerdekaan
  • Karya Satya I
  • Dasar Warsa
  • Yana Utama
  • Karya Bhakti
  • Prasetya Pancawarsa IV
  • Perang Kemerdekaan II
  • GOM I
  • GOM II
  • GOM III
  • GOM IV
  • GOM V
  • GOM VI
  • GOM VII
  • Sapta Marga

Penghargaan

Soekanto mendapatkan beragam penghargaan atau tanda kehormatan atas jasa-jasanya terhadap negara. Pada tahun 1961, Soekanto mendapat penghargaan berupa Satya Lencana berdasarkan Keputusan Presiden RI tertanggal 18 Mei 1961, yakni Satya Lencana Peringatan Pejuang Kemerdekaan, Satya Lencana Karya Bhakti, Satya Lencana Jana Utama, dan Satya Lencana Karya Setia Kelas I.

Soekanto juga mendapatkan kenaikan pangkat kehormatan menjadi Jenderal Polisi berdasarkan Keputusan Presiden No.168/ABRI/1968 tanggal 28 Juni 1968. Juga Keputusan Presiden No.025/TK/1968 tanggal 1 Juni 1968 tentang penganugerahan Bintang Mahaputra Adipradana.

Bertepatan dengan Peringatan Hari Bhayangkara XXII pada 1 Juli 1968 di Lapangan MABAK, Presiden Soeharto juga menyematkan Bintang Mahaputra Adipradana kepada Jenderal Polisi Kehormatan RS Soekanto Tjokrodiatmodjo.

Pengakuan pemerintah pada jasa-jasa Soekanto selanjutnya diberikan dalam Keputusan Menhankam/Pangab No. Kep/B/367.1968 Tanggal 17 September 1968 tentang Penganugerahan Satya Lencana PK I dan Satya Lencana PK II, Satya Lencana GOM I sampai VII dan Satya Lencana Sapta Marga.

Pada tanggal 5 Oktober 1968, bertepatan dengan Hari ABRI, Soekanto dianugerahi Bintang Dharma sebagai penghormatan atas darma baktinya terhadap bangsa dan negara melalui Keputusan Presiden No.94/43/1968 Tanggal 4 Oktober 1968.

Pada tanggal 1 Juli 1969, Soekanto dianugerahi Bintang Bhayangkara Utama Kelas I dan Satya Lencana Dasa Warsa yang disematkan oleh Hoegeng Imam Santoso selaku Kapolri waktu itu berdasarkan Keputusan Presiden RI No.020/TK/69 dan 022/TK/69 Tanggal 1 Juli 1969.

Setelah 27 tahun kematiannya, Soekanto akan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh negara yang diberikan Presiden Joko Widodo pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2020. Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional tersebut merupakan pengakuan atas jasanya meletakkan dan membangun institusi Polri.

IPPHOS

Upacara menyematan bintang gerilya kepada anggota polisi di MABAK oleh PM Ir. Djuanda pada tanggal 10 November 1958.

KOMPAS/ANSEL DA LOPEZ

Jenderal Polisi R. Said Soekanto, kelahiran Bogor, 7 Juni 1908, adalah putera Indonesia pertama yang menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Hidup dalam penuh kesederhanaan setelah pensiun, ia kemudian menjadi Ketua Umum Orhiba (Olahraga Hidup Sehat).

Hidup sederhana

Hal menarik dari Soekanto adalah hidupnya yang sederhana. Dalam arsip Kompas, 25/10/1981 dikisahkan, selepas pensiun pada 1 Desember 1960, Soekanto benar-benar hidup dalam kesederhanaan, kalau tidak dikatakan miskin. Ia menjalani hidupnya dengan memegang teguh pada falsafah “sugih tanpo bondo” atau kaya tanpa kebendaan.

Rumahnya yang terletak di Jl Proklamasi 43, Jakarta, sulit dikenali sebagai rumah seorang bekas perwira tinggi berbintang empat dan Kepala Kepolisian Negara. Rumah itu sebenarnya milik kepolisian yang dihibahkan kepadanya pada tahun 1973.

Soekanto pernah meminta langganan sebuah koran, sampai sebulan tidak pernah dikirim. Ketika dicek ke agennya, dijawab sudah dikirim. Baru kemudian terungkap, lopernya tidak mengantarkan karena tidak yakin, bahwa rumah itu dihuni jenderal yang hendak berlangganan.

“Saya hidup dari pensiun,” katanya. Dibandingkan dengan kondisi sekarang, jumlahnya memang memprihatinkan. “Meskipun demikian saya tidak ragu. Karena saya selalu menikmati Dia senantiasa. Itu sudah cukup. Kalau kita berpegang pada hal ini sebenarnya sudah cukup. Karena apa lagi yang lebih tinggi dari Dia?” katanya.

Soekanto bercerita: Sekarang ini banyak orang yang ragu dan takut akan hidupnya. Ada yang mengatakan ini akibat hukum materialisme yang telah begitu cepat menguasai manusia Indonesia. Ada yang mengatakan karena lunturnya cita-cita perjuangan. Sebagai manusia memang kita dikuasai oleh nafsu kebendaan. Ini memang tidak bisa dihindari. Meskipun demikian, kita juga harus berjuang keras untuk menghindarikannya. Sehingga hidup ini ada keserasian dan tidak melulu hanya kebendaan saja.

KOMPAS/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA

Kepala Kepolisian Negara yang pertama, R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (84) hadir dalam peringatan HUT Bhayangkara ke-45 di Jakarta, Senin pagi (1/7/1991).

Referensi

Arsip Kompas
  • “Dimanakah dia sekarang? Jenderal Polisi R Said Soekanto”. Kompas, 16 September 1967, hal. 03
  • “Dimanakah dia sekarang? Jenderal Polisi R Said Soekanto”. Kompas, 25 Oktober 1981, hal. 02
  • “‘Bapak Polisi Indonesia’ Yang Jujur Itu Telah Tiada”. Kompas, 26 Agustus 1993, hal. 01
  • “Profil: R. Said Soekanto, Kepala Kepolisian Negara RI pertama”. Kompas, 02 September 1993, hal. 03
  • “Info: Patung Soekanto Diresmikan”. Kompas, 30 September 1995, hal. 08
  • “Belajar Dari Kepemimpinan Soekanto”. Kompas, 01 Juli 2010, hal. 06
Buku
  • Djamin, Awaloedin, Wulan, G Amnar. 2016. , Jenderal Polisi R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo: Bapak Kepolisian Negara RI. Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Biodata

Nama

Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo

Lahir

Bogor, 7 Juni 1908

Jabatan

Kepala Kepolisian Republik Indonesia (29 September 1945 – 30 Desember 1959)

Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI (1973–1978)

Pendidikan

Frobel School

Europese Lagere School (ELS)

Hoogere Burger School (HBS)

Rechts Hooge School (RHS)

Aspirant Commisaris van Politie

Karier

Kepolisian

  • Polisi di bagian lalu lintas di Semarang
  • Polisi bagian reserse
  • Polisi bagian pengawasan di Purwokerto
  • Kepala Polisi Seksi III di Semarang
  • Wakil Kepala Polisi Banjarmasin
  • Kepala Polisi Keresidenan Jakarta
  • Instruktur di Sekolah Kepolisian Sukabumi
  • Kepala Kepolisian Negara (29 September 1945 – 31 Desember 1959)

Penghargaan

  • Bintang Mahaputra Adipradana
  • Bintang Dharma
  • Bintang Bhayangkara Kelas I
  • Bintang Gerilya
  • Peringatan Pejoeang Kemerdekaan
  • Karya Satya I
  • Dasar Warsa
  • Yana Utama
  • Karya Bhakti
  • Prasetya Pancawarsa IV
  • Perang Kemerdekaan II
  • GOM I
  • GOM II
  • GOM III
  • GOM IV
  • GOM V
  • GOM VI
  • GOM VII
  • Sapta Marga

Sumber
Litbang Kompas