KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Sukarelawan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (1/9/2022). Dalam Aksi Kamisan ke-742 yang bertepatan dengan awal bulan September tersebut menyuarakan kembali “September HItam” sebagai pengingat peristiwa kelam pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia yang terjadi di bulan September. Sejumlah peristiwa tersebut antara lain pembantaian 1965-1966, tragedi Tanjung Priok 1984, tragedi Semanggi II 1999, pembunuhan Munir 2004, hingga kekerasan aparat dalam aksi Reformasi Dikorupsi pada 2019. Aksi Kamisan juga menyerukan agar pemerintah menyelesaikan kasus-kasus penghilangan paksa yang belum diusut tuntas dan meminta negara melindungi warganya dari praktik penghilangan paksa.
Fakta Singkat
- Peristiwa 30 September 1965 atau G30S
- Peristiwa Tanjung Priok (12 September 1984)
- Peristiwa Semanggi II (24 September 1999)
- Pembunuhan Munir Said Thalib (7 Septmber 2004)
- Pembunuhan Salim Kancil (26 September 2015)
- Kekerasan Terhadap Massa Aksi Reformasi Dikorupsi (24-30 September 2019)
- Pembunuhan Pendeta Yeremia (19 September 2020)
- Kekerasan di Pulau Rempang (7 September 2023)
Setiap bulan September, kita dihadapkan pada dua sisi yang berlawanan: harapan dan kenangan kelam. Di Indonesia, September sering kali diwarnai dengan suasana nostalgia, salah satunya melalui lagu “September Ceria” yang dinyanyikan oleh Vina Panduwinta. Lagu ini menggambarkan harapan dan kebahagiaan yang menjadi simbol keceriaan bagi banyak orang.
Namun, di sisi lain, September juga menyimpan catatan tragis yang tidak bisa diabaikan: pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang menorehkan luka mendalam dalam perjalanan bangsa. September menjadi saksi dari berbagai peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya. Itulah sebabnya bulan ini dikenal dengan sebutan “September Hitam.”
September Hitam menjadi pengingat akan peristiwa kelam pelanggaran HAM dari masa ke masa yang masih membekas dalam ingatan bangsa. Bulan ini mengingatkan negara akan tanggung jawabnya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia warganya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Sukarelawan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (1/9/2022).
Artikel terkait
Peristiwa 30 September 1965 atau G30S
Peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September (G30S) dimulai dengan terbunuhnya sejumlah perwira tinggi TNI dan anggota polisi pada malam 30 September hingga pagi 1 Oktober 1965, yang kemudian disebut sebagai Pahlawan Revolusi. Namun, insiden ini tidak hanya berujung pada hilangnya nyawa perwira, tetapi juga memicu serangkaian tragedi kemanusiaan yang lebih luas.
Setelah pembunuhan tersebut, negara menghadapi gelombang penangkapan dan pembunuhan massal yang menargetkan individu-individu yang dituduh terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), kelompok yang dipersalahkan sebagai dalang di balik pembunuhan para jenderal. Banyak orang yang dituduh sebagai PKI, menghadapi penangkapan dan penghilangan paksa.
Operasi penumpasan ini menjadi salah satu babak tergelap dalam sejarah Indonesia, di mana tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia terjadi secara meluas, bahkan diwajarkan.
Operasi penumpasan PKI di bawah komando Soeharto dimulai dengan aksi militer yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhi Wibowo. Penumpasan ini tidak hanya berlangsung di Jakarta, tetapi menyasar daerah-daerah lain yang dianggap memiliki basis massa PKI yang kuat.
Selama periode pembersihan, banyak orang yang dicap sebagai PKI dibunuh atau ditangkap. John Roosa, dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal, mengungkapkan bahwa jumlah korban jiwa akibat kekerasan ini melebihi setengah juta orang. Pasca-G30S, penangkapan dan penghilangan paksa berlangsung hingga tahun 1979, di mana banyak orang ditahan tanpa proses hukum yang jelas.
Masa tersebut menjadi periode kelam bagi individu-individu yang dituduh terlibat dengan PKI. Banyak dari mereka, termasuk seniman, sastrawan, dan intelektual, dibuang ke Pulau Buru dan pulau-pulau lainnya seperti Nusakambangan. Mereka dipaksa hidup dalam kondisi yang sangat keras di kamp-kamp pengasingan, di bawah pengawasan ketat aparat keamanan.
Peristiwa G30S tidak hanya berdampak di dalam negeri, tetapi juga melibatkan para pemuda Indonesia yang sebelumnya dikirim oleh Presiden Soekarno untuk menuntut ilmu di luar negeri. Mereka yang menjadi delegasi dunia pendidikan itu tidak dapat kembali ke tanah air akibat peristiwa tersebut. Izin paspor mereka dicabut, dan kewarganegaraan mereka dihilangkan, memaksa mereka untuk hidup sebagai eksil politik di negara-negara asing seperti Belanda, Rusia, dan Tiongkok. Mereka yang menolak pemerintahan Soeharto dituduh sebagai pengkhianat negara.
Sudah lebih dari enam dekade setelah tragedi ’65, pemerintah belum menunjukkan kesungguhan dalam memenuhi tanggung jawabnya untuk memberikan keadilan kepada para korban. Kemandekan dalam proses hukum, serta kurangnya upaya untuk memulihkan hak-hak korban, menjadi sorotan penting. Banyak korban, yang kini telah lanjut usia, harus menghadapi realitas pahit tanpa keadilan yang layak mereka terima.
ARSIP KOMPAS
Di DKI Jakarta, PKI dibubarkan. Kompas, 7/12/1965.
Peristiwa Tanjung Priok (12 September 1984)
Tragedi Tanjung Priok yang terjadi pada 12 September 1984 adalah salah satu peristiwa kelam dalam sejarah pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, khususnya selama era Orde Baru. Peristiwa ini berakar dari penolakan masyarakat terhadap penerapan Pancasila sebagai asas tunggal. Namun, kebijakan ini mendapatkan penolakan dari masyarakat, yang merasa suara mereka terpinggirkan.
Peristiwa ini berawal dari insiden di Musala Assa’adah. Saat itu, kalangan ulama di Jakarta bereaksi keras terhadap kebijakan Presiden Soeharto yang menyatakan Pancasila sebagai asas tunggal. Semenjak itu, ceramah di masjid oleh para mubalig bernada keras. Mereka menyampaikan pidato, di antaranya, penolakan Pancasila sebagai asas tunggal, menolak larangan memakai jilbab bagi anak-anak perempuan, anti-China, dan protes biaya pengurusan KTP yang mahal.
Buntut dari ceramah keras itu, sejumlah pamflet bernada keras juga ditempel di dinding Musala Assa’adah. Tindakan ceramah keras serta penempelan pamflet itu sebelumnya telah diingatkan oleh aparat Kodim Jakarta Utara. Mereka juga diminta melepas pamflet yang isinya menentang kebijakan pemerintah mengenai asas tunggal Pancasila dan larangan memakai jilbab.
Namun, imbauan itu ternyata tidak diindahkan. Hingga, seorang tentara bernama Sertu Hermanu berupaya menurunkan pamflet tersebut, namun tindakannya menimbulkan kemarahan warga. Rumor menyebar mengenai tindakan yang dianggap tidak sopan, termasuk masuk ke musala dengan sepatu lars dan menggunakan air kotor untuk menghapus pamflet. Ketegangan meningkat ketika massa membakar sepeda motor Hermanu, dan empat pengurus musala ditangkap dengan alasan melakukan tindak pidana.
Pada malam 12 September, protes besar digelar, dipimpin oleh Amir Biki yang menyerukan pembebasan tahanan. Ketika massa berusaha menuju Kodim Jakarta Utara, mereka dihadang oleh aparat. Situasi semakin memburuk ketika aparat menggunakan kekerasan untuk membubarkan aksi demonstrasi tersebut.
Rentetan tembakan menghujani peserta aksi, menyebabkan banyak korban berjatuhan. Menurut catatan Komnas HAM, setidaknya 55 orang terluka dan 23 orang meninggal dunia akibat tindakan represif negara dalam tragedi Tanjung Priok, serta ratusan orang ditangkap.
Tragedi Tanjung Priok bukan hanya mencerminkan brutalitas tindakan negara, tetapi juga menunjukkan bagaimana suara rakyat sering kali diabaikan dalam sistem pemerintahan yang otoriter. Sampai saat ini pemerintah belum menjalankan kewajibannya memberikan keadilan bagi korban.
KOMPAS/BAMBANG SUKARTIONO
Suasana Pascarusuh di Tanjungpriok, Jakarta Utara, pada hari Kamis, 13 September 1984, paska terjadinya kerusuhan yang disertai aksi bakar-membakar pada Rabu malam, 12 September. Sejumlah orang dilaporkan meninggal dalam peristiwa ini.
Tragedi Semanggi II (24 September 1999)
Peristiwa ini bermula dari keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengesahkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) pada 23 September. Keputusan tersebut bukanlah titik awal ketidakpuasan, melainkan puncak dari serangkaian demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa sejak awal bulan September. Unjuk rasa ini tidak hanya berlangsung di Jakarta, tetapi juga menyebar ke berbagai daerah, mencerminkan ketidakpuasan yang meluas di kalangan masyarakat.
Aksi demonstrasi ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran bahwa RUU PKB berpotensi mengancam keberlangsungan agenda reformasi, terutama terkait dengan penghapusan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Banyak kalangan waktu itu memandang, UU PKB akan dijadikan dasar hukum bagi ABRI untuk memudahkan operasi militer. Selain itu, UU dinilai berpotensi melumpuhkan gerakan masyarakat sipil.
Setelah DPR menyetujui RUU PKB, ribuan orang berbondong-bondong menuju kawasan Senayan untuk menyuarakan penolakan mereka. Mahasiswa, buruh, aktivis partai politik, serta lembaga non-pemerintah bersatu untuk menuntut pembatalan undang-undang tersebut.
Aksi yang bertujuan untuk memajukan demokrasi dan memperjuangkan hak-hak rakyat ini, sayangnya, berujung tragis. Tekanan demonstran yang begitu tinggi dan sengit untuk menolak RUU direspon dengan tindakan represif dari ABRI. Alhasil, bentrokan tidak terhindarkan, menyebabkan pertumpahan darah, yang mengakibatkan banyak korban.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebut sebanyak 11 warga sipil tewas dan 217 lainnya luka-luka. Salah satu korban adalah Yun Hap. Jenazahnya ditemukan di kamar jenazah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada 25 September 1999, pukul 03.00 dini hari. Ia mengalami luka tembak di punggung kiri atas, dan hasil pemeriksaan forensik menunjukkan bahwa ia meninggal akibat tembakan peluru tajam. Yun Hap terpisah dari rekan-rekannya ketika aparat membubarkan massa yang berdemonstrasi di sekitar Semanggi.
Untuk mengusut kasus ini, dibentuk Tim Pencari Fakta Independen (TPFI) yang terdiri dari berbagai pakar. Harian Kompas pada 28 September 1999 melaporkan bahwa TPFI menemukan adanya dua kelompok prajurit yang terlibat dalam penembakan brutal terhadap massa di sekitar Jalan Jenderal Sudirman. Berdasarkan hasil rekonstruksi yang dilakukan, Sekretaris TPFI, Dr. Ir. Dadan Umar Daihani, menjelaskan kronologi kejadian. Sekitar pukul 20.30, terdengar tembakan dari jarak jauh, diikuti oleh iring-iringan mobil yang mengangkut tentara, yang kemudian dikenal sebagai kelompok tembak pertama.
Semakin larut malam, suara tembakan semakin mendekat, memaksa mahasiswa dan penduduk untuk berlarian mencari perlindungan. Yun Hap terkena tembakan ketika ia berusaha melarikan diri menuju Rumah Sakit Jakarta, sekitar pukul 20.40. Di saat bersamaan, kelompok tembak kedua muncul dan menyebabkan korban lainnya.
Hingga saat ini, lebih dari dua decade berlalu, penyelesaian kasus Semanggi II yang terjadi pada 1999 masih berada dalam ketidakpastian. Tidak ada upaya serius pemerintah untuk menuntaskan kasus ini. Semakin ironis, pada 16 Januari 2020 Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam rapat kerja bersama komisi III DPR juga menyatakan bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukan merupakan kasus pelanggaran HAM Berat.
KOMPAS/SUHARTONO
Suasana kerusuhan tragedi Semanggi II di sepanjang Jalan Gatot Soebroto dari arah Gedung DPR menuju jembatan Semanggi. Tragedi ini diawali dengan aksi mahasiswa dan rakyat menentang RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB).Tokoh-tokoh partai politik, mahasiswa, buruh, lembaga nonpemerintah, profesional, dan kelompok masyarakat sipil lainnya, Sabtu (25/9/1999), mengutuk tindakan (penembakan) brutal aparat keamanan (TNI/Polri) yang mengakibatkan enam orang tewas dan lebih dari 100 luka-luka dalam Tragedi Semanggi II, 23-24 September 1999.
Pembunuhan Munir Said Thalib (7 Septmber 2004)
Pada 7 September 2004, dunia hak asasi manusia Indonesia berduka dengan tewasnya Munir Said Thalib dalam penerbangan Garuda Indonesia rute Jakarta – Singapura – Amsterdam. Kematian Munir, yang dikenal sebagai aktivis pembela hak asasi manusia, mengundang perhatian luas karena hasil otopsi menunjukkan bahwa ia meninggal akibat racun arsenik. Dosis racun yang ditemukan dalam tubuhnya, menurut ahli forensik, cukup untuk membunuh dua gajah sekaligus. Pemberitaan Harian Kompas pada 8 September 2004 mengungkapkan bahwa Munir meninggal sekitar dua jam sebelum pesawatnya mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam, pada pukul 08.10 waktu setempat.
Menurut Usman Hamid, eks Anggota Tim Pencari Fakta kasus Pembunuhan Munir, pembunuhan Munir bukanlah kejahatan biasa. Ini adalah kejahatan luar biasa yang terjadi secara sistematis, dengan indikasi kuat keterlibatan petinggi negara, terutama unsur intelijen yang menyalahgunakan wewenang mereka. Keterlibatan ini mencakup penggunaan orang-orang tertentu di penerbangan milik pemerintah untuk menjalankan aksi keji tersebut. Motif di balik pembunuhan ini erat kaitannya dengan perjuangan Munir untuk mereformasi sistem keamanan dan kontrol sipil dalam demokrasi di Indonesia.
Sejak akhir 1980-an, Munir telah terlibat dalam konfrontasi dengan militerisme Orde Baru. Ia mulai berkiprah sebagai sukarelawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya pada tahun 1989 dan kemudian menjabat sebagai ketua LBH pada tahun 1991. Karirnya semakin cemerlang ketika ia pindah ke Jakarta, di mana ia menjadi koordinator Komite Solidaritas untuk Buruh Surabaya pada tahun 1994 dan anggota Presidium Nasional Komisi Independen Pemantauan Pemilihan Umum (1997–2000).
Munir juga merupakan pendiri dan koordinator Komisi Independen Pemantauan Pelanggaran HAM (1996) serta anggota Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor Timur pasca kerusuhan 1999. Ia terlibat dalam penyusunan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada tahun 2000 dan menjadi penasihat hukum dalam berbagai kasus, termasuk kemelut di Timor Timur dan penghilangan paksa aktivis politik.
Sebelum kematiannya, Munir aktif mengkritik sejumlah Rancangan Undang-Undang, termasuk RUU Badan Intelijen Negara dan RUU TNI Tahun 2004. Suaranya yang kritis terhadap kebijakan yang dianggap represif membuatnya menjadi sasaran kelompok-kelompok yang tidak ingin perubahan.
Setelah pembunuhan, proses hukum terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat dimulai. Dalam fakta persidangan, terungkap bahwa kematian Munir merupakan hasil dari konspirasi yang melibatkan operasi intelijen. Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda, tertuduh berperan dalam pembunuhan tersebut. Ia sempat dijatuhi hukuman 20 tahun penjara, yang kemudian dikurangi menjadi 14 tahun setelah mengajukan peninjauan kembali. Pollycarpus akhirnya bebas bersyarat pada November 2014 dan dinyatakan bebas murni pada Agustus 2018.
Namun, kasus ini masih menyimpan banyak misteri. Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) menyebutkan adanya lima nama terduga aktor di balik pembunuhan ini, termasuk Muchdi Pr dan mantan Kepala Badan Intelijen Negara Abdullah Mahmud Hendropriyono. Rekomendasi ini diharapkan untuk didalami lebih lanjut oleh pihak berwenang.
Namun, hingga saat ini, usaha untuk mengungkap kebenaran mengenai pembunuhan Munir belum mencapai hasil optimal. Laporan Tim Pencari Fakta Munir yang diserahkan kepada Presiden tidak pernah dipublikasikan secara utuh, sehingga masyarakat Indonesia tetap tidak mengetahui secara detail tentang konstruksi konspirasi yang melatarbelakangi pembunuhan Munir. Kejelasan dan keadilan belum juga terwujud.
KOMPAS/DANU KUSWORO
Jumpa pers berkaitan dengan dikembalikannya empat korban penculikan, Minggu (27 Agustus 2000), di kantor Kontras, Jakarta.
Pembunuhan Salim Kancil (26 September 2015)
Pada 26 September 2015, Salim dibunuh dalam sebuah peristiwa keji yang melibatkan sekitar 40 orang preman yang disuruh oleh Kepala Desa Haryono. Salim, yang dikenal sebagai pejuang lingkungan, menjadi sasaran karena aktivitasnya bersama Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Selok Awar-Awar, yang menentang penambangan pasir ilegal yang merusak lingkungan desa mereka.
Salim Kancil lahir pada 22 April 1969 dan memiliki lahan sawah seluas 1,5 hektar. Lahan ini adalah satu-satunya sumber penghidupan bagi keluarganya. Namun, sejak 2013, dampak dari penambangan pasir di sekitar pesisir Watu Pecak mulai mengganggu kehidupan para petani, termasuk Salim.
Akibat penambangan pasir illegal, saluran irigasi rusak dan tanaman padi tidak dapat tumbuh akibat air laut yang menggenangi persawahan. Selain merusak lingkungan, penambangan ini juga mengancam kesehatan warga melalui debu yang bertebaran, serta menghilangkan akses terhadap warisan budaya dan permukiman yang layak.
Sebagai respons terhadap masalah ini, Salim dan 12 anggota forum lainnya mulai beraksi menentang penambangan pasir. Mereka berkali-kali menggelar aksi damai untuk meminta penghentian aktivitas penambangan.
Akibat aktivitas tersebut, Salim dan rekan-rekannya menerima ancaman dan intimidasi. Puncaknya pada 26 September 2015, sejumlah anggota Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Selok Awar-Awar mendapatkan serangan dari preman-preman. Salim menjadi salah satu target utama karena suaranya yang vokal.
Pada pagi hari itu, Salim disergap di rumahnya. Salim dikeroyok sekitar 40 orang dengan menggunakan sejumlah senjata tajam, batu, hingga kayu. Tindakan penganiayaan berlanjut dengan menyeret Salim sejauh 2 kilometer menuju balai desa. Salim dianiaya dengan cara dipukul pada bagian kepala menggunakan batu dan benda keras lainnya. Sederet perlakukan keji pun terus dilakukan hingga Salim meninggal.
Sebelum penganiayaan terhadap Salim, rekannya, Tosan, juga dianiaya oleh kelompok preman. Tosan lolos dari maut setelah massa menghentikan penganiayaan terhadap Tosan. Pada waktu itu, Tosan berpura-pura telah meninggal. Akibat penganiayaan itu, Tosan mengalami luka berat dan harus dirawat untuk waktu yang panjang.
Setelah insiden tragis yang menewaskan Salim, sebanyak sepuluh orang ditetapkan sebagai tersangka. Lembaga Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur mengemukakan bahwa peristiwa ini merupakan pembunuhan berencana, hingga masalah ini menjadi sorotan di tingkat nasional.
Untuk mengungkap kasus pembunuhan tersebut, tim khusus juga dibentuk oleh Komisi Hukum DPR RI untuk menyelidiki kematian Salim Kancil secara komprehensif. Pada 1 Oktober, Haryono, Kepala Desa Selok Awar-Awar, ditetapkan sebagai tersangka utama. Ia terbukti terlibat dalam penganiayaan serta menjadi otak dari pengelolaan tambang ilegal di daerah tersebut.
Dalam persidangan, jaksa penuntut umum menuntut hukuman penjara seumur hidup bagi Haryono dan Mad Dasir, yang berperan sebagai orang suruhan. Keduanya didakwa melanggar Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.
Namun, putusan sidang yang dijatuhkan mengejutkan banyak pihak. Haryono dan Mad Dasir dijatuhi hukuman 20 tahun penjara, sedangkan delapan terdakwa lainnya mendapatkan hukuman 12 tahun. Dua pelaku yang masih di bawah umur dijatuhi hukuman 3,6 tahun. Keputusan ini memicu kekecewaan di kalangan keluarga korban yang merasa hukuman tersebut tidak setimpal dengan tindakan yang dilakukan. Kasus ini menjadi pengingat akan perlunya penegakan hukum yang adil dan tegas, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan kekerasan terhadap petani dan masyarakat lokal.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Aksi Keprihatinan Tewasnya Salim Kancil – Sejumlah aktivis Kamisan di Bandung menggelar aksi di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, untuk keprihatinan tewasnya Salim Kancil, Kamis (1/10). Mereka mempertanyakan penegakkan hukum atas legalnya kejahatan lingkungan yang berujung pada aksi barbar pembunuhan Salim Kancil (52) warga Lumajang, Jawa Timur, yang dibunuh dengan sadis oleh puluhan orang yang melibatkan Kepala Desa akibat menolak penambangan pasir pada 26 September lalu.
Kekerasan Terhadap Massa pada Aksi Reformasi Dikorupsi (24-30 September 2019)
Pada tanggal 24 September 2019, Indonesia menyaksikan salah satu demonstrasi terbesar yang melibatkan mahasiswa sejak Reformasi 1998. Aksi ini dipicu oleh pengajuan pembahasan Omnibus Law serta beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) oleh pemerintah tanpa melibatkan partisipasi publik. Mahasiswa dari berbagai daerah berkumpul dengan semangat dan kemarahan untuk menyampaikan tuntutan mereka.
Demonstrasi ini berawal dari penolakan mahasiswa terhadap revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan pengesahan sejumlah RUU yang dianggap bermasalah. Mereka secara tegas menyampaikan mosi tidak percaya kepada DPR, yang dinilai acuh tak acuh terhadap kritik publik terkait revisi UU KPK yang telah disahkan. Mahasiswa merasa bahwa semangat reformasi yang diperjuangkan selama ini telah dikorupsi.
Kritikan mahasiswa tidak hanya tertuju pada UU KPK, tetapi juga pada Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Pertanahan, dan RUU Minerba. Masyarakat sipil telah berulang kali menyuarakan penolakan terhadap RUU ini, tetapi sayangnya suara mereka tidak didengar. Anggota DPR bahkan terkesan meremehkan aspirasi mahasiswa, menolak untuk menemui mereka saat aksi damai berlangsung pada 19 September 2019. Sikap ini semakin memicu kemarahan mahasiswa, yang akhirnya memuncak dalam aksi bertema #ReformasiDikorupsi.
Aksi ini awalnya dimulai di Jakarta, namun cepat meluas menjadi gerakan nasional. Antara 23 hingga 30 September 2019, demonstrasi berlangsung di berbagai kota besar di Indonesia, termasuk Malang, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Palembang, Medan, Semarang, Bandung, Denpasar, Kendari, Tarakan, Samarinda, Banda Aceh, dan Palu.
Rangkaian aksi tersebut tidak lepas dari kericuhan antara aparat keamanan dan peserta demonstrasi. Berbagai video yang beredar di media sosial menunjukkan aksi kekerasan dari pihak kepolisian, termasuk pemukulan dan penggunaan benda tumpul terhadap demonstran yang sudah tidak berdaya. Di Jakarta, sekitar 90 demonstran dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), di mana tiga di antaranya mengalami luka serius di bagian kepala dan memerlukan perawatan intensif.
Di berbagai daerah, situasi serupa terjadi. Meskipun beberapa demonstrasi dimulai dengan damai, banyak yang berakhir dalam bentrokan dengan aparat. Kontras melaporkan bahwa aksi-aksi ini mengakibatkan lima orang meninggal dunia, yakni dua mahasiswa di Sulawesi Tenggara, seorang warga dan dua pelajar di Jakarta.
Tim Advokasi untuk Demokrasi mencatat setidaknya 390 laporan tentang tindak kekerasan yang dilakukan oleh polisi dalam penanganan aksi ini, dengan 10 hingga 15 pengaduan di antaranya akan dibawa ke ranah hukum. Pengacara dari LBH Jakarta, Sutista Dirga, yang tergabung dalam tim advokasi, menyatakan bahwa kekerasan umumnya terjadi saat penangkapan dan interogasi, disertai dengan intimidasi verbal.
Aksi demonstrasi ini menjadi cerminan kekuatan suara mahasiswa dan masyarakat sipil dalam menuntut transparansi serta akuntabilitas dari pemerintah dan lembaga legislatif. Mereka berjuang untuk memastikan bahwa hak-hak publik didengar dan dihargai dalam proses pembuatan kebijakan.Tindakan represi dari aparat berujung pada kekerasan kepada para peserta aksi. Dua mahasiswa di Sulawesi Tenggara, seorang warga, dan dua pelajar di Jakarta menjadi korban tewas dalam aksi unjuk rasa tersebut.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Kericuhan terjadi saat polisi berusaha membubarkan aksi massa penolak hasil pemilu di depan Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Rabu (22/5/2019). Aksi berakhir ricuh saat peserta aksi melakukan pelemparan ke pasukan pengaman.
Pembunuhan Pendeta Yeremia (19 September 2020)
Kematian Pendeta Yeremia Zanambani pada 19 September 2020 di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, menambah panjang daftar kekerasan yang terjadi di wilayah tersebut. Pendeta Yeremia, yang merupakan pemimpin Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) di Hitadipa, ditemukan tewas dengan luka tusuk dan tembakan. Terduga pelaku adalah anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang bertugas di Komando Rayon Militer Persiapan Hitadipa.
Menurut laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dirilis pada 2 November 2020, kematian Yeremia terkait dengan serangkaian peristiwa yang terjadi antara 17-19 September 2020. Pada 17 September, Serka Sahlan, anggota Koramil Persiapan Hitadipa, ditembak mati oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB), dan senjatanya hilang dirampas. Kejadian ini mendorong pencarian senjata yang dirampas oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Sebagai bagian dari upaya tersebut, warga dikumpulkan dan diminta untuk mengembalikan senjata dalam waktu 2-3 hari. Dalam proses ini, nama Pendeta Yeremia bersama lima nama lainnya disebut-sebut sebagai musuh oleh salah satu anggota Koramil.
Pada 19 September, situasi semakin memanas. Seorang anggota TNI, Prajurit Satu Dwi Akbar Utomo, juga menjadi korban tembakan oleh KKB. Pada saat yang sama, sebuah tim yang dipimpin oleh Wakil Komandan Koramil Persiapan Hitadipa, Alpius, melakukan penyisiran untuk mencari senjata api yang hilang.
Saksi-saksi mengindikasikan bahwa Alpius terlibat dalam penembakan terhadap Pendeta Yeremia. Keterangan dari istri korban dan beberapa saksi lainnya menunjukkan bahwa Alpius adalah pelaku penembakan. Investigasi Komnas HAM di lokasi kejadian menemukan luka tembak di lengan kiri dan leher Yeremia, menandakan adanya kontak fisik dekat antara korban dan pelaku. Rekonstruksi kejadian menunjukkan bahwa Pendeta Yeremia ditembak dari jarak kurang dari satu meter, dan ia ditemukan oleh istrinya dalam keadaan terluka sekitar pukul 17.50.
Meskipun mengalami luka serius, Yeremia sempat menceritakan kejadian yang menimpanya sebelum meninggal akibat kehilangan darah. Di lokasi kejadian, tim menemukan sedikitnya 19 lubang yang diduga bekas tembakan, mengindikasikan upaya untuk mengaburkan fakta. Selain itu, satu proyektil utuh dan beberapa serpihan ditemukan, meskipun ada satu proyektil yang hilang.
Komnas HAM menyimpulkan bahwa kematian Pendeta Yeremia adalah akibat dari tindakan ekstra yudisial. Meskipun Komnas HAM telah mengidentifikasi terduga pelaku sebagai anggota TNI, pihak kepolisian berpendapat bahwa kesimpulan tersebut terlalu dini dan penyelidikan mereka masih berlangsung. Proses hukum yang lamban dan cenderung tertutup memperlihatkan adanya potensi impunitas, di mana tindakan kekerasan oleh aparat tidak mendapatkan sanksi yang memadai.
ARSIP KOMPAS
Pengamanan kegiatan otopsi di makam Pendeta Yeremia Zanambani, di Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, Sabtu (5/6/2021).
Kekerasan di Pulau Rempang (7 September 2023)
Konflik agraria di Pulau Rempang bermula ketika Badan Pengusahaan (BP) Batam berencana merelokasi seluruh penduduk Rempang, yang jumlahnya lebih kurang 7.500 jiwa. Hal itu dilakukan untuk mendukung rencana pengembangan investasi di Pulau Rempang.
Di Pulau Rempang akan dibangun kawasan industri, jasa, dan pariwisata. Proyek yang digarap PT Makmur Elok Graha (MEG) itu ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada 2080.
Sebelumnya, Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat), Gerisman Ahmad, menegaskan bahwa di Pulau Rempang terdapat 16 kampung tua, yang dihuni oleh masyarakat asli, termasuk Suku Melayu, Suku Orang Laut, dan Suku Orang Darat. Mereka telah mendiami pulau ini setidaknya sejak tahun 1834. Menurut Gerisman, proyek Rempang Eco City seharusnya dapat dilaksanakan tanpa harus menggusur permukiman adat, mengingat luas 16 titik permukiman tersebut tidak lebih dari 10 persen dari total luas pulau yang mencapai 17.000 hektar.
Konflik mencapai puncaknya pada 7 September 2023, saat terjadi bentrokan di Jembatan Barelang IV. Ratusan warga berusaha menghadang aparat gabungan yang datang untuk mematok dan mengukur lahan terkait proyek tersebut. Kepala Polresta Barelang, Komisaris Besar Nugroho Tri Nuryanto, menyatakan bahwa sekitar 1.010 aparat dari Polri, TNI, Satpol PP, dan Direktorat Pengamanan BP Batam dikerahkan untuk mengawal proses pengukuran dan pematokan lahan.
Dari keterangan saksi, bentrokan terjadi saat aparat mulai merangsek ke arah warga. Situasi semakin memanas ketika warga melempari aparat, yang kemudian merespons dengan menggunakan water cannon dan gas air mata. Insiden ini juga berdampak pada sekolah-sekolah di sekitarnya. SMP Negeri 22 Galang dan SD Negeri 24 Galang menjadi lokasi yang terkena tembakan gas air mata, membuat siswa berlarian menuju hutan di belakang sekolah untuk menyelamatkan diri.
Kepala SMPN 22 Galang, Muhammad Nizab, melaporkan bahwa sejumlah proyektil gas air mata jatuh sangat dekat dengan gerbang sekolah, sehingga gas dengan cepat memenuhi ruang kelas yang dipenuhi siswa. Akibat kericuhan ini, setidaknya enam warga ditangkap, sementara puluhan lainnya, termasuk perempuan dan anak-anak, mengalami dampak dari tembakan gas air mata.
KOMPAS/PANDU WIYOGA (
Aparat memadamkan kontainer yang dibakar dan digunakan warga untuk menghalangi laju aparat gabungan saat akan mengamankan pematokan dan pengukuran lahan di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (7/9/2023).
Refleksi September
Berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di bulan ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua akan tanggung jawab kolektif dalam memperjuangkan keadilan.
Kita harus mengakui bahwa pelanggaran HAM bukan hanya sebuah angka dalam statistik atau sebuah berita di media. Mereka adalah narasi nyata dari penderitaan individu, keluarga, dan komunitas. Sebagai rakyat, penting bagi kita untuk tidak hanya mengingat peristiwa-peristiwa tersebut, tetapi juga memahami dampak mendalam yang ditimbulkannya. Setiap pelanggaran merupakan pengingat bahwa hak-hak asasi manusia tidak selalu dijunjung tinggi, bahkan oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindung.
Peran negara dan aparat keamanan dalam penanganan pelanggaran HAM sangat krusial. Negara, sebagai representasi dari kita semua, memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk melindungi setiap individu tanpa kecuali. Namun, sering kali kita melihat praktik sebaliknya; tindakan represif, penyiksaan, dan penangkapan sewenang-wenang justru marak terjadi. Hal ini menciptakan iklim ketidakpercayaan yang mendalam antara rakyat dan pemerintah.
Dalam konteks ini, penting untuk menekankan bahwa penanganan pelanggaran HAM bukan sekadar urusan hukum, tetapi juga sebuah keharusan moral. Kita perlu terus mendorong pemerintah untuk mengambil langkah-langkah konkret dalam mengakui dan menangani pelanggaran yang telah terjadi. Ini bukan hanya untuk memberikan keadilan kepada para korban, tetapi juga untuk memastikan bahwa sejarah kelam tidak terulang. Langkah-langkah seperti pengadilan yang adil, reparasi bagi korban, dan pendidikan tentang hak asasi manusia harus menjadi bagian integral dari kebijakan publik.
September seharusnya menjadi momen refleksi. Keceriaan tidak bisa berdiri sendiri tanpa kesadaran akan hak asasi manusia. Dengan mengakui pelanggaran yang ada dan menuntut keadilan, kita membuka jalan menuju masa depan yang lebih baik, di mana setiap individu, tanpa kecuali, dihormati dan dilindungi hak-haknya. (LITBANG KOMPAS)
Artikel terkait
Referensi
- Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra.
- “TPFI: Dua Kelompok Aparat Lakukan Penembakan * Demonstrasi Mahasiswa,” Kompas, 28 September 1999.
- “Perginya Pahlawan Orang Hilang,” Kompas, 8 September 2004.
- “Suciwati dan Usman Hamid Menyusul ke Amsterdam,” Kompas, 8 Septmebr 2004.
- “Dugaan Pelanggaran HAM Saat Aksi ”Reformasi Dikorupsi” Menguat,” Kompas, 11 Maret 2020.
- “Tindakan Represif Aparat Keamanan Dikecam,” Kompas, 27 September 2019.
- “Tindakan Eksesif Polisi, Langkah Mundur Reformasi Kepolisian,” Kompas, 29 September 2019.
- “Komnas HAM: Pendeta Yeremia Ditembak dari Dekat,” Kompas, 2 November 2020.
- “Polisi Belum Bisa Simpulkan Pembunuh Pendeta Yeremia,” Kompas, 3 November 2020.
- “Peristiwa Tanjung Priok 1984: Latar Belakang, Tragedi Kerusuhan, dan Penyelesaian Pelanggaran HAM,” Kompaspedia, 13 September 2021.
- “Bahaya Pembungkaman dan Penghasutan,” Kompas, 22 September 2021.
- “Jalan Berliku Mengungkap Pembunuhan Munir,” Kompaspedia, 16 September 2022.
- “Bentrokan di Pulau Rempang, Belasan Siswa Pingsan karena Gas Air Mata,” Kompas, 7 September 2023.
- “Memahami Kasus Pulau Rempang,” Kompas, 14 September 2023.
- “Komnas HAM Beberkan Hasil Temuan dalam Kasus Penembakan Pendeta Yeremia,” diakses dari komnasham.go.id pada 27 September 2024.
- “Pembunuhan Pendeta Yeremia: Empat Tahun Tanpa Keadilan,” diakses dari amnesty.id pada 27 September 2024.
- “Tragedi Salim Kancil: Saat Aktivis Dikalahkan oleh Tambang,” diakses dari hmsejarah.fib.undip.ac.id pada 27 September 2027.
- “Satu Tahun Kematian Salim Kancil,” diakses dari jatam.org pada 27 September 2024.
- “Butuh kemauan politik untuk ungkap tuntas kasus Munir,” diakses dari amnesty.id pada 27 September 2024.
- “Keterangan Pers Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tentang Temuan Awal Peristiwa Terhadap Salim Kanci dan Tosan di Selok Awar-Awar Kabupaten Luamajang,” diakses dari komnasham.go.id pada 27 September 2024.
- “Kertas Posisi Kontras Kasus Trisakti, Semanggi I dan II: Penantian dalam Ketidakpastian,” diakses dari kontras.org pada 27 September 2024.
- “#MasihIngat 25 Tahun Kasus Semanggi II : Kekerasan Aparat terhadap Massa Demonstrasi yang Terus Berulang,” diakses dari kontras.org pada 27 September 2024.
Artikel terkait