KOMPAS/KARTONO RYADI
Surat kabar Angkatan Bersenjata yang tidak dibredel, mencantumkan kop-kop surat kabar yang dibredel dalam beritanya tanggal 21 Januari 1978.
Fakta Singkat
- Pemberedelan media pada zaman kemerdekaan sudah ada sejak tahun 1957. Soekarno juga pernah menutup Harian Nusantara, Pedoman, dan Indonesia Raya.
- Demorakrasi Terpimpin melarang semua informasi bahkan musik dari barat sehingga buku dan koran barat dilarang masuk Indonesia.
- Menjelang peristiwa Gestapu 1965, partai politik memiliki banyak media cetak hingga terjadi perang ideologi lewat media massa yang sangat bebas. Saat itu, bahkan PKI pernah memiliki 78 media cetak yang tersebar di seluruh Indonesia.
- Pasca-diberlakukannya UU Pokok Pers Nomor 11/1966, tercatat 28 media massa dicabut surat izin terbitnya dan 2 surat kabar dicabut surat izin cetaknya.
- Media massa yang diberedel pada awal masa Orde Baru, yaitu Duta Masyarakat, Harian Sinar Harapan, Harian Nusantara, The Jakarta Times, dan Harian Indonesia Raya.
- Pada tahun 1978, Harian Kompas sempat ditutup selama dua minggu karena memberitakan isu aksi mahasiswa yang menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden.
- Dengan menggunakan UU Pokok Pers Nomor 21/1982, pemerintah memberedel 11 media massa dengan mencabut SIUPP nya termasuk Tempo dan DeTik pada tahun 1994.
- Pada Era Reformasi, pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers untuk menggantikan UU Pokok Pers Nomor 11/1966 dan dihilangkannya posisi Menteri Penerangan.
Media massa seperti koran harian, mingguan, ataupun bulanan merupakan media penyampai berita pada masyarakat. Sejak sebelum Indonesia merdeka, platform penyampai informasi ini sangat berguna ikut membakar semangat revolusi kemerdekaan. Setelah Indonesia merdeka, kaum pergerakan semakin bersemangat terhadap tumbuhnya media cetak pasca-kemerdekaan.
Pers tidak berdiri sendiri, sebab pers tidak dapat hidup tanpa masyarakat, sehingga wajah pers sangat tergantung pada situasi sosial dan politiknya. Pers adalah institusi sosial atau lembaga masyarakat. Hubungan antara masyarakat sebagai audiens dan pers sebagai institusi saling membutuhkan. Pers memberitakan dan masyarakat mengonsumsi produk jurnalismenya.
Kebebasan pers selalu menjadi tantangan di negara manapun, baik di negara-negara barat maupun di Asia. Di negara barat, kebebasan pers seringkali dipertentangkan dengan pemerintah. Oleh karena itu, tidak ada pers yang sama sekali bebas karena selalu berada dalam sistem politik dan aturan rezim yang sedang berjalan pemerintahannya.
Sementara itu, di negara berkembang kebebasan pers dituntut untuk menunjang pembangunan. Pada masa Orde Baru, pers seringkali disebut sebagai pers pembangunan. Kebebasan dan kreatifitas gagasan berita dituntut untuk tujuan memajukan pembangunan.
ARSIP KOMPAS
Satu-satunya foto saat harian Kompas dibreidel oleh pemerintah (21/01/1978). St Sularto (dikerubungi, berbaju putih), Purnama K (di belakang Sularto), Indrawan Sasongko (wajah menghadap Sularto) saat Kompas Dibreidel, tak boleh terbit selama dua minggu pada tahun 1978, karena nekat memberitakan demonstrasi mahasiswa. Ada larangan dari Departemen Penerangan untuk memberitakan aksi-aksi protes mahasiswa.
Pers Era Orde Lama
Pada tahun 1957, pemerintah Orde Lama pernah melakukan penahanan, sanksi ekonomi, sanksi perizinan bahkan pemenjaraan terkait dengan pemberitaan media. Bahkan surat kabar Harian Indonesia Raya, Pedoman, dan Nusantara dibubarkan pada Era Soekarno.
Di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, tercipta kondisi di mana politik adalah panglima, maka informasi pun harus sesuai dengan arah haluan politik. Soekarno melarang musik dan buku atau informasi dari barat, sehingga pada masa Orde Lama peredaran buku ataupun barang cetakan dari luar negeri dilarang. Soekarno juga mewajibkan setiap perusahaan pers memiliki Surat Izin Terbit.
Selain itu, Presiden Soekarno pernah mengeluarkan Penetapan Presiden atau Penpres Nomor 4 Tahun 1963 tentang aturan barang cetakan dari dalam maupun luar negeri. Semua barang cetakan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 3 adalah buku, brosur, surat kabar harian, majalah atau penerbitan, seperti poster dan surat yang disebarkan untuk khalayak ramai. Oleh sebab itu, harus dilaporkan pada Kejaksaan Negeri setempat untuk mendapat tanda tangan sebelum disebarluaskan.
Kejaksaan memiliki hak untuk melarang peredaran barang cetakan tersebut jika isinya dianggap bertentangan dengan jalannya Revolusi Indonesia ataupun dianggap mengganggu ketertiban masyarakat umum. Pihak penerbit harus mencantumkan nama dan alamat pada barang cetakan mereka, dan jika melanggar, penerbitnya dapat dikenakan denda.
Salah satu tujuan dari Penetapan Presiden Nomor 4/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum adalah untuk mengontrol informasi yang disebarluaskan pada masyarakat, apalagi jika sumbernya dari luar negeri.
Melalui Penetapan Presiden tersebut, pemerintah dapat mengambil alih barang cetakan itu untuk diamankan, ataupun Kejaksaan dapat langsung mencegah penyebaran informasi dari luar negeri. Situasi politik saat itu harus mendukung gagasan besar Revolusi arahan Presiden Soekarno, tetapi masyarakat masih mendapatkan informasi karena Partai Komunis Indonesia (PKI) pernah memiliki 78 media cetak di seluruh Indonesia.
Setelah terjadi peristiwa berdarah Gerakan Tiga Puluh September (Gestapu), pemerintah melarang beberapa penerbitan yang memiliki unsur komunisme dan Gestapu dengan terbitnya SK Menpen Nomor 112 Tahun 1965. Namun, saat itu tidak langsung diterapkan karena banyak penolakan dari berbagai kelompok masyarakat yang diwakili oleh partai politik, seperti NU, Sekber Golkar, IPKI, Parkindo, Partai Katolik, PSII, PERTI, dan Muhammadiyah. SK Menpen tersebut dapat membunuh media massa yang mendukung pemerintah dan ikut mengganyang peristiwa Gerakan Tiga Puluh September.
Kemudian pada 3 Desember 1965, Kepala Direktorat Pers dan Humas Departemen Penerangan, Kolonel Dharsono memanggil para pemimpin surat kabar tentang pengumuman media cetak yang masih boleh beredar. Dalam hal ini Departemen Penerangan menjadi pembina pers dalam era Demokrasi Terpimpin. Tentu saja, semua media bentukan PKI ataupun media pendukung PKI dan yang masih berkaitan dengan Gestapu dilarang terbit.
Menanggapi berbagai perubahan yang terjadi, insan pers Indonesia melakukan seminar Kebebasan Pers pada 4–5 Mei 1966 yang menghasilkan kesepakatan, yaitu mengembalikan kebebasan pers dengan mencabut Penpres Nomor 4/1963 dan Penpres Nomor 6/1963 serta aturan-aturan yang berada di bawahnya.
Insan pers menuntut agar wartawan Mochtar Lubis yang sudah ditahan pemerintah selama 9 tahun lamanya agar dibebaskan. Tuntutan lainnya termasuk mengembalikan unit percetakan milik swasta nasional yang dikuasai pemerintah pada tahun 1960–1961 pada pemilik yang berhak serta memberikan hak bekerja pada wartawan. Selain itu, persatuan wartawan juga meminta agar pemerintah mengeluarkan aturan atau undang-undang yang melarang bekas Gestapu/PKI dan golongan plin-plan bekerja dalam perusahaan pers.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Sejumlah pewarta dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, seniman, dan beberapa elemen masyarakat bersama-sama menggelar aksi peringatan Hari Kebebasan Pers Internasional di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (3/5/2014). Dalam aksi peringatan ini juga membagikan pamflet berisi ajakan peningkatan profesionalisme jurnalis serta kebebasan pers serta tuntutan pengusutan berbagai kasus kekerasan yang menimpa jurnalis dalam tugasnya.
Pers pada Era Orde Baru
Pada awal tahun 1966, mulai muncul usulan dibentuknya Undang-Undang Pokok Pers yang dimaksudkan agar pers lebih bertanggung jawab pada masyarakat dan tidak sekedar mencari sensasi atau bahkan untuk mengintimidasi.
Pengalaman perang ideologis lewat media massa sebelum pecah Gestapu menjadikan titik balik bagi media massa Indonesia. Saat itu, media massa justru menjadi teror dalam masyarakat untuk menyerang kelompok yang berbeda pandangan. Namun, di sisi lain perlu dipertimbangkan pentingnya peran pers dalam demokrasi sehingga Undang-Undang Pokok Pers harus menjamin hak hidup pers dan memerdekaan pers.
Dalam Konferensi Kerja Pers PWI pada Oktober 1966, Ketua Presidium Kabinet Ampera, Jenderal Soeharto menyampaikan pidato agar media massa menggunakan pers untuk alat pembangunan dan pembina pendapat umum agar tercipta stabilitas politik, ekonomi dan sosial.
Setelah berakhirnya era Orde Lama, Soeharto juga meminta agar pers tidak lagi menjadi alat untuk teror dan kontra teror, justru media dapat menjadi alat untuk mengatasi konfrontasi psikologis dan konfrontasi fisik yang terjadi di masyarakat.
Kebebasan pers dilihat semakin penting maka dalam rapat kerja antara pimpinan DPRGR dan Menteri Kehakiman Profesor Umar Seno Adji dan wakil pemerintah Mayjen Sugiharto sepakat bahwa peraturan mengenai surat kabar harus bersumber dari undang-undang pokok pers. Pasal 2 ayat 3 dari Penpres 4 Tahun 63 dianggap tidak berlaku lagi, sehingga pemberedelan dan sensor dihapus. Hal ini tentu saja disambut baik oleh kalangan pers khususnya Ketua PWI.
Dorongan dibentuknya undang-undang pokok pers semakin menguat baik dari kalangan pers maupun masyarakat atau parlemen, maka dibentuklah Panitia Peninjuan SK Menpen 112/1965. Pada 20 April 1966 Menteri Penerangan W.J. Rumambi mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 22/SK/M/1966 tentang Norma-norma Pokok Pengusahaan Pers dan mencabut SK Nomor 112/SK/M/1965.
Bersadarkan langkah tersebut, pemerintah memberikan izin pada kelompok usaha yang masuk kriteria surat kabar harian mendapat izin terbit. Sedangkan kelompok yang berasal dari parpol atau golongan lain harus mendapat izin dari Menpen untuk menerbitkan surat kabar harian. Jika membentuk pers nasional maka modal sepenuhnya dari dalam negeri dan bentuk perusahaan haruslah yayasan atau perusahaan milik kelompok.
Meskipun keran kebebasan pers dibuka, pemerintah melalui Ketua Panitia Peninjauan SK Menpen 112/1965, Brigjen Soetjipto SH menekankan bahwa insan pers harus memiliki rasa bertanggung jawab pada Tuhan Yang Maha Esa, Nusa Bangsa demi keselamatan Negara Republik Indonesia.
Walaupun demikian, bukan berarti pers bisa bebas menyampaikan berita apapun pada masyarakat. Hal itu terjadi ketika delapan media cetak di-breidel dan dihentikan penerbitannya karena memuat berita dan foto Bung Karno di ruang kerjanya.
Menurut Jaksa Agung Mayjen Sugih Arto, insan media tidak dilarang memberitakan tentang fakta dan kebenaran tetapi harus memahami situasi yang baru saja dirintis Orde Baru. Media dilarang memuat berita yang bertentangan dengan semangat Orde Baru. Atas nama ketertiban umum, ada 8 media cetak yang ditutup sementara, walaupun kemudian diizinkan terbit kembali.
Pada awal Orde Baru, tepatnya tahun 1967, dibentuk Dewan Pers yang diketuai oleh Menteri Penerangan. Perjalanan kebebasan informasi publik yang digaungkan pada awal Orde Baru nyatanya selalu berada dalam pengawasan pemerintah, seperti yang diungkapkan Kastaf Kopkamtib Laksamana Soedomo. Soedomo menggaungkan pemerintah tidak mengekang pers, tetapi media harus mengembangkan kebebasan pers yang bertanggung jawab, mengecek ulang informasi negatif, tidak boleh menghasut. Bahkan, jika ada perbedaan dengan pemerintah harus dilakukan secara wajar, harus menjaga kepentingan nasional.
Konsep tersebut menjadi sangat ambigu karena siapa yang berhak menentukan konsep kepentingan nasional dalam pemberitaan. Kekhawatiran itu bukanlah tanpa alasan, karena jika tidak ada standar ukuran konsep kepentingan nasional, arogansi kekuasaan dapat terjadi. Hal itu pula muncul seketika situasi politik tidak stabil, yaitu pada masa kampanye pemilihan umum tahun 1971.
Ketika Laksus Kopkamtibda Jaya (Jakarta) memerintahkan Harian Kami dan Duta Masyarakat milik NU tidak terbit pada tanggal 3 Juli 1971, dengan alasan melanggar minggu tenang kampanye. Meskipun Harian Kami terbit lagi pada 6 Juli dan Duta Masyarakat pada 7 Juli, yang menjadi pertanyaan adalah tuduhan apa yang menyebabkan dua media tersebut diberedel atau Surat Izin Terbit dibekukan sementara.
Menarik untuk dicermati karena pemberitaan yang dianggap melanggar bukan tentang kampanye, tetapi tentang orang-orang NU yang melarikan diri dari Indramayu karena intimidasi kelompok Angkatan Muda Siliwangi Golkar. Peristiwa itu membuat isu kebebasan media layak dipertanyakan kembali.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Puluhan wartawan yang tergabung dalam Komunitas Pers Indonesia (KPI) berunjuk rasa di depan Istana Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (27/7/2001). Mereka menolak gagasan dihidupkannya kembali Departemen Penerangan, yang di masa Orde Baru terbukti membelenggu kebebasan informasi dan ekspresi masyarakat.
Di masa Orde Baru kepenguruasan PWI sempat pecah menjadi dua kubu, yaitu kubu B.M. Diah dengan kubu Rosihan Anwar. Kubu B.M. Diah hanya diam dan pasif ketika kasus penangkapan wartawan karena pemberitaan Sum Kuning, sementara wartawan kubu Rosihan mengritik penangkapan tersebut dan kubu PWI yang dilantik pemerintah adalah kelompok B.M. Diah.
Kebebasan informasi melalui media massa selalu diuji oleh beragam kasus dan peristiwa yang terjadi di masyarakat. Demikian halnya dengan kasus Sum Kuning di Yogyakarta, yaitu seorang gadis bernama Sum Kuning yang mengalami perkosaan kemudian kasusnya menjadi pelik karena disinyalir adanya keterlibatan keluarga anggota Polri.
Wartawan Mingguan Pelopor Djogya, Slamet Djabarudi ditahan oleh kepolisian Yogyakarta karena pemberitaannya tentang kasus Sum Kuning. Penahanan wartawan tersebut hingga membuat mahasiswa dan insan pers Yogyakarta mengajukan protes dan meminta Djabarudi dibebaskan dari tahanan. Nyatanya Djabarudi kemudian diadili di pengadilan Yogyakarta.
Informasi yang dianggap datang dari satu arah saja yaitu penguasa dirasakan oleh kelompok masyarakat yang kritis seperti mahasiswa. Seperti mahasiswa dari Dewan Mahasiswa ITB Bandung menghadap Kopkamtib Soedomo yang mengharapkan adanya kesamaan penafsiran tentang kebebasan pers seperti dalam Pelaksanaan Instruksi No 28/74. Hal itu disebabkan masyarakat merasakan kebebasan informasi hanya satu arah saja yaitu dari pemerintah ke masyarakat dan tidak ada sebaliknya, sehingga tidak terjadi keseimbangan.
Masyarakat menginginkan terjadi keseimbangan, sehingga pers dapat mengungkapkan apa yang terjadi dalam masyarakat ke alamat pemerintah. Pertemuan yang terjadi pada Kamis, 2 Oktober 1975 tersebut dijawab sangat formal oleh Soedomo bahwa pemerintah akan mendukung terjadinya keseimbangan kebebasan informasi, dimana hal itu justru menunjukkan ketidakpuasan masyarakat pada suasana demokrasi yang ada.
Namun demikian, kebebasan pers tetaplah menjadi isu yang meresahkan bagi dunia pers, dalam pasal 28 UUD 1945 yang dirumuskan dalam UUD Pokok Pres Nomor 11 bahwa ditekankan adanya kebebasan yang bertanggungjawab. Dalam prakteknya konsepsi tersebut masih menimbulkan persoalan, perbedaan pendapat, kerisauan, prasangka, dan ketidakpastian harapan. Dalam dunia pers tidak mungkin selalu menampilkan persamaan dengan pemerintah, bisa jadi yang dihadirkan adalah dari sudut pandang yang berbeda dalam melihat persoalan.
Kebebasan pers merupakan bagian dari demokrasi Pancasila, dalam realitasnya tidak hanya dipengaruhi oleh sistim formal juga oleh realitas materil yang seringkali tidak sama seratus persen.
Sedangkan di era Orde Baru tidak boleh ada perbedaan pendapat dengan pemerintah, perbedaan pandangan dengan pemerintah dapat mengakibatkan media cetak harian atau mingguan di stop penerbitannya. Padahal dalam demokrasi Pancasila perbedaan tidak dilarang, dan yang paling tepat adalah jika perbedaan pendapat dihakimi oleh pihak ketiga yaitu pengadilan. Insan pers lebih menyukai jika dalam pengadilan itu ada tiga pihak, yaitu pemerintah, dewan pers dan hukum.
Peran pemerintah yang sangat kuat dalam kebebasan pers di masa Orde Baru juga hadir dalam wajah Pangkopkamtib saat itu yang acapkali berbicara soal kebebasan informasi. Menurut Soedomo ketika berbicara dalam pembukaan Pekan Pers Nasional yang diselenggarakan oleh Serikat Penerbit Surat Kabar, makna kebebasan pers masih diartikan bermacam-macam. Tentu saja pemerintah tidak akan mengakui bahwa kebebasan pers dibatasi oleh istilah”kebebasan yang bertanggungjawab”. Konsep yang bertanggungjawab ini menjadi sebuah beban bagi pers dalam menyampaikan informasi ke masyarakat.
Bahkan Presiden Soeharto menegaskan bahwa kebebasan informasi yang perlu dikembangkan adalah untuk mendorong munculnya kreatifitas dengan tujuan menjamin kelancaran pembangunan dan keselamatan bangsa. Menurut Soeharto kebebasan hanya untuk kebebasan tidak cocok untuk pembangunan dan Pancasila, hal itu menegaskan bahwa kebebasan informasi harus dibatasi oleh sebuah konsep pembangunan versi pemerintah.
Pada November 1976 Kaskopkamtib Laksamana Soedomo menegaskan Indonesia melarang majalah Newsweek dan jurnalisnya masuk wilayah Indonesia untuk waktu yang tidak ditentukan. Hal itu terjadi karena artikelnya tanggal 8 November 1976 yang berjudul Indonesia’s Fading Hope dianggap menghina kepala negara sebagai pimpinan nasional dan merugikan bangsa Indonesia.
Bahkan Menteri Penerangan Mashuri mengatakan bahwa Newsweek tidak lagi diizinkan beredar di Indonesia sampai majalah tersebut menindak tegas wartawan yang menulis artikel tersebut. Di masa Orde Lama Newsweek dilarang beredar di Indonesia karena haluan Demokrasi Terpimpin saat itu menolak berhubungan baik dengan Amerika Serikat. Sedangkan di masa Orde Baru Indonesia justru memiliki hubungan politik dan bisnis yang baik dengan Amerika.
Pasca diberlakukannya UU Pokok Pers Nomor 11/1966 tercatat 28 media massa dicabut Surat Izin Terbitnya dan 2 surat kabar dicabut surat izin cetaknya. Beberapa media massa yang dibreidel yaitu Duta Masyarakat, Harian Sinar Harapan, Harian Nusantara, The Jakarta Times dan Harian Indonesia Raya. Di tahun 1978, Harian Kompas sempat ditutup selama dua minggu karena memberitakan isu aksi mahasiswa yang menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Surabaya (FKPMS) menggelar orasi untuk memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia di perempatan jalan di depan Balai Pemuda Surabaya, Jumat (3/5/2002). Mereka menyerukan kepada semua pihak untuk menghormati kebebasan pers dan boikot terhadap pers yang membodohi dan tidak berpihak pada rakyat.
Artikel terkait
Pers Bebas dan Bertanggung jawab
Dunia pers semakin tergugah dengan konsep pers bebas yang bertanggungjawab, sehingga insan pers semakin mencari definisi yang tepat untuk menjelaskan konsep tersebut. Pada Februari 1978, Tasrif sebagai Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat mendefinisikan pers bebas jika memenuhi tiga syarat yaitu: tidak dibutuhkan izin pemerintah untuk menerbitkan suatu penerbitan, tidak adanya sensor berita dan tidak adanya pemberangusan atau pembreidelan.
Dalam Undang-undang Pokok Pers Nomor 11/1966 ketiga hal tersebut telah dijamin dan sesuai dengan UUD 45, tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Namun, faham Komunisme, Marxisme dan Leninisme dilarang karena bertentangan dengan Pancasila.
Akan tetapi hukum yang digunakan di Indonesia masih menggunakan Kitab Hukum Pidana (KUHP) yang masih memuat pasal-pasal yang pada hakekatnya mengurangi kebebasan pers, yang kenal dengan nama “harttzaai-artikelen” pada pasal 154-157 KUHP.
Berkaitan dengan tanggungjawab, maka seorang wartawan memiliki tanggungjawab pada beberapa hal yaitu terhadap hati nurani sendiri, hak asasi sesama warga negara, kepentingan umum yang diwakili oleh pemerintah, dan rekan sesama profesi.
Harus dipahami bahwa jurnalis bukanlah seseorang yang kebal hukum, tetapi memiliki hak dan berlaku sama di mata hukum baik hukum perdata maupun pidana. Sehingga dalam bekerja seorang jurnalis harus memperhatikan etika yang berlaku dalam masyarakat dan berpegang pada Kode Etik Jurnalistik.
Orde Baru selalu menekankan bahwa pers memiliki kebebasan yang ditujukan pada arah pembangunan. Sedangkan pers tidak hanya memberitakan fakta pembangunan saja, tetapi harus mampu menggairahkan masyarakat dalam keterlibatannya pada pembangunan. Selain pers juga harus mendorong agar pembangunan dapat menghasilkan kehidupan ekonomi yang baik dan merata sehingga dapat dinikmati semua lapisan masyarakat.
Pada 26 Mei 1980, terbentuk Komite Pembelaan Kebebasan Pers di Jakarta yang diprakarsai oleh Polycarpus Da Lopez, Taufik Dahlan, Wem Kaunang, Antony Zeidra Abidin, Luis Wangge, Eddy Budiono, Hudori Hamid, Hassan Basari, Lukman Isa, Musfihin Dahlan dan Syahlan Pasaribu.
Komite ini menuntut agar pemerintah konsekwen melaksanakan UU Pokok Pers Nomor 11/1966 dan GBHN. Selain itu meminta Presiden Soeharto menepati janjinya yang diucapkan dalam Sidang MPRS kelima tahun 1968 tentang pengertian masa transisi yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Penerangan Nomor 03/Per/Menpen/1968 tentang Lembaga Surat Izin Dalam Masa Peralihan Bagi Penerbitan Pers yang bersifat umum.
Hal itu dirasa penting oleh kalangan media massa karena masih adanya tekanan dari pemerintah perihal pemberitaan. Kantor berita seringkali mendapat telepon dari penguasa perihal pemberitaan bahkan pelarangan pemberitaan kasus yang terjadi di Jawa Tengah di tahun 1980-an bahkan selama beberapa minggu.
KOMPAS/DANU KUSWORO
Ratusan wartawan dan aktivis jurnalistik, Jumat (3/5/2002), memperingati Hari kebebasan Pers se-Dunia dengan memasang puluhan poster berisikan penolakan terhadap pembatasan pers di depan Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta.
Sebuah peristiwa yang cukup menggemparkan masyarakat yaitu kerusuhan atau huru hara rasial menyerang warga keturunan Tionghoa yang pada November 1980 bermula dari Kota Solo dan meluas hingga ke Semarang. Tidak ada media yang boleh memberitakan peristiwa tersebut, ketika ada media yang memberitakan peristiwa tersebut langsung di beri peringatan keras oleh penguasa.
Kebebasan pers semakin terkekang dengan terbitnya UU Pokok Pers Nomor 21/1982 yang justru membreidel 11 media massa dengan mencabut SIUPP nya, salah satu korbannya adalah majalah Tempo karena memberitakan kerusuhan di masa pemilu.
Rasa keadilan kembali terusik ketika pemerintah membekukan sementara Surat Izin Terbit (SIT) majalah Tempo sejak tanggal 12 April 1982, karena dianggap Tempo telah melanggar konsesus Pers dengan Pemerintah. Hal itu menimbulkan protes dari kalangan media dan praktisi hukum, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menegaskan bahwa kebebasan pers bukanlah hak yang diberikan oleh pemerintah lalu dapat dicabut begitu saja. Hak itu merupakan bagian dari negara demokratis dan hak rakyat untuk mendapatkan informasi secara bebas.
Kebebasan rakyat untuk mendapatkan informasi justru semakin dikekang oleh pemerintah Orde Baru dengan keluarnya Surat Keputusan SK Menpen Nomor 226/1984 tertanggal 11 Desember 1984. Isinya adalah penyempurnaan pasal-pasal dalam SK Menpen Nomor 24/1978 yang intinya adalah RRI ataupun non-RRI harus me-relay 15 acara paket dari pemerintah. Radio swasta dilarang mengutip berita dari sumber lain kecuali RRI. Hal itu juga berlaku bagi Radio Khusus Pemerintah Daerah (RPKD) tingkat I tidak dibenarkan menyiarkan warta berita yang dibuat sendiri.
Hal itu tentu saja ditentang oleh Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI) karena dianggap merugikan stasiun radio swasta. Selain terlalu membebani radio swasta karena mereka sudah me-relay warta berita RRI, bahkan sudah 40 persen siaran radio swasta mengandung informasi dari pemerintah.
Namun, akhirnya ditemukan jalan tengah bahwa stasiun radio swasta boleh menyiarkan informasi varia penerangan daerah berkaitan dengan pembangunan daerah, tetapi tidak dibenarkan membuat siaran warta berita. Hingga akhirnya stasiun radio semuanya menerima untuk melakukan wajib memancarkan ulang (relay) seperti dalam SK Menpen Nomor 226/1984 sejak tanggal 1 Januari 1985.
Esensi pers yang bebas dan bertanggungjawab masih selalu mengusik nurani karena kasus pemberidelan terus terjadi, seperti yang terjadi pada Majalah Tempo dan tabloid DeTik. Pada tanggal 21 Juni 1994 ketiga media tersebut dibatalkan SIUPP-nya dengan SK Menpen Nomor 123, 124 dan 125 tahun 1994.
Kebebasan pers seolah hanya sebuah mitos karena pembreidelan masih terus terjadi sejak Indonesia merdeka. Istilah bebas dan bertanggungjawab dapat dilihat pada dimensi lain yaitu bebas dari tekanan yang datang dari berbagai pihak yaitu pemerintah dan masyarakat, internail maupun eksternal. Selain itu, pers harus bebas mengekspresikan pendapatnya dalam segala bentuk, kemudian pers harus memberika kebebasan pada semua orang yang ingin menyampaikan hal yang bermanfaat bagi publik.
Bahkan masih adanya UU Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran dianggap sangat mengendalikan kebebasan pers. Undang-undang tersebut dianggap terlalu melindungi pemerintah dan pemilik modal dan tidak ada satupun klausul yang melindungi kebebasan pers. dalam undang-undang tersebut.
KOMPAS/AHMAD ARIF
Garin Nugroho dan sejumlah seniman dan budayawan di Sumatera mendeklarasikan kebebasan berekepresi meliputi kebebasan pers, kesenian/kebudayaan, beragama, dan beragama/kepercayaan, di Medan, Rabu (22/6/2005). Mereka menolak pasal-pasal karet yang terdapat dalam RUU KUHP dan menghimbau agar penggiat kebebesarn pers dan berekspresi untuk membuat draft hukum alternatif.
Artikel terkait
Pers di Era Reformasi
Setelah kejatuhan Presiden Soeharto, Menpen Yunus Yosfiah mencabut Permenpen Nomor 1/1984 yang mengatur tentang Surat Izin Usaha Penerbitan yang selama ini menjadi ancaman bagi kebebasan pers.
Salah satu pasal yang paling berbahaya dari Permenpen ini adalah pasal 33 yang berbunyi “SIUPP yang telah diberikan pada pers dapat dibatalkan kembali oleh Menteri Penerangan setelah mendengar Dewan Pers”.
Beberapa media yang pernah menjadi korban dari Permenpen Nomor1/84 ini adalah Sinar Harapan, Prioritas, Tempo, DeTik dan Editor. Menpen menganti aturan itu dengan mengeluarkan Permenpen Nomor 01/98 yang tidak mencabut SIUPP tetapi membawa persoalan itu ke pengadilan. Puncak dari kebebasan pers adalah dibubarkannya Kementrian Departemen Penerangan yang selama ini menjadi momok bagi media massa.
Peristiwa yang menggembirakan bagi dunia pers Indonesia adalah saat Sidang Istimewa MPR 1998 menghasilkan Tap VIII/MPR/1998 mengenai Hak Asasi Manusia yang mengaskan pentngnya kebebasan Pers. Ketetapan tersebut dapat menjadi landasan direvisinya UU Nomor 24/1997 dan UU Nomor 21/1982, karena kedua undang-undang tersebut mengendalikan kebebasan pers.
Setelah berganti rezim pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi masih ada penodaan kebebasan pers. Kasus tersebarnya pembicaraan Presiden B.J. Habibie dengan Jaksa Agung Andi Galib membuat sejumlah pemimpin redaksi media cetak dan elektronik dipanggil oleh Mabes Polri. Mereka yang dipanggil adalah Uni Zulfiani Lubis (Panji Masyarakat) Azkarmin Zaini (ANteve), Riza Primadi (SCTV), Suzan Mazmir (Radio Sonora) serta Bambang G. Parindra dan Jodi Manuju dari Pro2FM.
Hal itu membuat Komite Kebebasan Pers meminta agar aparat hukum membongkar komplotan yang menyadap telepon antara B.J. Habibie dengan Andi Galib dan tidak mengalihkah isu dengan memanggil wartawan dari berbagai media tersebut.
Dalam proses kebebasan informasi dan legislasi akhirnya DPR bersama pemerintah melahirkan Undang-undang Pers Nomor 40/1999 untuk menggantikan UU Pokok Pers Nomor 11/1966 dengan Ketentuan Pokok Pers yang ditambah dengan UU Nomor 4 tahun 1967. Walaupun masih mengundang perdebatan beberapa subtansi tetapi tidak ada lagi pembreidelan dan perusahaan penerbitan tidak perlu lagi melapor ke Departemen Penerangan. (LITBANG KOMPAS)
Referensi
- Dulu PKI Punya 78 Surat kabar, Kompas, Sabtu 20 Nov 1965
- Perkembangan Rencana UU Pokok Pers, Kompas, 5 Mei 1966
- Peranan Pers Membangun dan Membina Pendapat Umum, Kompas, Sabtu 15 Oktober 1966
- Wewenang Breidel dan Sensor Pers Dihapus, Kompas, Jumat 14 April 1967
- Rapat Kerja Dengan Pemimpin Surat Kabar, Kompas, 4 Desember 1965
- Norma-norma Pokok Perusahaan Pers, Kompas, 21 April 1966
- Setuju pers Bebas Tapi Bertanggungjawab, Kompas, 21 April 1966
- Wewenang untuk Breidel dan Sensor Pers Dihapus, Kompas, 14 April 1967
- Pers Tidak Dilarang Siarkan Fakta dan Kebenaran, Kompas, 27 Des 1966
- Kemerdekaan Pers Mati di Jogya, Kompas, 12 Desember 1970, Link
- Kebebasan Pers di Indonesia Tetap Dijamin, Kompas, Selasa 16 April 1974
- Hari ini Dua Surat Kabar Dilarang Terbit, Kompas, 3 Juli 1971
- Hendaknya Ada Penafsiran Sama Mengenai Pelaksanaan Instruksi Nomor 28/74, Kompas, Kamis 2 Oktober 1975
- Bermacam Tafsir Mengenai Pers Bebas dan Bertanggungjawab, Kompas, Kamis, 10 Juni 1976
- Presiden Soeharto: Tanpa Kebebasan, Kreativitas Tidak Akan Berani Muncul * Tapi Kita Takkan Tumbuhkan Kebebasan hanya Untuk Kebebasan, Kompas, Senin 14 Juni 1976
- Pers Yang Bebas dan Bertanggungjawab, Kompas, Kamis 1 Februari 1979
- Komite Pembelaan Kebebasan Pers Terbentuk di Jakarta, Kompas, Senin 26 Mei 1980
- Pers Indonesia Masih Diganggu Dering Telepon, Kompas, Rabu 24 Desember 1980
- SK Menpen Nomor 226/1984 Diminta Ditinjau agi, Kompas, Sabtu 22 Desember 1984
- UU Penyiaran Tak Lindungi Kebebasan Pers, Kompas, Rabu 16 Desember 1998
- Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
- UU Pokok Pers Nomor 11 Tahun1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers
- Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum
Artikel terkait