Paparan Topik

Perkembangan Lembaga Swadaya Masyarakat di Indonesia

Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) mulai bermunculan di Indonesia pada akhir dasawarsa tahun 1970-an. Lahir untuk memperjuangkan perubahan bagi kaum yang termarjinalkan.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Aktivis dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan menggelar aksi damai dalam rangka memperingati Hari Bumi di depan Gedung Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal, Jakarta (22/4/2022).

Fakta Singkat

  • Tanggal 27 Februari diperingati sebagai Hari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Sedunia.
  • Definisi secara umum LSM berarti sebuah organisasi yang didirikan oleh secara sukarela dengan tujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan memperoleh keuntungan.
  • Sifat LSM non partisan yang berbasis pada gerakan moral.
  • Perkembangan LSM di Indonesia di mulai awal tahun 1970-an.
  • Saat ini Jumlah LSM yang terdaftar mencapai 390.293 (2018)

Tanggal 27 Februari diperingati sebagai Hari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Sedunia. Peringatan hari LSM ini baru berjalan selama sepuluh tahun, tepatnya pada 27 Februari 2014. Gagasan untuk memperingatinya telah muncul lima tahun sebelumnya tahun 2009 yang dicetuskan oleh Marcis Liors Skadmanis, seorang wirausahawan sosial.

Definisi LSM sendiri jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti organisasi yang bertujuan memperjuangkan kepentingan masyarakat. Kata “rakyat” menjadi alasan mengapa LSM ini lahir. JIka diartikan secara umum LSM diartikan sebagai sebuah organisasi yang didirikan oleh secara sukarela dengan tujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan memperoleh keuntungan dari kegiatan yang dilakukannya.

Sifat LSM non partisan yang berbasis pada gerakan moral dan tentunya memiliki fungsi dan karakteristik khusus yang berbeda dengan organisasi pada sektor politik pemerintah dan swasta. Istilah LSM sering juga disebut Non Government Organization (NGO) atau Organisasi non Pemerintah (Ornop) atau organisasi masyarakat sipil (Civil society Organizations).

Jika menilik sejarahnya, organisasi oleh masyarakat ini awalnya untuk membantu dan mendorong penyelesaian krisis di masyarakat yang di mulai pada abad ke-17 di Inggris. Aktor-aktor utamanya berasal dari kalangan agama dan kalangan swasta profesional. LSM tumbuh subur pada saat perang dunia ke satu dan kedua pada awal abad ke-20, dengan lahirnya berbagai LSM internasional di Eropa untuk penang- gulangan krisis akibat perang, seperti kelaparan, kemiskinan, pengungsi, pelarian politik, dan kekerasan yang dilakukan oleh Negara kepada masyarakat.

Lahir dan perkembangan LSM tidak lepas dari dampak pembangunan, terutama yang berupa semakin meningkatnya proses marginalisasi mayoritas masyarakat. Misalnya revolusi hijau dan industrialisasi perkotaan menjadi pokok bahasan kritisisme oleh kalangan aktivis LSM. Begitu pula tentang strategi pembangunan.

Usaha pelayanan LSM sangat bervariasi. Ada yang mengarah pada penyediaan bahan-bahan kebutuhan masyarakat, dan ada pula yang hanya memberikan bantuan dalam bentuk jasa dan nasihat saja. Tetapi yang jelas, dapat dikatakan, bahwa umumnya LSM bergerak di kalangan lapisan bawah (grassroot), yang umumnya terdiri dari kelompok miskin dan membutuhkan bantuan dari luar untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan dan kehidupan yang tidak layak, yang disebabkan oleh ketimpangan sosial.

Satu hal yang menarik dari kehadiran LSM itu adalah, bahwa LSM berusaha untuk memperbaiki keadaan yang kurang baik atau kurang layak itu. Kelompok LSM umumnya dibentuk di tingkat desa/kampung untuk kesejahteraan bersama, baik dilakukan oleh kalangan sendiri maupun dengan bantuan orang luar. Tetapi ada kalanya kelompok itu lebih besar sifatnya dan mencakup wilayah yang lebih luas, dan menjangkau kebutuhan yang lebih kompleks termasuk latihan, bantuan teknik, bahkan bantuan keuangan yang diberikan oleh tenaga-tenaga ahli yang bekerja dengan sukarela atau badan-badan yang lebih mapan.

Biasanya organisasi LSM dimulai dalam ukuran kecil, yang biasanya mencakup kebutuhan untuk mengatasi aspek-aspek hidup tertentu dari masyarakat miskin, seperti latihan keterampilan dan pemeliharaan kesehatan; ada pula yang menyediakan makanan murah untuk buruh-buruh kecil pabrik, dan kemudian bisa berkembang menjadi koperasi spontan, yang mempunyai jangkauan lebih luas.

Puluhan orang yang tergabung dalam Koalisi Ornop untuk Transportasi Anggaran (KOTA) melakukan aksi unjuk rasa damai berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta (28/2/2001). (KOMPAS/JOHNNY TG)

Dinamika LSM di Indonesia

Dinamika perkembangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia lahir seiring dengan lahirnya orde baru awal tahun 1970-an. Pertumbuhan dan peran LSM di Indonesia semakin berkembang seiring dengan menguatnya proses demokrasi yang ditandai dengan penguatan masyarakat sipil (civil society) dalam tranformasi pembangunan.

Sebagian besar aktivis di dalam LSM itu pada umumnya adalah mantan aktivis mahasiswa di kota besar yang mendapat akses cukup luas terhadap sumber dana. Para aktivis LSM di tahun 1970an tersebut kebanyakan bekerja dengan menganut kerangka kerja developmentalisme.

Tak satu LSM pun di tahun 1970an yang benar-benar menolak konsep dasar dan gagasan pembangunan. Pertanyaan maupun kritik yang mereka ajukan lebih dititikberatkan kepada implikasi metodologis dan teknis pembangunan.

Jika dalam masa 1970an kebanyakan kegiatan LSM lebih difokuskan pada bagaimana bekerja dengan rakyat di tingkat akar rumput dengan melakukan kerja pengembangan masyarakat (community development), maka dalam tahun 1980an bentuk perjuangannya menjadi lebih beragam, dari perjuangan lokal hingga jenis advokasi baik tingkat nasional maupun tingkat internasional.

Sejumlah aktivis LSM bahkan mulai mengkhususkan diri melakukan kerja advokasi politik untuk perubahan kebijakan yang dalam banyak manifestasinya dilakukan dengan membuat pelbagai macam statement politik, petisi, lobi, protes dan demonstrasi.

Pada periode tahun 1980-an LSM Indonesia terus bertambah, termasuk beberapa aktor dari kalangan pesantren, dan kalangan gereja mulai mempunyai LSM. Pertambahan jumlah ini terdorong oleh pertolongan revolusi teknologi informasi sehingga jaringan internasional mulai terbangun.

Pada saat yang bersamaan pemerintah Orde Baru mengalami masa puncaknya kekuasannya. Secara politik seluruh inisiatif dari masyarakat dimatikan pada era ini, termasuk LSM. Pada awal tahun 1990-an LSM Indonesia mengalami puncak perkembangannya, jumlah LSM seluruh Indonesia berjumlah 13.500. Jaringan internasional berfungsi dengan optimal

Akan tetapi, puncak kejayaan LSM ini tidak berusia lama, baik karena digerogoti oleh faktor internal maupun dihantam oleh faktor eksternal. Indonesia memasuki masa reformasi setelah kejatuhan rezim otoriter militeristik Soeharto pada tahun 1997.

Akan tetapi, puncak kejayaan LSM ini tidak berusia lama, baik karena digerogoti oleh faktor internal maupun dihantam oleh faktor eksternal. Indonesia memasuki masa reformasi setelah kejatuhan rezim otoriter militeristik Soeharto pada tahun 1997.

Hingga tahun 2010, terdapat lebih dari 3.000 kelompok LSM dan organisasi semacam itu yang tersebar tidak saja di kota-kota besar di Jawa, melainkan telah meluas di pelbagai daerah terpencil. Jika melihat bidang ataupun masalah-masalah yang menjadi kepedulian, atau masalah-masalah yang ditanganinya, juga telah terjadi peningkatan yang luar biasa

Jika dulu hanya memusatkan perhatian kepada kebutuhan praktis dan pengembangan kelompok usaha bersama, sekarang masalah yang ditangani merentang luas mulai dari masalah lingkungan dan perlindungan hutan hujan (rainforest), masalah hak asasi manusia dan masalah yang berkaitan dengan masalah gender, hak budaya dan hak pengetahuan masyarakat adat (indigenous wisdom), hinga eksploitasi buruh.

Mereka tidak saja berusaha sekadar menemukan solusi alternatif bagi masalah-masalah sosial dan pembangunan, bahkan mereka mulai mempertanyakan gagasan dasar dari diskursus pembangunan (discourse of development) itu sendiri secara radikal.

Dalam jurnal berjudul Dinamika LSM di Indonesia dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Demokrasi, Cholisin menyebut terdapat empat tipikal generasi LSM, yaitu:

Generasi Pertama (pra-1970-an). Fokus kegiatan generasi ini berupa kegiatan amal bagi masyarakat yang menyandang masalah- masalah sosial, semacam yatim piatu dan penderita cacat fisik dan mental. LSM generasi ini lebih membentuk dirinya sebagai yayasan keagamaan dan yayasan kemanusiaan.

Kemudian Generasi kedua, yaitu pada tahun 1970-an yang fokus kegiatannya pada pemecahan kemiskinan dan keterbelakangan. Dan tidak lagi bersifat primordial dan para aktivisnya merupakan bagian dari masyarakat yang beruntung mengenyam pendidikan tinggi. Dalam generasi ini LSM mengalami proses intelektualisasi.

Generasi ketiga, tumbuh pada tahun 1980-an, kesadaran pemecahan tingkat mikro berkait erat dengan persoalan kemasyarakatan tingkat makro. Mereka memusatkan perhatian pada persoalan seputar kebijaksanaan politik pembangunan. Sehingga gerakan politik menjadi pilihan aktivitasnya, namun sifatnya masih sosio-kultural.

Generasi keempat, mempertajam dengan pemberdayaan masyarakat di negara. LSM generasi empat ini dapat dibedakan dengan LSM generasi tiga setidaknya dalam tiga hal, yaitu mereka benar-benar menjadikan politik sebagai wilayah bermain utama; perpektif mereka dalam memandang persoalan telah semakin kritis dan struktural; dan mereka menempatkan proyek minimalisasi sosok besar negara sebagai agenda utarna dalam aktivitasnya. Sedangkan bentuk kegiatan LSM generasi Keempat misalnya dengan penyutradaraan unjuk rasa, dan advokasi.

Ketika pembangunan di berbagai negara- berkembang mulai dan terus digalakkan, peran LSM dilihat semakin meningkat dan bahkan dikenal beberapa konsep untuk menggambarkan sumbangan potensial dari LSM bagi proses pembangunan. Pada mulanya LSM dilihat sebagai organisasi yang bergerak secara eksklusif pada tingkat lokal dengan tujuan memenuhi kebutuhan kelompok miskin tetapi kemudian terjadi pergeseran, LSM juga membantu untuk mengartikularkan kebutuhan mereka dan memberikan kemampuan kepada mereka untuk mengontrol proses pengambilan keputusan.

Meskipun tujuan dan kegiatan serta pengalaman LSM sangat beranekaragam, sehingga terasa sangat sulit untuk diklasifikasikan, akan tetapi LSM Indonesia, menurut Eldridge dalam buku Non Government Organization and Democratic Participation in Indonesia (Oxford University Press, 1995) memiliki ciri-ciri umum yang kurang lebih sama, yakni antara lain:

  1. Orientasi mereka kepada penguatan kelompok kelompok komunitas sebagai basis dari masyarakat dan sebagai pengimbang bagi pemerintah.
  2. Pada umumnya ada komitmen yang kuat terhadap cita-cita partisipasi rakyat di dalam pengambilan keputusan.
  3. Adanya satu komunitas LSM di Indonesia, dengan banyak hubungan silang antar pribadi dan kelembagaan, yang saling mendukung, terdapat pertukaran gagasan dan sumber daya, yang memberikan potensi pada satu front bersama pada berbagai tingkat. Hubungan-silang itu dilatar belakangi oleh bentuk dan skala organisasi serta keanekaragaman kegiatan LSM. Hal yang disebut terakhir ini seringkali dianggap sebagai kekuatan komunitas Omop, tetapi sekaligus juga kelemahannya.

Hasil utama yang dicapai oleh LSM pada tingkat makro adalah pemunculan gagasan dari pengalaman lapangan mereka menjadi agenda politik nasional. LSM juga menyampaikan refleksi dan lebih mengartikulasikan kepedulian umum pada lingkungan hidup, hak-azasi dan demokratisası.

Beberapa kajian tentang LSM di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa peneliti, dan berbagai kategorisasi juga telah dilakukan. Dalam buku Third generation NGO strategies: A key to people-centered development, David C Korten menggunakan tujuh variabel untuk membuat kategorisai LSM di Indonesia, dan hasilnya menunjukkan tiga generasi LSM.

Adapun ke-tujuh variabel itu adalah: (1) ciri-ciri masalah/isu yang didefinisikan (2) masalah yang didefinisikan untuk ditanggulangi; (3) kerangka waktu; (4) lingkup khusus; (5) aktor utama, (6) pendidikan pembangunan, dan (7) kiblat pengelolaan. Lalu tiga generasi yang dimaksud meliputi generasi pertama yang bersifat ‘bantuan dan kesejahteraan, LSM generasi kedua yang bersifat ‘pembangunan swadaya lokal berskalą kecil’, dan generasi ketiga yang bersifat pembangunan berkelanjutan.

Kelompok Friends of the Earth yang terdiri dari gabungan NGO lokal dan Internasional, berkumpul di depan lobby Hotel Westin, serukan tuntutan untuk Keadilan Iklim, Nusa Dua, Bali (5/12/2007). Mereka mengingatkan para delegasi untuk memperhatikan keadilan khususnya bagi masyarakat lokal dalam kebijakan REDD. (KOMPAS/LASTI KURNIA)

Eksistensi LSM Masa Kini

Sebagai organisasi advokasi dan nirlaba, keberadaan LSM mengalami pasang-surut. Beberapa di awal harus menghadapi tantangan yang cukup berat. Pemerintah sendiri dalam melaksanakan program pembangunannya sering melibatkan LSM sebagai mitra kerja. Menurut Herlianto dalam artikel opini di Kompas cetak tanggal 18 Januari 1990 yang berjudul “LSM, Kawan Apa Lawan?” menjelaskan mengapa pemerintah ataupun pihak swasta merangkul LSM.

Alasan pertama yaitu karenaLSM berhasil berpartisipasi dalam pembangunan dengan biaya yang lebih murah. Dan lebih dari itu, LSM berhasil menjalankan program-program yang menjangkau golongan miskin, hal-hal yang umumnya tidak terjangkau oleh pihak usaha swasta maupun program pemerintah.

Keberadaan LSM memang justru tepat waktunya untuk dibutuhkan, karena sejak dasawarsa tahun 1980-an, di seluruh dunia termasuk Indonesia, industrialisasi dan modernisasi menghasilkan pengangguran yang meluas dan menyebabkan urbanisasi yang pesat ke kota-kota besar, yang otomatis akan menghasilkan generasi baru yang umumnya miskin dan bergerak di sektor informal. Generasi baru yang disebut “kelompok pinggiran” (marginal people) ini, umumnya tidak terjangkau pembangunan formal. Karena itu, peran LSM menjadi alternatif pengganti yang diharapkan campur tangannya.

Alasan kedua menurut Herlianto, LSM adalah struktur organisasinya yang sederhana sangat dekat dengan masyarakat yang dilayani, dan sifatnya yang mengarah kepada pelayanan khusus yang memang sedang dibutuhkan oleh masyarakat miskin, seperti yang bergerak dalam pengadaan pangan, pekerjaan, dan kesehatan.

Salah satu yang menarik dalam kehadiran LSM adalah, bahwa sekalipun kelihatannya bukan merupakan usaha besar dengan struktur megah, seperti yang biasa ada dalam usaha konglomerat, LSM sering ditunjang dan dibantu tenaga-tenaga ahli, tetapi yang mempunyai idealisme membantu masyarakat miskin, sekalipun tanpa dibayar.

Kendati tidak semua LSM bermotivasikan kebenaran dan idealisme, seperti ada pula yang bermotivasikan keuntungan atau politik untuk kepentingan golongan politik tertentu, tetapi struktur LSM yang demokratis dan mobil itulah yang menjamin kelanggengannya. LSM yang tidak jujur akan mati, karena ditinggalkan para sponsor. Tetapi LSM yang terbuka manajemennya dan berhasil membantu masyarakat banyak justru akan berkembang, karena banyak donor akan tertarik untuk membantunya.

(LITBANG KOMPAS)

Referensi

Buku
  • Cholisin,Cholisin (1998).Dinamika LSM di Indonesia dan Kontribusinya terhadap Perkembangan Demokrasi, Journal UNY Vol 26 No 1.
  • Dharmawan, HCB (2004).Lembaga swadaya masyarakat: menyuarakan nurani menggapai kesetaraan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
  • Eldridge (1995). Government Organization and Democratic Participation in Indonesia. Oxford: Oxford University Press.
  • Fakih, Mansour (2010). Masyarakat sipil untuk transformasi sosial:pergolakan ideologi LSM Indonesia. Yogyakarta: INSISTPress.
  • Korten, David C  (1987). Third generation NGO strategies: A key to people-centered development. Wolrd Development vol. 15, issue 1.
Arsip Kompas
  • “LSM, Lawan atau Kawan?“, Kompas, 18 Januari 1990, Hal. 4. Penulis: Herlianto.